Persahabatan mungkin bisa terjalin dalam kurun waktu yang lama. Bahkan belasan tahun. Seperti yang terjadi pada Gwen, Alexi, Inez, Jupiter, dan Eric. Mereka mampu bertahan tanpa merusak persahabatan dengan hal-hal di luar yang terlihat. Mereka saling memiliki ketergantungan satu sama lain, tanpa ada ikatan emosi dan perasaan melebihi pertemanan. Namun, siapa sangka, banyak rahasia di balik hubungan mereka selama ini.Ada yang diam-diam saling menyakiti, membohongi, memanipulasi, bahkan merusak hidup satu sama lain. Lalu sebenarnya, siapa yang berani menantang diri dalam bara api yang tercipta di antara mereka berlima?
Lihat lebih banyakSore ini, dijadikan sebagai hari jadi persahabatan mereka berlima. Di mana mereka sepakat untuk merayakannya tanpa perlu ambil pusing pada tanggal dan bulan berapa tepatnya, persahabatan mereka terbentuk.
Yang jelas, tahun ini, usia persahabatan mereka memasuki tahun ke lima belas. Dan itu dianggap sebagai pencapaian yang luar biasa bagi mereka berlima. Mungkin juga untuk sebagian orang.
Mari sejenak kita perkenalkan tentang siapa saja lima sekawan ini. Di mulai dari wanita cantik yang terlihat berjalan tergesa memasuki salah satu ruang Very Important Person sebuah kafe. Dia memang tak pernah datang tepat waktu.
Gwen Himeka. Terkenal seksi bukan hanya tubuh, tapi juga otaknya yang cemerlang. Berambut pirang panjang yang jarang di sisir. Bermata kecokelatan dan paling berisik.
Alexi Millard. Playboy kelas kakap pada masanya, berlesung pipi, berambut tebal dan hitam dengan potongan mullet. Dia mempertahankan model rambutnya tetap seperti itu selama tiga tahun terakhir.
Inez Gianina. Sumber masalah, senang membuat keributan dengan siapa saja. Tapi sebenarnya, dia cukup pendiam untuk diingat sebagai gadis manis yang menggoda dengan rambut dan kedua bola mata hitam pekat miliknya.
Jupiter Lais. Hanya ada uang dan kesenangan dalam kepalanya. Ia tampan dengan tubuh paling tinggi di antara sahabatnya yang lain. Sorot mata selalu tajam mempesona, itulah ciri khasnya.
Eric Fagan. Manusia paling lurus, julukan paling tepat untuk disematkan padanya. Ia berwajah tirus dengan kulit putih pucat tanpa cela. Sejujurnya, ia membenci wanita. Terutama yang terlalu berani dan menggoda. Ia senang mencintai dirinya sendiri melebihi siapa pun.
Dan kini kembali pada Gwen, yang tiba dengan wajah penuh keringat, ia tersenyum lebar melihat ke empat sahabatnya menunggu kedatangan seorang Gwen Himeka tanpa raut wajah kesal sama sekali.
“Ratu yang ditunggu datang juga,” seru Jupiter seraya tangan menarik kursi di sampingnya yang kosong, “kemarilah, Ratuku.”
Seisi ruangan yang hanya berisi lima sekawan ini menggemakan tawa gembira. Gwen duduk sambil menepuk pundak Jupiter yang berlagak seperti seorang pelayan sedang melayani Ratunya.
“Teman-teman, maaf aku terlambat.”
“Macet di akhir pekan?” tanya Inez sekilas dengan tangan yang sibuk mencabuti anggur kehitaman dari tangkai kecilnya.
“Hei, dari mana kau dapatkan anggur itu?” Alexi menjulurkan tangannya dengan penuh semangat, dari seberang kursi.
“Aku bawa dari rumah.” Inez memalingkan tubuh sekaligus tangannya ke arah kiri, tepat di samping Eric. “Tidak Lexi. Dia milikku.”
“Hmm? Siapa?” Eric bereaksi karena ucapan Inez.
“Anggur ini.” Inez menggoyangkan anggur yang kini menyisakan banyak buah bergerombol di tangkainya.
“Jangan serakah, sisakan beberapa untukku!” protes Alexi tak pantang menyerah.
“Iya, tapi nanti!” Inez melotot pada Alexi, lalu menatap Gwen yang sedang memandangi tingkahnya. “Baru beberapa bulan tak bertemu, kau semakin cantik, Gwen,” puji Inez dengan kedipan sebelah mata.
“Kapan akan kita mulai acaranya?” tanya Eric, ia menjadi tidak sabar tak lama setelah melihat isi ponselnya.
“Ada apa? Kau harus cepat kembali?” Gwen mengalihkan pandangan pada Eric yang berada di samping Inez.
“Yap. Ada sedikit masalah di rumah.”
“Baiklah, kita mulai saja kalau begitu,” sambung Jupiter.
“Piter ... jangan goyang-goyangkan kakimu seperti itu, kau bukan remaja tujuh belas tahun lagi,” protes Gwen yang ikut merasakan getaran dari gerakan kaki Jupiter di kursinya.
“Cara lain untuk menikmati kesenangan, cantik.” Jupiter mengedip, memajukan bibirnya, seolah ingin mencium Gwen.
Gwen tertawa dan menempelkan tiga jarinya—telunjuk, tengah, dan manis—di bibir Jupiter. “Ini ciumanmu.”
Mereka berlima tertawa lepas bersama, melewati sore menuju senja dengan candaan-candaan yang tak ada artinya itu.
*****
Tiga puluh dua menit setelah pesta perayaan berakhir.
“Kapan kau tiba?” Gwen bertanya pada tamu yang tiba-tiba sudah duduk di tepi ranjang, saat ia keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di kepala.
“Lebih dari lima menit,” jawab si tamu dengan senyum manis tanpa mengalihkan tatapan dari Gwen di depannya yang mulai melepas handuk di kepala, bersiap mengeringkan si pirang.
“Kau yakin mereka tidak melihatmu saat menuju ke sini?” Gwen meraih hair dryer dari atas meja riasnya.
Pria itu bangkit, mengambil alih benda pengering rambut itu dari genggaman Gwen, “Biar aku saja.”
“Hem, terima kasih.” Gwen bersiap duduk di kursi dengan rambut yang masih setengah basah.
“Tadi aku yang terakhir kali pergi dari sana,” jelas pria itu dengan jari jemari menyisip di balik helaian rambut Gwen sembari mempertemukannya dengan ujung hair dryer, “kenapa kau datang paling terlambat dan pulang lebih awal?”
“Masih ada pekerjaan di kantor yang harus kuselesaikan, Lexi. Ini bulan keduaku menjadi Sekretaris di Winston Corporation,” keluh Gwen sedikit memiringkan kepalanya.
Si pria itu, Alexi Millard, mencium kening Gwen di sela kegiatannya mengeringkan rambut pirang lurus milik Gwen. “Kau selalu menjadi wanita tangguh dan menawan.”
“Terima kasih, Lexi.” Gwen tersenyum, tapi singkat, kemudian berganti dengan ekspresi datar.
“Boleh kubuka?” tanya Alexi hati-hati dengan kedua mata menatap lekat, pada jubah mandi berwarna putih yang dikenakan Gwen.
Gwen menggeleng dengan murung. “Tidak, Lexi. Aku sudah menahannya selama hampir dua tahun ini, demi memberikan seutuhnya diriku padamu.”
“Baiklah, aku mengerti,” angguk Alexi dengan senyum lembut yang selalu hampir mematahkan keteguhan hati Gwen, “maafkan aku,” bisiknya di telinga Gwen, mengecup pelan di pipi wanita bertubuh indah dan berwajah rupawan, sempurna di mata Alexi.
“Tak apa, salahku yang menerimamu meski tahu keadaan dan kenyataannya, berbeda jauh dari harapan semua wanita di dunia ini,” keluh Gwen, menahan air mata yang mungkin akan jatuh jika saja Alexi tidak segera memeluknya dengan erat.
“Aku mencintaimu, Gwen Himeka, apa pun yang terjadi,” gumam Alexi dengan senyum getir yang ia sembunyikan di balik punggung Gwen.
Gwen hanya mengangguk sebagai pertanda dia setuju dengan apa pun ucapan Alexi.
Karena ia selalu menghormati keputusan sahabat sekaligus pria yang berani dicintainya dalam risiko besar, selama hampir dua tahun terakhir ini.
“Selamat untuk kelahiran Putri pertamamu, Lexi,” ucap Gwen, terdengar tulus.
Alexi segera melepas pelukannya, menatap lekat pada Gwen yang tersenyum. Senyum sedih, lebih tepat dan memang terlihat seperti itu.
“Gwen ... ma-maaf, itu ketidak sengajaan. Kau tahu bukan, kami tinggal serumah dengan Ayah dan Ibunya Anna. Aku tetap harus tidur sekamar dengan Anna, lalu—”
“Sudahlah, Lexi. Memang itu hak yang seharusnya kau dapatkan dan kewajiban yang harus Anna lakukan sebagai istrimu,” sela Gwen cepat, tanpa amarah yang terlihat. Ia menyembunyikan segala perih dalam hatinya.
Alexi merasa bersalah, hanya bisa terdiam dan salah tingkah melihat wanita yang begitu dicintainya, menahan perih dan terluka selama ini.
Mungkin Gwen tak pernah tahu, bahwa ia sudah menyukainya, sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Gwen ... aku berjanji akan segera menyelesaikan ini.” Alexi memegang kedua pundak Gwen, berbicara dengan kesungguhan.
“Apa maksudmu?”
Bersambung.
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen