“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.
“Tentu saja tidak.”
“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.
Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.
“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”
“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.
Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.
“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Maukah kau bertemu Ibuku?”
“Jangan bercanda, Piter. Kau sudah tahu jawabanku.” Gwen menatap tajam pada Jupiter, agar pria itu berhenti berkata yang membuat dirinya bisa semakin meradang.
“Tolong aku, sekali saja!” rengek Jupiter, kini ia menggenggam erat tangan Gwen, memohon dengan mempertontonkan wajah penuh mengiba.
“Jangan memasang wajah seperti itu, tidak cocok dengan citramu sebagai penakluk istri orang dalam hitungan menit,” sindir Gwen.
Karena mereka sudah terbiasa dengan saling menyentuh satu sama lain, Gwen tidak merasakan apa pun saat Jupiter menggenggam erat kedua tangannya. Seolah itu hal yang biasa terjadi.
“Itu berarti kau menyetujui rencanaku?”
“Tidak.”
“Hei, ayolah ...” Jupiter tidak peduli meski harus mulai merengek dan memohon pada Gwen, “kumohon Gwen. Aku bersedia melakukan apa pun sebagai balasannya.”
“Kau akan katakan apa pada Ibumu? Bukankah dia tahu kita bersahabat? Sudah pasti ia akan langsung mengusir kita karena kebohongan yang kau buat.”
Sudah terbayang bagaimana Misca akan mengamuk, jika ia dan Jupiter mengaku memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih, apa lagi hanya tipuan.
Gwen pernah bertemu Misca beberapa kali dan melihat betapa tegas juga keras kepalanya Ibu Jupiter itu. Hal ini lah yang semakin membuat Gwen yakin, semua sandiwara rancangan Jupiter, akan berakhir dengan sia-sia.
Jupiter terdiam, bukan karena tak dapat berkata-kata, tapi karena sedang memikirkan bagaimana cara yang sudah ia susun saat dalam perjalanan menuju ke rumah Gwen, dapat ia sampaikan dengan baik pada wanita di hadapannya ini.
“Lihat, kau bahkan tak dapat mengatakan apa pun, Piter. Jadi lupakan tentang rencana gilamu itu. Pulang dan tidurlah dengan nyenyak malam ini.” Gwen sudah bersiap beranjak dari hadapan Jupiter.
“Hei, aku belum selesai. Dengarkan aku dulu.” Jupiter menarik lengan Gwen.
Gwen mendesah dengan perasaan kesal yang hampir melingkupi seluruh puncak kepalanya.
“Cepat katakan,” desak Gwen.
“Apa impianmu?”
Gwen mengernyit, “Kenapa tiba-tiba kau tanyakan itu?”
“Jawab saja.”
“Mendapatkan promosi jabatan ....” jawab Gwen, ragu.
“Bukan itu, pikirkanlah lagi.”
“Membeli rumah ini?”
“Bukan. Aku tahu kau tidak akan sudi membeli rumah ini yang atapnya sering kali bocor setiap turun hujan.”
“Ah ya, kau benar. Lalu apa impianku? Sepertinya, justru kau yang paling mengetahuinya.”
Jupiter tersenyum yang membangkitkan rasa penasaran Gwen.
“Ingat, toko buah dan sayur di bawah jalan menuju pegunungan yang kita datangi saat berlibur untuk merayakan ulang tahun Eric yang ke dua puluh satu tahun?”
Pikiran Gwen melayang ke petualangan mereka berlima, sepuluh tahun yang lalu. Ia seketika ingat masa-masa menyenangkan di sela-sela kesibukan mereka di perguruan tinggi.
Mereka selalu menyempatkan diri untuk berkumpul atau merayakan ulang tahun secara bergantian sampai semua mendapat giliran masing-masing.
Meski hanya Gwen dan Eric yang satu Universitas, mereka berlima tidak pernah lupa waktu, setidaknya sebulan sekali mereka sengaja mengosongkan semua jadwal dari apa pun kegiatan lain, agar dapat berkumpul bersama, seharian penuh.
“Kau sudah ingat?” Jupiter merusak bayangan indah Gwen dari masa lalu.
“Ya, aku ingat. Aku memiliki impian untuk memiliki satu toko seperti itu, suatu saat.” Gwen tersenyum. Mengingat semua buah dan sayur segar berjajar rapi di rak dan lemari pendingin, membuatnya bahagia walau hanya sekedar memikirkannya saja.
“Aku akan mewujudkannya untukmu.”
Gwen justru mengernyit, ia tidak terkejut karena memang sudah mengetahui dengan pasti, bahwa Jupiter akan mewujudkan impiannya dengan bayaran mahal yang harus ia berikan.
“Kau ingin menipu semua orang?”
“Ya, untuk sementara.” Tanpa beban, Jupiter mengangguk pasti. “Menikahlah denganku. Kita sepakati kontraknya bersama, lalu bercerai dengan alasan tidak ada lagi kecocokan di antara kita. Dengan begitu Ibu akan ber—”
“Cukup, Piter!” Gwen menutup telinganya. Tidak menyangka sejauh itu ajakan sandiwara sang sahabat. Jujur, ia sangat takut. Jupiter yang ia kenal, tidak pernah senekat ini.
Jupiter yang ia tahu dari waktu ke waktu, seperti tak paham cara mencintai seseorang dengan baik dan tulus. Jupiter yang Gwen kenali, hanyalah seorang pria pecinta wanita yang gemar bersenang-senang.
“Ada hati yang harus kujaga, Piter.”
Meski terkejut, Jupiter merasa Gwen berbohong. Tidak bodoh, Jupiter mengetahui bahwa selama ini, beberapa waktu belakangan, Gwen tidak terikat hubungan dengan siapa pun. Ia yakin pada hasil pengamatannya.
Dan Jupiter juga tahu, Gwen sengaja membuat dirinya menyerah. Tapi tidak! Jupiter tidak akan jatuh hanya karena kata-kata itu.
“Tak apa, kita tutupi dan rahasiakan dari orang itu.” Lagi-lagi jawaban santai dan tenang terlontar dari bibir Jupiter. Seolah tidak menjadi masalah pada siapa kini hati Gwen berlabuh.
Gwen mendengus karena kehabisan kata-kata. Ia memijat kening dengan perasaan putus asa. “Mungkin aku bukan orang yang tepat, Piter.”
“Lalu siapa?” Jupiter sudah setengah berteriak, tapi kemudian merasa bersalah mengingat rumah ini tidak kedap suara. “Maaf, aku tidak sengaja.”
“Tak apa. Tapi mungkin kau bisa minta Inez untuk membantumu. Ingat, kau punya satu sahabat wanita lagi yang bisa diandalkan.”
“Gweeen ...” panggil Jupiter, sikap pantang menyerahnya luntur seketika, “apa ini karena pria itu? Siapa dia?”
Gwen salah tingkah, berusaha menutupi rasa takutnya. Bahaya besar jika sampai Jupiter menemukan siapa sosok pria yang ia ingin jaga hatinya.
“Bu-bukan. Bukan karena dia. Hal seperti ini, membuatku tidak nyaman. Ini seperti sebuah penipuan besar. Aku sungguh merasa bersalah jika harus melakukannya ...” Gwen menatap sorot mata Jupiter yang tajam dan tenang, “terutama pada Bibi Misca.”
Jupiter melembutkan senyumnya. Ia merasa tenang, jika ternyata dugaan Jupiter tentang Gwen yang masih setia menyendiri akibat luka dari masa lalu, benar adanya.
“Aku tidak memintamu menjawabnya sekarang. Aku bersedia menunggu. Memberikan satu minggu waktu untukmu berpikir, dari dua minggu sisa waktu yang kumiliki.”
“Tapi, kau juga perlu bertanya pada Inez. Aku yakin dia lebih mudah kau ajak bicara dan kerjasama untuk hal-hal seperti ini dibandingkan denganku.”
“Ya, aku akan coba bertemu dan bicara padanya. Tapi kuharap, kau juga benar-benar memikirkan tawaranku.”
Bersambung.
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”