Share

10 || Sumber Masalah

Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana.

Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja.

Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara.

“Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?”

“Benar, Pak. Dia Aldebaran.”

“Kenapa gadis ini bisa bersamanya?”

“Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis itu bekerja di perusahaan RAM Corp, tetapi Aldebaran memecatnya hanya karena kesalahan kecil.”

Tampak rahang pria itu mengetat. Dia meremas foto yang ada di tangannya.

“Masih ada satu lagi, Pak!” Lelaki muda itu berseru seraya menunjuk satu foto yang tersisa dalam amplop.

Pria itu mengambil satu foto yang lain. Kali ini dia begitu terkejut melihat gambar dalam foto itu.

“Ini?” Matanya menunjukkan kemarahan. Pria itu menggebrak meja.

“Awasi terus gadis itu, laporkan setiap gerak-geriknya. Bila perlu anak Mahesa itu juga. Kau boleh pergi!”

Pria itu segera melangkah keluar dengan selembar foto yang ia genggam erat. Langkahnya berhenti di ruang tamu, ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Desain interior ruangan identik dengan kemegahan yang didominasi warna putih dan emas.

Dari kejauhan langkah sepatu terdengar dari balik salah satu ruangan. Pandangan pria itu terkunci pada sosok yang ia cari, segera dia mendekat dengan tatapan penuh kemarahan.

PRAKS!

Tamparan keras menyapu pipi mulus itu dan meninggalkan jejak merah muda.

“What's going on, Dad?” Dia meringis memegang pipinya yang terasa perih.

“Ini apa?” Pria itu menunjukkan fotonya bersama Aldebaran. Wanita itu adalah Monika, anak dari David Bailey—pengusaha terkaya sekaligus pemilik perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara dan beberapa perusahaan properti lainnya.

“Apa kau masih menjalani hubungan dengan pria itu? Bukankah ayah sudah melarangmu?!” David meninggikan suara. Tatapannya menyorot murka.

“Ya, hubungan diam-diam selama dua tahun lalu. But we broke up because of you, Dad!” Monika menahan tangisannya seraya menarik foto dari tangan David. “Kali ini Monik akan memperbaiki hubungan itu!”

“Kau tidak boleh melakukan itu!” Suara bariton David menahan langkah Monika.

Monika menyusut gumpalan air yang menggenang di sudut mata. “Sorry, Dad. Monik tetap akan melakukannya!”

“Kau sudah bertunangan!” David kembali mengeraskan suaranya.

Tangan Monika mengepal. Dia menghela napas berat. Monika tidak ingin berdebat, suasana hatinya sedang tidak baik. Dia mengambil langkah cepat masuk ke dalam lift yang langsung menuju lantai tiga di mana kamarnya berada.

David terlihat marah, dia tidak bisa membiarkan hubungan Monika dengan anak teman relasi bisnisnya kandas, itu akan berpengaruh pada perusahaannya.

David memanggil seorang pria bertubuh kekar yang berjaga di depan pintu utama dengan menggerakkan jari telunjuk.

“Pastikan Monika tetap berada di rumah sampai aku kembali!”

“Baik, Tuan.” Pria itu menjawab santun.

David mengeratkan dasinya lalu beranjak ke luar.

***

Rara tengah sibuk mengatur pakaian yang akan dipakai Aldebaran untuk pemotretan. Syutingnya baru saja selesai. Saat ini mereka berada di salah satu brand fashion ternama. Aldebaran diminta menjadi model untuk pakaian terbaru mereka.

Rara hampir kewalahan mengerjakan sendirian. Aldebaran terus saja memerintahkannya melakukan berbagai hal. Rara juga harus menyiapkan makan siang. Pria arogan itu tipe pemilih dalam makanan. Tidak boleh terlalu berminyak, tingkat level satu untuk rasa pedas dan tidak boleh pakai bawang. Aldebaran benci dengan bau bawang.

Rara menarik napas sejenak sebelum membawakan jus buah jambu yang baru saja dia beli. Rara mengangguk mantap ketika memastikan tidak ada yang kurang.

Tak jauh dari posisinya, Aldebaran sedang melakukan sesi pemotretan. Rara hanya memandang dari kejauhan. Tiba-tiba, ponsel Rara berdering. Nama Ivan tertera di layar.

“Halo, Van!”

“Lagi di mana, Ra?” tanya Ivan dari seberang sana.

“Aku lagi ....” Rara menahan kalimatnya.

“Nona Rara, kau dipanggil!” Salah seorang perempuan menepuk bahu Rara dan mengarahkan jari telunjuk ke arah Aldebaran.

Rara mengangguk pelan. Perempuan itu lantas pergi. Rara melanjutkan lagi pembicaraannya lewat telepon.

“Van, maaf, ya. Aku akan meneleponmu lagi.” Rara memutuskan panggilan dan berlari kecil menemui Aldebaran.

“Pak Al panggil aku?”

“Sudah kausiapkan makananku?” tanyanya dengan raut datar.

“Sudah, Pak!” sahut Rara cepat.

Rara membiarkan Aldebaran melangkah lebih dulu. Dia harus akui, Rara sangat rapi dalam menyajikannya. Aldebaran mengambil tempat untuk duduk.

“Tidak sia-sia aku mengeluarkan uang untuk memperkerjakanmu!”

Rara menarik sudut bibirnya. Dia tidak ingin menanggapi. Jika melihat kenyataannya, Aldebaran yang membutuhkan Rara, dia sengaja memecat Rara di perusahaan hanya karena tidak suka ada orang yang berani menentangnya. Rara baru tahu kemarin saat tidak sengaja mendengar percakapan dua asisten Firman.

Saat itu Rara baru saja keluar dari toilet.

“Aku salut sama asisten baru Pak Al. Dia bisa tahan dengan sikapnya yang arogan. Beberapa orang yang pernah bekerja dengannya memilih berhenti karena tidak tahan dengan sikapnya,” jelas Fandi pria bertubuh kurus dengan tinggi sama dengan Ivan.

“Kalau itu aku, sudah pasti menyerah lebih dulu!” sahut Riko, pria yang tubuhnya sedikit lebih berisi.

Rara kembali membuyarkan lamunannya. Aldebaran baru saja selesai makan.

“Pak, apa aku boleh pulang lebih awal? Hari ini aku mau menemui kekasihku.”

Aldebaran mengangkat pandangan dari ponsel, beralih menatap Rara lalu menoleh ke arah Firman.

“Apa jadwal lainnya?”

“Tidak ada. Tapi hari ini rapat dewan direksi dan kau diminta Pak Mahesa untuk datang ke perusahaan,” jelas Firman.

“Pak Al belum menjawab pertanyaanku,” timpal Rara kemudian.

Aldebaran menatap dingin, dia bangkit dari duduknya dan berjalan melewati Rara begitu saja. Rara menghela napas. Pria arogan itu tidak mengizinkannya pulang. Padahal dia tidak perlu ikut ke perusahaan.

Rara menyeret langkah malas menyusul Aldebaran. Apa dia harus menunggu pria arogan itu sampai rapat selesai? Benar-benar mengesalkan. Rara membuka pintu di belakang kemudi. Dia duduk di sebelah Aldebaran.

“Jangan pasang tampang seperti itu ketika sampai di perusahaan,” katanya tegas.

Rara memperbaiki posisi duduk. Dia menarik otot wajahnya menampakkan sedikit senyuman. 

Aldebaran memasang earphone, lalu memejamkan mata. Itu hal yang selalu dia lakukan setiap berada dalam mobil. 

Pandangan Rara ke arah luar, dia memandang rembulan yang bersinar terang di singgasananya, di kelilingi perhiasan jubah malam yang meneduhkan netra. Rara menurunkan sedikit kaca mobil, senyumnya tersimpul indah—membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Sungguh menyegarkan.

"Naikan kacanya! Aku tidak suka ada polusi yang masuk. Bukankah pendingin mobil ini jauh lebih baik?!" sentak Aldebaran masih dengan mata terpejam. 

Rara hanya bisa mendengus kesal seraya menaikan kembali kaca mobil. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status