Share

13 || Di Ujung Pelangi

Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. 

Sepuluh jam yang lalu ....

Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya.

“Pak Al! Anda kenapa ada di sini?”

Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan.

Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran.

“Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.”

Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara.

“Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran dengan penuh penekanan.

Rara menghela napas. “Baik, Pak.”

Aldebaran berjalan acuh menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Rara, tepat di depan pagar rumah Amel. Tetangga Rara yang sombong itu.

BRUK!

Suara benda jatuh membuyarkan lamunan Rara. Dia lantas bangkit dari duduknya melihat wajah kesal Aldebaran yang melotot tajam padanya.

“Apa kau meninggalkan telingamu di rumah?!” sentak Aldebaran.

Rara refleks memegang kedua telinganya. “Telinga aku masih ada.”

Aldebaran membuang napas kasar. “Aku sejak tadi memanggilmu!”

“Maaf Pak, tadi aku sedang melamun,” jawab Rara polos.

Aldebaran memejamkan kedua matanya untuk menahan darahnya yang mulai mendidih.

“Pergi dan siapkan makan siangku. Cari tahu sendiri apa yang ingin aku makan. Dalam tiga puluh menit, semuanya sudah harus siap tanpa kurang satu apa pun!”

“Hah?! Tapi bagaimana bisa aku menyiapkan semuanya tanpa tahu apa yang ingin Pak Al makan?” Rara memasang raut tak berdosa.

“Itu tugasmu. Kau digaji jadi pikir sendiri!” tutup Aldebaran dan meninggalkan Rara yang kebingungan di tempat.

“Ya Tuhan, orang ini sangat mengesalkan. Aku harus apa sekarang?”

Rara mondar-mandir berusaha memikirkan cara untuk menyelamatkan dirinya dalam situasi genting.

Rara sudah bertanya pada Firman, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang dia inginkan, sedangkan sepuluh menit sudah berlalu tersisa dua puluh menit lagi.

Rara menjentikkan jarinya, dia akan meminta bantuan Angga. Rara mengeluarkan ponselnya. Sedetik kemudian, wajah Rara kembali tertekuk. Rara duduk lemas dengan melempar punggungnya pada sandaran kursi. Rara tidak punya nomor Angga. Apa yang akan dia lakukan? 

Rara melihat ke arah Firman yang sedang berbicara dengan produser. Dengan cepat Rara kembali menghampiri Firman.

“Pak, apa aku boleh meminta nomor Pak Angga?”

“Oh, tunggu sebentar.” Firman menggulirkan jemarinya dan menunjukkan ponsel ke arah Rara.

“Makasih, Pak.”

Rara segera menelepon Angga mengingat waktunya yang tak banyak.

“Halo, selamat siang.”

“Halo Kak Angga, ini Jihan!”

“Ada apa Jihan? Aku sedang rapat dengan klien, bisakah kau meneleponku nanti?”

“Oh, baik Kak. Maaf, ya, jika aku ganggu.”

Rara mengakhiri panggilan lebih dulu. Dia mendesah pasrah. Rara tidak punya cara lain lagi. Dia mendongak, melihat mendung kelam hitam sejauh mata memandang. Raut wajahnya kembali berbinar, terlintas sebuah ide. Rara segera beranjak dan menunaikan apa yang dia pikirkan.

Aldebaran sudah menunggu dengan satu kaki yang dia pangku dengan kedua lengan menyilang di atas perut. Pandangannya ke arah luar jendela, memerhatikan bulir bening yang kian deras. Dari kejauhan Rara datang dengan memegang nampan yang berisi makanan untuk Aldebaran.

Rara menyajikan semangkuk ramen dengan telur dadar setengah matang dan beberapa irisan tomat, potongan jeruk nipis, daun selada dan taburan daun seledri yang dicincang halus di atasnya. Rara juga menyiapkan semangkuk nasi putih dan segelas air jeruk hangat serta puding mangga yang sempat Rara pesan sebagai pencuci mulut.

Aldebaran tidak berkomentar. Dia mengambil sendok dan mencicipi sedikit. Rara berharap cemas menunggu reaksi Aldebaran.

“Tidak buruk. Setidaknya ini makanan yang tepat di cuaca dingin begini,” ujarnya seraya menyuapi perlahan-lahan ke dalam mulut.

Rara mendesah lega. Tidak sia-sia dia membuat berantakan dapur pemilik rumah untuk lokasi syuting. Setidaknya Aldebaran bisa menerima dan tidak berkomentar buruk itu sudah cukup.

“Mau ke mana?”

Rara yang hendak beranjak membalikkan badan.

“Aku mau bersihkan dapur di belakang. Sudah seperti kapal pecah. Tidak enak sama pemilik rumah.”

“Duduk diam di sini! Aku tidak suka makan sendirian.”

Rara kembali duduk. Tidak baik membiarkan Aldebaran terus berbicara ketika sedang makan.

Rara mengusap layar ponselnya. Sejak tadi Ivan tidak mengabarinya. Bahkan Ivan tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Rara menggulirkan jemari pada media sosialnya. Tidak ada pesan yang masuk. Rara kembali bergeser ke aplikasi berwarna hijau dan melihat aktivitas penggunaan terakhir, dilihat satu jam lalu.

Apa Ivan lupa kalau hari ini ulang tahunku?! batin Rara sedikit sedih.

Rara mengetik sebuah pesan menanyakan keberadaan Ivan. Dia kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

Aldebaran sudah selesai makan. Dia mengeluarkan sebatang rokok.

“Pak! Apa aku boleh izin pulang lebih awal? Tadi kata Pak Al setelah selesai syuting.”

Aldebaran tidak menanggapi, dia melirik ke layar ponselnya. Ada panggilan masuk dari sebuah nomor yang dia tahu betul siapa itu.

Tidak terjawab, lalu disusul notifikasi chat masuk.

Aldebaran hanya membaca sekilas dan bangkit dari duduknya. Rokok yang tadi sudah dibakar, dibuang begitu saja.

“Tidak setelah kau melakukan pekerjaanmu berikutnya. Cari saja Firman,  kau akan tahu nanti!"

Aldebaran meninggalkan tempat dan berlalu.

Rara menghela napas, Aldebaran tidak mengizinkannya. Padahal hari ini dia ingin cepat pulang. Rara harus segera menemui Firman dan segera menyelesaikan pekerjaan itu.

“Jihan!” panggil Firman dari arah samping.

“Kebetulan, aku mau menanyakan soal—“

“Ini!” sela Firman lebih dulu.

Alis Rara berkerut samar. Dia mengambil gulungan kertas.

Matanya membulat, melihat daftar belanja yang begitu banyak. Firman memberikan kartu kredit pada Rara.

“Pin nya tertulis di bawah.”

Rara mendadak lemas. Dia harus belanja sebanyak ini sendirian? Untuk apa semua bahan masakan ini diperlukan? Bukankah Aldebaran tidak membutuhkannya?

Rara menarik napas panjang. “Hari yang menyedihkan!”

***

Rara memilih berjalan kaki, kebetulan arah yang dia tuju tidak begitu jauh dengan lokasi syuting. Hujan juga sudah reda. Rara bersenandung sambil melihat kendaraan berlalu-lalang. Entah mengapa Rara begitu bersemangat, mungkin karena hari ini tepat dia berusia sembilan belas tahun.

Saat Rara hendak masuk ke sebuah toserba. Seorang wanita tua memanggilnya. Rara menoleh, melihat wanita tua itu tersenyum sambil melambaikan tangannya agar Rara mendekat.

“Hai, Nak. Tolong beli kue nenek. Sejak pagi belum ada yang laku terjual,” kata wanita itu dengan suara serak.

“Berapa harga kue itu, Nek?” Rara melihat beberapa bentuk kue yang unik.

“Tiga kue sepuluh ribu, Nak!”

Rara terdiam. Dia memeriksa saku celananya dan mengeluarkan selembar uang pecahan sepuluh ribu. Itu ongkos untuk dia pulang. Rara memilih membeli saja kue itu, soal pulang nanti, dia bisa menumpang ke mobil Firman yang kebetulan satu jalur dengannya.

“Aku beli yang ini saja, Nek!” Rara menunjuk salah satu kue di hadapan wanita tua itu.

Kue berbentuk spiral berpola dengan warna yang kontras mencuri perhatian Rara karena bentuk kue itu unik dan sangat menggiurkan. Wanita tua itu mengambil dan memberikan pada Rara.

“Ini uangnya, Nek.”

Wanita tua itu menolak. “Tidak usah, uangnya kau simpan saja. Kebetulan kue yang satu ini gratis untukmu.”

Rara merasa senang. Dia segera mengambil kue itu dan hendak memakannya. Namun, pergerakan tangan Rara dicegah wanita tua itu.

“Sebelum kau memakannya, apa ada dua hal yang sedang kaupikirkan, Nak?”

Rara menurunkan tangannya. Dia berpikir sejenak. Rautnya kembali berubah saat wajah tegas Aldebaran terlintas di kepalanya, dia merasa kesal karena Aldebaran memerintahkan untuk berbelanja banyak saat dia ingin cepat pulang.

Rara melihat wanita tua itu, dia teringat Nirmala, Rara ingin sekali punya uang yang banyak dan bisa menyembuhkan Nirmala.

Rara kembali mengulas senyum. “Ada, Nek. Apa aku boleh memakannya?”

“Tentu saja. Silakan kau cicipi.”

Rara memasukkan ke dalam mulutnya. Kue itu benar-benar lezat. Seakan itu kue paling terlezat yang pernah Rara makan.

“Aku harus pergi, Nek. Lagi buru-buru.”

“Kau anak yang baik, semua yang kauharapkan akan terwujud. Mulai hari ini semuanya akan berubah. Hati-hati, ya, Nak.”

Rara sempat bingung. Otaknya belum mencerna dengan baik maksud perkataan wanita tua itu.

“Iya, Nek. Terima kasih untuk kuenya.” Rara melambaikan tangan dan melangkah pergi.

Setelah berbelanja beberapa bahan bumbu masakan yang ada di toserba. Rara kembali mencari sisa bahan masakan lainnya. Dia menapak santai sambil memegang kantung belanjaan dan memeriksa daftar bahan yang masih harus dibeli.

Senyum Rara terus mengembang saat melihat pelangi yang tampak samar di ujung cakrawala. Dia terus memandangi sampai hampir tersandung lubang kecil. Rara berdecak, merutuki tingkahnya sendiri. Mendadak, tubuh Rara membeku saat netra nya mengunci pada sosok yang berada di ujung jalan sana. Rara berlari mencapai sosok itu dengan perasaan bercampur aduk. Rara menarik lengan Ivan dengan kasar.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Rara berusaha menahan diri. Dia melihat ke arah Aurel yang tampak terkejut.

“Kau!” tunjuk Aurel pada Rara.

Rara tidak memedulikan ucapan Aurel.

“Siapa dia?” tanya Rara lagi.

Wajah Ivan seputih tembok. Dia terlihat salah tingkah dan berusaha untuk tidak terlihat kaku.

“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!” elak Ivan. Dia menatap Rara dengan angkuh.

Rara tersentak. Seakan belati menghujam raganya, perkataan Ivan benar-benar menusuk bagian hati paling dalam.

“Apa kau bilang? Kau tanya siapa aku?” Rara kembali menoleh ke arah Aurel dengan kemarahan. “Menjijikan!"

“Tutup mulutmu! Kau yang menjijikan! Aku calon istrinya! Apa ada masalah denganmu?” Aurel menatap sinis. Dia mengeratkan rangkulan tangannya di lengan Ivan.

Bulir kristal memenuhi kedua iris hazel milik Rara. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ivan berselingkuh dengan wanita yang mengejar-ngejar Aldebaran.

“Kenapa diam, Van? Kau berselingkuh dengan wanita seperti dia?” Emosi Rara tak terbendung, bulir bening lolos begitu saja.

“Diam kau! Aku tidak berselingkuh. Dia calon istriku! Siapa kau berani sekali berkata seperti itu? Aku bahkan tidak mengenalmu. Minggir sana! Kau sudah menghalangi jalan kami!” sentak Ivan menyambar bahu Rara dan melenggang acuh bersama Aurel.

Aurel menoleh dengan menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Dia merasa puas bisa membalas Rara dengan cara tak terduga.

Tangan Rara mengepal kuat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Sekujur tubuhnya memanas melihat tawa Ivan bersama Aurel seakan mereka mencela dirinya.

Rara tidak terima, orang yang dia harapkan sudah sangat menyakiti hatinya. Harapan yang dia bangun untuk menjalani kehidupan bersama Ivan pupus sudah. Janji Ivan palsu, selama ini dia telah berbohong.

Rara mengusap bekas air mata dengan punggung tangan. Rara berlari untuk menyeberang jalan. Dia tidak menyadari lampu pejalan kaki telah berganti. Tanpa bisa menghindar, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Pijakan Rara mati rasa, melihat wajah dari pengemudi mobil itu. Rara terdiam di tempat, tubuhnya terhempas hingga kantung belanjaan yang dia pegang, terpental tak jauh dari posisinya. 

Pandangan Rara perlahan samar. Rara tidak bisa lagi merasakan sakit di tubuhnya.

“Aku ingin hidup, tolong selamatkan aku, Pak Al.”

Mata Rara terpejam. Kecelakaan yang menimpanya menyisakan kemacetan panjang. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status