Share

Amarah Abian

Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi.

"Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.

Emily menggeleng pelan. 

"Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar.

"Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."

Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia tak lagi mendesak Emily untuk menjelaskan keputusannya kembali kemari. Mungkin Inung benar. Wajah Emily memang terlihat masih pucat. Dan dia terlihat seperti orang bingung. Mungkin sebaiknya berikan lagi dia sedikit waktu untuk bisa merasa tenang dan bisa memberikan penjelasan.

Sementara itu di kepala Emily bayang-bayang Tomy terus berputar tak mau pergi. Oh, betapa sakitnya mengingat wajah itu. Tapi anehnya, Emily malah terus menajamkan ingatannya pada laki-laki itu. Dalam hatinya terus bergema tanya, mengapa...?

Mengapa, Tomy? Mengapa harus Sandra?

Mengapa,  Kak Sandra? Mengapa harus Tomy?

Kalian membunuhku tanpa aku pernah berjumpa dengan kematian. Dan itu lebih menyiksa dari dijemput oleh kematian itu sendiri.

Kini dapatkah Abian dan yang lainnya mengerti kenapa aku harus kembali kemari?

"Tenangkan dirimu, Emily. Saya bisa mengerti rasa sakitmu itu," kata Inung berusaha menenangkan Emily yang terus menangis.

"Saya nggak sanggup untuk pulang, Mbak Inung," ucap Emily lirih.

Inung mengusap pundak Emily pelan, seolah ingin memberikan Emily kekuatan. Sebagai sesama perempuan, mungkin hatinya lebih bisa tersentuh dan ikut merasakan sakit yang Emily rasakan saat ini. Meski hatinya pun merasa bingung dengan kedatangan kembali Emily, tapi Inung tak menyalahkan. Tak mengambil sikap yang membuat Emily semakin merasa disudutkan oleh kenyataan.

Seseorang yang terluka hatinya seringkali membuat keputusan yang salah. Termasuk keputusan yang diambil oleh gadis ini, pikir Inung. Tapi selama keputusannya itu bukan sesuatu yang fatal dan bisa membahayakan jiwanya, mungkin sebaiknya biarkan saja. Karena jika hatinya sudah tenang kembali, mungkin dia bisa memperbaiki keputusannya itu. Ketimbang memaksa dan menyudutkannya hingga dia semakin kalut dan mengambil keputusan yang semakin salah nanti.

"Tadi saya melihat mobil Tomy yang melintas di jalan. Dan saya benar-benar sakit melihatnya. Hanya melihat mobilnya saja hati saya perih, Mbak Inung. Saya nggak sanggup untuk pulang...." Emily melanjutkan ceritanya di sela-sela tangisnya.

Inung pun menatap dengan iba. Tapi dia tak bisa mengucapkan kata-kata penghibur untuk gadis yang sedang terluka itu. Inung bingung harus berkata apa. Masih adakah kata-kata yang bisa menghiburnya?

"Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Inung setelah beberapa saat terdiam. 

Emily menggeleng pelan. "Saya nggak mau pulang," lirihnya.

"Jadi kamu mau kemana?" Inung kembali bertanya.

Lagi-lagi Emily menggeleng pelan. 

"Dari kemarin pun dia nggak punya tujuan, Nung," sambar Abian cepat.

Inung mendesah pelan. Dia bingung. Tak mungkin bersikap acuh dan menyuruh Emily untuk pergi. Tapi tak mungkin juga untuk kembali menampung gadis itu di rumah Abian seperti semalam. Abian bujang, dan Emily seorang gadis. Tidakkah kehadiran Emily di rumah Abian nanti bisa menimbulkan fitnah dan protes para tetangga?

"Kamu nggak bisa pergi kalau kamu nggak punya tujuan, Emily. Kamu tahu itu, kan?" kata Inung dengan nada yang lembut.

"Saya mau ke rumah Mas Abi," sahut Emily hingga Abian tersentak kaget.

"Ke rumah saya?" tanya Abian cepat. "Ya ampun, Emily..., kamu tahu kalau kamu nggak mungkin bisa tinggal di rumah saya!" 

Tangis Emily kembali pecah. Wajahnya terlihat bingung dan putus asa. "Kalau begitu saya akan pergi ke tempat lain aja," ucapnya sedih.

"Kemana?" Kembali Abian cepat bertanya.

"Nggak tahu," geleng Emily.

Abian pun menepuk keningnya. Dia merasa bingung, kasihan juga kesal.

"Kamu tahu? Kamu kembali menempatkan saya di posisi yang sulit, Emily!" Abian seperti mengomel pada Emily.

"Saya?" tanya Emily sedikit bodoh.

"Ya, kamu! Sebagai manusia saya punya perasaan. Saya nggak tega melepas kamu ke jalan, menggelandang tanpa tujuan. Apa lagi saya tahu kalau kamu nggak akan mungkin bisa bertahan hidup di jalanan. Tapi di sisi lainnya saya nggak bisa menolong kamu dan memberikan kamu tumpangan. Kita nggak bisa tinggal serumah, Emily. Karena saya bujang dan kamu gadis. Kamu mau kita nanti digerebek warga?"

"Tapi saya nggak akan pulang." Emily berkeras pada keputusannya untuk tidak pulang.

"Jadi kamu akan menggelandang?"

Emily pun menutup wajahnya dengan telapak tangan. Pikirannya kalut. Dia merasa otaknya buntu.

"Mungkin lebih baik saya mati saja," rintihnya kalut, seakan dia lupa kalau dia takut pada kematian.

"Bicara apa kamu?!" bentak Abian galak.

Emily tersentak kaget. Dia belum pernah dibentak sekeras itu sebelumnya. Tidak oleh ayahnya, Tomy atau siapa pun juga. Abian adalah orang pertama yang bicara dengan nada sekeras itu padanya. Dan hati Emily serasa menciut.

"Mas Abi nggak ngerasain apa yang saya rasa," sahut Emily pelan di sela tangisnya.

Abian pun menatap gadis yang sedang menangis itu dengan sorot mata yang tajam. Dia benar-benar kesal mendengar ucapan Emily barusan. Kata-kata yang bodoh! Bahkan sangat bodoh!

"Kamu pikir urusan cintamu ini bisa menjadi alasan yang kuat untuk mati? Dasar gadis bodoh!" bentak Abian lagi. Wajahnya benar-benar terlihat marah.

"Bi!" Inung berusaha meminta Abian untuk tenang. Tapi Abian merasa kalau dia belum cukup melepaskan kekesalannya itu. Otak gadis ini harus diluruskan, pikir Abian geram. Menginginkan kematian hanya karena urusan cinta? Hah! Benar-benar tidak menghargai hidup!

Abian pun terus menatap Emily dengan tajam. Sementara yang ditatap menundukan wajahnya yang bersimbah air mata. Dia tak sanggup beradu pandang dengan laki-laki yang sedang menatapnya dengan amarah itu. Mata Abian tampak berkilat. Wajah tampannya terlihat galak.

"Dengar, Emily! Hidup memang tak selamanya indah. Saya mengerti kalau hati kamu sedang terluka sekarang. Tapi coba kamu lihat diri kamu. Kamu masih muda, kamu cantik dan saya yakin kalau kamu seorang gadis yang berpendidikan. Itu berarti masih banyak yang bisa kamu lakukan selain menangisi cinta. Apa lagi sampai ingin mati segala!" Amarah Abian berlanjut.

"Tapi Mas Abi nggak tahu gimana sakitnya dikhianati oleh orang-orang yang Mas Abi sayangi." Emily masih berusaha membela diri.

"Begitukah? Jadi menurutmu menginginkan kematian karena patah hati itu pantas? Apa kamu merasa hidupmu ini nggak lagi berharga karena kamu telah kehilangan cinta? Apa nggak ada lagi yang bisa kamu lakukan untuk hidupmu sekarang?" tanya Abian bertubi-tubi.

Emily pun semakin menunduk menyembunyikan wajahnya dalam-dalam. Dia merasa tersudut.

"Pergi dari rumah tanpa tujuan yang jelas aja itu udah sebuah tindakan yang bodoh. Apa lagi pakai menginginkan kematian segala. Sungguh sia-sia orangtuamu membesarkanmu selama ini!"

Begitu tajam kata-kata Abian masuk ke hati Emily hingga gadis itu pun terdiam. Kata-kata laki-laki itu memang benar, hati Emily mengakui. Tapi sungguh terasa tajam menusuk hatiku. Mungkin dia menganggapku bodoh. Mungkin dia tidak pernah merasakan sakit yang seperti ini. Atau mungkin hatinya begitu kuat, tak seperti hatiku yang cengeng ini?

"Jangan bicara seperti itu, Mas Abi," pinta Emily lirih.

"Kenapa memangnya?" tanya Abian dengan suara yang dingin.

Emily pun mengangkat wajahnya. memberanikan dirinya untuk menatap Abian.

"Saya tahu saya telah melakukan kebodohan. Tapi saya benar-benar nggak sanggup untuk pulang. Saya butuh waktu untuk menguatkan hati saya bertemu lagi dengan mereka," ucap Emily masih dengan suara yang lirih.

"Maksudmu?" tanya Abian dengan pandangan mata tak berkedip.

Emily kembali menunduk, menghindari tatapan mata Abian yang terasa menusuk.

"Izinkan saya untuk menginap di rumah Mas Abi." Emily menyahut pelan.

"Apa?" Kening Abian berkerut.

Emily mengangkat wajahnya lagi. Dia kembali menatap Abian dengan mata yang memohon.

"Hanya sementara, Mas Abi," pinta Emily.

"Sementara? Sampai kapan itu?"

"Sampai saya kuat untuk kembali pulang."

"Butuh waktu berapa lama sampai kamu merasa kuat untuk pulang?"

Emily terdiam. Dia bingung untuk menjawabnya. Sampai berapa lamakah?

Inung yang sejak tadi memperhatikan pun mendesah pelan. Dia tahu tak mungkin memaksa Emily untuk kembali pulang hari itu. Dia takut jika gadis yang sedang kalut itu berbuat nekat. Inung merasa sebaiknya memang beri waktu untuk Emily barang sebentar. Sekadar untuk menenangkan hati agar gadis itu bisa kembali berpikir dengan baik. Jadi Inung pun berusaha mengusulkan satu jalan yang menurut dia adalah yang terbaik.

"Bagaimana kalau Emily menginap beberapa hari lagi di rumah lo, Bi? Biar Emily gue temenin nanti. Dan lo tidur di rumah gue," usul Inung sambil menatap Abian.

Abian pun terdiam. Dia balas menatap Inung dengan kening yang berkerut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status