Home / Romansa / Bukan Suami Biasa / Siapakah Perempuan Itu?

Share

Siapakah Perempuan Itu?

Author: Naya Naya
last update Last Updated: 2021-03-15 21:35:34

Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.

Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur. 

Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya sendiri. Tapi di sini, aku sendiri. Tak ada yang bisa ku minta untuk melayaniku. Dan aku sungguh tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Emily pun beranjak turun dari tempat tidur dan melangkah pelan keluar kamar. Dia mencari Inung dan Abian ke setiap ruangan. Tapi tak ada yang dia temukan. Dia benar-benar sendiri di rumah itu. 

Akhirnya Emily pun duduk diam di ruang tamu. Pandangannya lepas ke jendela yang terbuka seolah mencari Abian atau Inung di luar sana. Tapi jalanan di depan sana pun pagi ini tampak sepi. Jangankan Abian dan Inung, kumpulan ibu-ibu yang belanja sayuran seperti kemarin pun tak nampak. Mungkin tukang sayur langganan mereka itu belum datang. Karena Emily tak mendengar seruannya yang lantang memanggil para ibu itu untuk datang.

Emily pun mendesah pelan. Kesendirian ini membuatnya kembali disapa oleh kesedihan. Rasa sakit hati dan kecewa perlahan merayap memenuhi dinding hati. Oh, bagaimana luka ini bisa sembuh jika aku terus begini? Aku tak ingin sendiri. Sebab saat sendiri kenangan menyakitkan itu pasti datang. Dan aku akan kembali tenggelam dalam luka.

Emily melihat pada jam dinding. Rupanya baru pukul tujuh. Jadi tak mungkin Abian dan Inung sudah berangkat ke toko. Sepertinya mereka masih berada di rumah Inung. Ah, mungkin sebaiknya aku mandi sekarang. Agar jika mereka berangkat ke toko nanti, aku bisa ikut.

Emily pun bergegas mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi. Dia mandi dengan cepat, tak ingin membuang waktu dan tertinggal Abian dan Inung pergi ke toko. Melamun sendirian di rumah, sungguh bukan ide yang baik.

Tak berapa lama Emily keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di tubuhnya. Tak apa memakai handuk seperti ini. Toh, dia sendirian di rumah pagi ini. Tidak ada Abian. Jadi tidak perlu repot memakai pakaian di kamar mandi.

Emily segera masuk ke kamar dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Lalu dia memakai baju yang dipinjamkan Inung semalam. Kemudian dengan bergegas dia keluar kamar dan bermaksud pergi ke rumah Inung yang terletak di sebelah rumah Abian ini. Tapi di ruang tamu dia berpapasan dengan Inung yang baru saja masuk.

"Wah, sudah mandi, ya? Segar sekali kelihatannya," sapa Inung ramah.

"Ya, saya ingin ikut Mbak Inung dan Mas Abian ke toko," sahut Emily tersenyum.

"Tapi sarapan dulu, ya. Ini, Abian udah belikan sarapan untuk kamu," kata Inung sambil menunjukan bungkusan yang dia bawa.

Emily mengambil kantung plastik kecil yang Inung berikan padanya. Isinya sebungkus nasi dan beberapa gorengan.

"Itu nasi uduk," kata Inung menjelaskan.

"Nasi uduk?" Emily tampak sedikit bingung. Lalu dia mencium bungkusan nasi itu dan segera saja aroma sedap nasi uduk itu menyentuh indera penciumannya.

"Iya, beli di warung Mpok Leha. Itu yang warungnya di depan sana," kata Inung sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

"Sepertinya enak," kata Emily setelah mencium aroma sedap dari nasi uduk itu.

"Ya, nasi uduk Mpok Leha emang enak. Makanya selalu laris manis diserbu pembeli," kata Inung lagi. "Udah cepetan sana makan. Nanti saya jemput kamu kalau udah mau jalan. Sekarang saya harus pulang dulu. Di rumah masih ada kerjaan yang belum beres."

"Mas Abi udah makan, mbak?" tanya Emily sebelum Inung melangkah keluar pintu.

"Itu sekarang dia lagi makan bersama Bang Adam. Semoga kamu suka sarapan kampung seperti ini. Nasi uduk sama gorengan." Senyum Inung mengembang.

"Saya suka kok, Mbak Inung," sahut Emily ikut tersenyum. "Sampaikan terima kasih saya untuk Mas Abi, untuk sarapannya."

Inung mengangguk. "Ya, nanti saya sampaikan. Oh iya, kata Abi, kalau kamu mau minum teh manis, gula dan tehnya ada di dapur."

"Ya," sahut Emily mengangguk. 

Lalu Inung pun bergegas pergi, kembali ke rumahnya. Emily pun kembali sendiri. Dia segera ke dapur untuk mengambil piring dan sendok. Juga untuk membuat segelas teh hangat. Dan dalam sepi suasana pagi itu, Emily mulai menyantap sarapannya sendirian. 

Hm, nasi uduk dan gorengan. Ada bakwan, tahu dan tempe. Menu sarapan yang baru buat Emily. Karena di rumahnya dia tak pernah sarapan seperti ini. Tapi, Inung benar. Nasi uduk itu memang enak sekali. Emily pun lahap menyantapnya. Hm, aneh juga. Disaat sedang patah hati seperti ini, dia malah lahap menyantap makanan apa pun. Tidak seperti ketika di rumahnya dulu. Dia seringkali pilih-pilih soal makanan.

Sementara itu di luar terdengar suara tukang sayur yang kemarin, lantang berteriak memanggil ibu-ibu langganannya untuk datang berbelanja. Dia berhenti di rumah depan, sama seperti kemarin. Dan dalam waktu yang singkat, para ibu langganannya pun ramai berkumpul mengelilingi gerobak sayurnya seperti semut yang mengerubuti gula.

Emily menghabiskan sarapannya dengan cepat. Lalu dia duduk santai menikmati teh hangatnya sambil asyik memperhatikan para ibu yang sedang berbelanja di depan sana.

Di antara para ibu itu, ada satu orang perempuan muda yang menarik perhatian Emily. Bukan karena dia terlalu cantik atau karena kelewat jelek, tapi karena perempuan muda itu sejak tadi terus memperhatikan rumah Abian ini. Sesaat tampak dia asyik berbelanja dan berbaur dengan para ibu lainnya. Tapi sesaat kemudian dia seperti memperhatikan rumah Abian seolah ada yang sedang dia cari di sana.

Siapa perempuan itu? Emily jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dan tanpa dia sadari, dia pun terus memperhatikan perempuan itu dari tempatnya duduk.

Kenapa dia seperti terus memperhatikan? Siapa yang dia cari? Abian? Atau aku, yang telah dia dengar tentang kabar keberadaanku di rumah ini? Tapi hanya bapak dan Ibu RT yang mengetahui kalau aku masih tetap di sini. Sebab pagi ini aku belum menampakan wajahku di depan siapa pun. Apa dia melihatku kembali ke rumah ini semalam? Apa dia mencari bahan gosip? Atau dia ada maksud yang lain?

Perempuan itu tidak cantik, juga tidak jelek. Wajahnya standar, Emily menilai. Dia bertubuh kurus, berambut lurus dan sedikit tipis yang dibiarkannya tergerai. Kulitnya putih pucat dan dia seperti memamerkan kulit putih pucatnya itu dengan memakai baju yang sedikit terbuka. Hm, tidak seksi, Emily kembali menilai. Mungkin itu karena badan kurusnya tidak memiliki pantat besar dan juga dada yang besar. Bahkan Emily melihat dada perempuan itu seperti rata.

Ups! Aku telah menilai orang secara berlebihan. Bukan hakku untuk melakukan itu. Mungkin memang sudah penyakit perempuan untuk menilai perempuan lain sebagai perbandingan. Lalu menaruh rasa iri saat merasa kalah dan merasa bangga saat merasa lebih cantik.

Hei, perempuan itu tampak tersenyum senang kini. Dia melihat ke arah rumah Inung. Emily pun bergegas mendekati jendela dan berusaha mengintip. Oh, ada Abian yang sedang berjalan menuju pulang. Seperti biasanya wajah laki-laki tampan itu terlihat dingin. Bahkan ketika perempuan itu menyapanya pun dia tampak acuh. Hanya menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan langkahnya pulang.

Siapakah perempuan itu? Apakah mantan kekasihnya? Emily pun jadi merasa penasaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Suami Biasa   Berakhir Dengan Indah

    <span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>

  • Bukan Suami Biasa   Akhir Sebuah Masalah

    <span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma

  • Bukan Suami Biasa   Jebakan Tomy

    <span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;

  • Bukan Suami Biasa   Rencana Tomy

    <span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa

  • Bukan Suami Biasa   Pertemuan Tiga Lelaki

    <span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per

  • Bukan Suami Biasa   Jalan Buntu

    <span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status