Share

Ancaman Sinta

Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli.

"Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."

Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."

Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."

Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi.

"Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu.

"Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat pada perempuan bernama Sinta itu.

"Perempuan siapa?" tanya Inung segera.

"Itu, yang tadi pagi datang membawakan sarapan untuk Mas Abi."

"Sinta?"

"Iya, namanya Sinta. Dia janji mau antar makan siang buat Mas Abi. Mas Abi udah menolak tapi dia terus memaksa."

Inung pun tertawa pelan. "Pantas aja dia kabur," ucapnya seperti merasa lucu.

"Memangnya kenapa, Mbak Inung? Kenapa Mas Abi harus kabur seperti itu?" Emily bertanya tak mengerti.

"Sinta itu naksir sama Abian. Cinta mati sejak dia masih remaja dulu. Tapi Abian selalu menolaknya. Abian nggak suka sama perempuan yang genit dan agresif seperti dia." Inung menyahuti sambil tersenyum.

Emily pun mengangguk, mengerti dengan sikap dingin Abian tadi pagi.

"Pantas saja Mas Abi bersikap cuek sama dia. Tapi dia seperti nggak peduli. Dia terus memaksa untuk membawakan makan siang untuk Mas Abi," kata Emily kemudian.

"Memang begitulah Sinta. Sudah bertahun-tahun dia mengejar Abi. Nggak bosan, nggak malu, padahal semua orang sampai tahu kalau dia tergila-gila sama Abi seperti itu."

"Mungkin cintanya sungguh-sungguh, Mbak Inung. Buktinya tadi pagi dia tetap tersenyum meski pun Mas Abi sudah bersikap dingin dan terus menolak pemberiannya. Saya sampai heran kenapa dia nggak tersinggung dengan penolakan Mas Abi itu."

Tawa Inung pun berderai. "Itulah yang membuat Abian stres menghadapi perempuan yang satu itu. Penolakan seperti apa pun, seperti nggak mempan sama dia. Dia pasti akan datang dan datang lagi. Nggak peduli Abian udah cemberut sebal sama dia."

"Wah, berarti siang ini saya bakalan makan enak lagi, nih," celetuk Dion yang rupanya ikut mendengarkan obrolan Inung dan Emily.

"Huh?" Emily menatap Dion tak mengerti.

"Biasanya, kalau Sinta mengantarkan makan siang untuk Abian, Abian nggak pernah mau memakannya. Nah, dari pada mubazir nggak ada yang makan, maka Dion-lah yang menampung makanan itu dalam perutnya," kata Inung menjelaskan yang segera disusul oleh derai tawa Dion dari dalam.

Emily ikut tertawa. "Pantas aja Dion senang. Dia bakalan dapat rezeki nomplok siang ini."

"Apa lagi masakan Mbak Sinta itu enak. Saya bisa makan banyak siang ini," kata Dion menyahuti.

"Gratis lagi," timpal Inung hingga mereka tertawa bersama.

Ternyata benar, beberapa menit kemudian Sinta datang dengan membawa rantang makanan untuk Abian. Perempuan genit itu berdandan rapi dengan riasan make up yang cukup tebal. T-shirt yang dipakainya sedikit ketat membungkus tubuhnya yang kurus. Tapi nampaknya dia sangat percaya diri dengan penampilannya itu. Dia tersenyum lebar pada Inung yang menyambut kedatangannya.

"Mas Abi mana, Mbak Inung? Saya bawakan makan siang khusus untuk dia," kata Sinta sambil mengedarkan pandangannya mencari Abian.

"Abian nggak ada. Dia lagi ke bengkel sebentar," sahut Inung segera.

Wajah Sinta tampak kecewa. Dia melangkah masuk ke dalam toko dan meletakkan rantang yang dibawanya di atas meja.

"Kok, Mas Abi nggak nungguin saya datang dulu?" ucapnya dengan nada kecewa.

"Nggak usah kecewa begitu. Taruh aja makanannya di situ. Nanti juga Abian kembali kemari, kok. Biar nanti saya sampaikan pada Abian pemberian kamu itu," kata Inung menyahuti.

Sinta berdecak pelan. Lalu dia duduk dengan wajah yang cemberut.

"Saya mau tunggu Mas Abi aja. Saya mau lihat Mas Abi makan masakan saya," kata Sinta kemudian.

"Untuk apa nunggu Abi? Kalau dia lama, gimana? Mending kamu pulang aja. Yang penting makan siangnya sampai ke tangan Abi, kan?" kata Inung berusaha mengusir Sinta secara halus.

Sinta diam tak menyahut. Dia tetap duduk di kursinya seperti enggan untuk pulang. Lalu seperti baru menyadari kehadiran Emily di situ, Sinta pun memusatkan pandangannya pada gadis asing yang tadi pagi ditemuinya di rumah Abian.

"Kamu sebenarnya siapanya Mas Abi, sih? Dari tadi pagi pertanyaan saya belum kamu jawab." Sinta melanjutkan pertanyaan yang tadi pagi dilontarkannya pada Emily.

"Saya Emily." Kembali Emily menjawab dengan jawaban yang sama.

"Ya, saya tahu kamu Emily. Kan, tadi pagi kamu udah bilang kalau nama kamu itu Emily. Tapi yang saya tanya, kamu itu siapanya Mas Abi?"

"Calon istrinya Mas Abi, Mbak Sinta," celetuk Dion hingga membuat Sinta dan Emily tersentak kaget.

Sinta pun menatap Emily tajam. Ada rasa tidak percaya, juga cemburu di dalam hatinya. Dia lekat menatap Emily yang berdiri tak jauh darinya dengan sikap canggung. Sementara Dion yang melihat tatapan cemburu Sinta itu cuma tersenyum tanpa meralat ucapannya tadi. Dibiarkannya Sinta terbakar cemburu. Perempuan yang sudah lama tergila-gila pada Abian itu memang selalu cemburu jika ada perempuan lain yang mendekati Abian.

"Apa benar kamu calon istri Mas Abi?" tanya Sinta dengan sorot mata yang tajam.

Emily diam tak menjawab pertanyaan itu. Dia sedikit kesal mendapat tatapan tajam dari Sinta.

"Itu nggak benar, kan? Mas Abi nggak bilang apa-apa tadi pagi." Sinta berusaha untuk tidak mempercayai kata-kata Dion itu.

"Kamu tanya aja langsung sama Mas Abi," sahut Emily sebal.

Sinta cepat menoleh pada Inung. "Semua itu nggak benar kan, Mbak Inung?" tanyanya.

Inung menghela napas panjang. "Saya nggak tahu harus jawab apa," sahutnya pelan.

"Jawab yang sebenarnya, Mbak Inung," desak Sinta.

"Bukan. Emily hanya teman." Akhirnya Inung menjawab jujur.

"Tapi kenapa tadi Dion bilang calon istri?"

"Dion yang bicara. Tanyakan aja sama dia," sahut Inung lagi.

Sinta pun menoleh pada Dion yang sedang mengeluarkan roti dari panggangan. Tapi dia tak melontarkan pertanyaan apa-apa pada pemuda itu. Dia tampak gusar. Meski tak percaya kalau Emily adalah calon istri Abian, tapi rasa cemburu sudah menguasai hati perempuan muda itu. 

Kemudian pandangan Sinta pun kembali tertuju pada Emily. "Saya nggak tahu kamu itu sebenarnya siapa. Tapi saya rasa nggak sepantasnya kamu tinggal di rumah Mas Abi, kecuali kalau kamu udah resmi jadi istrinya," kata Sinta pada Emily.

"Itu urusan Mas Abi, bukan urusan kamu!" Emily cepat menyahuti.

"Saya rasa sudah menjadi urusan saya juga sekarang! Karena di kampung ini, nggak boleh ada perempuan yang menginap di rumah laki-laki seperti itu. Apa lagi laki-lakinya hidup sendirian seperti Mas Abi," kata Sinta lagi, didorong oleh rasa cemburu.

"Tapi saya udah izin Pak RT untuk menginap sementara di rumah Mas Abi," sahut Emily lagi.

"Oh ya? Kita lihat aja nanti!" kata Sinta sambil bergegas berdiri dan melangkah pergi.

"Tunggu dulu, Sinta! Apa maksud kamu bicara begitu?" Inung berusaha menahan Sinta. Tapi Sinta terus berjalan cepat tak menghiraukan panggilan Inung itu.

Inung dan Emily pun hanya bisa mengikuti kepergian Sinta itu dengan pandangan mata mereka. Mereka tahu, Sinta akan membuat masalah.

"Keisenganmu berbuntut panjang, Dion. Sinta pasti akan membuat masalah. Jika Sinta bisa menggerakkan orang satu kampung, Pak RT pun nggak bisa berbuat apa-apa," kata Inung pada Dion yang cuma bisa berdiri bengong.

"Apa Sinta akan menggerakkan orang kampung untuk mengusir saya?" tanya Emily cemas.

"Berdoa aja semoga dia nggak melakukan itu, Emily," sahut Inung berharap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Pudjiwanti
terima kasih...di lanjut ya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status