Share

Bab 2

Sudah dua bulan berlalu sejak ia menginjakkan kakinya di kota Cirillo dan tinggal seatap dengan wanita bernama Hazel Skylar. Itu pun setelah melalui seleksi penyaringan yang ketat dari agen properti sialan itu yang terus mencegah wanita itu tinggal bersamanya. Ia tidak mengerti kenapa agen properti itu mati-matian menghalangi wanita itu untuk tinggal bersamanya, seolah pria itu adalah ayah dari wanita itu. Keputusan itu harusnya ada di tangan wanita itu, walaupun ia berharap banyak wanita itu mau menerima tawarannya, karena akan menghemat biaya sewa apartemennya. Pria itu terus-menerus memberikan citra jelek padanya—ditambah bumbu yang dibuat pria itu sendiri—menggambarkannya sebagai hewan liar buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang wanita itu kapan saja. Memang, ia tertarik pada wanita itu sejak pertemuan pertama mereka, tapi bukan berarti ia akan bergerak menyerang wanita itu seperti deskripsi agen sialan itu. Ia masih punya harga diri. Dalam hati ia terus merutuki sikap kurang ajar pria itu. 

“Saya rasa tidak baik Anda mendeskripsikan seseorang yang baru Anda kenal seperti perkataan Anda barusan. Saya rasa dia orang baik. Lagipula, saya bisa menjaga diri saya sendiri, jadi terima kasih karena sudah mencemaskan saya.”

Wanita itu mengatakan dengan menggunakan nada setegas mungkin saat pria itu mencoba untuk meracuni pikiran wanita itu sekali lagi, membuat pria berkepala telur itu akhirnya menyerah. Sikap Hazel sangat membuatnya tersentuh, karena selama pria itu terus mengatakan hal buruk tentangnya dan ia mati-matian menahan diri agar tidak terpancing oleh emosinya, wanita itu membelanya. Ini salah satu hal yang membuatnya keheranan. Apakah semua penduduk kota Cirillo bersikap seperti agen properti itu, suka mengurusi urusan orang lain? Di kota lamanya, ia tidak pernah menemukan hal semacam itu. Penduduk di kota lamanya itu memegang prinsip untuk tidak mencampuri urusan orang lain kecuali jika itu benar-benar diperlukan.

Entahlah. Ia tidak tahu. Lagipula, mendekati Hazel Skylar bukan bagian dari prioritasnya mendatangi kota ini. Ia tidak punya waktu banyak untuk mengurus hal remeh semacam itu. Apa pun itu, ia tidak boleh mendahulukan urusan dan perasaan pribadinya. Ia harus tetap mengingatkan dirinya akan alasannya berada di tempat ini sekarang.

Ia merenggangkan otot tubuhnya yang kaku seraya melepaskan kacamata anti radiasi yang ia gunakan agar ia merasa nyaman menatap layar komputer di kamar selama hampir seharian, berjalan menuju tempat tidurnya. Mengempaskan tubuhnya diiringi suara helaan nalas panjang. Rasa letih menyelimuti tubuhnya yang kelelahan. Ia berbalik, memandang langit-langit kamarnya seraya meletakkan tangannya di dahinya.

Semua yang ia butuhkan sudah lengkap. Penyelidikannya akan pemilik nama Amanda Chloe itu membuahkan hasil—sebanyak yang ia bisa. Seorang anak perempuan berpembawaan anggun dan lembut berusia enam belas tahun. Bersekolah di SMA Saint Ignatius menggunakan jalur beasiswa musik. Keahlian, bermain piano. Lima tahun lalu kehilangan kedua orang tuanya, sehingga kini tinggal sendiri. 

Sama sekali tidak ada yang istimewa dari anak perempuan itu. 

Lalu kenapa mendiang sahabatnya itu mati-matian ingin menjaga identitas anak itu seolah keberadaan anak itu penting untuknya? Ia tidak paham. Perasaan ragu mulai menghinggapinya. Apa semua yang ia lakukan ini sepadan dengan kematian sahabatnya itu? Bagaimana, bagaimana jika seandainya Arnold tidak menginginkan semua yang ia lakukan ini? Bagaimana jika Arnold ingin tetap menyembunyikan identitas anak perempuan itu selamanya? Banyak hal yang tidak ia mengerti dari kasus kematian Arnold. Ia tahu persis seperti apa Arnold. Dengan kemampuan fisik di atas rata-rata, harusnya sahabatnya itu bisa dengan mudah mengalahkan orang-orang yang menyerangnya. Mustahil akan mati tanpa perlawanan. Apalagi, sahabatnya itu hanya pegawai biasa yang baru naik pangkat menjadi manajer di bank nasional Morozov di hari kematiannya itu. 

Arnold tidak pantas mendapatkannya. Hanya itu yang ia tahu.

Pikirannya tiba-tiba membawanya kembali pada ingatannya akan kematian Arnold, membuatnya memejamkan mata seraya menggigit bibir bawahnya. Sayangnya, pikirannya sama sekali tidak mau mendengarkan permintaannya itu, terus memutar kenangan itu sampai membuatnya gila. Napasnya tercekat, bersamaan dengan semua yang ia ingat tentang hari itu. Aroma bubuk mesiu bercampur darah Arnold yang menggenang. Isi apartemen Arnold yang berantakan. Tidak ada bau apa pun dari pembunuhnya, membuatnya kebingungan. Semua pembunuh yang ia tahu pasti meninggalkan jejak, membuatnya mulai memikirkan gagasan akan adanya pembunuh bayaran profesional. 

Ponselnya yang ia letakkan di dekat komputernya berdering, berhasil membawanya keluar dari ingatan buruk itu. Ia meremas spreinya, sebelum beranjak dari tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya.

Satu pesan masuk. Dari Hazel.

Hari ini aku pulang telat.

Membaca pesan dari wanita itu membuatnya tertawa pelan. Wanita yang aneh. Sejak mereka resmi menjadi teman sekamar dan bertukar kontak, wanita itu selalu berusaha mengabarinya apa pun yang dilakukannya. Seperti pesan ini. Jujur, ia mendapati sisi Hazel yang ini sangat manis. Rasanya seperti memiliki pacar, walaupun mereka berdua belum menginjak sampai ke tahap itu. Menjadi teman sekamar itu rasanya sudah lebih dari cukup untuknya, untuk sekarang.

Tidak masalah. Mau makan malam apa? Kubuatkan.

Kalau tidak salah, beberapa hari ini Hazel sempat menyinggung keinginannya untuk mencicipi masakan Italia setelah menonton liputan vlogger favorit wanita itu saat mengunjungi kota Sicilly. Apa sebaiknya ia memasak masakan Italia untuk makan malam mereka? Kelihatannya itu gagasan yang bagus. Lagipula, ia sangat membutuhkan makanan berkalori tinggi mengingat beberapa waktu belakangan ini, ia nyaris tidak sempat makan banyak. Tidak sulit baginya untuk memasak masakan Italia, mengingat ia pernah belajar langsung dari nenek pihak ibunya yang merupakan orang Italia. 

Bagaimana jika makan malamnya Fettuccini Alfredo? Tidak keberatan?

Hanya menu itu yang terlintas di pikirannya. Tunggu. Bagaimana jika wanita itu memikirkan kalori sama sepertinya? Gawat. Kenapa ia tidak memikirkan opsi itu?

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menerima pesan balasan dari Hazel, disertai stiker anjing berbulu putih dengan mata berbinar. 

Bolehkah? Apa tidak merepotkanmu?

Ia mendapati dirinya kembali tertawa pelan saat membaca pesan Hazel. Sepertinya lebih baik ia menyingkirkan kecemasannya untuk sementara. 

Tidak masalah. Jadi bagaimana dengan tawaranku tadi?

Mau!

Tawanya meledak seketika begitu membaca pesan balasan dari Hazel. 

Oke. Akan kubuatkan.

Raymond mematikan layar ponselnya. Rasa letih yang ia rasakan tadi lenyap seketika. Ia bersiul pelan, berjalan keluar meninggalkan apartemennya menuju supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan.

***

Hm? Apa ini?

Ia memandang penuh keheranan pada kue tart putih dengan hiasan buah segar di atasnya yang diletakkan di atas meja oleh Hazel saat ia baru saja selesai menyajikan Fettuccini Alfredo. Matanya mengerjap, memandang bergantian kue tart itu dan menu makan malam mereka yang berkalori tinggi ini, sebelum kembali memandangi Hazel yang kini duduk berhadapan dengannya dengan kedua tangannya menopang dagu, menatapnya dengan wajah super imut.

“Ng, Hazel? Boleh aku nanya sesuatu?”

“Ya?”

Raymond menunjuk ke arah kue tart itu. “Ini apa?”

“Ya kue. Dilihat juga tahu, kan?”

“Bukan itu maksudku,” Raymond mengelus belakang lehernya, tidak tahu bagaimana cara menyampaikan keberatannya akan kue tart yang sudah pasti mengandung kalori yang sangat tinggi, mengingat banyaknya whipped cream yang digunakan di kue itu. “Tapi … yah, gimana ya? Aku yakin banget kalau hari ini bukan hari ulang tahunku.”

“Nggak perlu hari khusus untuk menikmati kue tart, bukan?” Hazel masih menatapnya, membuatnya semakin kikuk. “Memangnya kamu ulang tahun tanggal berapa?”

“5 Februari.”

“Akan kuingat,” wanita itu masih mengunci matanya ke arahnya. “Aku tanggal 8 Mei.”

Eh? Kenapa pembicaraannya mengarah ke sana? Dan tunggu, kenapa ia malah memberitahu ulang tahunnya pada wanita itu? 

“Dan aku yakin banget kalau aku sudah menyiapkan Fettuccini Alfredo untuk makan malam kita hari ini.”

“Justru karena itu aku cepat-cepat pulang setelah tahu kamu bakal masak masakan Italia,” Hazel sepertinya bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena ia bisa melihat dengan jelas ekspresi bahagia wanita itu saat memandangi menu makan malam mereka. “Kamu masih ingat aja soal kata-kataku waktu itu. Aku bahkan nggak tahu kalau kamu bisa masakan Italia.”

“Nenek dari pihak ibuku orang Italia,” ia kembali memandangi kue tart itu, lesu. “Tapi makan malam ini kan sudah berkalori tinggi, nggak bagus buat kesehatan. Kalau ditambah dengan kue ini …”

“Oh, jadi kamu tipe yang khawatir dengan kalori, nih?”

“Yah, begitulah. Karena aku gampang gemuk—” Raymond diam sesaat, menyadari ia baru saja mengatakan rahasia terbesarnya. “Ah, bukan. Maksudku—”

“Kue ini aku yang buat,” Ada perasaan bangga yang tertangkap di telinganya saat Hazel mengatakannya. Wanita itu beranjak dari kursinya sambil bersenandung, tampak senang, mengambil kue tart itu dan menyimpannya ke dalam lemari pendingin. Jujur, ia merasa ketakutan sekarang. Apa wanita itu kecewa padanya karena tidak mau memakan kue yang pasti dibuat wanita itu susah payah dengan alasan kalori? Bagaimana jika Hazel kecewa, lalu mencibirnya dalam hati karena tidak menghargai jerih payah wanita itu? Apa seharusnya ia tadi tidak mengatakan kekhawatirannya akan kalori itu pada Hazel, menawarkan diri mencicipi kue itu sambil merancang daftar latihan yang akan membantunya mengurangi semua kalori jahat itu setelah memakannya?

“Err … Hazel?”

“Hm?”

Ia menelan ludah. Lidahnya terasa kelu, tapi ia harus mengatakannya. Saat ia masih tinggal di Morozov, ia sering kali membuat teman wanitanya tersinggung atau marah karena perkataannya, sehingga ia khawatir Hazel akan merasakan hal yang sama. Berdasarkan pengalamannya selama ini, salah satu hal yang harus ia pahami adalah jangan pernah membuat seorang wanita marah kalau tidak ingin hal mengerikan terjadi. 

“Kuenya … kurasa nggak masalah kalau makan sedikit,”

Hazel yang baru saja menutup pintu lemari pendingin itu menaikkan sebelah alisnya, keheranan. Lalu tertawa seraya mengibaskan tangannya ke udara. “Itu bisa dimakan kapan saja. Aku cuma mau nunjukin sama kamu. Lagian, aku juga yang salah, nggak nanya sama kamu soal preferensimu.”

“Tapi …”

“Lain kali akan kubuat rendah kalori,” kata Hazel lagi, kini kembali duduk di  kursinya. “Harusnya kubuat pas awal-awal kita tinggal bareng, tapi aku sibuk banget, jadi baru bisa sekarang. Nggak perlu sungkan. Lagipula, kueku bisa dimakan kapan pun, tapi nggak sama Fettuccini Alfredo buatanmu ini. Jadi bisa kita makan sekarang?”

“Ya, tentu saja,” ia masih mengerjap, kebingungan. Apa ia salah membaca suasana? 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Hazel misterius nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status