Share

Bab 3

Keesokan harinya, Raymond memutuskan untuk keluar rumah, merilekskan pikirannya setelah menghabiskan hampir dua bulannya di dalam apartemennya. Semua informasi sudah lengkap, hanya perlu memikirkan cara bagaimana mendekati Amanda Chloe tanpa membuat anak itu curiga padanya. Bukan hanya itu saja alasannya keluar rumah. Ia perlu pekerjaan baru. Tidak mungkin ia bergantung pada tabungannya yang mulai menipis itu untuk bertahan hidup. 

Masalahnya, pekerjaan apa yang harus ia ambil? Ia hanya memiliki pengalaman sebagai detektif polisi selama lima tahun. Hanya itu. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan sebagai polisi juga di kota Cirillo, mengingat prosedurnya yang tidak memungkinkan karena ia bukan orang kota Cirillo. Ia tidak bisa memikirkan opsi apa pun sekarang. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan di SMA Ignatius, tempat Amanda Chloe bersekolah. Akan terlalu mencurigakan. Lagipula, ini bukan seperti cerita fiksi yang bisa dengan mudahnya menyusup ke dalam sekolah sebagai guru (ataupun murid sekolah, jika ia dianugerahi wajah baby face yang sayangnya ia tidak memilikinya).

Seorang pria mengedipkan sebelah matanya saat ia berjalan menyusuri salah satu area di kota Cirillo, membuatnya mengernyit dan berpura-pura tidak menyadari bahasa tubuh pria itu yang mencoba mendekatinya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya, menyadari bahwa ia lupa membawa sarung tangannya saat keluar rumah. Ia mempercepat langkah kakinya saat pria tadi bergerak mengikutinya.

“Permisi. Apa kamu sendirian?”

Ia tidak menggubris orang itu, terus berjalan sambil mencari tempat yang sekiranya ramai oleh orang. Sialnya, ia malah menarik perhatian beberapa wanita yang berdiri di sisi jalan setapak di area pertokoan modern pusat kota Cirillo. Percakapan mereka terhenti saat melihatnya, dan kini mereka juga mendekatinya. Pria yang tadi tampak kesal saat para wanita itu juga mencoba menarik perhatiannya, dan kini mereka semua sibuk adu mulut meributkan siapa yang berhak mendekatinya. 

Ia memutar bola matanya, mencari jalur lain yang akan membawanya menjauh dari orang-orang aneh itu. Lega menyadari orang-orang itu sudah tidak ada di dekatnya, ia bersenandung memandang ke sekelilingnya. Rasanya jalur tempatnya berada saat ini belum pernah ia lewati sejak ia tinggal di kota Cirillo. Ia terlalu sibuk menghabiskan waktunya untuk menyelidiki Amanda Chloe dan mencari jalan pintas yang bisa membawanya ke rumah Amanda Chloe jika terjadi sesuatu yang buruk, walaupun hingga hari ini belum juga ada, sehinga ia cukup terkejut mendapati ada area pertokoan yang kental nuansa Viktoria di kota yang dijuluki sebagai kota percontohan masa depan ini.

Ponselnya berdering saat ia sedang mengingat jalur ini ke dalam otaknya, membuat konsentrasinya teralih. Tangannya mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku mantelnya. Sebuah pesan masuk dari Hazel.

Maaf, tapi apa kamu sibuk sekarang?

Ia membuka pesan itu, membalasnya. 

Nggak. Ada apa?

Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendengar pesan balasan dari Hazel.

Apa kamu bisa ke tempatku sekarang? Akan kukirim alamatnya. 

Ia menepi di depan sebuah toko makanan manis yang tutup hari ini. 

Bisa. Apa terjadi sesuatu?

Ia melihat jam di layar notifikasi ponselnya. Masih pukul sebelas siang. Tidak biasanya Hazel mengirim pesan di jam seperti ini. 

Aku butuh bantuanmu. Apa tidak apa-apa?

Jarang-jarang Hazel mengirimkan pesan seperti ini. Mungkin sebaiknya ia melupakan niatnya untuk melamar pekerjaan. Wanita itu kelihatannya butuh bantuannya sekarang.

Tentu. Aku akan ke sana sekarang.

Selesai membaca pesan balasan Hazel dan memahami peta lokasi alamat tempat Hazel yang ternyata tidak jauh dari tempatnya berada saat ini, ia menjejalkan ponselnya ke dalam saku mantelnya, berlari menuju tempat yang dimaksud Hazel.

***

Begitu ia tiba di tempat yang ternyata adalah kafe, Hazel yang mengenakan seragam kokinya (membuat wanita itu terlihat sangat manis di matanya) sudah menunggu di belakang kafe segera menariknya masuk sebelum ia sempat menanyakan alasan wanita itu mengundangnya ke sana, membawanya menghadap seorang pria tua berseragam koki yang tampak lega melihatnya. Begitu Hazel melepaskan tangannya, wanita itu berdiri di samping pria tua itu. 

“Ini orangnya, Paman. Apa tidak masalah?”

Hm? Apa yang sedang dibicarakan wanita itu?

Pria tua itu memandangnya dari atas ke bawah, membuatnya sedikit tidak nyaman karena seperti tengah diinspeksi, lalu mengangguk puas seraya meletakkan kedua tangannya di balik punggungnya. Hazel tampak lega, menghampirinya.

“Maaf, aku tahu ini mendadak dan aku nggak mengatakannya padamu tadi, tapi apa kamu tidak keberatan bekerja sebagai pelayan di kafe tempatku bekerja? Kebetulan tempatku lagi butuh orang baru, dan kurasa kamu bisa.”

Ia mengulum bibirnya, sedikit keberatan. Memang, ia tadi sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengannya, tapi ia tidak menyangka pekerjaan itu akan datang secepat ini. Hanya saja, ia tidak yakin apakah ia harus menerimanya atau tidak. Ini terlalu mendadak. Namun melihat wajah memelas Hazel membuatnya tidak mungkin untuk menolak. 

“Tidak masalah,” ujarnya, setelah melalui perdebatan panjang dalam pikirannya. Ia memang butuh pekerjaan. Mungkin setelah ini ia harus menyesuaikan jadwalnya dengan rencananya untuk mendekati Amanda Chloe.

“Syukurlah. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu,” Hazel tersenyum lebar mendengar jawabannya, membuatnya sedikit berdebar. Kelihatannya keputusannya untuk menerima pekerjaan ini sudah tepat. “Beres. Nah, aku harus kembali ke pekerjaanku. Kamu bisa menanyakan detailnya pada pamanku. Oke? Sampai nanti.”

Tahu-tahu saja Hazel sudah menghilang dari hadapannya, meninggalkannya bersama pria tua itu. Dari belakangnya, ia bisa merasakan beberapa pasang mata menatapnya, membuatnya sedikit bergidik. Saat ia menoleh, ia mendapati para pelayan kafe—yang rata-rata adalah wanita—melambaikan tangannya ke arahnya dengan wajah merona. 

Pria tua itu menjulurkan tangannya, dan ia menjabat tangan pria itu. “Aku Rufus Clark. Kupersingkat saja. Kamu diterima di sini. Edward akan membantumu menjelaskan detail pekerjaanmu. Jangan sungkan untuk bertanya padanya, oke? Sebentar, akan kupanggil dia kemari.”

Pria bernama Rufus Clark itu berjalan pergi menuju ke sebuah ruangan yang ada di dekat pria itu. Beberapa saat kemudian, pria itu kembali bersama seorang pria muda berwajah ketus, mengenakan seragam kerja formal.

“Aku tinggal kalian berdua, ya? Masih banyak yang harus kuurus,” ujar pria itu lagi, sebelum akhirnya meninggalkannya bersama pria ketus itu. Kerumunan pelayan yang berdiri agak jauh di belakangnya tadi langsung membubarkan diri secara sukarela begitu pria ketus itu melemparkan tatapan tajam pada mereka semua. 

“Siapa namamu?” 

Nada ketus pria itu membuatnya sedikit tertekan. “Raymond. Raymond Cooper.”

“Oh,” pria itu berbalik, memberi isyarat padanya untuk mengikuti pria itu. “Aku Edward Groningen, tapi kamu bisa memanggilku Edward.”

Aura pria bernama Edward itu begitu menekan, hingga membuatnya merasa tegang, membawanya masuk ke dalam ruang kerja pria itu.

“Kafe ini selalu ramai, jadi pastikan kamu melayani setiap pelanggan dengan baik. Jangan sampai melewatkan pesanan tamu lebih dari lima menit. Itu aturan pertama,” Edward menutup pintu kantornya, berjalan dengan langkah yang menggema di ruangan itu menuju lemari. Mata pria itu memindainya, lalu menggumam pelan, mengeluarkan seragam pelayan pria dan menyerahkannya pada Raymond. “Ada dua jadwal di sini, pagi dan sore. Apa kamu sebelumnya pernah bekerja sebagai pelayan?”

“Tidak,” jawabnya jujur. Mengambil pekerjaan sebagai pelayan di kafe bukan hal yang pernah terlintas di benaknya selama ini. 

Edward terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, mengubah suasana mencekam yang sempat diciptakan pria itu tanpa sadar. Mata pria itu mengarah ke seragam kerja yang ia bawa saat ini. “Bagus. Akan lebih mudah mengarahkanmu. Coba dulu apakah ukurannya sudah cocok apa belum. Ruang gantinya ada di seberang ruangan ini.”

“Kalau begitu saya permisi.”

Begitu ia selesai mengganti pakaiannya dengan seragam kerja dan menghampiri Edward yang sudah menunggunya di depan pintu ruang kerjanya, tangannya ditarik oleh beberapa pegawai kafe yang berada di depan pintu ruang ganti pakaian, mengerubunginya sampai ia harus menahan jengkel. Seragam itu anehnya, sangat sesuai dengan ukurannya. Padahal ia yakin sekali kalau Edward tadi hanya menerka-nerka ukurannya saat melihatnya tadi. Pria itu sendiri kini melipat kedua tangannya di depan dada, bergeming di depan ruang kantornya begitu melihatnya, membiarkan semua pelayan kafe itu mengerubunginya. Apa ia terlihat aneh mengenakan seragam ini?

Seorang pelayan wanita yang dari tag namanya bernama Rachel Felicia, memeluk lengannya hingga ia bisa merasakan dada besar wanita itu menyentuh lengannya. 

“Manajer, biar kita yang jelasin semuanya. Boleh?”

Edward merengut mendengar permintaan Rachel, lalu membuang muka, tidak mengatakan apa pun.

“Kuanggap setuju,” Rachel semakin merangkul erat lengannya, membuatnya semakin gerah. Ia berusaha melepaskan diri dari Rachel, namun sayangnya wanita itu malah membawanya keluar bersama dengan para pegawai lainnya menuju bagian depan kafe yang penuh dengan pengunjung kafe. Wanita itu akhirnya melepaskan tangannya dari lengan Raymond, menunjuk ke sebuah meja yang agak jauh dari tempatnya berada, diisi oleh empat orang pelajar SMA yang tengah mengobrol. “Bisa bantuin kita nggak~?”

“Apa ada masalah?” tanyanya. Mendadak, perasaannya tidak enak saat mendengar suara Rachel yang terkesan dibuat imut.

“Aduh, kamu baik banget, deh! Siapa namamu?”

“Raymond,” ujarnya, singkat. Ia tidak berniat memberitahu pada wanita yang sangat menyebalkan ini nama panjangnya. “Jadi apa yang bisa saya bantu?”

“Kamu tahu kan, tempat kita ini lagi jam sibuk, jadi pasti ramai banget.”

“Lalu?”

“Tolong bantuin kita nanganin meja yang itu. Kita sibuk banget melayani pesanan pelanggan lain. Iya kan, teman-teman?”

Semua mengangguk. Ah, sudah ia duga. Wanita ini mencari kesempatan untuk mengerjainya. Perkataan wanita ini sama sekali kontras dengan apa yang baru saja dilakukan mereka semua saat ia baru selesai mengganti pakaiannya tadi. 

“Saya mengerti. Biar saya yang mengurusnya.”

Rachel melompat senang, membantunya untuk mengambil pesanan dari meja nomor lima—meja tempat keempat orang itu berada, lalu meninggalkannya begitu saja sambil tertawa. Sambil menahan rasa jengkel, ia membawa pesanan tersebut, menghadapi para pelanggan kafe yang mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan mereka dan memandangnya tanpa henti sampai membuatnya gerah. Bahkan ada beberapa orang yang melambaikan tangan ke arahnya, dan begitu ia membalas dengan senyum sopan, orang-orang itu tampak merona hebat. Sial. Sepertinya ia tidak bisa melepaskan diri dari orang-orang aneh di kota ini, ya? 

“Permisi. Maaf sudah membuat Anda menunggu. Ini pesanan Anda,” Raymond meletakkan pesanan itu di atas meja nomor lima. Matanya membesar begitu menyadari sosok yang sangat familiar tengah mengobrol dengan teman-temannya sebelum beralih padanya, tampak terkejut. 

Amanda Chloe. 

Kelihatannya takdir berpihak padanya. Baru saja ia memikirkan opsi untuk mencari pekerjaan di tempat yang ia kira akan sering dikunjungi anak perempuan ini dan ternyata ia tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya.

“Lama banget! Sudah setengah jam kita nungguin!” 

Seorang anak perempuan berwajah maskulin dengan rambut ekor kuda—Priska Cirillo—duduk berseberangan dengan Amanda mengeluh kesal, begitu juga dengan seorang anak berparas imut berambut pirang keriting dengan warna mata biru muda—Thyme Umberbridge—yang duduk di samping anak perempuan itu sambil terus menatap layar ponselnya. Di samping Amanda, seorang anak laki-laki berkacamata—Gerald Tan—terus menatapnya tajam. 

Ah, ini sebabnya kenapa Rachel tertawa setelah meninggalkannya tadi. Dasar wanita berengsek!

“Sudah, nggak apa-apa. Toh, pesanannya juga sudah datang,” Amanda meminta kedua temannya itu agar tetap tenang. Anak perempuan itu lalu tersipu saat melihatnya. “Te…terima kasih. Maaf sudah merepotkan Anda.”

“Tidak, kami yang seharusnya meminta maaf karena sudah telat membawakan pesanan Anda. Silakan menikmati hidangannya,” Raymond memasang senyum sopan, berusaha menahan jengkel seraya meninggalkan meja itu untuk melayani tamu lain yang baru saja datang.

***

Begitu jam kerjanya telah berakhir, ia mengganti pakaiannya dan berjalan keluar dari kafe itu sambil menghela napas panjang. Sangat melelahkan. Siapa yang menyangka bahwa di hari pertamanya bekerja ia akan dikerjai oleh seniornya? Mengerjakan semua pekerjaannya yang seharusnya dilakukan oleh empat orang itu seorang diri?

“Raymond?”

Ia menoleh ke belakang, mendapati Hazel yang sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian kasual. Sweater rajut berwarna beige dipadu rok midi A-line berwarna hitam dengan hiasan tanaman berwarna emas dan sepatu hak tinggi berwarna merah serta oversized coat berwarna putih sangat cocok dikenakan wanita itu. Ia sampai tidak sadar terus memperhatikan wanita itu sampai tidak menyadari wanita itu terus memanggil namanya, mengagumi sosok Hazel. Bagaimana bisa ia menyia-nyiakan keberadaan wanita semanis Hazel Skylar selama dua bulan ini?

“Raymond?”

Ia tersadar, mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berdehem, melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering karena kikuk. Tidak, tidak. Ia tidak ada waktu untuk mendekati wanita itu. Ia harus mengingat alasannya berada di sini. 

“Kamu marah, ya? Maaf. Aku nggak maksud—”

“Nggak. Aku nggak marah. Malah sejujurnya aku bersyukur kamu mengenalkanku ke pekerjaan ini karena aku sedang membutuhkannya,” jawabnya setelah berhasil mengendalikan diri. Ia menawarkan diri membawakan tas jinjing berwarna senada dengan sepatu hak tinggi wanita itu.

“Te … terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Bukan masalah. Seorang koki harus menjaga baik-baik tangannya, bukan?” ia membawa tas Hazel, mempersilakan wanita itu untuk berjalan terlebih dahulu. Ia lalu mengambil sisi jalan agar wanita itu tidak berjalan di pinggir. Matanya menikmati pemandangan jalan setapak tempat mereka berada saat ini yang tampak cantik. 

“Kamu terlalu berlebihan,” Hazel memandangnya agak ragu. “Kayaknya kamu capek banget.”

“Begitulah,” ia memasukkan tangannya yang bebas ke dalam saku mantelnya, mendongakkan kepalanya ke atas seraya mengembuskan napas, mengeluarkan uap dingin. Kelihatannya sebentar lagi kota ini akan memasuki musim dingin. “Siapa yang menyangka kalau tempatmu bekerja sangat populer?”

“Maaf. Cuma kamu yang bisa kumintai tolong.”

“Tidak perlu meminta maaf. Aku paham.”

“Kayaknya kamu terbiasa melakukannya.”

“Apa kamu tadi melihatku? Kapan?”

“Aku minta izin sebentar untuk memeriksa keadaanmu. Apa dulu kamu pernah bekerja sebagai pelayan?”

“Ini pertama kalinya malah,” Raymond memijat bahunya yang terasa sakit. “Tapi aku capek banget, nggak sanggup buat masak makan malam. Apa kita beli makanan di minimarket dekat sini?”

“Kita masih punya kue buatanku, kan? Mau makan itu aja buat makan malam?”

Ia mengangguk seraya menguap lebar. 

Mereka terus berjalan hingga tiba di apartemen mereka. Begitu masuk, hal yang segera ia lakukan adalah melepaskan mantelnya dan menyalakan penghangat ruangan, merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa di ruang tamu hingga membuat wanita itu tertawa melihatnya. Ia membenamkan wajahnya, menikmati empuknya kursi sofa itu. Hidungnya mencium aroma kopi hitam dan cokelat panas, bersama aroma kue yang disimpan Hazel kemarin. 

“Raymond. Aku udah bawa kuenya. Sama kopi hitam panas kesukaanmu.”

Ia merubah posisinya, menerima kue itu dengan senang hati. “Makasih. Kayaknya enak. Kumakan, ya?”

Kelihatannya Hazel menunggu komentarnya untuk kue itu, karena Hazel tampak cemas. Seperti tengah mengikuti acara kontes memasak di mana ia berperan sebagai jurinya. Ia menyendokkan sesuap kue itu perlahan. Matanya membesar begitu mengetahui bahwa kue buatan Hazel sangat enak, sampai ia tanpa sadar menghabiskan kue itu hingga tak bersisa.

“Enak banget!”

Hazel kini terlihat lega, memakan kuenya dengan wajah yang merona. “Baguslah kalau kamu bilang enak. Aku agak khawatir sama rasanya, takut nggak cocok sama kamu.”

“Kuemu enak, kok. Coba deh, kamu lebih percaya diri,” Raymond menyesap kopi hitamnya untuk menghangatkan tubuhnya yang masih kedinginan walaupun pemanas ruangan sudah dinyalakan tadi. “Sayang cuma bisa makan seiris saja malam ini. Aku nggak ahli membuat kue, jadi lain kali bisa tolong buatkan untukku?”

“Tentu.”

Ia menyesap kembali kopi hitamnya sambil memandangi Hazel yang tengah memakan kuenya. Hatinya terasa hangat, karena merindukan interaksi sosial yang sudah lama tidak ia lakukan karena terus memikirkan kematian Arnold. Apa ia boleh bersantai sejenak saja, mendekati teman sekamarnya untuk sementara waktu? Apa ia berhak melakukannya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status