Share

Pembohong Terbesar

 Setelah mengantar Rayyan ke kamar, Oma kembali ke bawah menemui mereka semua. 

"Mulai sekarang tidak ada yang memandang rendah Gea, apalagi sampai menghinanya di depan Rayyan. Kalian tahu kan bagaimana kedudukan, Rayyan? Bahkan kita tidak ada bandingannya dengan dia!" tegas Oma.

"Baik, Oma," sahut mereka kompak.

"Baiklah, sekarang kalian bersiap untuk makan malam," kata Oma berlalu. 

 Setelah Oma pergi, mereka langsung marah-marah. 

"Kok jadi gini, sih? Masak hanya karena Gea sudah menikah, dia bisa langsung tinggi derajat," protes Bibi Meyli. 

"Sebenarnya aku juga tidak terima, sih. Tapi mau bagaimana lagi, suami Gea itu orang kaya. Mana kalah lagi sama keluarga kita."

"Iya, benar. Atau setidaknya kita baikin Gea di depan Rayyan saja."

"Nah, aku setuju itu," kata Bibi Meyli tersenyum licik. 

 Tiba di ruang makan, Oma menyuruh agar kursi Bibi Andini dan Paman Burhan dikosongkan. 

"Andin, kalian pindah ke kursi lain," kata Oma. 

"Tapi kenapa, Oma?" tanya Bibi Andini tidak terima. Jika mau menghukum, setidaknya Oma tidak menyuruh mereka duduk di tempat lain. Apalagi Bibi Andini adalah yang paling tua diantara mereka, sudah seharusnya dia yang mendapati posisi tersebut.

"Memangnya Gea dan suaminya mau duduk di mana? Di lantai?" teriak Oma. 

"Andin tidak rela jika tempat duduk ini diduduki oleh gadis bodoh itu, Oma!" Bibi Andini membrontak. 

 Plak! Satu tamparan langsung mendarat di pipinya. 

"Oma!" teriak Bibi Andini refleks, bahkan hampir saja Bibi Andini membalas Oma.

"Lantang sekali kamu, ya!" bentak Oma marah. 

"Oma, maafkan Andin," pinta Paman Burhan. 

"Ajari istri kamu ini sopan santun, Burhan!"

"Baik, Oma. Saya minta maaf," ucap Paman Burhan memelas. "Sudahlah, ayo kita duduk di tempat lain saja." Ajak Paman Burhan membimbing istrinya.

 Yang lain hanya bisa menatap mereka iba. 

"Eh, dengar tidak. Oma mengatakan jika Gea juga ikut makan bersama kita," bisik mereka. 

"Ih, nggak banget deh dekat-dekat dengan dia. Apalagi makan semeja."

"Iya, selama ini kan Gea tinggal di gudang, pasti banyak kumannya. 

"Iii … kok aku jadi merinding, ya."

"Sama, aku juga."

 Setelah Bibi Andini dan Paman Burhan duduk, Oma belum juga memulai doa.

"Oma, kapan mulai makannya, sih? Lama banget," kata Bibi Meyli yang mulai bosan. 

"Tunggu sampai Gea dan Rayyan turun," sahut Oma. 

"Gea lagi, Gea lagi," kata Bibi Meyli kesal.

"Apa kamu tidak senang, Meyli! Jika tidak, maka silakan kembali ke kamarmu," kata Oma yang mulai marah. 

"Oma, kenapa sih, dari tadi marah-marah mulu. Heran deh."

"Sudahlah, Ma. Diam saja," kata suami Bibi Meyli melerai.  

 Akhirnya yang ditunggu-tunggu turun juga, Gea datang bersama Rayyan. 

"Ya ampun, itu Gea? Benaran, Gea?" kata Citra tidak percaya. Begitupun dengan yang lain.

 Gea yang mereka lihat malam ini begitu berbeda, dia yang biasanya kumal dan tidak merawat diri tiba-tiba muncul seperti tuan putri. 

"Cantik banget, Gea!" Tanpa sadar ada yang memuji. Tapi Citra langsung menyenggol lengan gadis itu. 

"Apaan sih, anak bodoh itu dipuji-puji."

 Saat melihat Oma berdiri, mereka pun ikut berdiri juga. Mau tidak mau mereka harus menghormati Rayyan, mengingat siapa pria itu.

 Gea merasa makan malamnya kali ini tidak akan nikmat, karena dia tidak akan benar-benar menikmati. Padahal ini merupakan kali pertamanya Gea makan malam di meja ini, bersama keluarga besar Kumar. Makanan yang ada juga kebanyakan menu yang selama ini Gea idam-idamkan. Tapi suasananya benar-benar tidak bersahabat.

"Gea!" panggil Oma lembut dengan tiba-tiba.

"I - iya, Oma," sahut Gea gemetar, membuat Rayyan menatapnya heran. 

 Yang lain juga ikut cemas saat melihat reaksi wajah Gea. Wajar saja jika Gea terkejut, karena selama ini Oma tidak pernah bersikap lembut padanya. Tapi mereka takut jika reaksi Gea akan membuat Rayyan curiga. 

"Kenapa kau begitu gugup? Apa ini karena ada Rayyan di sini?" tanya Oma mengalihkan wajah tegang Gea.

"Iya, Gea. Pasti ini karena kau duduk bersama Tuan Muda Rayyan, benar kan?" kata Citra. 

 Gea hanya menanggapi dengan senyum canggung. Sedangkan anggota keluarga mulai merasa lega. 

"Gea, ayo ambilkan makanan untuk suamimu," kata Oma yang membuat Gea tersentak. 

"Mengambil makanan untuk, Rayyan? Bagaimana aku bisa?" ucap Gea dalam hati yang kian gugup.  

"Ayo, Gea, jangan malu-malu. Kita semua juga melakukan itu untuk para suami," desak Bibi Meyli.

"I - iya, Bibi."

 Gea mulai berdiri seperti yang dilakukan oleh Bibi Andini, dia memperhatikan setiap apa yang dilakukan Bibi Andini. 

"Pertama-tama mengambil nasi baru setelah itu lauk. Tapi lauk apa yang disukai, Rayyan?" ucap Gea dalam hati.

Gea yang tidak tahu selera Rayyan, pun hanya ingin memilih asal saja. Bahkan dia tidak tahu itu enak atau tidak. Karena Gea tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, tangannya gemetar karena terlalu gugup. 

 Gea mengingat deretan kejadian yang menimpanya di waktu dulu. Di mana saat Gea masih kecil, dia ingin sekali memakan nasi pakai lauk, seperti Elle dan Citra. Tapi saat itu Bibi Andini datang dan memukul tangan Gea pakai centong nasi. 

"Ampun, sakit, Bibi ...." Isak Gea menangis. 

 Tiba-tiba Rayyan menggenggam tangan Gea yang gemetar. Semua memandang kejadian tersebut dengan mata yang tidak berkedip. 

"Biar aku saja," kata Rayyan yang sudah tidak tahan melihat semua sandiwara ini. Tapi sampai detik ini Rayyan masih bertahan dan diam, belum saatnya dia beraksi. 

 Selesai makan malam, Rayyan dan Gea bergegas ke kamarnya. Jujur saja saat ini Gea mau lenyap saja di bawah bumi, dia begitu takut saat diperlakukan istimewa. Apalagi oleh orang-orang yang selama ini terus membencinya. 

"Ada, apa? Apa kau sakit?" tanya Rayyan cemas saat melihat wajah Gea sedikit pucat. 

"Tidak apa-apa," sahut Gea menggeleng. 

"Kalau kamu sakit bilang aja, aku gendong ya," kata Rayyan yang langsung menggendong Gea tanpa persetujuan. Membuat beberapa orang tecengang melihat keromantisan mereka. 

"Ya, ampun, Tuan Muda Rayyan romantis sekali," kata Citra yang mulai baper. 

"Ingat, itu suami, Gea." Peringat yang lain. 

"Alah ... kalian bicara seperti tidak menyukainya saja. Aku tahu, jauh dari lubuk hati kalian, ada keinginan terpendam untuk memilikinya, bukan?" cibir Citra. 

 Gea yang tiba-tiba di gendong membuat wajahnya semakin pucat, bahkan Gea tidak bisa berkedip saat melihat wajah Rayyan dalam jarak yang begitu dekat.

"Dia tampan sekali," puji Gea dalam hati.

"Hei, ada apa? Mengapa melihatku seperti itu?" tanya Rayyan. 

 Gea yang tertangkap basah sedang mencuri pandang, pun berpaling dengan wajah malu. 

"Tidak ada," kata Gea.

"Tidak apa-apa juga jika kamu ingin melihatku, lihat saja sesuka hatimu. Kita kan suami istri, tidak ada larangan untuk itu, bukan?" goda Rayyan. 

"Sudahlah, tidak usah menggodaku seperti itu," ucap Gea yang kian malu. 

"Tanpa digoda kau juga sebenarnya sudah tergoda, kan? Ngaku saja."

"Siapa yang tergoda," kilah Gea menyangkal. 

"Ya, kamu. Lalu siapa lagi."

"Aku tidak merasa tergoda sedikit pun."

 Mereka terus mengoceh sepanjang perjalanan, lebih tepatnya hanya Rayyan yang berjalan sambil menggendong Gea. Tanpa sadar kini mereka sudah tiba di depan pintu kamar dan langsung masuk ke dalamnya. 

"Kenapa kau ringan sekali?" kata Rayyan setelah menurunkan Gea di atas ranjang.

"Apa kau mengejekku? Apa aku ini berat?" tanya Gea kesal. 

"Siapa yang mengejek dan mengatakan jika kau itu berat? Aku hanya mengatakan jika kau itu ringan, bahkan lebih ringan dari ini," kata Rayyan mengangkat bantal.

"Kenapa kau menyamakan aku seperti bantal?" teriak Gea kesal dan berusaha meraih bantal tersebut. Karena tangan Rayyan terlalu tinggi, Gea tidak bisa mencapainya. 

"Kau itu kependekan, mana bisa meraih ini," kata Rayyan tertawa. 

"Kau selalu saja mengejekku." Tanpa sadar Gea malah mendorong tubuh Rayyan, dia kesal karena tidak bisa meraih bantal tersebut. Namun Rayyan yang badannya kekar, sama sekali tidak bergeser. 

"Haha … bahkan kau selemah ini, tidak bertenaga," ejek Rayyan tertawa lepas. 

 Tiba-tiba saja Gea terdiam dan dia kembali duduk dengan wajah muram. Merasa bersalah, Rayyan pun mencoba menyudahi keusilannya menggoda Gea. 

"Ada, apa? Mengapa tiba-tiba kau sedih?" tanya Rayyan iba. 

"Aku memang lemah," lirih Gea sendu.

 Rayyan baru ingat, jika dia baru saja mengatakan kalimat kutukan Gea. Ya, Leon pernah memberitahunya jika Gea tidak suka mendengar kata-kata lemah, apalagi itu ditunjukkan pada dirinya.

 Karena selama ini Gea memang lemah, dia lemah dalam menghadapi keluarganya. Bahkan, Gea lemah di posisi seharusnya dia yang terkuat. 

"Maafkan, aku," pinta Rayyan setulus hati.

"Tidak apa-apa, aku sering mendengar itu," lirih Gea sambil menyeka air matanya. 

"Jangan bicara seperti itu."

 Rayyan yang tidak tahan pun merangkul Gea, mencoba menenangkan istrinya itu. Dipeluk Rayyan, bukannya tenang Gea malah semakin terisak. 

"Hei, ada apa? Kenapa kau bertambah sedih?" tanya Rayyan bingung.

"Hiks … Hiks … Hiks …." Gea semakin mengencangkan tangisannya. 

"Hei, ada apa? Aku tidak mengatakan apa-apa, bukan?"

"Aku hanya terharu saja." Isak Gea. 

"Untuk apa?"

 Gea melepaskan pelukannya dan menyeka air mata. 

"Selama ini tidak pernah ada yang memeluk saat aku menangis," aku Gea. Hampir saja dia tidak bisa mengucapkannya dengan baik karena begitu terharu.

"Apa kau sesepi itu dulu?" tanya Rayyan lembut sambil merapikan anak-anak rambut Gea yang mulai menutupi wajahnya.

 Gea yang baru saja sadar jika dia telah mengatakan sesuatu, segera menyangkalnya.

"Ah, tidak. Hidupku tidak seburuk itu," kata Gea sambil berusaha untuk tersenyum. Menyesal karena telah berbagi sesuatu yang seharusnya ia simpan sendiri.

"Tidak apa-apa, Gea. Aku sudah tahu semuanya," kata Rayyan.

"Tahu apa maksudmu?"

"Aku tahu semuanya."

"Kau terlalu sok tahu, Rayyan. Kita baru saja bertemu, bahkan belum saling mengenal," kata Gea terkekeh.

"Hanya perlu sedetik saja untuk memahamimu, Gea," ucap Rayyan lembut.

 Seketika Gea terkesima dengan kalimat tersebut.

"Ah, Rayyan. Kau gombal." Gea mengalihkan perhatiannya ke arah lain, mencoba menormalkan perasaannya yang tiba-tiba jadi aneh. 

 Tapi Rayyan malah menarik dagunya agar menghadap kembali ke wajahnya. Mereka saling menatap untuk sesaat. 

"Apa aku begitu tampan?" tanya Rayyan yang kembali bercanda. Bukan karena apa, hanya saja Rayyan tidak tahan lama-lama bertatapan dengan Gea. Jujur saja, ada keinginan terpendam yang ingin ditunaikannya. Tapi itu belum saatnya.

"Kenapa kau sangat percaya diri menyebut dirimu tampan? Apa semua orang memujimu?" tanya Gea tertawa, meskipun ia mengakui hal itu. 

"Bagaimana menurutmu, tampan tidak?"

"Tidak!" Gea menggeleng. "Kau biasa saja. Ya, terlihat biasa," kata Gea memutar wajah Rayyan beberapa kali. 

"Benarkah begitu? Ternyata kau adalah pembohong terbesar di muka bumi."

"Apa maksudnya?" tanya Gea tidak mengerti.

"Ah, sudahlah, diam. Semua orang juga mengatakan aku tampan, jadi kau bohong jika tidak mengakuinya," gumam Rayyan dengan suara yang rendah.

"Apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Gea.

"Tidak, ada. Aku hanya ingin menghitung bintang saja," kata Rayyan berlalu.

"Menghitung bintang? Hei, kau mau kemana?" tanya Gea mengekor Rayyan yang ingin menuju balkon. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status