Share

Prelude [2]

“Cynthia tadi minta Om Tommy untuk bikin acara di rumah aja. Bukan di restoran. Karena dia nggak mau ada wartawan yang motret. Sementara itu, Cynthia ogah kalau gosip tentang retaknya hubungan sama Eric jadi makin membesar. Makanya kamu diminta gantiin dia. Supaya para wartawan nggak terus-terusan nanya soal itu.”

“Oh,” balas Vivian, kehilangan kata-kata. Di kepalanya tergambar adegan romantis yang melibatkan dirinya dengan Eric, eks atlet tenis yang sudah memacari Cynthia selama hampir dua tahun terakhir. “Apa mereka memang lagi berantem atau sejenisnya? Aku kan nggak pernah disuruh ‘nge-date’ sama Eric sebelum ini,” selidiknya ingin tahu.

Sally mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dengan ekspresi puas. “Sekali-kali, Vi. Anggap aja semacam kesempatan langka. Kapan lagi bisa kencan sama cowok keren kayak Eric dengan restu pacarnya?” celoteh Sally jail. Tawa renyahnya pecah kemudian. “Mereka nggak berantem, kok. Cuma ya itu, Cynthia kudu bikin pilihan. Tadinya dia ngotot nggak mau datang ke acara keluarga. Tapi, aku nggak setuju. Kalau sampai papanya nggak cuma gertak sambal, masalah yang harus kita hadapi bakalan serius.”

Vivian manggut-manggut. Penjelasan Sally memang masuk akal. “Di sisi lain, kalau gosip soal hubungan Cynthia sama Eric dibiarin, bakalan melebar ke mana-mana nantinya,” imbuh Vivian dengan suara pelan.

“He-eh. Makanya Cynthia terpaksa milih cara kayak gini.”

“Dan aku yang beruntung. Minimal, makan enak gratis dan batal disinisin mama dan papanya Cynthia. Bosan tau Mbak, tiap datang ke acara mereka, disindir macam-macam. Aku kan cuma menjalankan kemauan bosku,” lanjut Vivian dengan nada keluh.

Sally tersenyum lebar sebagai responsnya. “Kamu harus siap-siap, Vi. Kira-kira lima belas menit lagi Eric datang.” Perempuan itu menggerak-gerakkan buku di tangan kirinya. “Aku harus ke kamar Cynthia lagi. Kalau nggak diawasi, ntar kebablasan. Belakangan ini dia makin sering aja nyentuh minuman keras. Aku takut ntar jadi kecanduan,” papar Sally. Kecemasan perempuan itu terpampang jelas pada suara dan ekspresinya.

 Vivian tersenyum maklum, tak ingin menambah beban Sally yang sudah banyak. Kadang dia ingin membantu perempuan itu, tapi Vivian tak punya petunjuk harus melakukan apa. Ditambah lagi sikap Cynthia yang susah ditebak. Bisa-bisa niat baiknya malah berakhir buruk.

“Eh, Mbak, sebentar! Eric tau kalau hari ini bakalan kencan palsu sama aku, kan?” tanya Vivian lagi. Ucapannya membuat Sally yang sudah melangkah menjauh, berhenti dan menoleh dari balik bahu kanannya. “Takutnya dia kaget dan malah nolak.”

“Tau dong. Cynthia udah bilang,” Sally menenangkan. “Santai aja, Vi.”

Setelah Sally berlalu, Vivian buru-buru menuju kamar mandi yang cuma berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk. Dengan tergesa, gadis itu menyisir rambutnya yang sudah rapi. Vivian juga mengecek riasan wajahnya. Tidak ada yang perlu ditambahkan. Setelah cukup puas dengan apa yang dilihatnya di depan cermin, Vivian kembali ke ruang tamu.

Mendadak dia menyadari, jantungnya berdenyut begitu kencang hanya karena akan menghabiskan waktu dengan Eric. Bukan reaksi yang bijak, tentu saja. Namun, Vivian tak bisa mencegah efek semacam itu. Ini adalah cara tubuhnya merespons rencana untuk menghabiskan waktu dengan kekasih Cynthia.

Eric Adityawardhana pernah menjadi salah satu atlet tenis Indonesia yang dianggap bermasa depan cerah. Tiga tahun lalu, cowok itu pernah menduduki ranking 47 dunia versi ATP, Association of Tennis Professionals. Berusia lebih muda satu tahun dibanding Cynthia, Eric adalah sosok yang tenang dan terkesan matang. Orang-orang yang mengenal sang aktris dengan baik, berpendapat bahwa Eric sangat pas mendampingi Cynthia yang masih gampang meledak-ledak ketika jauh dari sorot kamera.

Pendapat Vivian tentang Eric? Cowok itu adalah sosok idaman para gadis normal. Fisik tanpa cela, wajah rupawan, sopan, ramah, dan segudang sifat baik lainnya. Vivian tergolong jarang bertemu Eric saat berada di rumah Cynthia. Namun penilaian itu muncul sebagai hasil interaksi singkat mereka. Meski beberapa kali sempat terdengar rumor tentang perilaku kasar Eric. Namun, siapa yang mau percaya?

“Jangan suka menelan mentah-mentah berita jelek di luar sana. Nggak semua gosip itu akan jadi fakta yang tertunda.” Sally sering mengingatkan hal itu meski dengan cara sambil lalu.

Cynthia memang pernah pulang dengan pipi lebam dan tangan terkilir usai liburan dari Thailand bersama Eric dan Sally. Entah bagaimana, ada yang memotret Cynthia di bandara yang berujung pada gosip panas bahwa gadis itu dipukuli kekasihnya. Cynthia, Eric, dan Sally membantah mentah-mentah berita itu. Yang terjadi adalah, Cynthia terjatuh di kolam renang dengan pipi menghantam tangga dari besi. Media terlalu suka melebih-lebihkan segalanya demi menarik perhatian pembaca.

Karena itu, Vivian tak merasa bersalah karena dia menyukai Eric. Itu hal yang wajar, bukan? Toh, dia tidak memiliki niat jahat sampai berencana merebut Eric dari Cynthia. Vivian tahu diri. Dia hanya menikmati peran sebagai pengagum dari jauh. Mungkin nanti, ketika Vivian sudah memiliki pujaan hati sendiri, dia tak perlu mengagumi kekasih orang lain.

Hanya saja, kadang dia iri karena sang aktris –bisa dibilang- memiliki segalanya. Kecuali keluarga yang harmonis. Cynthia memiliki orangtua yang sangat ingin ikut campur dalam banyak hal hingga terasa memuakkan. Juga sifat materialistis ibu dan adik perempuan Cynthia yang rasanya sulit untuk dimaklumi.

Tiap kali melihat Eric dalam jarak dekat, jantung Vivian bereaksi tak wajar. Berdebar kencang tanpa bisa dikendalikan. Padahal, Eric tidak melakukan apa pun. Hanya mengangguk sopan sambil menyapa dan bertanya kabar. Ya, cowok itu memang ramah dan cukup perhatian dengan lawan bicaranya. Oleh sebab itu, Vivian tak terbebas dari rasa panik saat tahu dia akan menghabiskan waktu hanya berdua dengan cowok itu. Dia cemas tak bisa mengendalikan diri dengan sempurna. Bagaimana jika dia bertingkah norak saking senangnya?

“Vi, Eric udah datang, tuh! Kok malah melamun, sih?” Sally memetik jari di udara, hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Vivian. Gadis itu nyaris terlonjak dari tempat duduknya.

“Oh.…” Vivian buru-buru berdiri sembari merapikan gaunnya untuk kesekian kalinya.

“Jangan bilang kalau kamu takut ketauan pacarmu karena harus jalan sama Eric,” kata Sally dengan alis bertaut. “Pacarmu tipe posesif, ya?”

Tawa Vivian pecah meski terdengar agak sumbang di telinganya. “Pacar dari Hong Kong? Aku lagi mikirin makanan enak yang bisa kupilih. Nggak sabar pengin ngerasain ditraktir Eric.”

Wajah Sally mendadak berubah, walau hanya sesaat. Senyumnya tampak kaku. Perempuan itu malah menyerahkan sebuah kartu kredit ke tangan Vivian. “Ini zaman emansipasi, Vi. Bukan saatnya lagi minta ditraktir cowok. Lagian, lebih banyak duit Cynthia ke mana-mana. Dan saat ini, kamu sedang jadi Cynthia. Nih, pakai aja. Kayaknya ntar butuh untuk bayar-bayar.”

Vivian melongo tapi tangan kanannya meraih benda itu. Dia masih terdiam saat Sally menyebutkan PIN kartu kredit keluaran bank ternama itu. “Jadi, aku yang bayar, ya? Eh … maksudku Cynthia? Bukan Eric?”

“Cynthia lebih suka dia yang bayar,” sergah Sally. “Kamu hafal PIN-nya? Coba tolong diulangi sekali lagi. Jangan sampai lupa lho, Vi!”

Entah kenapa, jawaban itu tak sepenuhnya memuaskan Vivian. Namun gadis itu tak punya kesempatan untuk bertanya lagi karena Eric sedang berjalan menghampirinya, didampingi Cynthia. Aktris itu mengenakan baju yang sama persis dengan yang dipakai Vivian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status