Home / Romansa / Chemistrick / Stuck [1]

Share

Stuck [1]

Author: Indah Hanaco
last update Last Updated: 2021-03-15 18:00:02

“Vi, ada perubahan rencana,” kata Cynthia tanpa basa-basi. “Kamu dan Eric punya waktu sekitar tiga jam. Nanti kukabari lagi kalau ada yang penting. Hape harus terus nyala, ya?”

“Oke,” balas Vivian pendek. Dia sempat termangu saat Eric mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu. Vivian tak buru-buru menyambut tangan Eric.

“Semoga aku nggak akan bikin kamu bosan selama tiga jam ke depan,” ucap cowok itu seraya menatap mata Vivian. Senyum tipis Eric terlihat lagi. Vivian menahan napas seketika. Tangan kiri Vivian akhirnya terangkat. Lalu, tatapan Eric diarahkan pada sang pacar. “Kami pergi sekarang ya, Babe,” pamitnya pada Cynthia.

Vivian membiarkan tangan kirinya digenggam Eric. Dia sebenarnya merasa sangat janggal karena cowok itu melakukannya di depan Cynthia. Andai mereka sudah meninggalkan rumah itu, Vivian tidak akan terlalu keberatan. Suka, malah. Walau ini cuma kencan palsu dan gadis itu hanya menggantikan posisi Cynthia selama tiga jam saja. Namun saat ini, berpegangan tangan saat berada di depan sang aktris, rasanya kurang pas saja.

Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam sedan mewah milik Eric. Vivian  hanya berdiam diri hingga sepuluh menit kemudian. Keheningan dipecahkan oleh pertanyaan Eric tentang tujuan yang diinginkan Vivian. Sempat gelagapan sebentar, gadis itu akhirnya hanya menjawab pendek, “Terserah kamu aja.”

Eric tertawa pelan. “Aku belum pernah tau ada tempat yang namanya Terserah Kamu Aja.”

Tawa cowok itu menulari Vivian. “Maksudku, aku serahkan pilihan sama kamu. Aku yakin, kamu lebih tau tempat-tempat yang oke. Pengalamanku minim soal kayak gini,” balas Vivian lancar.

“Oh ya? Serius?” desak Eric, terkesan benar-benar ingin tahu.

Vivian mengangguk. Kini, dia bersandar dengan lebih nyaman di joknya, tak sekaku tadi. “Serius dong. Aku terbiasa makan di warung tenda atau restoran biasa. Bukan jenis yang mewah.”

“Bareng pacar?” tanya Eric lagi.

“Bukan. Bareng sahabatku.”

“Kalau sama pacar, biasanya kamu ke mana, Vi? Siapa tau tempatnya oke dan belum pernah kudatangi. Kita kan bisa nyoba makan malam di sana.”

Kalimat Eric membuat Vivian menyeringai. “Aku nggak punya pacar,” akunya. Sesaat kemudian, Vivian merasa tidak yakin apakah dia perlu mengucapkan kata-kata itu di depan Eric atau tidak. Namun, semua sudah telanjur terjadi, tak bisa dihapus begitu saja, kan?

“Kenapa? Pernah patah hati atau semacamnya? Cynthia pernah bilang, kamu kayak nggak punya kehidupan sosial. Sibuk kerja melulu. Kalau nggak gantiin dia, kamu ke toko roti.”

“Belum ketemu yang cocok aja,” respons Vivian. “Klise, ya? Tapi memang nyata.”

Eric terkekeh geli. “Jujur, aku nggak punya ide mau ke mana. Karena aku sama sekali nggak tau selera kamu kayak gimana.” Cowok itu melirik Vivian sebentar. “Maaf ya Vi, kamu jadi ikutan repot. Gara-gara muncul gosip aneh yang nggak jelas. Tadinya aku pengin nemenin Cynthia ke acara keluarganya. Tapi dia nggak mau.”

Vivian tahu bahwa Cynthia berusaha menjauhkan semua anggota keluarga yang tak pernah cocok dengannya itu dari orang-orang terdekatnya. Sebagai pacar, sudah tentu Eric menempati urutan pertama yang tak diinginkan Cynthia berdekatan dengan ayah dan ibunya.

“Aku bukan tipe orang yang suka pilih-pilih, kok! Kalau ke restoran, sepanjang makanannya enak, nggak masalah.” Vivian tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, kita rencananya mau makan malam aja kan, ya? Tadi sih Mbak Sally nggak bilang detailnya. Atau, aku salah?”

“Nggak, kok. Memang rencananya hari ini aku dan Cynthia pengin makan malam romantis berdua. Aku udah pesan tempat sebenarnya. Cuma, aku sengaja nanya dulu sama kamu. Karena takutnya kamu nggak nyaman dengan pilihanku dan lebih suka makan di tempat lain.”

Oh, Eric memang sosok yang manis, kan? Vivian buru-buru menjawab. “Aku nggak keberatan. Apalagi kalau kamu udah pesan tempat, sayang kalau dibatalin.”

“Oke. Berarti nggak ada masalah, kan?” Eric tersenyum ke arah Vivian. “Semoga tempat yang kupilih nggak akan bikin kamu kecewa,” imbuh cowok itu. Seakan ingin menegaskan kata-katanya, Eric meremas lengan kanan Vivian sekilas. Tindakan itu membuat Vivian tidak bernapas selama beberapa detik.

Ini bahaya.

***

Usia Vivian belum genap enam tahun saat dia mulai menyadari bahwa ibunya tak punya setitik pun kasih sayang untuknya. Menjadi putri tunggal pasangan Serena Ivaninna dan Barry Hadiwinata, Vivian jauh lebih dekat dengan ayahnya. Sang ibu seolah selalu punya alasan untuk menjauh. Serena sibuk mengurus butik hingga jarang berada di rumah. Jika tidak ke mana-mana, Serena lebih suka menghabiskan waktu sendirian tanpa diganggu siapa pun.

Hari itu, Vivian baru bangun dari tidur siang. Meski memiliki pengasuh, dia tidak tumbuh menjadi anak yang cengeng. Serena tak pernah suka melihat putrinya menangis. Jika Vivian melakukan itu, niscaya ibunya mengucapkan sederet kritik yang tak diinginkan. Bahkan kadang bentakan yang membuat anak kecil pun terluka hatinya.

Ketika membuka mata dan tak mendapati siapa pun berada di kamarnya, Vivian turun dari ranjang sembari menguap lebar. Matanya terasa berair. Begitu keluar dari kamar, Vivian cilik mendapati ibunya sedang duduk di teras belakang. Tanpa pikir panjang, dia pun berhenti mencari pengasuhnya dan memilih mendekati perempuan itu. 

Serena duduk bersandar di kursi tunggal. Ada secangkir minuman terletak di atas meja bundar. Ketika sedang berada di rumah, teras belakang memang menjadi salah satu tempat favoritnya selain kamar.

Vivian tak punya maksud jelek. Dia cuma gembira karena ibunya berada di rumah. Gadis cilik itu melompat riang sembari memeluk leher Serena. “Mama—"

Kalimat yang ingin diucapkan Vivian kecil tak pernah tuntas. Dia justru dikagetkan dengan respons ibunya. Dimarahi Serena adalah hal biasa bagi Vivian. Namun tidak dengan aksi fisik yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan nyaris mencium lantai. Serena melepaskan pelukan Vivian di lehernya sebelum mendorong putrinya dengan kasar.

Vivian pun menangis kencang. Selain kaget, dia juga merasakan nyeri di lutut dan bokongnya karena terdorong sedemikian rupa. Dia tidak peduli andai tangisnya membuat Serena murka. Namun ibunya belum sempat membuka mulut saat Barry lari tergopoh-gopoh ke arah putrinya. Lelaki itu buru-buru memeluk Vivian.

“Kamu kok bisa jatuh, Nak? Hati-hati, jangan….”

“Didorong Mama, huhuhu,” adu Vivian sambil memeluk leher ayahnya. Dengan hati-hati, Barry mengangkat putrinya sambil menanyakan bagian mana yang sakit. Tanpa bicara kepada istrinya, lelaki itu membawa Vivian ke ruang kerjanya.

“Papa kan pernah bilang. Kalau Mama lagi sendirian, jangan dekat-dekat. Mama mungkin lagi mikirin sesuatu dan kaget karena kamu tiba-tiba muncul.”

Itu memang peringatan yang tidak asing bagi Vivian. Akan tetapi, mana ada anak umur enam tahun yang patuh begitu saja pada larangan orangtuanya? “Aku cuma meluk Mama. Aku senang Mama ada di rumah,” aku Vivian polos. “Tapi Mama malah dorong aku, Pa. Mama jahat.”

Saat itu, Barry tidak merespons dengan kata-kata melainkan mengetatkan pelukan sembari membelai rambut Vivian. Setelah itu, Barry mendudukkan putrinya di sofa yang berada di ruang kerja. Lelaki itu berjongkok di depan Vivian, memeriksa dengan saksama kaki dan tangan anak itu. Mencari luka yang mungkin terlewatkan.

“Mulai sekarang, kamu jangan ganggu Mama. Apalagi bikin kaget kayak tadi. Mending main ke sini kalau pas Papa di rumah,” Barry menatap Vivian dengan senyum lembut. Tangan kanannya mengelus pipi montok gadis cilik itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Chemistrick   Epilog

    Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [4]

    Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [3]

    Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [2]

    “Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [1]

    Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna

  • Chemistrick   You are The Reason [2]

    “Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status