Share

Stone Cold [1]

Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.

“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”

Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.

Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa dirinya adalah anak yatim, dia belakangan tahu bahwa ayah biologisnya masih hidup. Namanya Ariel Pradigta. Siapa sangka ayahhanda Robin sehat walafiat dan kaya raya?

“Kenapa Mama nggak pernah bilang kalau papaku masih hidup?” tanya Robin berkali-kali. Pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri. Tentu saja Robin belia tak sanggup menemukan jawaban yang diinginkannya.

Minuman keras –tanpa dinyana- membuatnya merasa terbebas dari penderitaan. Janji tentang mengurangi kesedihan itu, memang benar adanya. Robin bisa melupakan kepiluannya dan hidup di dunia sendiri dengan ingatan yang serba kabur. Sekolah tak lagi menarik minat Robin. Dia hanya tertarik mencicipi minuman untuk melarutkan kekusutan hidupnya.

Di depan dunia, dia mencitrakan diri sebagai anak yang sedang berduka. Robin menjauh dari pergaulan karena tak mau ada yang mengetahui kebiasaan buruknya. Akal sehatnya yang kadang muncul memberi tahu anak itu bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman keras takkan bisa diterima dengan mudah. Alkohol selalu dianggap sebagai musuh masyarakat yang harus dimusnahkan.

Robin tak setuju. Minuman yang memabukkan justru merampas kesadarannya dengan maksimal. Itu yang dibutuhkannya karena membuat Robin tak punya tenaga untuk memikirkan hidupnya yang sepi dan menyedihkan. Ingatannya mengabur dan tumpang-tindih. Robin juga mulai kesulitan berpikir runut. Namun, dia tak peduli dengan semua risiko itu.

“Gara-gara mabuk, aku bisa melewati hari demi hari dengan lebih mudah. Nggak merasa sendirian, nggak terlalu merana. Itu yang selalu kupikirkan tiap kali lagi nyari alasan untuk minum,” kenangnya bertahun-tahun kemudian.

Makin hari, dia kian terseret jauh. Di salah satu laci di lemari pakaiannya, Robin selalu menyimpan minimal sebotol minuman. Bukan perkara sulit untuk mendapatkan minuman keras di rumah keluarga Pradigta. Sejak mencicipi alkohol pertama kali, anak itu mendapat sekutu baru. Tanpa pernah diduganya, kepindahan Robin ke rumah ayahnya tak sepenuhnya buruk. Meski tak pernah berharap kehadirannya akan diterima dengan mudah, nyatanya ada orang yang menyambut Robin dengan tangan terbuka.

Menjelang tidur, dia biasanya “berpesta” sendirian. Robin muda mengabaikan berbagai reaksi fisik yang mulai sering dialaminya. Keringat dingin yang berlebihan hingga sakit kepala dan insomnia. Robin juga menjadi mudah tersinggung dan gugup. Belum lagi nafsu makan yang kian berkurang. Tubuhnya kurus kering dengan raut kuyu.

Hingga ayahnya tahu apa yang terjadi setelah Robin kedapatan sedang mabuk saat datang ke sekolah. Itu karena Robin kesulitan menahan diri untuk menunda menyentuh minumannya sampai beberapa jam kemudian. Itu adalah indikasi yang terang-benderang tentang ketergantungannya terhadap alkohol.

Umurnya baru empat belas tahun saat itu. Ariel murka luar biasa, memakinya sebagai anak yang tak tahu diri dan selalu menyusahkan. Mengancam akan membuang Robin ke jalanan karena sudah bertingkah melewati batas. Kali ini, Robin sama sekali tak gentar. Orang yang tidak memiliki apa pun, takkan takut kehilangan. Itulah kalimat bijak yang pernah dibacanya entah di mana dan dipahami maknanya oleh Robin.

“Silakan aja kalau Papa mau membuangku. Toh, dari awal aku nggak mau tinggal sama Papa. Tapi terpaksa aja. Setauku, Papa udah meninggal,” katanya berani. Tentu saja alkohol dalam kandungan darahnya membuat Robin mengoceh tak jelas. Jika sedang sadar, dia takkan mungkin mengucapkan kalimat kurang ajar itu. Saat itu, Ariel pasti menahan diri mati-matian karena tidak menampar mulut Robin yang lancang.

Begitu rahasianya terbongkar, Robin mendapat cibiran dari kakak tirinya, Enrico, yang terkenal sebagai murid berprestasi sejak SD. Enrico yang paling menentang kehadirannya di rumah keluarga Pradigta sejak awal. Kini, mendapati adik tirinya tak lebih dari pemabuk kecil yang membuat ayah mereka marah besar, Enrico tampak puas. Begitu juga dengan Angie, kakak tiri Robin lainnya yang super judes dan sering menindasnya.

“Masih kecil udah jago mabuk. Kalau udah gede nanti, memangnya kamu mau jadi apa? Tukang teler yang ngabisin duit Papa?” ejek Enrico kala itu.

Sejak itu, dimulailah babak baru dalam hidupnya, bergulat mengatasi ketergantungan pada alkohol. Entah berapa kali Robin harus keluar-masuk tempat rehabilitasi berbiaya mahal yang dipilihkan ayah dan ibu tirinya, Diana. Hingga Robin berusia tujuh belas tahun dan berkali-kali pindah sekolah, tidak ada yang berhasil. Tampaknya kadar alkohol di pembuluh darahnya sudah terlalu banyak. Tingkat ketergantungannya pun sudah melewati batas. Hingga Robin melihat Ariel terduduk sambil menangis.

Hari itu, Robin dikeluarkan dari sekolah untuk kesekian kalinya. Dia kedapatan sedang tertidur di perpustakaan dalam kondisi mabuk. Ariel pun harus mendatangi sekolah putra bungsunya. Begitu tahu apa yang terjadi, Ariel membawa Robin pulang tanpa banyak bicara. Namun, begitu tiba di kamar putranya, lelaki itu melepaskan semua emosinya. Laki-laki  itu menangis dan terlihat begitu tak berdaya.

“Apa yang harus Papa lakukan supaya kamu mau berubah, Bin? Kalau mamamu ada di sini, gimana Papa harus menghadapinya? Dia pasti kecewa banget ngeliat anak kesayangannya jadi kayak begini.”

Ketika Ariel menyebut-nyebut ibunya, hati Robin mendadak hancur. Momen itu yang mengubah hidupnya. Dia tidak pernah tahu jika Ariel menyayanginya. Robin selalu merasa ayahnya hanya menganggap kehadirannya sebagai perusak kebahagiaan keluarga Pradigta. Namun, di detik itu, dia tahu Ariel mencintainya. Jika tidak, lelaki itu takkan mungkin tampak begitu kecewa dan putus asa separah itu.

Sebenarnya, jika dipikir lagi, Ariel punya kesempatan mencari jalan pintas. Melepaskan tanggung jawab untuk mengurus Robin. Mengirimkannya entah ke sekolah asrama mana. Karena uang takkan jadi masalah untuk pria itu. Namun, Ariel tak melakukannya. Bahkan setelah tahu kecanduan alkohol Robin selama bertahun-tahun, mengupayakan penyembuhan tanpa kenal lelah, Ariel tetap berusaha mengurus putranya.

“Pa, aku minta maaf.” Sejak hidup seatap selama lebih enam tahun, ini kali pertama Robin meminta maaf untuk masalah kecanduannya. “Aku nggak akan minum lagi.”

Ariel menatapnya dengan skeptis. “Kamu selalu bilang begitu. Tapi nyatanya, setelah keluar dari panti rehab, kamu minum lagi. Kayak gitu terus-menerus.”

“Kali ini, aku serius, Pa. Aku nggak akan bohong lagi,” tekad Robin dengan suara pelan. “Aku akan mati-matian berusaha berubah.”

Dia tahu, takkan mudah bagi Ariel untuk memercayai kata-katanya. Sejak memiliki ketergantungan dengan alkohol, Robin memang berubah menjadi begitu ahli dalam berbohong. Dia juga sangat manipulatif. Jadi, Robin takkan menyalahkan  Ariel jika menganggap dirinya cuma berdusta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status