Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.
“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”
Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.
Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa dirinya adalah anak yatim, dia belakangan tahu bahwa ayah biologisnya masih hidup. Namanya Ariel Pradigta. Siapa sangka ayahhanda Robin sehat walafiat dan kaya raya?
“Kenapa Mama nggak pernah bilang kalau papaku masih hidup?” tanya Robin berkali-kali. Pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri. Tentu saja Robin belia tak sanggup menemukan jawaban yang diinginkannya.
Minuman keras –tanpa dinyana- membuatnya merasa terbebas dari penderitaan. Janji tentang mengurangi kesedihan itu, memang benar adanya. Robin bisa melupakan kepiluannya dan hidup di dunia sendiri dengan ingatan yang serba kabur. Sekolah tak lagi menarik minat Robin. Dia hanya tertarik mencicipi minuman untuk melarutkan kekusutan hidupnya.
Di depan dunia, dia mencitrakan diri sebagai anak yang sedang berduka. Robin menjauh dari pergaulan karena tak mau ada yang mengetahui kebiasaan buruknya. Akal sehatnya yang kadang muncul memberi tahu anak itu bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman keras takkan bisa diterima dengan mudah. Alkohol selalu dianggap sebagai musuh masyarakat yang harus dimusnahkan.
Robin tak setuju. Minuman yang memabukkan justru merampas kesadarannya dengan maksimal. Itu yang dibutuhkannya karena membuat Robin tak punya tenaga untuk memikirkan hidupnya yang sepi dan menyedihkan. Ingatannya mengabur dan tumpang-tindih. Robin juga mulai kesulitan berpikir runut. Namun, dia tak peduli dengan semua risiko itu.
“Gara-gara mabuk, aku bisa melewati hari demi hari dengan lebih mudah. Nggak merasa sendirian, nggak terlalu merana. Itu yang selalu kupikirkan tiap kali lagi nyari alasan untuk minum,” kenangnya bertahun-tahun kemudian.
Makin hari, dia kian terseret jauh. Di salah satu laci di lemari pakaiannya, Robin selalu menyimpan minimal sebotol minuman. Bukan perkara sulit untuk mendapatkan minuman keras di rumah keluarga Pradigta. Sejak mencicipi alkohol pertama kali, anak itu mendapat sekutu baru. Tanpa pernah diduganya, kepindahan Robin ke rumah ayahnya tak sepenuhnya buruk. Meski tak pernah berharap kehadirannya akan diterima dengan mudah, nyatanya ada orang yang menyambut Robin dengan tangan terbuka.
Menjelang tidur, dia biasanya “berpesta” sendirian. Robin muda mengabaikan berbagai reaksi fisik yang mulai sering dialaminya. Keringat dingin yang berlebihan hingga sakit kepala dan insomnia. Robin juga menjadi mudah tersinggung dan gugup. Belum lagi nafsu makan yang kian berkurang. Tubuhnya kurus kering dengan raut kuyu.
Hingga ayahnya tahu apa yang terjadi setelah Robin kedapatan sedang mabuk saat datang ke sekolah. Itu karena Robin kesulitan menahan diri untuk menunda menyentuh minumannya sampai beberapa jam kemudian. Itu adalah indikasi yang terang-benderang tentang ketergantungannya terhadap alkohol.
Umurnya baru empat belas tahun saat itu. Ariel murka luar biasa, memakinya sebagai anak yang tak tahu diri dan selalu menyusahkan. Mengancam akan membuang Robin ke jalanan karena sudah bertingkah melewati batas. Kali ini, Robin sama sekali tak gentar. Orang yang tidak memiliki apa pun, takkan takut kehilangan. Itulah kalimat bijak yang pernah dibacanya entah di mana dan dipahami maknanya oleh Robin.
“Silakan aja kalau Papa mau membuangku. Toh, dari awal aku nggak mau tinggal sama Papa. Tapi terpaksa aja. Setauku, Papa udah meninggal,” katanya berani. Tentu saja alkohol dalam kandungan darahnya membuat Robin mengoceh tak jelas. Jika sedang sadar, dia takkan mungkin mengucapkan kalimat kurang ajar itu. Saat itu, Ariel pasti menahan diri mati-matian karena tidak menampar mulut Robin yang lancang.
Begitu rahasianya terbongkar, Robin mendapat cibiran dari kakak tirinya, Enrico, yang terkenal sebagai murid berprestasi sejak SD. Enrico yang paling menentang kehadirannya di rumah keluarga Pradigta sejak awal. Kini, mendapati adik tirinya tak lebih dari pemabuk kecil yang membuat ayah mereka marah besar, Enrico tampak puas. Begitu juga dengan Angie, kakak tiri Robin lainnya yang super judes dan sering menindasnya.
“Masih kecil udah jago mabuk. Kalau udah gede nanti, memangnya kamu mau jadi apa? Tukang teler yang ngabisin duit Papa?” ejek Enrico kala itu.
Sejak itu, dimulailah babak baru dalam hidupnya, bergulat mengatasi ketergantungan pada alkohol. Entah berapa kali Robin harus keluar-masuk tempat rehabilitasi berbiaya mahal yang dipilihkan ayah dan ibu tirinya, Diana. Hingga Robin berusia tujuh belas tahun dan berkali-kali pindah sekolah, tidak ada yang berhasil. Tampaknya kadar alkohol di pembuluh darahnya sudah terlalu banyak. Tingkat ketergantungannya pun sudah melewati batas. Hingga Robin melihat Ariel terduduk sambil menangis.
Hari itu, Robin dikeluarkan dari sekolah untuk kesekian kalinya. Dia kedapatan sedang tertidur di perpustakaan dalam kondisi mabuk. Ariel pun harus mendatangi sekolah putra bungsunya. Begitu tahu apa yang terjadi, Ariel membawa Robin pulang tanpa banyak bicara. Namun, begitu tiba di kamar putranya, lelaki itu melepaskan semua emosinya. Laki-laki itu menangis dan terlihat begitu tak berdaya.
“Apa yang harus Papa lakukan supaya kamu mau berubah, Bin? Kalau mamamu ada di sini, gimana Papa harus menghadapinya? Dia pasti kecewa banget ngeliat anak kesayangannya jadi kayak begini.”
Ketika Ariel menyebut-nyebut ibunya, hati Robin mendadak hancur. Momen itu yang mengubah hidupnya. Dia tidak pernah tahu jika Ariel menyayanginya. Robin selalu merasa ayahnya hanya menganggap kehadirannya sebagai perusak kebahagiaan keluarga Pradigta. Namun, di detik itu, dia tahu Ariel mencintainya. Jika tidak, lelaki itu takkan mungkin tampak begitu kecewa dan putus asa separah itu.
Sebenarnya, jika dipikir lagi, Ariel punya kesempatan mencari jalan pintas. Melepaskan tanggung jawab untuk mengurus Robin. Mengirimkannya entah ke sekolah asrama mana. Karena uang takkan jadi masalah untuk pria itu. Namun, Ariel tak melakukannya. Bahkan setelah tahu kecanduan alkohol Robin selama bertahun-tahun, mengupayakan penyembuhan tanpa kenal lelah, Ariel tetap berusaha mengurus putranya.
“Pa, aku minta maaf.” Sejak hidup seatap selama lebih enam tahun, ini kali pertama Robin meminta maaf untuk masalah kecanduannya. “Aku nggak akan minum lagi.”
Ariel menatapnya dengan skeptis. “Kamu selalu bilang begitu. Tapi nyatanya, setelah keluar dari panti rehab, kamu minum lagi. Kayak gitu terus-menerus.”
“Kali ini, aku serius, Pa. Aku nggak akan bohong lagi,” tekad Robin dengan suara pelan. “Aku akan mati-matian berusaha berubah.”
Dia tahu, takkan mudah bagi Ariel untuk memercayai kata-katanya. Sejak memiliki ketergantungan dengan alkohol, Robin memang berubah menjadi begitu ahli dalam berbohong. Dia juga sangat manipulatif. Jadi, Robin takkan menyalahkan Ariel jika menganggap dirinya cuma berdusta.
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Vivian menahan diri agar tidak berteriak untuk meluapkan emosinya. Dia benar-benar merasa terhina karena kata-kata dan sikap Gideon barusan. Akan tetapi, dia tahu itu semua sia-sia saja. Gideon takkan berubah pikiran.Vivian masih dalam tahap mencerna semua kenyataan mengejutkan yang terbentang di depannya dengan baik. Dia benar-benar tak mengira jika Cynthia akan memecatnya begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi menurut versi Vivian.“Kalau memang….”“Gideon, aku mau ngomong bentar sama Vivian. Kamu nggak perlu berdiri di sini lagi,” sela Sally yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu menarik lengan kiri Vivian dan mulai berjalan menuju teras. Vivian mengaduh pelan.“Kenapa? Apa aku megangnya terlalu kencang?” Sally menoleh dengan mimik kaget. Dia melepaskan tangannya.“Nggak,” bantah Vivian tanpa menjelaskan lebih jauh. Mereka sudah berada di teras, saling berdiri berhadapan. Vivian
“Ngapain sih kamu pindah ke Malaysia cuma untuk sekolah? Aku kan nggak punya temen curhat lagi. Kalau ada apa-apa, harus nelepon dulu. Buang-buang pulsa,” omel Vivian ketika menelepon Leona. Hampir tiga bulan silam, Leona memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur demi mendalami bidang keuangan. Vivian pun ditinggal sendiri.“Salahmu karena nggak mau ikut ke sini. Padahal kita kan bisa bersenang-senang berdua. Jauh dari Jakarta yang macet dan bising.”Vivian buru-buru protes. “Seolah KL sesepi kuburan.”Tawa Leona terdengar di seberang. Orang pertama yang dihubunginya setelah dipecat oleh Cynthia adalah sahabatnya. Vivian tiba di rumahnya menjelang pukul sepuluh malam. Dia cuma menyapa ayahnya yang masih menghadapi laptop di ruang kerjanya. Penghuni rumah yang lain sudah terlelap. Setelah itu, Vivian langsung menuju kamarnya dan menghubungi Leona. Dia beruntung karena sahabatnya belum terlelap.“Jadi, apa rencanamu
Kini, melihat apa yang terjadi pada Cynthia, Vivian merasa lega. Dia selamanya takkan sudi memacari cowok yang suka merendahkan dengan kata-kata dan menyiksa dengan tangannya. Semenawan apa pun. Apalagi jika cowok tersebut lebih suka semua tagihan dituntaskan oleh Vivian. Orang yang lebih mirip benalu takkan bisa menjadi sandaran.Esoknya, Vivian terbangun dengan satu fakta yang tak terbantahkan. Dipecat oleh Cynthia ternyata memengaruhi hidupnya. Bohong jika dia tidak merasa kecewa karena keputusan sang aktris. Apalagi Vivian sama sekali tidak merasa bersalah. Selain itu, setahun terakhir dia terbiasa dengan sejumlah rutinitas.Paginya selalu dibuka dengan memeriksa ponsel, mencari tahu jika ada tugas mendadak yang harus dikerjakan. Meski selama ini Sally selalu memberi daftar pekerjaan seminggu sebelumnya. Cuma, tidak jarang tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa Vivian mendapat tugas tertentu, misalnya.Vivian juga masih ingat bagaimana dia harus berdiet ketat sel
Para desainer Adiratna Maharani bekerja di lantai dua. Namun sejak awal Robin tidak pernah bergabung dengan yang lain. Itu karena Ariel memberikan tanggung jawab berbeda untuk putra bungsunya. Tak cuma wajib menyetor desain setiap bulannya, Robin juga harus ikut mengurusi bagian keuangan. Ayahnya ingin cowok itu belajar tentang banyak hal.“Nggak ada salahnya kalau kamu tahu banyak tentang Adiratna Maharani di luar masalah rancangan, kan? Supaya kamu lebih paham sampai ke hal-hal detail. Papa lebih nyaman andai bisa mengandalkanmu dan Angie,” beri tahu Ariel di suatu ketika.“Iya, Pa. Nggak masalah, kok! Justru ini jadi kesempatan supaya aku bisa belajar banyak,” sahut Robin.Selama ini Robin tidak merasa keberatan. Dirinya memang merasa harus menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan agar tidak sempat berkeinginan untuk mabuk lagi. Meski sudah tak pernah lagi menyentuh alkohol dalam kurun waktu sekitar enam tahun terakhir, tetap saja ada
Isidora yang dimaksud Ariel adalah cincin berlian dengan aksen daun-daun mungil yang “merambat” dan saling bertautan. Isidora langsung menarik perhatian begitu diluncurkan. Angka penjualannya memang terus menukik sampai saat ini.“Serius, Pa? Isidora menang dari Duchess?” tanya Robin tak percaya. Duchess bukan rancangannya tapi sejak awal diprediksi akan laris.“Ya. Isidora lebih laku dibanding Duchess. Posisi nomor dua dipegang Sahara. Duchess di tempat ketiga. Tapi keunggulan Isidora cukup signifikan.”Robin mengucap syukur dalam hati. “Jadi, Papa ke sini mau nagih desain yang lebih bagus dari Isidora atau mau ngasih bonus?” kelakarnya.“Nagih desain baru, tentunya. Bonus cuma diperuntukkan buat orang yang udah kerja di Adiratna Maharani minimal lima tahun.”Robin memasang ekspresi pura-pura terkejut. “Ternyata bosnya Adiratna Maharani pelit banget. Padahal aku udah kerja keras.&rd
Beban Robin kian berat karena harus pindah ke rumah baru yang diisi oleh orang-orang yang tak menyukai kehadirannya. Diana tidak menunjukkan kebenciannya dengan terang-terangan. Perempuan itu bersikap sopan tapi menjaga jarak. Diana juga menunjukkan ketidaksukaan ketika Enrico dan Angie merisak Robin dengan banyak ejekan. Akan tetapi, hal itu tidak membuat kedua kakak tirinya bersikap lebih baik.Olok-olok memang berkurang. Akan tetapi keduanya tetap bersikap dingin dan nyaris tak mau bicara dengan Robin. Jika terpaksa berkomunikasi dengan anak itu, semua dilakukan dengan nada ketus dan kalimat-kalimat tajam. Kecuali Ariel, semua orang jelas-jelas tidak mengharapkan kehadirannya di rumah itu.“Kalau kamu nggak ada keperluan, mending di kamar aja. Nggak usah berkeliaran di mana-mana. Bikin bete, tau!” Itu komentar yang sering dilontarkan Enrico.“Iya. Tiap kali ngeliat kamu, otomatis jadi ingat hal-hal yang nyebelin. Mood pun lang