Share

Fatal Attraction? [2]

“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”

Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah karena mengenali wajah Eric atau karena mendengar percakapan mereka.

“Hei, udah dibilang jangan ikut campur!” bentak Eric. “Jangan sok jadi pahlawan, deh!” Cowok itu kembali berjalan menuju lift sambil menarik pacarnya. Menyeret, lebih tepatnya. Gadis itu mengaduh dan tersandung kakinya sendiri. Robin menatap ngeri saat gadis itu nyaris terjerembap di lantai. Dengan hak sepatu setinggi -paling tidak- sepuluh sentimeter, gadis itu mungkin akan terkilir. Entah kaki atau lehernya.

Namun tampaknya Eric berhasil mencegah gadisnya mencium lantai. Sayang, setelahnya cowok itu malah menyentakkan tangan sang pacar dengan kencang hingga menyebabkan pekik kesakitan terdengar jelas. Kali ini, Robin tidak bisa berdiam diri lagi. Dia berjalan dengan langkah-langkah panjang, kembali mengadang pasangan itu.

“Kamu tadi belum jawab pertanyaanku. Kamu lebih suka aku pergi? Kamu tetap pengin bareng pacarmu?” tanya Robin pada gadis yang masih berusaha melepaskan diri dari sang mantan atlet. Namun, dia tak mendapat jawaban.

Eric malah mendorong bahu kiri Robin dengan tangan yang sengaja dikepalkan. Apa yang dilakukan Eric  itu menimbulkan rasa nyeri. Namun Robin bersikap seolah-olah tindakan itu tidak dirasakannya. Dia juga mengabaikan makian Eric. Tatapannya terfokus pada gadis jangkung di sebelah Eric yang tampak pucat sekaligus kesakitan. Saat itulah Robin baru mengenali siapa kekasih Eric. Cynthia Pasha, aktris yang memang disebut media sebagai pacar sang mantan atlet.

“Aku lebih suka pulang sendiri,” balas Cynthia dengan suara pelan. Gadis itu mengernyit kesakitan. “Dan dia bukan pacarku.”

“Hei, hati-hati kalau ngomong! Apa kamu mau ada wartawan yang….”

“Kalau kamu masih sempat cemas soal wartawan, apa yakin tetap mau ngelakuin kekerasan sama cewek?” Robin mundur sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia mulai menjepretkan kamera ke arah pasangan itu dengan cepat. Eric bergerak maju, hendak merampas gawai Robin dengan tangan kanannya yang bebas. Namun usahanya itu gagal karena Robin bergerak dengan sigap.

“Silakan bertingkah dan aku akan nyebarin foto-foto ini. Ini bukan cuma gertak sambal. Nggak percaya? Kamu bisa buktiin kalau aku nggak cuma ngomong doang.” Robin mundur lagi sambil menggoyangkan telepon genggamnya. “Atau, pulang sendiri dan jangan bikin ulah apa pun. Bahkan sekadar memaki.”

Eric tampaknya tak ingin menyerah. Namun dia sempat memandang ke sekeliling dan mendapati banyak orang yang menatap mereka dengan penuh konsentrasi. Beberapa di antaranya bahkan sengaja berhenti. Mungkin itu yang membuat pria itu akhirnya mengalah.

Tanpa bicara, Eric akhirnya melepaskan cekalannya pada Cynthia dan bergegas menuju lift. Namun tampaknya Eric tak rela pergi begitu saja tanpa melakukan sesuatu. Dia sengaja mendorong Robin dengan bahunya dengan kencang. Hingga Robin pun terpaksa mundur dua langkah dan nyaris mengernyit karena menahan sakit.

“Makasih,” gumam Cynthia lirih, nyaris tak terdengar. Refleks, tatapan Robin kembali tertuju kepada gadis itu.

“Kamu Cynthia Pasha, kan? Maaf, bukannya aku kepo. Cuma penasaran doang. Apa cowokmu sering kayak tadi? Melakukan kekerasan bahkan di tempat umum kayak begini?”

Cewek itu masih mengusap lengan kirinya. “Aku bukan Cynthia. Jadi, nggak bisa jawab pertanyaanmu,” balasnya tenang. Namun masih ada sorot ketakutan yang menguasai mata gadis itu. Robin sangat mengenalinya karena pernah menyaksikan tatapan serupa. Sayang, dulu dia tidak bisa menyelamatkan orang yang sedang diingatnya itu.

“Bukan Cynthia?” tanya Robin tak percaya. Dia cukup mengenal garis wajah Cynthia. Namun gadis itu malah menolak mentah-mentah dikira sebagai aktris terkenal. Apa Cynthia terlalu takut jika Robin bertingkah gila karena bertemu seorang pesohor? Seolah dirinya diidolakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali?

“Aku Vivian. Tapi aku nggak bisa cerita soal Cynthia. Terlalu panjang dan nggak penting juga.” Gadis itu meringis. Robin benar-benar tidak mengerti maksud dari  perkataannya. “Makasih karena kamu udah nolongin aku,” imbuh Vivian.

“Hmm, bukan masalah,” balas Robin.

Vivian merapikan gaunnya sembari menghela napas. “Boleh nggak aku minta tolong lagi?”

“Apa?”

“Itu … foto yang kamu ambil tadi. Tolong jangan di-publish, ya? Aku nggak mau ada masalah baru,” pintanya dengan sungguh-sungguh.

Robin tidak menyangka Vivian akan mengucapkan kalimat itu. Apakah gadis ini berselingkuh dengan Eric dan tidak mau hubungan mereka terekspos media? Apalagi jika mengingat kemiripan Vivian dengan Cynthia. Sesaat kemudian, Robin menekan dalam-dalam kecurigaannya yang tak memiliki dasar kuat. Siapa tahu jika Eric dan Cynthia memang sudah putus? Lalu, dia tertarik dengan gadis lain yang mirip mantannya?

Robin nyaris merasa geli karena imajinasinya beterbangan tak keruan. Akhirnya dia mengangguk. “Aku akan hapus fotonya. Tenang aja.”

Vivian tersenyum. Wajahnya sudah tidak pucat lagi. “Aku permisi dulu. Sekali lagi, makasih.” Gadis itu sudah menjauh tapi kemudian berbalik ke arah Robin lagi setelah tiga langkah. “By the way, aku bahkan belum tau namamu.”

“Robin,” balasnya. “By the way juga, jauh-jauhlah dari cowok yang suka main fisik. Sekarang dia ‘cuma’ mencekal tanganmu. Besok-besok pasti makin parah. Kekerasan fisik selalu meningkat frekuensi dan intensitasnya. Percaya, deh!”

“Iya, aku percaya. Makasih udah ngingetin. Aku bukan cewek bodoh, kok!”

Vivian akhirnya benar-benar berbalik dan meninggalkan Robin. Cowok itu menjejalkan  tangan kanannya ke dalam saku celana blue jeans. Setelah mengeluarkan ponselnya, Robin mulai berselancar di dunia maya. Dia mencari berita tentang Eric dan Cynthia. Dalam sekejap, apa yang dicarinya sudah memenuhi layar gawainya. Robin pun mulai membaca satu per satu.

Kernyit di keningnya terlihat tatkala membaca judul-judul berita yang bertebaran tentang keduanya. Bahkan berita yang diunggah sekitar satu jam silam tidak pernah menyebut kandasnya hubungan keduanya. Hanya sekadar gosip keretakan di antara pasangan itu. Dan keduanya sudah membuat bantahan resmi.

Robin mengangkat wajah, menatap lift yang dimasuki Vivian dan pintunya baru saja menutup. Cowok itu menggerutu pelan sambil geleng-geleng kepala. “Katanya bukan cewek bodoh. Tapi mau aja jalan bareng sama cowok yang udah punya pacar. Apa dia nggak nyadar kalau mukanya mirip Cynthia Pasha?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status