“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”
Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah karena mengenali wajah Eric atau karena mendengar percakapan mereka.
“Hei, udah dibilang jangan ikut campur!” bentak Eric. “Jangan sok jadi pahlawan, deh!” Cowok itu kembali berjalan menuju lift sambil menarik pacarnya. Menyeret, lebih tepatnya. Gadis itu mengaduh dan tersandung kakinya sendiri. Robin menatap ngeri saat gadis itu nyaris terjerembap di lantai. Dengan hak sepatu setinggi -paling tidak- sepuluh sentimeter, gadis itu mungkin akan terkilir. Entah kaki atau lehernya.
Namun tampaknya Eric berhasil mencegah gadisnya mencium lantai. Sayang, setelahnya cowok itu malah menyentakkan tangan sang pacar dengan kencang hingga menyebabkan pekik kesakitan terdengar jelas. Kali ini, Robin tidak bisa berdiam diri lagi. Dia berjalan dengan langkah-langkah panjang, kembali mengadang pasangan itu.
“Kamu tadi belum jawab pertanyaanku. Kamu lebih suka aku pergi? Kamu tetap pengin bareng pacarmu?” tanya Robin pada gadis yang masih berusaha melepaskan diri dari sang mantan atlet. Namun, dia tak mendapat jawaban.
Eric malah mendorong bahu kiri Robin dengan tangan yang sengaja dikepalkan. Apa yang dilakukan Eric itu menimbulkan rasa nyeri. Namun Robin bersikap seolah-olah tindakan itu tidak dirasakannya. Dia juga mengabaikan makian Eric. Tatapannya terfokus pada gadis jangkung di sebelah Eric yang tampak pucat sekaligus kesakitan. Saat itulah Robin baru mengenali siapa kekasih Eric. Cynthia Pasha, aktris yang memang disebut media sebagai pacar sang mantan atlet.
“Aku lebih suka pulang sendiri,” balas Cynthia dengan suara pelan. Gadis itu mengernyit kesakitan. “Dan dia bukan pacarku.”
“Hei, hati-hati kalau ngomong! Apa kamu mau ada wartawan yang….”
“Kalau kamu masih sempat cemas soal wartawan, apa yakin tetap mau ngelakuin kekerasan sama cewek?” Robin mundur sembari mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia mulai menjepretkan kamera ke arah pasangan itu dengan cepat. Eric bergerak maju, hendak merampas gawai Robin dengan tangan kanannya yang bebas. Namun usahanya itu gagal karena Robin bergerak dengan sigap.
“Silakan bertingkah dan aku akan nyebarin foto-foto ini. Ini bukan cuma gertak sambal. Nggak percaya? Kamu bisa buktiin kalau aku nggak cuma ngomong doang.” Robin mundur lagi sambil menggoyangkan telepon genggamnya. “Atau, pulang sendiri dan jangan bikin ulah apa pun. Bahkan sekadar memaki.”
Eric tampaknya tak ingin menyerah. Namun dia sempat memandang ke sekeliling dan mendapati banyak orang yang menatap mereka dengan penuh konsentrasi. Beberapa di antaranya bahkan sengaja berhenti. Mungkin itu yang membuat pria itu akhirnya mengalah.
Tanpa bicara, Eric akhirnya melepaskan cekalannya pada Cynthia dan bergegas menuju lift. Namun tampaknya Eric tak rela pergi begitu saja tanpa melakukan sesuatu. Dia sengaja mendorong Robin dengan bahunya dengan kencang. Hingga Robin pun terpaksa mundur dua langkah dan nyaris mengernyit karena menahan sakit.
“Makasih,” gumam Cynthia lirih, nyaris tak terdengar. Refleks, tatapan Robin kembali tertuju kepada gadis itu.
“Kamu Cynthia Pasha, kan? Maaf, bukannya aku kepo. Cuma penasaran doang. Apa cowokmu sering kayak tadi? Melakukan kekerasan bahkan di tempat umum kayak begini?”
Cewek itu masih mengusap lengan kirinya. “Aku bukan Cynthia. Jadi, nggak bisa jawab pertanyaanmu,” balasnya tenang. Namun masih ada sorot ketakutan yang menguasai mata gadis itu. Robin sangat mengenalinya karena pernah menyaksikan tatapan serupa. Sayang, dulu dia tidak bisa menyelamatkan orang yang sedang diingatnya itu.
“Bukan Cynthia?” tanya Robin tak percaya. Dia cukup mengenal garis wajah Cynthia. Namun gadis itu malah menolak mentah-mentah dikira sebagai aktris terkenal. Apa Cynthia terlalu takut jika Robin bertingkah gila karena bertemu seorang pesohor? Seolah dirinya diidolakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali?
“Aku Vivian. Tapi aku nggak bisa cerita soal Cynthia. Terlalu panjang dan nggak penting juga.” Gadis itu meringis. Robin benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataannya. “Makasih karena kamu udah nolongin aku,” imbuh Vivian.
“Hmm, bukan masalah,” balas Robin.
Vivian merapikan gaunnya sembari menghela napas. “Boleh nggak aku minta tolong lagi?”
“Apa?”
“Itu … foto yang kamu ambil tadi. Tolong jangan di-publish, ya? Aku nggak mau ada masalah baru,” pintanya dengan sungguh-sungguh.
Robin tidak menyangka Vivian akan mengucapkan kalimat itu. Apakah gadis ini berselingkuh dengan Eric dan tidak mau hubungan mereka terekspos media? Apalagi jika mengingat kemiripan Vivian dengan Cynthia. Sesaat kemudian, Robin menekan dalam-dalam kecurigaannya yang tak memiliki dasar kuat. Siapa tahu jika Eric dan Cynthia memang sudah putus? Lalu, dia tertarik dengan gadis lain yang mirip mantannya?
Robin nyaris merasa geli karena imajinasinya beterbangan tak keruan. Akhirnya dia mengangguk. “Aku akan hapus fotonya. Tenang aja.”
Vivian tersenyum. Wajahnya sudah tidak pucat lagi. “Aku permisi dulu. Sekali lagi, makasih.” Gadis itu sudah menjauh tapi kemudian berbalik ke arah Robin lagi setelah tiga langkah. “By the way, aku bahkan belum tau namamu.”
“Robin,” balasnya. “By the way juga, jauh-jauhlah dari cowok yang suka main fisik. Sekarang dia ‘cuma’ mencekal tanganmu. Besok-besok pasti makin parah. Kekerasan fisik selalu meningkat frekuensi dan intensitasnya. Percaya, deh!”
“Iya, aku percaya. Makasih udah ngingetin. Aku bukan cewek bodoh, kok!”
Vivian akhirnya benar-benar berbalik dan meninggalkan Robin. Cowok itu menjejalkan tangan kanannya ke dalam saku celana blue jeans. Setelah mengeluarkan ponselnya, Robin mulai berselancar di dunia maya. Dia mencari berita tentang Eric dan Cynthia. Dalam sekejap, apa yang dicarinya sudah memenuhi layar gawainya. Robin pun mulai membaca satu per satu.
Kernyit di keningnya terlihat tatkala membaca judul-judul berita yang bertebaran tentang keduanya. Bahkan berita yang diunggah sekitar satu jam silam tidak pernah menyebut kandasnya hubungan keduanya. Hanya sekadar gosip keretakan di antara pasangan itu. Dan keduanya sudah membuat bantahan resmi.
Robin mengangkat wajah, menatap lift yang dimasuki Vivian dan pintunya baru saja menutup. Cowok itu menggerutu pelan sambil geleng-geleng kepala. “Katanya bukan cewek bodoh. Tapi mau aja jalan bareng sama cowok yang udah punya pacar. Apa dia nggak nyadar kalau mukanya mirip Cynthia Pasha?”
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.