Home / Romansa / Chemistrick / Fatal Attraction? [1]

Share

Fatal Attraction? [1]

Author: Indah Hanaco
last update Last Updated: 2021-03-17 18:00:41

Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.

Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.

Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk.

“Pa, boleh nggak kalau aku izin cuti selama satu minggu?” tanyanya berhari-hari silam.

“Memangnya kamu mau pergi? Liburan? Ke mana?”

“Bukan liburan. Cuma ke Bali, mau ikutan acara berjudul Millennium Festival,”

Lalu, Robin pun memberi penjelasan tentang acara tersebut. Bertempat di Denpasar, Millennium Festival itu memang menyedot perhatian banyak orang. Acara itu menelisik serba-serbi gaya hidup era milenium, lengkap dengan sisi positif dan negatifnya.

Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup diwakili oleh stan-stan gadget yang luar biasa banyaknya. Para perancang dari beberapa negara di Asia Tenggara pun tak mau kehilangan kesempatan untuk memperkenalkan produk terbarunya. Demikian juga merek-merek ternama di dunia fashion. Robin dan rekan-rekannya ikut bergabung di festival itu untuk memperkenalkan Fit dan Bugar, sebuah tempat rehabilitasi bagi para pecandu alkohol.

“Oke, asal kamu nggak membolos selama satu tahun ke depan,” komentar ayahnya, setengah bergurau. Izin pun turun tanpa kesulitan berarti.

“Makasih, Pa,” kata Robin penuh semangat. Beberapa setelahnya, dia pun bertolak ke Bali bersama beberapa teman dari Fit dan Bugar. Robin dan timnya mengemban tugas untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat itu.

Di Denpasar, kehadiran stand Fit dan Bugar ternyata cukup menarik atensi para pengunjung. Mungkin karena tempat rehabilitasi itu dikeliling berbagai brand ternama yang berkecimpung di dunia teknologi. Fit dan Bugar menjadi menonjol karena bergelut di jalur yang  berbeda dari yang lain. Menjadi istimewa karena menawarkan sesuatu yang masih tergolong jarang di Indonesia.

“Masalah alkohol memang udah jadi persoalan serius. Fit dan Bugar bisa dibilang sebagai salah satu bantuan yang diperlukan,” ucap salah satu pengunjung yang mampir ke stand itu. Pria yang tampaknya berumur awal empat puluhan itu baru saja mendengarkan penjelasan dari Robin. “Saya pernah terpuruk gara-gara alkohol. Jadi, paham sekali kalau tempat seperti Fit dan Bugar memang sangat dibutuhkan.”

Ucapan itu sangat benar. Itulah sebabnya Robin menjadi salah satu relawan di Fit dan Bugar. Dia memanfaatkan waktu luang untuk memberi bantuan semaksimal mungkin di tempat rehabilitasi tersebut. Untung ayahnya memberi dukungan dengan aktivitas Robin yang satu ini.

Robin baru saja berulang tahun ke-24. Sang ayah mewariskan tubuh jangkung setinggi 180 sentimeter. Dulu dia cenderung kurus. Namun sejak rutin berenang, tubuh Robin sekarang lebih proporsional. Cowok itu memiliki kulit putih dan hidung bangir yang didapat dari ibunya. Matanya agak sipit dengan dagu persegi yang memiliki belahan cukup mencolok. Rambut tebalnya dipotong pendek. Bibirnya agak kemerahan. Robin memiliki alis yang tebal.

“Dunia ini nggak adil. Apa salahku sampai kamu bisa sejangkung ini tapi juga cakep? Kenapa aku malah pendek dan jelek,” cerocos Moses, salah satu teman kuliahnya.

“Jangan bilang kalau kamu naksir aku, Mos! Untuk apa muji-muji kalau aku cakep? Bikin merinding aja,” gurau Robin sambil berpura-pura bergidik.

“Dipuji malah bikin fitnah,” keluh Moses. “Aku cuma merasa dunia ini nggak adil.”

Robin tak pernah merasa bahwa dirinya menawan secara fisik, meski tak cuma sekali dua dia mendengar penampilannya dipuji. Dia tak menganggap itu sebagai hal yang penting.

Mendadak, perut cowok itu berbunyi, meneriakkan permintaan untuk segera diisi. Robin mendesah. Di apartemennya, tidak ada stok makanan sama sekali. Dia terbiasa memesan makanan atau turun beberapa lantai dan memilih restoran yang diinginkan. Karena memasak bukanlah aktivitas favoritnya. Akan tetapi, saat ini rasanya dia sungguh malas meninggalkan apartemen karena  matanya mulai mengantuk.

Robin sangat ingin terlelap karena semalaman dia kesulitan memejamkan mata. Akan tetapi, rasa lapar yang mengusik itu tampaknya tak bisa diabaikan. Dia cemas penyakit lambungnya akan kambuh jika nekat langsung tidur. Mau tak mau, pria muda itu beranjak dari tempat duduknya. Dia harus mengisi perut.

“Mulai besok, aku nggak boleh lupa nyiapin makanan di apartemen. Minimal roti. Supaya kalau kelaparan kayak begini, nggak perlu harus keluar atau nunggu pesanan diantar,” katanya pada diri sendiri.

Sebenarnya, itu cita-cita yang selalu diucapkan tapi tak pernah benar-benar dilaksanakan. Padahal, ayahnya sudah berkali-kali mengingatkan. Bahkan, jika sang ayah berkunjung, Robin dibawakan aneka bahan makanan. Bukan sekali dua dia kelaparan saat malam sudah larut dan terpaksa bertahan dengan perut kosong sampai pagi.

Robin akhirnya memilih untuk keluar sejenak unit yang ditinggalinya. Dia belum memutuskan untuk mencicipi makanan tertentu. Cowok itu menyambar dompet dan ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu, bergegas meninggalkan apartemennya yang berada di lantai 31. Keluar dari unitnya, suasana begitu sepi. Robin berjalan sendirian menyusuri lorong.

Selama berada di dalam lift, Robin mulai menimbang-nimbang makanan apa yang akan disantapnya. Cowok itu turun di lantai tiga, tempat sejumlah rumah makan bernama mentereng berada. Dia hampir berbelok menuju restoran yang menyajikan makanan serba laut, saat sepasang kekasih tampak bersitegang.

Robin bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Dia tak pernah bersikap sok pahlawan untuk membela seorang cewek yang sedang adu mulut dengan pacarnya. Namun dia paling tidak tahan jika ada cowok yang bersikap keterlaluan dan cenderung kurang ajar. Mencekal lengan kiri pasangannya sambil memaki “jangan sok alim”, misalnya.

Robin sudah pernah melihat pertengkaran yang awalnya tampak sepele malah berakhir dengan peristiwa fatal. Dia tak mau lagi dihantui rasa penyesalan karena tidak melakukan apa-apa. Cukup satu kali saja dia mencicipi rasa sesal semacam itu. Tak akan ada yang kedua kali.

“Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur urusan kalian. Tapi kurasa sebaiknya kamu lepasin tangan pacarmu. Kalau terus mencengkeramnya kayak gitu, lengannya bakalan memar.” Robin berdiri di depan pasangan itu.

Si cowok menoleh dan menatap Robin dengan tajam. Seketika, Robin mengenali Eric Adityawardhana yang namanya pernah dituliskan dengan setumpuk puja-puji karena prestasinya di dunia tenis profesional. Meski begitu, Robin berusaha untuk bersikap biasa. Seolah wajah Eric tak dikenalnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Chemistrick   Epilog

    Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [4]

    Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [3]

    Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [2]

    “Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana

  • Chemistrick   Beautiful Goodbye [1]

    Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna

  • Chemistrick   You are The Reason [2]

    “Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status