“Vi, ada perubahan rencana,” kata Cynthia tanpa basa-basi. “Kamu dan Eric punya waktu sekitar tiga jam. Nanti kukabari lagi kalau ada yang penting. Hape harus terus nyala, ya?”
“Oke,” balas Vivian pendek. Dia sempat termangu saat Eric mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu. Vivian tak buru-buru menyambut tangan Eric.
“Semoga aku nggak akan bikin kamu bosan selama tiga jam ke depan,” ucap cowok itu seraya menatap mata Vivian. Senyum tipis Eric terlihat lagi. Vivian menahan napas seketika. Tangan kiri Vivian akhirnya terangkat. Lalu, tatapan Eric diarahkan pada sang pacar. “Kami pergi sekarang ya, Babe,” pamitnya pada Cynthia.
Vivian membiarkan tangan kirinya digenggam Eric. Dia sebenarnya merasa sangat janggal karena cowok itu melakukannya di depan Cynthia. Andai mereka sudah meninggalkan rumah itu, Vivian tidak akan terlalu keberatan. Suka, malah. Walau ini cuma kencan palsu dan gadis itu hanya menggantikan posisi Cynthia selama tiga jam saja. Namun saat ini, berpegangan tangan saat berada di depan sang aktris, rasanya kurang pas saja.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam sedan mewah milik Eric. Vivian hanya berdiam diri hingga sepuluh menit kemudian. Keheningan dipecahkan oleh pertanyaan Eric tentang tujuan yang diinginkan Vivian. Sempat gelagapan sebentar, gadis itu akhirnya hanya menjawab pendek, “Terserah kamu aja.”
Eric tertawa pelan. “Aku belum pernah tau ada tempat yang namanya Terserah Kamu Aja.”
Tawa cowok itu menulari Vivian. “Maksudku, aku serahkan pilihan sama kamu. Aku yakin, kamu lebih tau tempat-tempat yang oke. Pengalamanku minim soal kayak gini,” balas Vivian lancar.
“Oh ya? Serius?” desak Eric, terkesan benar-benar ingin tahu.
Vivian mengangguk. Kini, dia bersandar dengan lebih nyaman di joknya, tak sekaku tadi. “Serius dong. Aku terbiasa makan di warung tenda atau restoran biasa. Bukan jenis yang mewah.”
“Bareng pacar?” tanya Eric lagi.
“Bukan. Bareng sahabatku.”
“Kalau sama pacar, biasanya kamu ke mana, Vi? Siapa tau tempatnya oke dan belum pernah kudatangi. Kita kan bisa nyoba makan malam di sana.”
Kalimat Eric membuat Vivian menyeringai. “Aku nggak punya pacar,” akunya. Sesaat kemudian, Vivian merasa tidak yakin apakah dia perlu mengucapkan kata-kata itu di depan Eric atau tidak. Namun, semua sudah telanjur terjadi, tak bisa dihapus begitu saja, kan?
“Kenapa? Pernah patah hati atau semacamnya? Cynthia pernah bilang, kamu kayak nggak punya kehidupan sosial. Sibuk kerja melulu. Kalau nggak gantiin dia, kamu ke toko roti.”
“Belum ketemu yang cocok aja,” respons Vivian. “Klise, ya? Tapi memang nyata.”
Eric terkekeh geli. “Jujur, aku nggak punya ide mau ke mana. Karena aku sama sekali nggak tau selera kamu kayak gimana.” Cowok itu melirik Vivian sebentar. “Maaf ya Vi, kamu jadi ikutan repot. Gara-gara muncul gosip aneh yang nggak jelas. Tadinya aku pengin nemenin Cynthia ke acara keluarganya. Tapi dia nggak mau.”
Vivian tahu bahwa Cynthia berusaha menjauhkan semua anggota keluarga yang tak pernah cocok dengannya itu dari orang-orang terdekatnya. Sebagai pacar, sudah tentu Eric menempati urutan pertama yang tak diinginkan Cynthia berdekatan dengan ayah dan ibunya.
“Aku bukan tipe orang yang suka pilih-pilih, kok! Kalau ke restoran, sepanjang makanannya enak, nggak masalah.” Vivian tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, kita rencananya mau makan malam aja kan, ya? Tadi sih Mbak Sally nggak bilang detailnya. Atau, aku salah?”
“Nggak, kok. Memang rencananya hari ini aku dan Cynthia pengin makan malam romantis berdua. Aku udah pesan tempat sebenarnya. Cuma, aku sengaja nanya dulu sama kamu. Karena takutnya kamu nggak nyaman dengan pilihanku dan lebih suka makan di tempat lain.”
Oh, Eric memang sosok yang manis, kan? Vivian buru-buru menjawab. “Aku nggak keberatan. Apalagi kalau kamu udah pesan tempat, sayang kalau dibatalin.”
“Oke. Berarti nggak ada masalah, kan?” Eric tersenyum ke arah Vivian. “Semoga tempat yang kupilih nggak akan bikin kamu kecewa,” imbuh cowok itu. Seakan ingin menegaskan kata-katanya, Eric meremas lengan kanan Vivian sekilas. Tindakan itu membuat Vivian tidak bernapas selama beberapa detik.
Ini bahaya.
***
Usia Vivian belum genap enam tahun saat dia mulai menyadari bahwa ibunya tak punya setitik pun kasih sayang untuknya. Menjadi putri tunggal pasangan Serena Ivaninna dan Barry Hadiwinata, Vivian jauh lebih dekat dengan ayahnya. Sang ibu seolah selalu punya alasan untuk menjauh. Serena sibuk mengurus butik hingga jarang berada di rumah. Jika tidak ke mana-mana, Serena lebih suka menghabiskan waktu sendirian tanpa diganggu siapa pun.
Hari itu, Vivian baru bangun dari tidur siang. Meski memiliki pengasuh, dia tidak tumbuh menjadi anak yang cengeng. Serena tak pernah suka melihat putrinya menangis. Jika Vivian melakukan itu, niscaya ibunya mengucapkan sederet kritik yang tak diinginkan. Bahkan kadang bentakan yang membuat anak kecil pun terluka hatinya.
Ketika membuka mata dan tak mendapati siapa pun berada di kamarnya, Vivian turun dari ranjang sembari menguap lebar. Matanya terasa berair. Begitu keluar dari kamar, Vivian cilik mendapati ibunya sedang duduk di teras belakang. Tanpa pikir panjang, dia pun berhenti mencari pengasuhnya dan memilih mendekati perempuan itu.
Serena duduk bersandar di kursi tunggal. Ada secangkir minuman terletak di atas meja bundar. Ketika sedang berada di rumah, teras belakang memang menjadi salah satu tempat favoritnya selain kamar.
Vivian tak punya maksud jelek. Dia cuma gembira karena ibunya berada di rumah. Gadis cilik itu melompat riang sembari memeluk leher Serena. “Mama—"
Kalimat yang ingin diucapkan Vivian kecil tak pernah tuntas. Dia justru dikagetkan dengan respons ibunya. Dimarahi Serena adalah hal biasa bagi Vivian. Namun tidak dengan aksi fisik yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan nyaris mencium lantai. Serena melepaskan pelukan Vivian di lehernya sebelum mendorong putrinya dengan kasar.
Vivian pun menangis kencang. Selain kaget, dia juga merasakan nyeri di lutut dan bokongnya karena terdorong sedemikian rupa. Dia tidak peduli andai tangisnya membuat Serena murka. Namun ibunya belum sempat membuka mulut saat Barry lari tergopoh-gopoh ke arah putrinya. Lelaki itu buru-buru memeluk Vivian.
“Kamu kok bisa jatuh, Nak? Hati-hati, jangan….”
“Didorong Mama, huhuhu,” adu Vivian sambil memeluk leher ayahnya. Dengan hati-hati, Barry mengangkat putrinya sambil menanyakan bagian mana yang sakit. Tanpa bicara kepada istrinya, lelaki itu membawa Vivian ke ruang kerjanya.
“Papa kan pernah bilang. Kalau Mama lagi sendirian, jangan dekat-dekat. Mama mungkin lagi mikirin sesuatu dan kaget karena kamu tiba-tiba muncul.”
Itu memang peringatan yang tidak asing bagi Vivian. Akan tetapi, mana ada anak umur enam tahun yang patuh begitu saja pada larangan orangtuanya? “Aku cuma meluk Mama. Aku senang Mama ada di rumah,” aku Vivian polos. “Tapi Mama malah dorong aku, Pa. Mama jahat.”
Saat itu, Barry tidak merespons dengan kata-kata melainkan mengetatkan pelukan sembari membelai rambut Vivian. Setelah itu, Barry mendudukkan putrinya di sofa yang berada di ruang kerja. Lelaki itu berjongkok di depan Vivian, memeriksa dengan saksama kaki dan tangan anak itu. Mencari luka yang mungkin terlewatkan.
“Mulai sekarang, kamu jangan ganggu Mama. Apalagi bikin kaget kayak tadi. Mending main ke sini kalau pas Papa di rumah,” Barry menatap Vivian dengan senyum lembut. Tangan kanannya mengelus pipi montok gadis cilik itu.
Serta merta, Vivian membuat bantahan. “Tapi, aku kan kangen sama Mama, Pa. Mama jarang di rumah, nggak kayak Papa. Trus tiap kali di rumah, Mama diam melulu. Sama aku malah sering marah-marah,” urainya polos. Vivian mungkin masih begitu belia. Namun dia sudah lancar berbicara sejak berumur dua tahun setengah. Peka dan cukup paham apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia bahkan sudah tidak cadel sebelum genap berusia empat tahun.“Papa kan memang kerjanya di rumah, Sayang. Kecuali kalau harus ke Bali atau ke toko. Tapi, Mama beda. Mama memang kerjanya di luar. Nggak bisa kalau cuma di rumah aja.”Vivian menggeleng kuat-kuat, masih terisak kecil. Barry menghapus air mata putrinya dengan gerakan hati-hati.“Bundanya Salma juga kerja. Tapi kan nggak tiap hari, Pa. Tiap kami libur sekolah, bundanya kadang nggak ke kantor. Trus mereka biasanya jalan-jalan. Aku pernah lihat, Salma digendong dan dicium bundanya. Tapi, Mama biasanya marah kala
Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk
“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Vivian menahan diri agar tidak berteriak untuk meluapkan emosinya. Dia benar-benar merasa terhina karena kata-kata dan sikap Gideon barusan. Akan tetapi, dia tahu itu semua sia-sia saja. Gideon takkan berubah pikiran.Vivian masih dalam tahap mencerna semua kenyataan mengejutkan yang terbentang di depannya dengan baik. Dia benar-benar tak mengira jika Cynthia akan memecatnya begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi menurut versi Vivian.“Kalau memang….”“Gideon, aku mau ngomong bentar sama Vivian. Kamu nggak perlu berdiri di sini lagi,” sela Sally yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu menarik lengan kiri Vivian dan mulai berjalan menuju teras. Vivian mengaduh pelan.“Kenapa? Apa aku megangnya terlalu kencang?” Sally menoleh dengan mimik kaget. Dia melepaskan tangannya.“Nggak,” bantah Vivian tanpa menjelaskan lebih jauh. Mereka sudah berada di teras, saling berdiri berhadapan. Vivian
“Ngapain sih kamu pindah ke Malaysia cuma untuk sekolah? Aku kan nggak punya temen curhat lagi. Kalau ada apa-apa, harus nelepon dulu. Buang-buang pulsa,” omel Vivian ketika menelepon Leona. Hampir tiga bulan silam, Leona memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur demi mendalami bidang keuangan. Vivian pun ditinggal sendiri.“Salahmu karena nggak mau ikut ke sini. Padahal kita kan bisa bersenang-senang berdua. Jauh dari Jakarta yang macet dan bising.”Vivian buru-buru protes. “Seolah KL sesepi kuburan.”Tawa Leona terdengar di seberang. Orang pertama yang dihubunginya setelah dipecat oleh Cynthia adalah sahabatnya. Vivian tiba di rumahnya menjelang pukul sepuluh malam. Dia cuma menyapa ayahnya yang masih menghadapi laptop di ruang kerjanya. Penghuni rumah yang lain sudah terlelap. Setelah itu, Vivian langsung menuju kamarnya dan menghubungi Leona. Dia beruntung karena sahabatnya belum terlelap.“Jadi, apa rencanamu