Share

Stuck [1]

“Vi, ada perubahan rencana,” kata Cynthia tanpa basa-basi. “Kamu dan Eric punya waktu sekitar tiga jam. Nanti kukabari lagi kalau ada yang penting. Hape harus terus nyala, ya?”

“Oke,” balas Vivian pendek. Dia sempat termangu saat Eric mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu. Vivian tak buru-buru menyambut tangan Eric.

“Semoga aku nggak akan bikin kamu bosan selama tiga jam ke depan,” ucap cowok itu seraya menatap mata Vivian. Senyum tipis Eric terlihat lagi. Vivian menahan napas seketika. Tangan kiri Vivian akhirnya terangkat. Lalu, tatapan Eric diarahkan pada sang pacar. “Kami pergi sekarang ya, Babe,” pamitnya pada Cynthia.

Vivian membiarkan tangan kirinya digenggam Eric. Dia sebenarnya merasa sangat janggal karena cowok itu melakukannya di depan Cynthia. Andai mereka sudah meninggalkan rumah itu, Vivian tidak akan terlalu keberatan. Suka, malah. Walau ini cuma kencan palsu dan gadis itu hanya menggantikan posisi Cynthia selama tiga jam saja. Namun saat ini, berpegangan tangan saat berada di depan sang aktris, rasanya kurang pas saja.

Tak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam sedan mewah milik Eric. Vivian  hanya berdiam diri hingga sepuluh menit kemudian. Keheningan dipecahkan oleh pertanyaan Eric tentang tujuan yang diinginkan Vivian. Sempat gelagapan sebentar, gadis itu akhirnya hanya menjawab pendek, “Terserah kamu aja.”

Eric tertawa pelan. “Aku belum pernah tau ada tempat yang namanya Terserah Kamu Aja.”

Tawa cowok itu menulari Vivian. “Maksudku, aku serahkan pilihan sama kamu. Aku yakin, kamu lebih tau tempat-tempat yang oke. Pengalamanku minim soal kayak gini,” balas Vivian lancar.

“Oh ya? Serius?” desak Eric, terkesan benar-benar ingin tahu.

Vivian mengangguk. Kini, dia bersandar dengan lebih nyaman di joknya, tak sekaku tadi. “Serius dong. Aku terbiasa makan di warung tenda atau restoran biasa. Bukan jenis yang mewah.”

“Bareng pacar?” tanya Eric lagi.

“Bukan. Bareng sahabatku.”

“Kalau sama pacar, biasanya kamu ke mana, Vi? Siapa tau tempatnya oke dan belum pernah kudatangi. Kita kan bisa nyoba makan malam di sana.”

Kalimat Eric membuat Vivian menyeringai. “Aku nggak punya pacar,” akunya. Sesaat kemudian, Vivian merasa tidak yakin apakah dia perlu mengucapkan kata-kata itu di depan Eric atau tidak. Namun, semua sudah telanjur terjadi, tak bisa dihapus begitu saja, kan?

“Kenapa? Pernah patah hati atau semacamnya? Cynthia pernah bilang, kamu kayak nggak punya kehidupan sosial. Sibuk kerja melulu. Kalau nggak gantiin dia, kamu ke toko roti.”

“Belum ketemu yang cocok aja,” respons Vivian. “Klise, ya? Tapi memang nyata.”

Eric terkekeh geli. “Jujur, aku nggak punya ide mau ke mana. Karena aku sama sekali nggak tau selera kamu kayak gimana.” Cowok itu melirik Vivian sebentar. “Maaf ya Vi, kamu jadi ikutan repot. Gara-gara muncul gosip aneh yang nggak jelas. Tadinya aku pengin nemenin Cynthia ke acara keluarganya. Tapi dia nggak mau.”

Vivian tahu bahwa Cynthia berusaha menjauhkan semua anggota keluarga yang tak pernah cocok dengannya itu dari orang-orang terdekatnya. Sebagai pacar, sudah tentu Eric menempati urutan pertama yang tak diinginkan Cynthia berdekatan dengan ayah dan ibunya.

“Aku bukan tipe orang yang suka pilih-pilih, kok! Kalau ke restoran, sepanjang makanannya enak, nggak masalah.” Vivian tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, kita rencananya mau makan malam aja kan, ya? Tadi sih Mbak Sally nggak bilang detailnya. Atau, aku salah?”

“Nggak, kok. Memang rencananya hari ini aku dan Cynthia pengin makan malam romantis berdua. Aku udah pesan tempat sebenarnya. Cuma, aku sengaja nanya dulu sama kamu. Karena takutnya kamu nggak nyaman dengan pilihanku dan lebih suka makan di tempat lain.”

Oh, Eric memang sosok yang manis, kan? Vivian buru-buru menjawab. “Aku nggak keberatan. Apalagi kalau kamu udah pesan tempat, sayang kalau dibatalin.”

“Oke. Berarti nggak ada masalah, kan?” Eric tersenyum ke arah Vivian. “Semoga tempat yang kupilih nggak akan bikin kamu kecewa,” imbuh cowok itu. Seakan ingin menegaskan kata-katanya, Eric meremas lengan kanan Vivian sekilas. Tindakan itu membuat Vivian tidak bernapas selama beberapa detik.

Ini bahaya.

***

Usia Vivian belum genap enam tahun saat dia mulai menyadari bahwa ibunya tak punya setitik pun kasih sayang untuknya. Menjadi putri tunggal pasangan Serena Ivaninna dan Barry Hadiwinata, Vivian jauh lebih dekat dengan ayahnya. Sang ibu seolah selalu punya alasan untuk menjauh. Serena sibuk mengurus butik hingga jarang berada di rumah. Jika tidak ke mana-mana, Serena lebih suka menghabiskan waktu sendirian tanpa diganggu siapa pun.

Hari itu, Vivian baru bangun dari tidur siang. Meski memiliki pengasuh, dia tidak tumbuh menjadi anak yang cengeng. Serena tak pernah suka melihat putrinya menangis. Jika Vivian melakukan itu, niscaya ibunya mengucapkan sederet kritik yang tak diinginkan. Bahkan kadang bentakan yang membuat anak kecil pun terluka hatinya.

Ketika membuka mata dan tak mendapati siapa pun berada di kamarnya, Vivian turun dari ranjang sembari menguap lebar. Matanya terasa berair. Begitu keluar dari kamar, Vivian cilik mendapati ibunya sedang duduk di teras belakang. Tanpa pikir panjang, dia pun berhenti mencari pengasuhnya dan memilih mendekati perempuan itu. 

Serena duduk bersandar di kursi tunggal. Ada secangkir minuman terletak di atas meja bundar. Ketika sedang berada di rumah, teras belakang memang menjadi salah satu tempat favoritnya selain kamar.

Vivian tak punya maksud jelek. Dia cuma gembira karena ibunya berada di rumah. Gadis cilik itu melompat riang sembari memeluk leher Serena. “Mama—"

Kalimat yang ingin diucapkan Vivian kecil tak pernah tuntas. Dia justru dikagetkan dengan respons ibunya. Dimarahi Serena adalah hal biasa bagi Vivian. Namun tidak dengan aksi fisik yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan nyaris mencium lantai. Serena melepaskan pelukan Vivian di lehernya sebelum mendorong putrinya dengan kasar.

Vivian pun menangis kencang. Selain kaget, dia juga merasakan nyeri di lutut dan bokongnya karena terdorong sedemikian rupa. Dia tidak peduli andai tangisnya membuat Serena murka. Namun ibunya belum sempat membuka mulut saat Barry lari tergopoh-gopoh ke arah putrinya. Lelaki itu buru-buru memeluk Vivian.

“Kamu kok bisa jatuh, Nak? Hati-hati, jangan….”

“Didorong Mama, huhuhu,” adu Vivian sambil memeluk leher ayahnya. Dengan hati-hati, Barry mengangkat putrinya sambil menanyakan bagian mana yang sakit. Tanpa bicara kepada istrinya, lelaki itu membawa Vivian ke ruang kerjanya.

“Papa kan pernah bilang. Kalau Mama lagi sendirian, jangan dekat-dekat. Mama mungkin lagi mikirin sesuatu dan kaget karena kamu tiba-tiba muncul.”

Itu memang peringatan yang tidak asing bagi Vivian. Akan tetapi, mana ada anak umur enam tahun yang patuh begitu saja pada larangan orangtuanya? “Aku cuma meluk Mama. Aku senang Mama ada di rumah,” aku Vivian polos. “Tapi Mama malah dorong aku, Pa. Mama jahat.”

Saat itu, Barry tidak merespons dengan kata-kata melainkan mengetatkan pelukan sembari membelai rambut Vivian. Setelah itu, Barry mendudukkan putrinya di sofa yang berada di ruang kerja. Lelaki itu berjongkok di depan Vivian, memeriksa dengan saksama kaki dan tangan anak itu. Mencari luka yang mungkin terlewatkan.

“Mulai sekarang, kamu jangan ganggu Mama. Apalagi bikin kaget kayak tadi. Mending main ke sini kalau pas Papa di rumah,” Barry menatap Vivian dengan senyum lembut. Tangan kanannya mengelus pipi montok gadis cilik itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status