“Cynthia tadi minta Om Tommy untuk bikin acara di rumah aja. Bukan di restoran. Karena dia nggak mau ada wartawan yang motret. Sementara itu, Cynthia ogah kalau gosip tentang retaknya hubungan sama Eric jadi makin membesar. Makanya kamu diminta gantiin dia. Supaya para wartawan nggak terus-terusan nanya soal itu.”
“Oh,” balas Vivian, kehilangan kata-kata. Di kepalanya tergambar adegan romantis yang melibatkan dirinya dengan Eric, eks atlet tenis yang sudah memacari Cynthia selama hampir dua tahun terakhir. “Apa mereka memang lagi berantem atau sejenisnya? Aku kan nggak pernah disuruh ‘nge-date’ sama Eric sebelum ini,” selidiknya ingin tahu.
Sally mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dengan ekspresi puas. “Sekali-kali, Vi. Anggap aja semacam kesempatan langka. Kapan lagi bisa kencan sama cowok keren kayak Eric dengan restu pacarnya?” celoteh Sally jail. Tawa renyahnya pecah kemudian. “Mereka nggak berantem, kok. Cuma ya itu, Cynthia kudu bikin pilihan. Tadinya dia ngotot nggak mau datang ke acara keluarga. Tapi, aku nggak setuju. Kalau sampai papanya nggak cuma gertak sambal, masalah yang harus kita hadapi bakalan serius.”
Vivian manggut-manggut. Penjelasan Sally memang masuk akal. “Di sisi lain, kalau gosip soal hubungan Cynthia sama Eric dibiarin, bakalan melebar ke mana-mana nantinya,” imbuh Vivian dengan suara pelan.
“He-eh. Makanya Cynthia terpaksa milih cara kayak gini.”
“Dan aku yang beruntung. Minimal, makan enak gratis dan batal disinisin mama dan papanya Cynthia. Bosan tau Mbak, tiap datang ke acara mereka, disindir macam-macam. Aku kan cuma menjalankan kemauan bosku,” lanjut Vivian dengan nada keluh.
Sally tersenyum lebar sebagai responsnya. “Kamu harus siap-siap, Vi. Kira-kira lima belas menit lagi Eric datang.” Perempuan itu menggerak-gerakkan buku di tangan kirinya. “Aku harus ke kamar Cynthia lagi. Kalau nggak diawasi, ntar kebablasan. Belakangan ini dia makin sering aja nyentuh minuman keras. Aku takut ntar jadi kecanduan,” papar Sally. Kecemasan perempuan itu terpampang jelas pada suara dan ekspresinya.
Vivian tersenyum maklum, tak ingin menambah beban Sally yang sudah banyak. Kadang dia ingin membantu perempuan itu, tapi Vivian tak punya petunjuk harus melakukan apa. Ditambah lagi sikap Cynthia yang susah ditebak. Bisa-bisa niat baiknya malah berakhir buruk.
“Eh, Mbak, sebentar! Eric tau kalau hari ini bakalan kencan palsu sama aku, kan?” tanya Vivian lagi. Ucapannya membuat Sally yang sudah melangkah menjauh, berhenti dan menoleh dari balik bahu kanannya. “Takutnya dia kaget dan malah nolak.”
“Tau dong. Cynthia udah bilang,” Sally menenangkan. “Santai aja, Vi.”
Setelah Sally berlalu, Vivian buru-buru menuju kamar mandi yang cuma berjarak beberapa meter dari tempatnya duduk. Dengan tergesa, gadis itu menyisir rambutnya yang sudah rapi. Vivian juga mengecek riasan wajahnya. Tidak ada yang perlu ditambahkan. Setelah cukup puas dengan apa yang dilihatnya di depan cermin, Vivian kembali ke ruang tamu.
Mendadak dia menyadari, jantungnya berdenyut begitu kencang hanya karena akan menghabiskan waktu dengan Eric. Bukan reaksi yang bijak, tentu saja. Namun, Vivian tak bisa mencegah efek semacam itu. Ini adalah cara tubuhnya merespons rencana untuk menghabiskan waktu dengan kekasih Cynthia.
Eric Adityawardhana pernah menjadi salah satu atlet tenis Indonesia yang dianggap bermasa depan cerah. Tiga tahun lalu, cowok itu pernah menduduki ranking 47 dunia versi ATP, Association of Tennis Professionals. Berusia lebih muda satu tahun dibanding Cynthia, Eric adalah sosok yang tenang dan terkesan matang. Orang-orang yang mengenal sang aktris dengan baik, berpendapat bahwa Eric sangat pas mendampingi Cynthia yang masih gampang meledak-ledak ketika jauh dari sorot kamera.
Pendapat Vivian tentang Eric? Cowok itu adalah sosok idaman para gadis normal. Fisik tanpa cela, wajah rupawan, sopan, ramah, dan segudang sifat baik lainnya. Vivian tergolong jarang bertemu Eric saat berada di rumah Cynthia. Namun penilaian itu muncul sebagai hasil interaksi singkat mereka. Meski beberapa kali sempat terdengar rumor tentang perilaku kasar Eric. Namun, siapa yang mau percaya?
“Jangan suka menelan mentah-mentah berita jelek di luar sana. Nggak semua gosip itu akan jadi fakta yang tertunda.” Sally sering mengingatkan hal itu meski dengan cara sambil lalu.
Cynthia memang pernah pulang dengan pipi lebam dan tangan terkilir usai liburan dari Thailand bersama Eric dan Sally. Entah bagaimana, ada yang memotret Cynthia di bandara yang berujung pada gosip panas bahwa gadis itu dipukuli kekasihnya. Cynthia, Eric, dan Sally membantah mentah-mentah berita itu. Yang terjadi adalah, Cynthia terjatuh di kolam renang dengan pipi menghantam tangga dari besi. Media terlalu suka melebih-lebihkan segalanya demi menarik perhatian pembaca.
Karena itu, Vivian tak merasa bersalah karena dia menyukai Eric. Itu hal yang wajar, bukan? Toh, dia tidak memiliki niat jahat sampai berencana merebut Eric dari Cynthia. Vivian tahu diri. Dia hanya menikmati peran sebagai pengagum dari jauh. Mungkin nanti, ketika Vivian sudah memiliki pujaan hati sendiri, dia tak perlu mengagumi kekasih orang lain.
Hanya saja, kadang dia iri karena sang aktris –bisa dibilang- memiliki segalanya. Kecuali keluarga yang harmonis. Cynthia memiliki orangtua yang sangat ingin ikut campur dalam banyak hal hingga terasa memuakkan. Juga sifat materialistis ibu dan adik perempuan Cynthia yang rasanya sulit untuk dimaklumi.
Tiap kali melihat Eric dalam jarak dekat, jantung Vivian bereaksi tak wajar. Berdebar kencang tanpa bisa dikendalikan. Padahal, Eric tidak melakukan apa pun. Hanya mengangguk sopan sambil menyapa dan bertanya kabar. Ya, cowok itu memang ramah dan cukup perhatian dengan lawan bicaranya. Oleh sebab itu, Vivian tak terbebas dari rasa panik saat tahu dia akan menghabiskan waktu hanya berdua dengan cowok itu. Dia cemas tak bisa mengendalikan diri dengan sempurna. Bagaimana jika dia bertingkah norak saking senangnya?
“Vi, Eric udah datang, tuh! Kok malah melamun, sih?” Sally memetik jari di udara, hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Vivian. Gadis itu nyaris terlonjak dari tempat duduknya.
“Oh.…” Vivian buru-buru berdiri sembari merapikan gaunnya untuk kesekian kalinya.
“Jangan bilang kalau kamu takut ketauan pacarmu karena harus jalan sama Eric,” kata Sally dengan alis bertaut. “Pacarmu tipe posesif, ya?”
Tawa Vivian pecah meski terdengar agak sumbang di telinganya. “Pacar dari Hong Kong? Aku lagi mikirin makanan enak yang bisa kupilih. Nggak sabar pengin ngerasain ditraktir Eric.”
Wajah Sally mendadak berubah, walau hanya sesaat. Senyumnya tampak kaku. Perempuan itu malah menyerahkan sebuah kartu kredit ke tangan Vivian. “Ini zaman emansipasi, Vi. Bukan saatnya lagi minta ditraktir cowok. Lagian, lebih banyak duit Cynthia ke mana-mana. Dan saat ini, kamu sedang jadi Cynthia. Nih, pakai aja. Kayaknya ntar butuh untuk bayar-bayar.”
Vivian melongo tapi tangan kanannya meraih benda itu. Dia masih terdiam saat Sally menyebutkan PIN kartu kredit keluaran bank ternama itu. “Jadi, aku yang bayar, ya? Eh … maksudku Cynthia? Bukan Eric?”
“Cynthia lebih suka dia yang bayar,” sergah Sally. “Kamu hafal PIN-nya? Coba tolong diulangi sekali lagi. Jangan sampai lupa lho, Vi!”
Entah kenapa, jawaban itu tak sepenuhnya memuaskan Vivian. Namun gadis itu tak punya kesempatan untuk bertanya lagi karena Eric sedang berjalan menghampirinya, didampingi Cynthia. Aktris itu mengenakan baju yang sama persis dengan yang dipakai Vivian.
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.