Share

Stuck [2]

Serta merta, Vivian membuat bantahan. “Tapi, aku kan kangen sama Mama, Pa. Mama jarang di rumah, nggak kayak Papa. Trus tiap kali di rumah, Mama diam melulu. Sama aku malah sering marah-marah,” urainya polos. Vivian mungkin masih begitu belia. Namun dia sudah lancar berbicara sejak berumur dua tahun setengah. Peka dan cukup paham apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia bahkan sudah tidak cadel sebelum genap berusia empat tahun.

“Papa kan memang kerjanya di rumah, Sayang. Kecuali kalau harus ke Bali atau ke toko. Tapi, Mama beda. Mama memang kerjanya di luar. Nggak bisa kalau cuma di rumah aja.”

Vivian menggeleng kuat-kuat, masih terisak kecil. Barry menghapus air mata putrinya dengan gerakan hati-hati.

“Bundanya Salma juga kerja. Tapi kan nggak tiap hari, Pa. Tiap kami libur sekolah, bundanya kadang nggak ke kantor. Trus mereka biasanya jalan-jalan. Aku pernah lihat, Salma digendong dan dicium bundanya. Tapi, Mama biasanya marah kalau kupeluk. Padahal aku juga pengin digendong sama Mama.”

Saat itu, Barry malah menarik putrinya ke dalam dekapan. Kali ini, tidak ada pembelaan untuk Serena dari lelaki itu. Barry hanya berbisik pelan, “Mending peluk Papa aja ya, Nak? Papa suka banget dipeluk dan dicium sama kamu.”

Sejak itu, Vivian tak pernah lagi berani mengejutkan Serena atau mencoba memeluk perempuan itu. Dia terlalu takut sang ibu akan kembali mendorong dan memarahinya. Namun, dia hampir melupakan kejadian itu dua tahun kemudian. Vivian kecil menyambut ibunya yang baru pulang. Dia berlari mendekat tapi Serena mengabaikannya. Perempuan itu menepis tangan putrinya. Kelak, dia beralasan sedang membawa banyak barang hingga tak bisa menyambut uluran tangan Vivian.

Perempuan itu melakukannya dengan gerakan pelan. Namun Vivian yang tidak berdiri dengan stabil, akhirnya terjatuh. Wajahnya menghantam pintu dan membuat salah satu gigi depannya patah. Dagu bocah itu mendapat dua jahitan.

Hingga bertahun-tahun kemudian, Vivian masih ingat betapa sedih ayahnya karena peristiwa itu. Dia juga mendengar pertengkaran di balik pintu kamar yang tertutup. Menurut pengetahuan Vivian, itu kali pertama dia mendengar Barry adu mulut dengan Serena.

***

Vivian tidak menyukai kontak fisik yang dilakukan Eric berkali-kali sejak mereka berada di mobil. Meski diam-diam menyukai cowok itu, bukan berarti Vivian merasa senang disentuh sana-sini. Namun gadis itu berusaha menahan diri agar tidak memuntahkan kalimat yang akan membawa masalah baru.

Vivian juga berjuang memahami tujuan Eric melakukan itu semua, dengan memasukkan pikiran positif sebanyak mungkin di benak. Yaitu, membuat gadis itu merasa nyaman sehingga mereka tidak canggung. Karena mereka harus tampil di depan umum sebagai pasangan, kan?

Cowok itu membawanya ke sebuah restoran Italia yang masih berada satu lantai dengan sebuah tempat perbelanjaan kelas atas. Kedua tempat itu merupakan bagian dari apartemen empat tower yang cukup eksklusif. Setahu Vivian, restoran itu adalah salah satu tempat kencan favorit Eric dan Cynthia. Beberapa kali wartawan menangkap kebersamaan pasangan itu di sana. Vivian memasuki restoran sambil menggandeng Eric. Dia berusaha keras untuk mengimbangi sikap mesra yang ditunjukkan “pasangan”-nya.

Sayang, makin lama Vivian merasa tak nyaman. Terutama ketika Eric berusaha mencium bibirnya saat mereka hendak duduk. Refleks, Vivian memundurkan wajahnya. Eric malah tertawa kecil. Sebagai gantinya, cowok itu justru membelai pipi Vivian dan mengambil tempat di sebelah kanan gadis itu. Bukannya duduk di depan Vivian.

“Santai dong, Vi. Kalau kamu tegang kayak gitu, siapa yang percaya kita ini pacaran? Jangan-jangan yang ngeliat jadi makin yakin kalau kamu dan aku lagi punya masalah. Eh, maksudnya aku dan Cynthia. Kayak yang disebut-sebut gosip di luar sana,” cetus Eric.

Lelaki ini ada benarnya. “Maaf, aku cuma merasa nggak nyaman aja. Karena … yah … kamu memang bukan pacarku,” respons Vivian. Tangan kanan gadis itu menunjuk ke depan. “Kamu nggak duduk di situ? Kenapa malah di sebelahku?”

Eric pun merespons, “Biasanya aku sama Cynthia memang kayak gini, kok. Kami hampir nggak pernah duduk berhadapan, lebih suka bersebelahan. Lebih nyaman aja.”

Eric ternyata suka bicara, jauh lebih banyak dibanding bayangan Vivian selama ini. Dalam waktu singkat, cowok itu mulai menceritakan alasannya berhenti menggeluti dunia tenis profesional. Vivian mendengarkan dengan sungguh-sungguh meski dia sudah mengetahui masalah itu dari Cynthia dan ulasan di media.

“Cedera paha yang menahun itu membuatku nggak punya pilihan dan terpaksa mengubur banyak mimpi. Padahal aku udah berusaha keras untuk mengikuti arahan dokter dan menjaga kondisi. Tapi, waktu latihan lagi setelah beberapa minggu absen, cederanya kambuh. Kondisinya malah lebih parah. Sampai akhirnya terpaksa gantung raket. Bisa bayangin gimana frustrasinya aku kan, Cyn? Padahal aku cinta banget sama dunia tenis.”

Vivian tanpa sadar menautkan alisnya. “Aku Vivian, bukan Cynthia.”

Eric tersenyum. Vivian merasakan cowok itu mengelus lutut kanannya. “Aku tau, kok. Cuma, ini kan acara makan malam bareng Cynthia. Di tempat umum pula. Jadi, aku nggak mau ceroboh dan malah nantinya ketauan. Jangan sampai orang curiga.”

Penjelasan yang masuk akal. Namun Vivian kian tak nyaman karena tangan kiri Eric perlahan mulai bergerak naik. Eric membuat gerakan mengelus yang membuat Vivian benar-benar ingin menjauh dari pria satu ini. Vivian buru-buru berdiri, bertepatan dengan datangnya pramusaji yang membawakan pesanan mereka.

“Maaf, aku mau ke toilet dulu.” Tanpa menunggu respons Eric, Vivian buru-buru meninggalkan mejanya. Dia mengambil napas panjang selama di perjalanan. Sapaan ramah dari beberapa pramusaji yang berpapasan dengan Vivian dibalasnya dengan senyum yang dipaksakan. Gadis itu mengambil waktu selama lebih dari lima menit di toilet. Kepalanya terasa pusing.

Sejak mendapat tawaran untuk bekerja dengan Cynthia setahun silam, ini momen yang paling disesali Vivian. Sebelum ini, dia tak pernah menyayangkan keputusan untuk menerima tawaran dari pihak Cynthia. Diawali dengan pertemuan tak sengaja dengan penata rias sang aktris, Oskar Pramana, saat berada di bioskop.

Vivian masih ingat bagaimana ekspresi Oskar saat melihatnya. Lelaki itu tak sekadar terkesima. Melainkan sampai terperangah dan menghalangi langkah Vivian. Berondong yang berada di tangan kiri Oskar tumpah sebagian karena lelaki itu tiba-tiba berhenti.

“Kamu nyadar nggak mirip siapa?” tanya Oskar tanpa basa-basi.

Vivian yang ketika itu sedang berjalan bersama sahabatnya, Leona, melongo. Sampai Oskar mengulangi pertanyaannya sambil menunjuk ke arah gadis itu. “Kamu pernah disangka aktris tertentu?” tanyanya ingin tahu.

Vivian menjawab tanpa berpikir dua kali. “Pernah sih ada yang bilang aku mirip Cynthia Pasha. Pernah juga dimintai tanda tangan waktu lagi keliling di mal.” Gadis itu meraba pipinya. “Memangnya kenapa, ya?”

Oskar memaksa Vivian membatalkan acara menontonnya dan mengajak gadis itu berbincang. Lalu berujung dengan desakan agar Vivian menerima tawaran gila yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Bekerja dengan Cynthia untuk menggantikan sang aktris dalam acara tertentu. Begitulah kira-kira tugas utamanya. Vivian menolak karena dia sama sekali tidak tertarik untuk berperan sebagai siapa pun saat datang ke suatu acara.

Akan tetapi, Oskar tidak menyerah begitu saja. Selama hampir sebulan Oskar “meneror” Vivian, membujuk mati-matian agar gadis itu menyerah dan menuruti kemauannya. Oskar mengajukan sederet alasan logis mengapa Vivian tak boleh menampik tawarannya. Hingga akhirnya Vivian menyanggupi meski ayahnya tak suka akan keputusan gadis itu.

“Kamu yakin, Vi? Papa kok kurang suka ya, membayangkan kamu harus berdandan mirip orang tertentu,” ucap Barry dengan wajah datar. “Ini pekerjaan aneh yang Papa baru tau.”

Vivian tertawa kala itu. “Aku yakin, Pa. Justru karena pekerjaannya unik, makanya aku terima. Catat ya Pa, unik. Bukan aneh.”

Cynthia adalah bos yang tidak pelit. Orangnya baik, menurut Vivian. Tidak suka memerintah atau bersikap menyebalkan. Namun, itu terjadi ketika suasana hatinya sedang bagus. Sebaliknya, saat bad mood, Cynthia berubah menjadi penuntut. Kadang bersikap muram yang membuat orang-orang sekitarnya menjadi kurang nyaman. Namun, Vivian salut karena Cynthia tak pernah menjadi gadis dengan mulut jahat yang suka menghina orang lain. Itulah yang membuatnya bertahan selama setahun ini.

Vivian tak pernah menyangka jika hari ini dia akan merasakan konsekuensi negatif atas pekerjaannya. Keluar dari kamar mandi, dia bertekad akan menjaga jarak dari Eric. “Kencan” mereka tak perlu dimeriahkan oleh adegan ciuman dan meraba-raba. Nyatanya, apa yang dihadapi gadis itu di menit-menit selanjutnya membuat Vivian kaget dan tak siap mental. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status