Share

05. Calon Suami

Malam itu, Galih datang ke rumah dan berbicara dengan Jamal.

Airin ingin sekali ke luar dan mendengar sendiri apa sekiranya yang lelaki itu hendak katakan, tapi Yuniarti melarang Airin dengan ganti bahwa dia akan menyampaikan salamnya pada Galih dan Tuan Sakha.

Airin justru tidak ingin ibunya melakukan itu.

Yuniarti pun mengerti perasaan putri sulungnya. Sekalipun Airin setuju menikah dengan Sakha, tapi Yuniarti bisa melihat dengan sangat jelas bahwa Airin tidak menyukai Sakha. Rasa bersalah Yuniarti semakin besar.

Maka Airin menenangkan ibunya dengan berkata, "Nanti lama-lama juga Ririn pasti bakal jatuh cinta kok, Bu, sama Tuan Sakha." Airin sebenarnya ingin muntah saat mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya sendiri.

Sudah lama Airin menutup pintu hatinya dan bahkan sering berpikir bahwa perasaan untuk lelaki selain Bapak, sudah mati. Airin bias pada perasaan semacam itu. Karena yang selalu ada di pikirannya sejak awal adalah keluarganya saja, sampai sekarang pun begitu. Airin terlalu sibuk bekerja untuk memikirkan masalah percintaan.

Teman-temannya pasti akan terkejut saat mendengar bahwa Airin akan menikah.

Sambil menunggu Galih dan kedua orang tuanya mengobrol di ruang tamu, Airin berbaring di atas ranjang kamarnya, memikirkan respon-respon orang di kampung ini nanti. Mungkin banyak yang akan mengasihaninya, tapi yang akan menyumpahinya juga pasti lebih banyak, mengatainya pelakor dan segala hal.

Pintu kamar Airin berderit terbuka. Cahaya dari luar masuk ke dalam kamarnya yang temaram.

"Kak Ririn?"

Panggilan lembut itu terdengar dari luar.

"Masuklah, Mawar," kata Airin.

Mawar Cantika Jamal, adik pertama Airin, membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam kamar.

"Nyalakan lampunya!" titah Airin.

Ketika lampu menyala, Airin melihat adiknya itu tampak kacau. Matanya masih sembab, hidungnya memerah, pakaiannya kusut dan rambutnya diikat tidak beraturan juga tampak lengket. Mawar adalah adik Airin yang paling menjaga penampilannya bahkan di dalam rumah sekalipun. Melati juga sama, tapi tidak separah Mawar yang kalau tidur saja harus menggunakan sedikit perona bibir.

Mawar tidak langsung menghampiri Airin setelah menyalakan lampu. Dia bersandar di belakang pintu dengan kepala tertunduk, menatap lantai. Mawar tidak kuasa melihat kakaknya yang kini tengah berbaring di atas ranjang dalam keadaan sakit, tapi masih mau berkorban untuknya.

"Aku... sudah dengar dari Ibu, Kak." Suara Mawar terdengar lemah dan ragu-ragu.

"Hm. Tapi kenapa kamu berdiri sejauh itu? Sini aja! Duduk di sini." Airin menepuk-nepuk pelan pinggir ranjangnya.

Mawar melangkah mendekat dan duduk di pinggir ranjang Airin.

"Jangan terlalu dekat, ya, nanti kamu ketularan sakit."

Air mata yang sedari sudah menggenang di pelupuk mata Mawar pun akhirnya jatuh dan bergulir di pipi. "Maafin aku, Kak," ucapnya lirih.

Airin tersenyum lemah. "Kamu nggak perlu minta maaf."

"Gara-gara aku, Kakak harus menikah dengan pria itu."

"Nggak apa, Mawar. Lagian Kakak sudah 21 tahun, banyak teman-teman Kakak yang sudah menikah dan bahkan memiliki anak. Mungkin ini memang sudah waktunya untuk Kakak mengikuti mereka."

Setelah mendengar penjelasan Airin itu, Mawar mengangkat wajahnya dan menatap wajah pucat sang kakak.

"Tapi Kak Ririn seharusnya bisa dapat pria yang lebih baik! Bukan seperti Tuan Sakha, dia... dia sudah menikah tiga kali."

Dibanding Mawar, Airin tentu tahun lebih banyak mengenai hal itu, tapi Airin tidak mengatakan apapun.

"Kamu mau kuliah, kan?" tanya Airin tiba-tiba.

"Maksud Kakak?"

"Kakak bakal usahain kamu kuliah tahun depan."

Sekalipun Airin mengatakannya dengan lemah, nada penuh keyakinan tersemat dengan sangat jelas di sana.

"Masalah biaya jangan kamu khawatirkan. Kamu bisa membalasnya dengan rajin-rajin belajar lalu meraih impian kamu. Kamu... dan Melati, harus jadi orang sukses dan hidup bahagia."

"Kak-"

"Setidaknya dengan itu... Kakak akan merasa semua yang kakak lakuin selama ini nggak sia-sia."

Bibir Mawar bergetar, tidak kuasa untuk mengucapkan apapun.

Airin... selalu sebaik ini. Mawar tidak pernah bisa mengerti dengan apa yang dipikirkan kakaknya. Tangis Mawar semakin kencang walau Airin sudah mencoba menenangkannya.

Dan dengan kedatangan Mawar malam ini, Airin pun semakin yakin dengan keputusannya. Apapun yang akan dia hadapi di depan sana, balasannya pasti akan setimpal ketika menyaksikan keluarganya bahagia.

***

Beberapa hari berlalu, Airin masih tidak tahu apa yang dibicarakan Bapak dan Galih pada malam itu. Ketika Airin bertanya pada Ibu, dia tidak banyak menjawab.

Dan anehnya bagi Airin, akhir-akhir ini Ibu sangat getol menyuruhnya perawatan diri. Setiap hari Airin dipaksa untuk meminum jamu, berbagai jenis macam jamu dari yang rasanya manis sampai sangat pahit.

Airin juga dipaksa menggunakan skincare. Berbagai jenis skincare yang dimiliki Mawar dan Melati digunakan oleh Airin atas paksaan sang ibu juga.

Airin mengerti, mereka pasti berharap saat waktunya menikah nanti, paras Airin jadi lebih cantik.

Airin akui, bahwa wajahnya memang tidak secantik Mawar dan Melati, tapi Airin merasa dirinya juga tidak seburuk rupa itu kok. Airin memiliki rambut hitam lurus panjang, alis hitam tebal, mata hitam kelam yang dibingkai bulu mata panjang dan lentik, kulit Airin sebenarnya putih tapi menjadi agak kecoklatan karena terlalu sering berjemur di bawah terik sinar matahari, hidung Airin mancung, bibirnya penuh dan berwarna kemerahan, bentuk wajahnya juga terpahat sempurna.

Airin selama ini hanya tidak peduli saja. Dia tidak pernah memusingkan masalah perawatan wajah dan mengenakan riasan apapun saat keluar rumah.

Airin mandi dua kali sehari. Dan satu-satunya perawatan untuk kulit yang dia lakukan adalah luluran. Karena Airin sendiri tidak suka saat daki terasa menumpuk di permukaan kulitnya setelah seharian bekerja di ladang, di bawah terik sinar matahari dan debu.

Sudah satu mingguan ini, Airin rutin menggunakan produk-produk kecantikan yang dimiliki adiknya. Wajah Airin memang tampak lebih cerah, walau sedikit.

Namun, bukannya merasa semakin percaya diri, Airin justru dibuat malu. Orang-orang pasti akan menyadari perubahan Airin, dan berita tentang anak Pak RT yang akan menikah dengan Tuan Sakha juga sudah tersebar di mana-mana, hanya saja belum ada yang tahu pasti anaknya yang mana yang telah dipinang.

Airin mengenakan pakaian yang lebih tertutup saat hendak pergi ke ladang pagi ini. Dia menutup kepalanya dengan selendang dan mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Lalu setelah itu, kepalanya ditutupi oleh caping lebar yang membuat wajahnya berada di bayang-bayang. Airin juga mengenakan baju berlapis-lapis lagi dan kaos kaki yang beralaskan sendal jepit.

Saat sampai di ladang, banyak yang bertanya perihal benarnya gosip-gosip itu atau tidak. Airin mencoba menghindar dan menjawab sekenanya saja. Padahal dia baru saja sembuh dari sakit, tapi tidak ada yang bertanya perihal itu. Tentu saja, karena juga tidak ada yang peduli.

Airin bekerja seperti biasa. Kali ini dia ditugaskan membantu tukang kebun memanen buah apel yang memang sudah masuk waktu panen. Seharusnya ini adalah pekerjaan kemarin, tapi entah kenapa Tuan Sakha menunda selama sehari untuk apel-apel itu dipetik.

Saat Airin sedang fokus memenuhi keranjang buahnya, dia mendengar sedikit keributan yang berasal dari depan kebun. Airin mengangkat sedikit capingnya agar dia dapat melihat dengan lebih jelas. Sedetik setelah itu Airin menyesal. Karena apa yang ada di depan sana adalah pemandangan yang tidak ingin Airin lihat dan tidak duga bahwa dia akan melihatnya hari itu.

Sakha dan ketiga istrinya datang berkunjung.

Airin berjalan lebih dalam ke kebun demi menjauhi pandangannya dari sana. Lalu dia mulai fokus lagi ke pekerjaannya. Namun pikiran Airin tidak benar-benar fokus ke pohon apel itu.

Airin menduga-duga, apakah Sakha tahu bahwa calon istri keempatnya ada di sini sekarang?

Pria itu kemungkinan besar tahu, tapi pasti demi menjaga perasaan para istrinya dia tidak menghampiri Airin. Setelah keputusan untuk menikah dengan lelaki itu Airin ambil, dia tidak pernah sekalipun bertemu dengannya lagi, bahkan ketika di ladang.

Sakha seolah menghilang.

Airin sedikit berharap dia bisa melihat calon suaminya itu walau sebentar saja. Karena Airin merasa perlu untuk menilai bagaimana sifat dan sikapnya sebelum mereka menikah nanti. Airin akan melakukannya dengan cara memperhatikannya dari jauh.

Bukankah itu hal yang wajar untuk penasaran pada calon suami yang tidak pernah kau kenal?

Tapi walau begitu, harapan Airin untuk tidak terlibat dalam peristiwa apapun dengan Tuan Sakha lebih besar. Dia masih menghindari Sakha seperti sebelum-sebelumnya. Hanya saja Airin jadi lebih sering bertanya-tanya tentang kehadirannya dan berharap bisa memperhatikannya dari kejauhan, seperti sekarang.

Wajar saja selama seminggu ini Ibu begitu kukuh memaksanya meminum jamu dan melakukan perawatan. Karena istri-istri Sakha semuanya berparas cantik. Tapi Airin ingin mengatakan pada Ibu bahwa kecantikan istri-istri calon suaminya itu tidak didapatkan dari perawatan tradisional seperti yang Airin lakukan. Mereka memang sudah terlahir cantik. Ditambah lagi mereka melakukan perawatan yang lebih canggih dan modern, yang juga membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Baguslah, pikir Airin. Karena dia akan menjadi istri Sakha yang paling jelek, besar kemungkinan lelaki itu akan mengabaikannya dan mungkin juga memilih untuk menceraikannya setelah beberapa lama.

Mata Airin pun kembali berbinar. Oh betapa beruntungnya kalau apa yang dia pikirkan itu benar terjadi.

*to be continued*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status