"Seratus lima puluh juta," jawab Sakha.
Tia yang tengah berbaring di sampingnya langsung bangun dan menatap suaminya itu terkejut. "Seratus lima puluh juta?" ulangnya.
"Hm."
"Kalau orang miskin yang meminjam uang sebanyak itu tentu saja sekarang dia sudah kaya raya."
"Dia meminjamnya secara berangsur-angsur."
"Lalu kenapa Mas biarkan kalau tahu dia tidak bisa membayar?" tanya Tia tidak mengerti.
"Saya berhutang budi padanya."
Istri kedua Sakha itu terdengar berdecak pelan, tapi kemudian dia tersenyum manis menatap suaminya. "Mas memang orang yang baik. Saya salut. Ikhlaskan saja hutang-hutang itu, Mas, kalau memang dia tidak bisa membayar. InsyaAllah Mas bakal dapat ganjaran yang jauh lebih baik dari Gusti Allah."
Sakha tidak bodoh untuk tidak menyadari apa yang Tia coba lakukan dari sejak awal dia bertanya tentang Pak RT Jamal, padahal sekarang sudah waktunya mereka untuk tidur setelah lelah melakukan kegiatan malam mereka. Sakha bahkan terpaksa harus menunda keberangkatannya ke Jakarta karena Tia menangis dan menuduh Sakha bertindak tidak adil karena pergi di hari jadwal Tia.
Sebenarnya sekarang Sakha masih jengkel, tapi dia sedikit pun tidak menunjukkannya pada sang istri, atau membiarkan emosinya itu menguasai.
Sakha kemudian bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggir ranjang, dia hendak membersihkan diri sebelum kembali tidur. Karena besok, pagi-pagi sekali Sakha harus memulai perjalanannya ke kota.
Sebuah tangan halus membelai lengan Sakha, turun ke pinggang hingga berhenti di perut. "Mas, apa benar Mas akan menikahi putri si tukang hutang itu?" Tia bertanya lembut dan hati-hati. Dia menumpukan dagunya di bahu Sakha dengan bibir cemberut.
"Hm, seperti yang kamu dengar," jawab Sakha dingin.
Tia sebenarnya tidak berani bertanya terlalu jauh, karena tahu kalau Sakha tidak suka jika orang lain mencampuri urusannya sekalipun itu istrinya sendiri. Sakha pasti akan marah, walaupun dia tidak menunjukkannya pada mereka.
"Kenapa, Mas?" tanya Tia pelan. "Bukankah usia pernikahan Mas dan Nia baru satu tahun? Kenapa buru-buru untuk menikah lagi? Kita masih bisa mencoba untuk memiliki anak, Mas. Mas Sakha sehat, kita bertiga juga sehat, masih ada harapan. Apalagi malam ini adalah masa suburku, siapa tahu beberapa bulan ke depan... kita akan mendapat kabar baik."
Sakha kemudian menoleh dan tersenyum pada istri keduanya itu. "Semoga saja," katanya. Lalu dia bangkit berdiri, memakai kembali celananya dan masuk ke kamar mandi.
Tia juga ikut turun dari ranjang, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya dia melangkah menuju pintu kamar mandi yang tertutup. Tia memutar handle-nya, tapi pintu itu terkunci. Suara pancuran air kemudian terdengar, diikuti suara decakan kesal Tia.
Di dalam kamar mandi, Sakha menghiraukan handle pintu yang dicoba dibuka dari luar. Dia butuh waktu sendiri untuk menjernihkan pikirannya. Namun saat memejamkan mata, Sakha justru semakin kesusahan melakukannya.
Bayangan mengenai dirinya yang beranjak tua, beruban, dan mungkin sudah kesusahan untuk berjalan, tapi tidak memiliki seorang anak pun yang akan menemaninya dan mengambil alih perusahaan yang telah capek-capek dia bangun dari bawah.
Hal itu menakuti Sakha. Dia tidak ingin itu terjadi. Dia ingin memiliki seorang ahli waris yang sah, anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Siapa pun ibunya Sakha tidak peduli yang terpenting anak itu adalah anaknya. Walau begitu, sebagai ucapan terima kasih yang amat besar, Sakha akan memperlakukan sang ibu dari anak itu dengan sangat baik dan akan menjamin kehidupannya sampai mati.
Sakha tidak sudi kalau nanti dia pergi dari dunia ini, bisnis dan kekayaannya akan diberikan kepada orang lain, sekalipun orang lain itu adalah keluarga atau teman dekatnya sendiri.
Sakha harus menikah lagi. Karena rasa takut dan kekhawatirannya ini semakin hari semakin menggerogotinya. Ketiga wanita yang dia nikahi tidak satupun membuahi. Padahal Sakha adalah pria sehat dan prima, ketiga istrinya pun tidak memiliki masalah apapun pada mereka.
Sudah lima tahun Sakha menikahi Ria, tiga tahun untuk Tia, dan setahun Nia. Sakha dulu sempat sangat yakin bahwa pernikahan yang ke tiga adalah pernikahan terakhir, tapi sudah satu tahun juga Nia tidak kunjung hamil dan keyakinan Sakha yang sebelumnya mulai mengikis hilang.
Kata orang, kesuburan perempuan desa berbeda dengan perempuan-perempuan kota. Sakha tahu itu hanya omong kosong belaka, tapi mungkin karena Sakha sudah terlalu putus asa... sehingga harapan sekecil apapun akan dia raih juga. Apalagi kesempatan sudah ada di depan mata.
***
"Ririn, Nak, bagaimana keadaan kamu? Sudah ngerasa baikan?" Yuniarti masuk ke dalam kamar putri sulungnya, membawa sebuah nampan pelastik berisi semangkuk bubur dan air minum.
Airin berjuang untuk bangkit duduk dan tersenyum pada ibunya. "Nggeh, Bu, sudah jauh lebih baik sekarang."
"Alhamdulillah. Nih, makan dulu biar ada tenaganya."
Airin tidak banyak berkata dan mulai memakan bubur yang telah Ibu masakkan itu dengan pelan. Kalau Airin dalam keadaan tidak sakit, dia pasti akan menyukai bubur ini, dia menyukai apapun makanan yang Yuniarti buat, perempuan itu sangat ahli dalam memasak dan rasa masakannya sudah tidak bisa diragukan lagi.
Namun sekarang, bubur di mangkuk itu tidak berhasil menggugah selera Airin dan rasanya pun terlalu hambar, nyaris memualkan. Airin menahannya, karena dia ingin segera sembuh supaya bisa kembali bekerja dan menghasilkan banyak uang.
"Bu," panggil Airin, "tadi Ririn dengar ada ribut-ribut di luar itu karena apa?" tanyanya.
Wajah Yuniarti langsung ditekuk dengan ekspresi rumit, dia terdengar menghela napas sebelum matanya yang sembab kembali berkaca-kaca.
"Kedatangan Galih malam itu, bukan untuk menagih hutang saja. Dia juga menawarkan sebuah penawaran. Kalau Bapak merestui salah satu putrinya dinikahi oleh Tuan Sakha, maka semua hutangnya akan dianggap lunas. Tapi kamu tahu sendiri, kan, Tuan Sakha itu bagaimana? Ibu sendiri nggak tega kalau Mawar dijadikan istri keempatnya." Yuniarti terisak.
Airin semakin kehilangan nafsu makannya mendengar semua itu. Sudah dia duga, bahwa itulah yang sebenarnya terjadi.
"Ibu dan Bapak sudah membicarakan ini pada Mawar, tapi dia menolak. Melati masih sekolah, kamu bekerja. Kalau bukan Mawar, siapa?"
Airin tidak tahan. Rasa tidak sukanya pada Sakha semakin menjadi. Tapi keluarganya berada di posisi yang tidak menguntungkan. Bapak berhutang pada Sakha, lelaki itu sudah sering menagih tapi mereka tidak bisa membayar. Wajar kalau Sakha menuntut haknya. Tapi tetap saja, cara yang lelaki itu pakai begitu licik.
"Ibu tenang saja," kata Airin, menyentuh tangan Ibu dengan gestur menenangkan. "Ririn akan bicara dengan Tuan Sakha besok dan meminta keringanan dari beliau. Ririn yakin Tuan Sakha itu baik, jadi dia pasti mau mendengarkan."
Bukannya merasa lebih baik, tangisan Yuniarti justru semakin lirih. "Percuma, Nak. Hutang bapakmu sudah terlalu banyak dan mustahil untuk dilunaskan. Sudah beruntung kita meminjam pada Tuan Sakha, kalau ini rentenir keadaan kita pasti sudah jauh lebih buruk."
Airin tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau menyerah. Kalau berusaha lebih lagi, dia pasti bisa membayar hutang-hutang itu sekalipun butuh waktu bertahun-tahun.
"Memang... berapa jumlah uang yang Bapak pinjam?" tanya Airin pelan, berusaha untuk tidak membuat ibu tersinggung.
Yuniarti menghapus air mata di wajahnya dengan punggung tangan sebelum menjawab, "Seratus lima puluh juta."
Kalau sekarang Airin sedang berdiri, dia pasti sudah jatuh terduduk karena saking terkejutnya. "Se-sebanyak itu?" gumamnya dengan tatapan gamang.
Yuniarti menunduk sedih. "Untuk pengobatan bapakmu saat itu."
"Pengobatan? Bukankah-"
"Maafkan kami, Ririn. Kami nggak mau lebih membebani kamu saat itu jadi kami tidak memberitahukan yang sebenarnya." Yuniarti menatap putri sulungnya itu dengan tatapan bergetar penuh rasa bersalah.
Seingat Airin, saat dulu bapaknya harus dirawat di rumah sakit karena penyakit yang dia derita, dia lah yang membayar semua biayanya. Saat itu Airin begitu senang dan lega karena bisa menanggung semuanya sampai Bapak dinyatakan boleh pulang.
Ternyata yang terjadi sebenarnya adalah biaya pengobatan itu dilunasi oleh Sakha, uang yang Airin berikan pada Yuniarti saat itu hanya cukup untuk membeli obat saja.
Sekarang Airin merasa semakin bersalah pada kedua orangtuanya.
"Selain untuk biaya pengobatan, juga untuk kebutuhan kita sehari-hari. Untuk keperluan Mawar dan Melati juga. Kami meminjamnya secara berangsur-angsur, tidak sadar totalnya akan menjadi sebanyak itu," lanjut Yuniarti. Dia sedikitpun tidak berani menoleh untuk menatap Airin. Air mata putus asa masih mengalir di kedua matanya.
Airin benar-benar sudah tidak tahan melihat itu. Hatinya ikut pilu melihat ibunya menangis. Airin mencoba untuk mencari jalan keluar, tapi satu-satunya jalan memang tawaran yang Sakha tawarkan. Hanya itu. Sedangkan masalahnya adalah Mawar, yang Bapak tunjuk, tidak bersedia untuk menikah dengan laki-laki yang sudah beristri tiga itu.
Kalau begini...
"Biar Ririn saja, Bu."
Yuniarti awalnya tidak mengerti apa yang Airin maksud.
"Biar Ririn saja kalau begitu yang menikah dengan Tuan Sakha."
Kedua mata Yuniarti membelalak setelah mendengar itu. Dia terdiam, tidak mampu berkata-kata untuk sejenak. "Ka-kamu yakin, Nak?" lirihnya.
"Hm, Ririn yakin." Airin memantapkan diri. "Yang pasti, jangan Mawar atau Melati."
Ya, karena dua adiknya itu masih terlalu dini untuk menikah. Memang ada banyak gadis di desa ini yang menikah pada usia muda, tapi Airin sangat berharap adik-adiknya sukses terlebih dahulu sebelum menyicipi rasa pahitnya berumah tangga.
Melati masih sekolah. Mawar baru saja lulus dan pernah bercerita pada Airin bahwa dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke luar kota, ke jenjang perkuliahan. Tapi karena keterbatasan biaya, sampai saat ini Mawar masih menganggur di rumah.
Sedangkan Airin, Airin tidak memiliki cita-cita semacam itu. Dia tidak memiliki impian, maupun tujuan hidup. Yang ada di pikirannya setiap saat adalah bagaimana dia dan keluarganya bisa makan tanpa kekurangan. Airin hidup hanya untuk hari ini dan besok, tidak pernah berani terlalu berharap untuk hari yang lebih dari itu.
Maka biarlah dia saja yang menikah dengan Tuan Sakha. Kehidupannya menjadi istri keempat tidak mungkin lebih buruk dari berbagai peristiwa yang sudah dia hadapi sebelumnya, kan?
Airin tidak mengharapkan apapun, dia hanya ingin hutang keluarganya lunas, dan beban di punggung kedua orangtuanya menjadi ringan.
Kalau kehidupannya menjadi istri keempat Sakha nanti adalah sebuah penderitaan, Airin akan menerimanya. Karena dibanding pengorbanannya ini, pengorbanan kedua orangtuanya jauh lebih banyak.
Airin hanya anak pungut. Tapi selama ini Jamal dan Yuniarti selalu memperlakukannya seperti anak kandung mereka sendiri. Airin sudah cukup membebani mereka. Walau kehidupannya tidak bahagia, Airin bersyukur dia sekarang masih hidup, dan memiliki orang tua seperti Jamal dan Yuniarti, yang telah memberikannya kasih sayang yang jauh lebih baik dari yang orang tua kandung Airin sendiri lakukan.
"Kapan utusan Tuan Sakha akan datang lagi, Bu?"
Yuniarti masih menangis ketika Airin kembali dari lamunannya. "Ibu nggak tau, Nak. Bisa saja besok malam atau lusa. Karena saat itu Galih menyuruh Bapak untuk secepatnya mengambil keputusan, waktu kita tidak banyak."
Airin mencoba menenangkan sang ibu dengan memberikannya senyuman yang lebih tulus, yang menyatakan bahwa dia baik-baik saja dan tidak masalah menjadi istri keempat pria yang tidak dia kenal.
"Maafkan Ibu, Ririn." Yuniarti beringsut dan langsung memeluk Airin dengan erat, terisak-isak di bahunya. "Maafkan Bapak juga. Maafkan kami. Selama ini kami sudah banyak mengandalkan kamu, membebani kamu. Maafkan kami."
"Itu nggak bener, Bu. Kalian bukan beban, justru Ririn seharusnya berterima kasih lebih dari ini karena apa yang selama ini sudah kalian lakukan." Airin merasakan matanya ikut memanas, tapi dia tidak ingin menangis dan membuat ibunya semakin khawatir. "Terima kasih, karena selama ini sudah bersedia merawat Ririn dan memperlakukan Ririn seperti anak kandung kalian. Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir," kata Airin menenangkan sang ibu. Atau lebih tepatnya juga... menenangkan dirinya sendiri.
*to be continued*
Beberapa bulan kemudian.Satu per satu impian Airin selama ini akhirnya tercapai. Tidak lama setelah dia lulus dari kuliah, dia berhasil membuka sebuah brand dan toko parfum hasil buatan dan racikannya sendiri, yang selama ini selalu dia idam-idamkan untuk lakukan. Bisnisnya masih bertaraf bisnis kecil, tapi dia melakukan semuanya dengan sukacita.“Semua adalah hasil jerih payah kamu,” kata Sakha ketika di hari pembukaan toko Airin yang ramai dikunjungi oleh orang-orang, berkat promosi dan iklan yang dia lakukan di mana-mana.“Tuan juga sudah membantu banyak,” sahut Airin, menggoda suaminya itu.Airin tidak ingin bersikap naif dengan melupakan bahwa tanpa Sakha dia tidak mungkin sampai di titik ini. Tapi Sakha bersikukuh bahwa dia tidak melakukan apa pun selain menginvestasikan uangnya ke bisnis Airin. Pria itu ingin sang istri bangga sepenuhnya kepada dirinya sendiri, yang mana sudah cukup Airin lakukan.“Aku benar-benar bangga padamu,” bisik Sakha di telinga Airin saat orang-orang t
EXTRA PART 03 – Henia MaulidaSuara pintu berderit terbuka terdengar menggema di rumah besar yang sepi itu. Henia melangkah masuk ke dalam, sepatunya dia lepas dan kakinya berjinjit di lantai. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara apa pun supaya tidak membangunkan orang rumah.Namun, saat langkah kakinya baru saja menginjak satu anak tangga terbawah, sebuah suara terdengar di atasnya.“Habis ke mana kamu jam segini baru pulang?”Itu suara ibunya. Henia menghela napas kasar lalu menapakkan kakinya lagi ke lantai. Lampu menyala dan raut muak di wajah Henia tampak semakin jelas.Dia melanjutkan lagi langkahnya menaiki tangga, memutuskan untuk tidak memedulikan ocehan ibunya.“Wanita tidak bersuami seperti kamu seharusnya nggak keluyuran malam-malam dan pulang pagi seperti ini.”Henia mengepalkan tangannya kuat dan menatap bayangan ibunya di atas tangga dengan tatapan tajam.“Aku bukan anak kecil lagi yang jam pulang aja harus diatur-atur,” balas Henia.“Henia! Kamu nggak dengar apa
“Bunda!”Tia mengangkat pandangannya dari majalah yang tengah ia baca, lalu menatap putranya yang berlari ke arahnya dengan seragam SMP berwarna putih dan biru tua. Senyum Tia mengembang, merentangkan tangan dan merangkul remaja itu dengan kasih sayang keibuan.“Bagaimana sekolah kamu?”Dean melepas ranselnya lalu mengambil sebuah kue dari atas meja. “Aku ada tugas kelompok. Rencananya, aku mau ngerjainnya di rumah temenku hari sabtu nanti,” jawabnya sembari mengunyah.Tia mengangguk. “Kamu boleh pergi.”Pandangan Dean langsung tertuju ke arah ibunya itu. “Benar?” tanyanya hati-hati.“Ya. Memang kenapa? Selama ini Bunda nggak pernah ngelarang, kan?”Kedua bahu Dean lantas tampak lesu. “Apa akhir pekan nanti Bunda bakal ada di sini sama aku?”Pertanyaan itu menyentil Tia dan membuatnya merasa sedih. “Dean, mulai sekarang Bunda bakal selalu ada sama kamu.”Dean menatap ibunya itu dan terdiam. Dia mencari kejujuran di kedua mata sang bunda, namun masih juga belum yakin atas ucapannya. Ap
Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Ria memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke negara tetangga, di mana di sana dia memulai kehidupan baru dengan seorang pria yang mencintainya. Ria teringat ucapan Sakha di malam saat pria itu menceraikannya, bahwa hati Ria tidak pernah berlabuh sepenuhnya kepada pria itu. Ria tidak pernah bisa mencintai Sakha. Mungkin memiliki sedikit perasaan padanya memang benar, tapi tidak pernah sampai tahap dia mencintai pria itu. Namun, ada satu pria, yang tidak pernah bisa Ria lupakan dan hilangkan dari hatinya semenjak remaja. Gani Akbar Hartono. Ria tidak pernah bilang bahwa dia mencintai Gani, tapi cinta yang diberikan Gani padanya terpampang dengan begitu jelas sehingga Ria luluh tanpa dia sadari. Sakha terlalu dingin. Gani hangat seperti matahari. Bahkan sampai sekarang, Ria kesusahan untuk berhenti membeda-bedakan dua orang itu. Dia telah hidup bahagia dengan Gani, pria yang kini telah menjadi suaminya, tapi dalam beberapa waktu pikiran Ria a
Halo, teman-teman pembaca semua. Kenalkan, saya Asia July, penulis kisah si istri keempat. (Sebenarnya saya dan Sakha sudah menikah siri, saya jadi istri kelimanya. :) Kisah Istri Keempat saya akhiri di bab 95. Itu karena saya sebagai istri kelima sudah saatnya bereaksi di balik layar merebut Sakha dari Airin. Jangan marah yaaa ;) Tapi, tenang saja, semuanya belum benar-benar berakhir. Akan ada EXTRA PART yang lumayan banyak! >,< Menceritakan tentang kisah Airin dan Sakha selanjutnya. Ada 1 konflik yang saya lempar, semoga nanti pembaca suka. Juga di extra part nanti, akan ada kisahnya Ria, Tia, dan Nia. Dan diakhiri dengan kisah Airin dan Sakha menanti kehamilan anak kedua. Lalu, di HIDDEN PART akan ada kisah saya sebagai istri kelima. (Ck! Sudah dibilang jangan iri!-_-) *ini becanda, gak ada hidden part!* Ucapan terima kasih saya sampaikan dengan tulus kepada teman-teman pembaca semua yang sudah membaca karya saya yang sangat penuh kekurangan
“Sekarang?” Sakha menjauhkan tubuh mereka dan menatap istrinya itu tepat di mata. “Tentu saja semuanya sudah berubah. Kamu merubah banyak hal dalam diriku dan duniaku.”Airin menangis. Dan Sakha mengusap pelan air matanya yang mengalir di pipi.“Airin?”“Hm?”“Apa kamu … mencintaiku?”“ …!”“Karena aku sangat mencintaimu.”Sontak tangisan Airin langsung terhenti. Dia menatap mata yang berwarna karamel itu, yang memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas mereka. Airin mencari-cari, tapi dia tidak menemukan kebohongan.“Tidak masalah lagi dengan anak. Aku tidak pernah marah padamu saat tahu bahwa kita kehilangan bayi kita, harapanku saat itu hanya satu; mengambil semua rasa sakit yang kamu rasakan dan melimpahkannya padaku.“Dan tidak, Airin. Kalau kamu berpikir bahwa aku akan berpaling, maka kamu salah. Satu-sat