Keesokan harinya, ketika Alicia terbangun dari tidur setelah hampir semalaman menangis, dia dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang di kamarnya. Alicia sontak langsung beringsut duduk menatap penuh awas pada perempuan-perempuan berpakaian serba putih itu.
"Selamat pagi, Miss Alicia," sapa salah satu dari mereka, yang tampak lebih tua dari perempuan yang lain.
Alicia menelan ludahnya dengan susah payah. "Pa-pagi."
Si kepala pelayan itu tersenyum ramah. "Anda tidak perlu takut, Miss, kami datang ke sini untuk membantu Anda bersiap-siap untuk sarapan."
Mendengar itu, Alicia menggeleng kepala. Para pelayan itu saling tatap, memperhatikan penampilan Alicia dengan rambut acak-acakkan dan mata sembab dengan pakaian yang masih utuh.
Terlebih, tidak ada noda darah di kasur.
Mereka sangat hapal pada tabiat tuan mereka, setiap kali membawa seorang gadis ke rumah, gadis tersebut tidak akan mampu bertahan selama beberapa hari. Dan di hari pertama, mereka selalu tampak seperti Alicia, hanya saja tanpa mata sembab dan pakaian yang lengkap.
Hal ini membuat para pelayan di kamar Alicia itu mengerutkan dahi heran.
Lalu untuk beberapa puluh menit selanjutnya, mereka akhirnya berhasil membujuk Alicia untuk mandi dan mengenakan pakaian yang lebih layak dari yang dikenakannya kemarin, serta mendandaninya dengan make up yang membuat Alicia sangat risi. Berulang kali dia mengusap lipstik merah yang tercetak di bibir ranumnya.
"Miss Alicia, kami mohon, berhentilah menghapus lisptik Anda," kata kepala pelayan yang memperkenalkan dirinya sebagai Maloma.
Alicia menatap tajam pada cermin di hadapannya, dia paling benci ketika dipaksa seperti ini. Jadi, Alicia tidak mendengarkan. Mereka mengoles kembali lipstik itu ke bibirnya sebelum keluar dari kamar, dan Alicia dengan cepat menghapusnya ketika sudah sampai di luar.
Dia tidak terlalu memperhatikan keadaannya saat ia berjalan menyusuri koridor bersama pelayan-pelayan tadi di depan dan belakangnya. Mata Alicia terus mencari-cari jalan keluar yang bisa ia gunakan untuk kabur dari tempat ini dan dari pria itu.
Mereka sampai di meja makan panjang yang berisi banyak sekali makanan untuk menu sarapan.
Perut Alicia keroncongan, dia memutuskan untuk mengisi perutnya dulu, barulah setelah itu memikirkan strategi untuk kabur.
Tapi sepertinya, apa yang dia pikirkan itu mustahil terjadi, karena pria yang semalam bersamanya ternyata telah duduk manis di ujung meja sambil membaca koran di depan wajahnya dan asap rokok yang mengepul keluar dari mulutnya.
Jantung Alicia langsung berdentum cepat. Ia sempat berbalik arah, namun kedua pelayan di belakangnya menahan Alicia dan sedikit mendorongnya sampai kemudian dia terduduk di kursinya yang bersebrangan dengan pria itu.
Ini benar-benar sebuah pemaksaan!
Alicia hendak merengek dan menangis, tapi dia tidak mungkin melakukannya lagi. Cukuplah semalam. Sekarang, dia harus meminta segala penjelasan dari pria itu mengapa dirinya ada di sini. Apa ini berhubungan dengan kedua orangtuanya? Atau Alicia hanya menjadi budak di rumah ini setelah pria itu membelinya dari pamannya yang gila harta?
"Makanlah, Alicia," kata Lucius dengan tenang. Dia meletakkan kembali korannya dan menatap Alicia dengan mata merahnya yang kali ini tampak lebih pucat.
Alicia menelan ludah. Dengan keberanian penuh yang ia kumpulkan, ditatapnya balas manik merah itu. Lucius sedikit tertegun karena keberanian Alicia yang meningkat drastis dalam satu malam.
Lucius menaikkan sebelah alisnya, seolah menantang Alicia untuk bertindak lebih jauh.
Dan Alicia, menerima tantangan itu tanpa dirinya sadari ketika dia membuka suara untuk bertanya; "Kenapa aku di sini?"
Lucius menahan senyumannya. "Kenapa kau bertanya?"
Alicia mengepalkan tangannya di atas meja, melawan rasa takut yang saat ini melandanya. Tentang bagaimana Lucius menatapnya tajam dan cara lelaki itu tersenyum padanya.
"Kalau tujuanku berada di rumah ini tidak terlalu penting, maka aku akan pergi," ucap Alicia dengan suara kepercayaan diri yang tinggi.
Lucius tersenyum miring. Dia tidak menanggapi ucapan Alicia itu, malah tampak acuh dengan kembali menghisap batang rokok yang ia selip di antara jarinya sampai habis, setelah itu membuangnya ke asbak, lalu menyeruput kopi hitamnya dalam segali teguk.
Apa itu benar-benar kopi? Batin Alicia. Lucius tampak seperti iblis yang bersemayam di tubuh malaikat tampan. Dilihat darimapun, Lucius itu bukan manusia, manusia mana di dunia ini yang memiliki mata semerah milik Lucius. Atau dia memiliki kelainan genetik? Seperti vampire mungkin.
Alicia menggelengkan kepala, menghapus pemikiran itu dari sana. Dia menunduk menatap piringnya yang berisi sandwich. Alicia tidak suka sandwich, terlebih dia membenci tomat yang diselipkan di dalamnya.
"Habiskan sarapanmu," kata suara berat milik lelaki di hadapannya.
Alicia tidak menanggapi, dia hanya menatap makanannya bergantian untuk menatap Lucius.
"Alicia."
Sekalipun Lucius hanya menyebutkan namanya dengan suara kecil, entah seberapa banyak rasa takut yang ia tanamkan, tapi sifat pembangkang Alicia mulai menggelitik.
Dia mengangkat dagu tinggi-tinggi. "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan memakan makanan yang disajikan oleh penculik sepertimu?"
Lucius mengedik bahu. "Kalau kau ingin mati, silakan saja, tidak usah makan."
Alicia tersenyum, merasa dirinya menang. Namun, ketika Lucius bangkit dari kursinya dan mendekati Alicia, tubuh Alicia langsung kaku penuh antisipasi pada apa yang akan lelaki itu lakukan.
Lucius mencengkram rahang Alicia kuat, menunduk menatapnya tajam, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Dan Alicia meringis karena rasa sakit di rahangnya yang dicengkram Lucius.
"Dengar, Alicia, aku mengetahui semua tentang dirimu. Aku membelimu pada pamanmu yang bodoh itu bukan tanpa alasan."
Alicia diingatkan lagi, entah kenapa dorongan untuk menangis tiba-tiba saja muncul.
"Itu berarti, kau adalah milikku. Aku bebas melakukan apapun padamu dan kau tidak memiliki hak apapun untuk melawan tuanmu, kau mengerti?!" desis Lucius di depan wajahnya.
Alicia mengetatkan rahang, menahan desakan untuk menangis, dia bernilai serendah itu? Tapi Alicia mengganti rasa sedihnya dengan amarah yang saat ini memuncak.
"Aku manusia, dan aku berhak atas hidupku. Aku bukan pelacurmu!" desis Alicia tidak kalah tajam.
Mendengar itu, Lucius tertawa kecil. "Alicia... mulai sekarang tanamkan ini di kepalamu! Bahwa kau adalah milikku, hidup dan matimu ada di tanganku, dan sekali kau terjerat denganku, kau tidak lagi memiliki hak atas apapun di hidupmu. Dan oh, kau memang pelacurku. Perlu aku ingatkan lagi sudah berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk membelimu?"
"Aku bukan barang!" bentak Alicia, mata hijaunya menggelap dan berkilat-kilat marah, dia bahkan dengan berani menatap mata Lucius.
Alicia mengakui bahwa dirinya takut dan dia menghitung setiap detik untuknya segera terbebas dari siksaan yang dibuat pria itu saat ini.
"Kau bahkan lebih rendah dari barang."
Air mata mengalir di pipi Alicia yang mulus. Dia merasakan rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Alicia tahu dia memang makhluk rendahan yang tidak punya apa-apa di dunia, bahkan kedua orangtuanya pergi meninggalkannya. Alicia tidak pernah menganggap dirinya spesial atau memiliki derajat tinggi. Dia hanya butuh kasih sayang, dan bibi Jen dan Wendy memberikan itu semua padanya. Sekarang... lelaki di hadapannya ini bahkan tidak tahu akan rasa sakit yang dirasakan Alicia selama sepuluh tahun belakangan.
Alicia menggeleng ketika cengkraman Lucius di rahangnya mengendur. "Aku manusia yang berhak atas hidupku sendiri, bukan barang, dan aku bukan pelacurmu!" kata Alicia di tengah tangisnya.
Sedangkan Lucius, lelaki itu menyeringai geli. Jelas terpancar di kedua matanya yang merah kelam bahwa dia menikmati suara tangisan Alicia. Dia bahkan harus menahan diri untuk tidak membawa gadis itu ke ranjangnya dan menunjukkan seberapa rendahnya Alicia di mata Lucius.
Tapi tidak, Lucius tidak akan membuat semuanya menjadi mudah. Dia menyukai game, dan mulai detik ini, Alicia adalah permainan yang tidak akan pernah bosan dia mainkan.
"Bagus, menangislah," kata Lucius tajam, yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Alicia berdiri, dia tidak bersuara, tapi air matanya terus mengalir. "Akan aku tunjukkan bahwa kau memang pelacurku, tidak lebih dari itu."
Lalu Lucius mencium bibir Alicia. Memagutnya dengan kasar. Bahkan menggigit bibir bawahnya yang membuat Alicia terpekik dan semakin meronta dengan membabi buta. Sedangkan Lucius menciumnya kian dalam dan kasar. Alicia memukul-mukul dadanya ketika darah kental bercampur air liur mengalir ke dagu Alicia.
Dan di saat itulah Lucius berhenti. Dia menatap Alicia yang bergetar ketakutan di bawah kuasanya. Darah masih mengalir ke dagunya dari bibirnya yang sobek, Lucius tergiur untuk menyakiti Alicia lagi, dan dia melakukannya dengan menekan luka di bibir Alicia itu dengan jempolnya.
Alicia memekik sakit.
Lucius terkekeh. Dia mendekatkan wajahnya lagi dan berbisik di telinga Alicia. "Be a good girl, Alicia. Aku tahu tentang keberadaan orangtuamu." Alicia terkesiap, sebelum Lucius berkata kembali, "Jangan pernah berpikir untuk kabur atau melakukan sesuatu yang membuatku marah, karena semua itu akan berimbas pada mereka. Tunduklah padaku, atau mereka akan celaka." Lucius menjauhkan wajahnya, dan menatap Alicia dengan senyuman sinis di bibir.
Alicia tidak berani menatap balik matanya lagi. Dia menunduk. Tubuhnya masih bergetar karena tangis dan rasa takutnya.
"Kau mengerti?" desis Lucius tajam di depan wajahnya.
Alicia mengangguk.
Lucius tersenyum puas. Dia melepas tangannya dari rahang Alicia yang hampir menyentuh lehernya, kemudian Lucius menegakkan tubuhnya kembali, merapikan jas kerjanya yang sedikit kusut karena perbuatan membabi-buta Alicia tadi. Lalu Lucius mengambil sebuah lembar foto di dalam saku jasnya dan menaruhnya di atas meja dekat Alicia.
"Mulai sekarang, panggil aku Tuan, dan berlaku hormatlah padaku." Lucius berkata sebelum dia melangkah pergi, meninggalkan Alicia seorang diri di ruang makan yang megah itu.
Alicia menarik napas dalam-dalam dan tidak lagi mampu menahan tangisnya. Dia menoleh ke samping, menatap lembaran foto itu. Di sana, tampak kedua orangtuanya yang tengah berada di pantai, tersenyum bahagia sambil menggandeng seorang anak laki-laki yang juga tersenyum lebar. Mereka tampak bahagia sekali. Alicia tidak tahu siapa anak laki-laki itu, tapi melihat seberapa bahagianya mereka yang kemudian akan direnggut Lucius jika dirinya melawan pada lelaki itu, membuat Alicia semakin histeris dalam tangisnya.
Dia membenci Lucius, lebih dari apapun. Namun, tidakkah ada jalan lain selain harus tunduk padanya?
***
đź‘‘ ASIA JULY
Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.
Alicia terbangun ketika merasakan sesuatu yang menyengat telapak tangannya. Dia membuka mata dan melihat siluet gelap Lucius di hadapannya."Kau bangun di waktu yang tepat," gumam pria itu, mencabut jarum suntik yang belum sempat menembus nadi Alicia, lalu menancapkannya lagi tanpa kehati-hatian, membuat Alicia meringis sakit.Lucius tersenyum manis. "Aku sangat membencimu," bisik Alicia tajam, sambil terus memperhatikan Lucius yang ternyata baru selesai memasangkannya infus.Kembali, Lucius hanya tersenyum. "Terima kasih, aku juga sangat membencimu," sahutnya tanpa adanya nada kebencian sedikitpun, tidak seperti cara Alicia mengucapkan kebenciannya sendiri."Kau lapar?"Alicia tidak menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak menatap Lucius yang berjalan menjauhinya lalu mengambil sebuah nampan berisi makanan, membawanya ke arah Alicia.Seketika itu perut Alicia berbunyi
Mobil hitam itu melaju meninggalkan pekarangan luas mansion. Alicia menatapnya dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata sejenak.Haruskah aku melakukan ini? Batinnya, mulai merasa ragu.Dia ingat dengan jelas ancaman Lucius jika Alicia melanggar 'peraturan' yang pria itu tetapkan. Tapi, Alicia benar-benar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya.Semua ini bermula saat waktu sarapan tadi. Ya, kesehatan Alicia membaik setelah hampir satu minggu dia hanya terbaring di ranjang. Pagi ini, Alicia sarapan di patio bersama Lucius. Mereka makan dalam diam. Lucius tidak sedikitpun tampak hendak memulai pembicaraan dengannya, karena seluruh perhatian pria itu seolah hanya untuk topik di kepalanya saja. Lucius pun tidak lagi datang ke kamar Alicia. Seperti hari ini, pria itu berangkat pagi-pagi dan selalu pulang larut malam.Alicia bertanya nama kota ini ke salah satu pelayan
Napas Alicia memburu, membuat dadanya sakit dan bergemuruh cepat. Peluh membanjiri pelipisnya, kakinya sudah terasa kebas dan rambut gelapnya yang panjang acak-acakan dan lengket karena keringat. Alicia meringis sakit, ketika kakinya yang kebas itu tersandung batu, dia terjatuh dengan lutut yang mengeluarkan darah. Namun semua itu, tidak membuat Alicia menghentikan pelariannya. Dia bangkit dan berlari lagi, dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang.Sepi.Alicia tahu cepat atau lambat para penjaga di rumah itu pasti akan menyadari kepergiannya. Dan dia hanya bisa berdoa semoga mereka tidak menyadarinya secepat seperti yang Alicia bayangkan.Jalanan sangat sepi pada pagi menjelang siang itu, tidak ada satupun mobil yang lewat. Di kiri kanan yang terlihat hanya hutan-hutan belantara yang sunyi. Alicia baru mengetahui bahwa letak rumah Lucius sejauh ini dari kota. Namun tetap saja, Alicia tidak menyerah.
Alicia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya.Dia merasakan dadanya sakit akibat jantungnya yang berdetak begitu cepat serta napasnya yang berat. Dia menatap ke sekelilingnya, benar-benar gelap, namun dari suara-suara lain yang ia dengar di sana, Alicia jelas mengetahui bahwa bukan hanya mereka berempat yang ada di dalam ruangan itu. Siapa yang tahu apa yang ada di balik kegelapan?"Selamat malam, hadirin sekalian." Suara seorang pria dengan microfon.Alicia meneguk ludahnya susah payah. "Ca-calla...""Hm.""A-aku... aku benar-benar takut.""Damn, who wasn't."Alicia semakin merasa takut. dua perempuan lainnya yang Alicia tidak tahu nama mereka siapa, juga pasti merasa ketakutan, terdengar jelas dari suara rengekan mereka yang seolah hendak menangis.Alicia tahu... bahwa inilah saatnya."Terima kasih sud
Saat kecil dulu, Alicia jarang sekali terkena virus penyakit. Mamanya selalu mengontrol pola makannya dan selalu memberikannya vitamin. Kasih sayang sang Mama juga Papa terasa begitu besar, sehingga kepergian mereka yang 'meninggalkan' Alicia, masih gadis itu tidak percayai. Pasti ada sesuatu, alasan yang begitu kuat di balik tindakan mereka itu.Sekarang, Alicia sakit. Tubuhnya mengeluarkan keringat sangat banyak, namun dia terus saja meracau kedinginan. Tiga lapis selimut menutupinya sampai leher, hal itu masih tidak banyak membantu. Kening Alicia berkerut dalam. Setiap malam, dia akan berteriak-teriak ketakutan seolah nyawanya sedang di ujung tanduk.Saat sedang terjaga, dia akan berhalusinasi seperti orang gila, ketakutan dan menjerit. Ketika tidur pun, mimpi buruk tiada henti menghampirinya. Kalau belum muntah, Alicia tidak akan tenang.Terhitung sudah tiga hari Alicia seperti itu.Lucius, yang saat i
Tubuh Alicia melemah seiring dengan tangisannya. Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika napas mulai tersendat-sendat, dan dadanya terasa sakit. Alicia merasakan rengkuhan hangat itu mengerat dan seseorang membaringkannya dengan lembut di ranjang. Yang terakhir kali singgah di benaknya sebelum ia benar-benar menutup mata adalah wajah bibi Jen, Wendy, dan paman Filbert di desa. Alicia tidak akan pernah memaafkan dirinya atas apa yang terjadi pada mereka.Ketika terbangun dari tidurnya, kepala Alicia terasa pening. Bahkan hanya untuk membuka mata rasanya dia tidak sanggup. Tapi seseorang dengan sangat tidak berperasaan menarik tangan Alicia dan memaksanya duduk. Alicia langsung meringis memegangi kepalanya karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di sana."Aku tidak menyukai gadis manja!" hardik Lucius ketika Alicia terjatuh lagi ke ranjang dan Lucius menariknya duduk kembali."Ku-kumohon," rintih Alicia.
"Mungkin ini memang yang terbaik," gumam Alicia, kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih terdengar putus asa, "setidaknya untuk sekarang." Dia memetik setangkai bunga daisy dan menggenggamnya di tangan bersama tangkai yang lain. pikiran Alicia kembali berkecamuk.Dia hari itu, hari yang tidak akan pernah Alicia lupakan pernah terjadi, pengalaman paling baru dan paling aneh yang pernah dirasakannya. Yang diberikan oleh seorang pria dewasa berhati kejam. Tubuh Alicia kembali dialiri gelenyar aneh. Semenjak hari itu, dia tidak pernah lagi melihat Lucius di rumah. Alicia awalnya tidak berani melangkah keluar dari kamarnya, sampai suatu pagi dia menyadari bunga di atas nakasnya mengering. Kemudian Alicia mulai bertanya-tanya siapa yang setiap pagi mengganti bunga itu di sana? Karena Alicia tidak pernah melihat pelayan melakukannya. Dan jika Lucius yang melakukannya, itu terdengar sangat mustahil. Alicia berhenti bertanya-tanya dan mencoba menggantinya s