Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.
Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.
Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.
Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya.
"Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya.
"Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bibi diminta untuk tidak mencemaskan Nyonya. Beliau akan menelpon jika membutuhkan sesuatu," jawab Bibi Ipah sambil meletakkan minuman untuk Smith di meja.
Smith pun tersenyum lebar dan meneguk jus alpukat kesukaannya. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Bibi Ipah yang telah menjaga dan merawat ibunya dengan sangat baik.
Gadis itu kemudian bergegas menuju lantai tiga, tempat kamar ibunya berada, tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Meninggalkan Bibi Ipah yang juga tersenyum lega karena keadaan Lisa akhirnya sudah menjadi lebih baik.
Namun, setelah Smith tiba di kamar ibunya, betapa kagetnya ia karena sang ibu yang dikira sedang berbaring di atas ranjang, ternyata tidak ada di sana.
Smith menjadi panik dan mengarahkan matanya ke segala penjuru kamar. Pandangannya tersita pada pintu kamar mandi yang tertutup.
"Bu, ibu, apa ibu di dalam?" tanya Smith dengan detak jantung sangat cepat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
Tentu saja Lisa tidak menyahut. Perempuan itu bahkan tidak bisa sekadar membuka matanya karena memang sedang tidak sadarkan diri usai terpeleset.
Tapi Smith sangat yakin kalau ibunya berada di dalam. Pertama, ketika ia hendak membuka pintu, tidak bisa karena terkunci dari dalam kamar mandi. Kedua, terdengar suara air mengucur. Smith sangat mengenal ibunya. Lisa tidak akan membiarkan kran air terbuka jika tidak sedang berada di dalam kamar mandi. Smith tahu ibunya termasuk orang yang bijak dalam menggunakan air.
"Ibu... ibu... Aku mohon bukalah pintunya ibu!" teriak Smith semakin lantang dengan air mata yang telah berderaian.
Suara gaduh dari kamar Lisa membuat orang-orang datang. Termasuk satpam yang kemudian mendobrak pintu kamar mandi.
Dan setelah beberapa kali pintu tetap ngeyel tertutup, akhirnya mulai terbuka juga.
"Ibu...!" jerit Smith melihat ibunya terlentang dengan darah yang keluar dari belakang kepala.
***
"Halo, ayah. Cepatlah pulang, ayah. Aku takut ibu kenapa-kenapa. Apa? Tidak bisakah ayah kemari sebentar. Ibu masih belum sadarkan diri. Halo, ayah. Ayah? Halo! Halo!"
Telepon yang baru diangkat setelah sebelumnya dimatikan sang ayah berulangkali, akhirnya ditutup begitu saja. Padahal sebelumnya Smith telah mengirimkan pesan kepada ayahnya tentang kondisi sang ibu yang mengkhawatirkan.
"Bagaimana Non?" tanya Bibi Ipah tidak kalah cemas.
Smith duduk lemas dan menggeleng. Wajahnya yang masam sudah cukup untuk menunjukkan bahwa kedatangan Hendry tidak perlu ditunggu lagi.
"Pak Jono, Bi Ipah, bawa ibu ke mobil. Aku akan mengambil uang untuk biaya pengobatan ibu di rumah sakit," perintah Smith sambil berdiri dan mengusap pipinya yang basah.
Dengan sigap, Pak Jono membopong Lisa turun ke lantai dasar, tempat mobil majikannya terparkir. Diikuti oleh Bibi Ipah yang ikut panas batinnya karena sikap majikan laki-lakinya yang tak acuh pada istrinya sendiri.
Sementara itu, Smith membuka brangkas yang ada di kamar ibunya. Ia ingat benar kalau kode yang digunakan untuk bisa membuka lemari besi itu adalah angka kelahirannya.
"Sial!" ujar Smith karena brangkas tidak bisa dibuka setelah kode dimasukkan.
Hal itu bukan lantaran kode kuncinya telah diganti, melainkan karena Smith keliru memasukkan angka. Rasa panik yang begitu besar membuat Smith kesulitan untuk mengendalikan diri.
"Tenangkan dirimu bodoh!" ujar Smith pada diri sendiri.
Smith menarik napas panjang. Lalu mencoba untuk memasukkan kembali kode brangkas dengan benar. Tangan gadis itu sampai bergetar karena pikirannya yang kacau.
"Berhasil!"
Smith mengambil beberapa gepok uang. Lantas menutup kembali brangkas itu.
Smith berlari secepat mungkin. Ia tidak ingin ibunya menunggu terlalu lama.
Bruk!
Smith terguling di dekat tangga. Kakinya berpijak terlalu ke tepi hingga akhirnya terjatuh.
"Ouch!"
Smith mengaduh ketika hendak bangun. Ia memegangi kakinya yang nyeri saat dipakai berdiri.
Tapi Smith tetap berusaha untuk bangkit. Meski tahu kakinya mungkin terkilir, gadis itu memaksakan diri untuk berjalan, bahkan berlari, dengan wajah meringis menahan sakit.
"Cepat kemudikan mobilnya, Pak Jono!" ujar Smith ketika memasuki mobil.
Gadis itu tampak komat-kamit mulutnya. Membaca doa agar sang ibu diberi keselamatan.
"Bertahanlah ibu. Kau harus tetap hidup," kata Smith dalam batin.
Dalam hatinya Smith bersumpah, jika hal buruk terjadi pada ibunya, ia tidak akan pernah memaafkan sang ayah.
***
Smith tidak pernah mengira jika ibunya akan terkena struk. Bukan hanya pada bagian tertentu, melainkan hampir seluruh tubuhnya.
Siapa sangka, baru kemarin Lisa terlihat lebih baik, dan kini terbujur saja di rumah sakit. Tidak mampu menggerakkan badannya, kecuali untuk berkedip dan berbicara. Itu pun masih sangat terbatas.
"Istirahatlah Non, biar Bibi yang menjaga Nyonya," kata Bibi Ipah yang kasihan melihat Smith terus menguap di samping ibunya.
"Tidak apa Bi. Bi Ipah istirahat saja."
Smith bertekad tidak akan pernah meninggalkan ibunya. Ia juga menahan segala ketakutan yang sebenarnya begitu menghantui.
Dalam benaknya, terbesit pikiran bagaimana jika kemudian ibunya meninggal? Bagaimana dengan dirinya? Siapa yang akan ini, yang itu, dan seterusnya.
Andai saja sang ayah ada di sisinya sekarang, pasti semua akan menjadi lebih mudah, sebagaimana ayahnya dulu yang sangat bisa diandalkan.
Smith menatap ibunya nanar. Matanya berkaca-kaca mengingat ayahnya.
"Apa yang bisa diharapkan dari pengkhianat itu? Akan lebih baik jika dia tidak pernah kembali," kata Smith dalam hati.
Tentu saja bukan itu yang ia ingin katakan. Sesungguhnya, Smith memang berharap agar Hendry lekas datang dan memeluknya supaya ia menjadi lebih tegar dan kuat dalam menghadapi segalanya.
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai
Selama beberapa saat ruang tamu di rumah Smith begitu sunyi. Baik Janu ataupun Sisil sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan lagi, setelah Smith benar-benar tidak terlihat.Mereka adalah teman lama. Dan sayangnya, pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah, ternyata dihadapkan pada keadaan yang tidak semestinya."Sisil, terima kasih ya, walau bagaimanapun berkat dirimu aku bisa mendapatkan beasiswa di kampus yang aku inginkan," kata Janu yang berusaha memperbaiki suasana dengan membicarakan masa lalu."Tidak, tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memotivasi dirimu untuk mendaftar saja. Selebihnya ya, semua berkat kemampuanmu sendiri," tukas Sisil sambil tersenyum."Sisil, maafkan aku, tadi aku mendengar percakapanmu dengan Smith. Jadi, mengapa kau menunggu ayahmu di sini?"Pada akhirnya Janu tidak bisa menahan diri lagi. Ia sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Sisil ada b
Pukul 23.45, Hendry tiba di rumah. Ia membuka pintu menggunakan kunci cadangan dengan sangat hati-hati, tidak ingin membangunkan penghuni rumah.Bibi Ipah memang tidak pernah membiarkan kunci rumah menempel di pintu. Sengaja agar sang majikan bisa membuka kuncinya dari luar.Hendry mengendap perlahan, masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak ingin memunculkan suara-suara tertentu. Ia juga tidak menyalakan lampu yang telah dipadamkan.Tapi Smith tahu kalau ayahnya telah datang. Gadis itu selalu tahu. Sebab diam-diam, dalam batinnya, Smith juga mencemaskan sang ayah sebagaimana yang dirasakan Sisil.Smith tersenyum dan kembali memejamkan mata. Sebelumnya ia tengkurap, terlentang, miring ke kanan dan ke kiri, juga mempraktikkan posisi seperti orang tengah sujud, lantaran kantuk tidak juga mendatanginya.Apapun posisi tidurnya, yang terpenting memang ketenangan bati