Share

6. PICIK vs TULUS

Selamat sore sahabat cerdas, apakah kalian sudah menyiapkan payung? Cuaca hari ini diprediksi akan turun hujan dan cuaca menjadi lebih dingin. Saya harap kalian tidak terkena hujan. Selamat mendengarkan lagu penutup segmen hari ini.

Seorang VJ Radio di seberang sana mengingatkan para pendengarnya tentang hujan yang akan turun hari ini. Aku bermenung. Menyandarkan kepala ke kaca mobil. Pak Andra menyetir dengan tenang. Barangkali ia mengerti keadaanku dengan melihat ekspresi wajahku yang tampak lesu.

“Cuaca hari ini sangatlah tidak bersahabat,” gumamku membalas pernyataan penyiar yang kudengar.

Aku merasa hujan hari ini ikut menangisi perasaanku. Aku mendesah pelan. Kepalaku terus dibayangi perkataan Mino tadi siang.

Karena aku sama sepertimu.

Huft! Aku menghembuskan nafas pelan.

Setelah Mino mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum pahit. Bilang kalau itu bukan jadi masalah. Karena memang bukan salah Mino. Situasi yang tidak tepat menjadikannya jahat. Lalu aku meninggalkannya di belakang, tanpa meninggalkan kata-kata untuknya. Aku sama sekali tidak marah padanya. Hanya saja pikiranku terlalu kacau untuk membalas perkataannya.

Tapi aku sama sekali tidak mengerti dari perkataannya. Bagian mana dari diriku yang sama dengannya? Sekali lagi aku menghembuskan nafas. Kali ini lebih panjang.

“Nak Jia ada masalah di sekolah?” Pak Andra menyadarkanku.

“Apakah terlihat jelas pak?” aku membalas Pak Andra.

Pak Andra mengangguk, ia mengintip dari balik kaca kecil yang menggantung.

“Entahlah pak, suasana hatiku hari ini sangatlah buruk, Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya,” aku menyerngitkan hidung.

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi seakan berlarian dengan arah berlawanan dengan laju mobil.

“Setiap orang pasti memiliki kesulitannya masing-masing nak, mereka akan sampai pada masanya. Bisa jadi saja, nak Jia sedang berada pada masanya. Bapak tidak tau pasti apa hal yang tengah mengganjal hati dan pikiran nak Jia, tapi yakinlah, setiap orang pasti bisa melewati masa itu, nak Jia bisa anggap ini sebagai suatu proses menuju pendewasaan diri, maka semuanya pasti akan berlalu.” Pak Andra tersenyum tulus menyudahi nasehatnya.

Aku menoleh. Mengintip wajah Pak Andra melalui kaca mobil. Sebuah guratan terukir disudut bibirku mengikuti senyuman Pak Andra.

Mobil melaju membelah jalanan yang mulai dirayapi mobil dan motor.

*****

Aku memilih berangkat pagi-pagi sekali. Karena aku tidak mau berpapasan dengan Mino di gang sempit yang biasa kami lewati. Aku masih belum tahu apa maksud dari perkataannya kemarin.

            Tapi pilihanku sangat tidak membantu. Seperti seorang peramal. Dia sudah duduk di bangku dengan tangannya yang memainkan ponsel seakan menunggu kedatanganku Aku melihatnya dari pintu. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku datang sepagi ini?

            Aku berjalan menghampirinya. Mino menurunkan ponsel di tangannya sembari menoleh ke arahku. Aku mengabaikannya lalu duduk di bangku.

“Waaaa. Kau datang pagi sekali rupanya,” ungkapnya mengejek.

Aku melirik sinis ke arahnya. Tapi itu tidak bertahan lama. Aku sudah tidak tahan.

“Seka…”

“Tenta…”

Kami berhenti.

“Aku duluan,” aku menyela lebih dulu.

Mino memanyunkan mulutnya. Mempersilahkan. Ia memperbaiki posisi, menyandarkan badannya ke sandaran kursi.

“Kemarin, apa maksudnya kalau kau sama denganku? Bagian mananya?” Aku bertanya ikut menyandarkan badan.

Kelas masih dalam keadaan sepi. Hanya ada kami berdua dan satu teman kelas yang baru saja datang. Posisinya cukup jauh dari kami karena bangkunya di baris depan. Aku ragu dia bisa mendengar percakapan kami.

“Sekarang apa yang akan kau lakukan?” Mino balik bertanya.

“Apanya?”

“Kau tahu surat perjanjian gila yang dibuat oleh ayahmu? Lebih tepatnya surat pernyataan.”

Aku pernah mendengar tentang surat itu sebelumnya. Aku hanya menyangka itu surat pernyataan tentang peraturan sekolah biasa. Ternyata aku salah. Aku merubah posisi duduk menghadap ke arahnya. Begitu pula dengannya. Kini kami saling berhadapan.

“Aku lupa. Kau pasti tidak menandatanganinya,” ia berbicara sambil memicingkan sebelah matanya dan memainkan jari telunjuknya ke arahku.

Mino kembali bersandar. “Banyak sekali hal yang tak kau ketahui dari sekolah ini.”

“Memang benar aku tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini. Makanya beri tahu aku. Bukankah kau datang sepagi ini untuk memberi tahuku?” aku sembarang menebak.

Kelas sudah mulai ramai, satu persatu anak kelas kami mulai berdatangan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Sebentar lagi bel tanda pelajaran pertama dimulai akan berbunyi.

“Kau pikir anak-anak di kasta tiga menerima saja semua ini?” Mino menopang kepalanya dimeja dengan kedua tangannya. Telapak tangannya menutupi mulut. Aku reflek mengikuti gayanya.

Aku tidak banyak berbicara. Fokus mendengarkan semua perkataan Mino, karena semua perkataan dan pertanyaannya sangatlah acak.

“Tidak semua anak-anak disini diam, duduk manis mendengarkan guru di kelas. Mematuhi semua yang ditetapkan. Tapi mungkin saja itu menjadi alasan mereka duduk di kelas ini,” lanjutnya.

Pagi itu kami menghabiskan waktu berbincang satu sama lain. Lebih tepatnya aku yang hanya mendengarkan Mino bercerita panjang lebar tentang apa saja yang telah terjadi selama empat bulan sebelum aku masuk sekolah ini.

****

Aku mengantri di barisan paling belakang. Seperti biasa. Anak-anak sangat suka dengan keberadaanku. Bahkan aku bisa mendengar dengan samar beberapa dari mereka membicarakanku.

“Lihatlah pakaiannya.”

“Dasar tidak tahu malu.”

Sindir gadis yang berdiri beberapa langkah di belakangku.

“Sampai kapan kita harus antri sesuai kasta untuk mendapatkan makan siang. Sia-sia aku membayar biaya sekolah yang mahal.”

Suara Mino mengejutkanku dari belakang. Dia sengaja mendekatkan kepalanya dengan telingaku agar aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku berbalik sambil memegangi telinga. Mino menunjuk barisan di depanku dengan mulut. Setelah berdiri selama dua puluh menit, akhirnya giliran kasta tiga sudah tiba. Aku dan Mino sudah duduk di bangku. Piring kami tidak sepenuh anak-anak di kasta satu yang penuh akan nasi dan lauk. Piring kami seperti dipenuhi remah-remah nasi dan potongan-potongan kecil lauk yang tersisa. Setidaknya teman-teman kasta tiga lainnya tidak sama seperti kami, karena mereka bukan di antrian paling terakhir.

“Sepulang sekolah kau kemana?” Mino membuka percakapan.

Hari itu seperti harinya Mino. Dia berbicara panjang lebar seharian penuh. Meskipun ekspresi wajahnya datar dan gurat wajahnya tajam. Mungkin anak-anak lain tidak akan percaya kalau Mino orang yang seramah dan sehangat ini.

“Pulang. Banyak yang harus kukerjakan,” jawabku singkat. Memasukkan sendok terakhir ke dalam mulut. Tidak sampai sepuluh sendok makanan di piringku, tapi piringku sudah bersih tak bersisa.

“Ikutlah denganku, kau harus tahu sesuatu,” ajak Mino. Dia juga sudah menghabiskan isi piringnya. Meneguk air minum dari botol air minum kemasan.

Aku menyerngitkan kening. “Kemana?”

Mino tidak menjawab, dia membalas dengan menunjukkan senyum piciknya. Mino sangat pandai menunjukkan ekspresi angkuh dan picik. Ditambah dengan potongan wajahnya yang tajam dan tegas.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status