Accueil / Young Adult / Our Fight / 8. LEMBAR UJIAN

Share

8. LEMBAR UJIAN

Auteur: Vaya Diminim
last update Dernière mise à jour: 2021-05-26 21:35:18

Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.

Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.

Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.

Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange yang dipadu dengan jins berwarna hitam. Pakaiannya tidak jauh berbeda dariku, hanya saja kaos yang kukenakan berwarna putih. Terlepas dari warna bajunya, aku menyadari ada sesuatu yang baru dari Mino. Kacamatanya tidak lagi berwarna orange.

Aku melambaikan tangan. Ia sudah melintasi jalan. Satu tangannya memegang ponsel, sedangkan satunya lagi berada di saku.

“Kenapa kau mengajakku keluar?” katanya begitu sampai di depanku.

“Kau tahu aku sudah menunggu berapa lama? dasar lamban” aku bersungut-sungut sambil menaiki anak tangga lalu mendorong pintu café. Mino mengikuti di belakang. 

Aku memesan Ice Chocholate Cream Latte. Menu yang paling banyak disukai. Katanya perpaduan kopi dan coklat sangatlah enak dan manis begitu meleleh di mulut. Sangat cocok dengan cuaca saat ini. Mino juga memesan menu yang sama denganku, tapi bedanya dia meminta untuk tidak menambahkan latte ke minumannya.

Kami duduk di sudut café. Di depan kaca besar yang menghadap ke jalanan yang ramai dengan pejalan kaki.

Mino melepaskan kacamata hitamnya. Itu pertama kalinya aku melihat dirinya tanpa kacamata dengan jarak sedekat ini.

“Wow, kau terlihat sedikit berbeda, tapi tetap saja masih tampan,” ucapku mengomentari penampilannya. Tanganku melambai-lambai di depan wajahnya.

“Kenapa kau mengajakku keluar?” Mino bertanya untuk yang kedua kalinya.

“Aku mau kau membantuku,” pintaku tanpa basa basi. Aku menghirup minumanku seteguk.

“Bantuan apa?”

“Sebenarnya aku lebih membutuhkan pengawalmu, Pandi,” jawabku sedikit ragu, menoleh ke samping.

Mino tersedak. “Buat apa?”

Aku memberikan tisu coklat padanya. “Aku mau Pandi menggantikan kita untuk bertransaksi dengan Arin. Aku butuh berkas itu sebagai bukti,” jelasku. “Jadi kau hanya perlu meyakinkan Pandi agar mau membantu kita, aku akan atur tanggalnya,” lanjutku.

“Sebenarnya apa yang akan kau lakukan?” tanya Mino sambil mengaduk-ngaduk minumannya.

“Aku akan jelaskan nanti setelah semuanya beres, tapi aku akan beritahu kau satu hal yang sudah kulakukan,” aku menghirup minumanku sebelum melanjutkan.

“Aku mengirimkan surat anonim kepada departemen pendidikan sebelumya, dan sepertinya sudah diterima..”

“Dan Mister Han mendatangi kelas kita dua hari lalu.” Mino melanjutkan seperti bisa membaca isi pikiranku.

Aku mengangguk. Aku mulai merasakan kalau kami memiliki semacam ikatan. Kau tahu bagaimana perasaan seperti terhubung dengan orang yang bukan keluarga? Seperti itulah perasaan yang kurasakan waktu itu. Aku merasa kami terhubung karena suatu hal yang sulit untuk dikatakan. Aku pikir kerja sama kami akan menunjukkan perasaanku secara perlahan.

****

Harinya telah tiba. Aku memainkan kerikil kecil yang berserakan dengan kakiku. Mino sibuk dengan ponselnya di sebelahku. Kami menunggu Pandi di belakang sekolah.

Sudah beberapa hari terakhir ini aku selalu bersama Mino, sesekali ia juga mengantarku pulang. Pak Andra dan Bi Ruri tidak pernah bertanya hubungan apa yang kumiliki dengan Mino. Orang yang ramah akan selalu memberikan kesan positif pada orang sekitarnya. Begitulah kesan yang diberikan Mino dan juga Pandi ketika mengantarku pulang, sehingga tidak ada yang bertanya apalagi curiga. Namun, kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Tidak ada yang tahu isi hati seseorang sebenarnya. Bahkan diri sendiri pun tidak dapat mengenali siapa dirinya yang sebenarnya.

“Bagaimana kau meyakinkan Pandi?” tanyaku. Aku berhenti memainkan kerikil lalu mengangkat kepala menoleh ke samping.

“Hm. Mengancam?” jawabnya ragu. Tapi raut wajahnya menunjukkan sebaliknya.

Aku membelalak. “Hei,” teriakku.

Mino mengangkat bahu. Terkadang sulit bagiku untuk memahami Mino. Tingkahnya, nada bicara, perangai dan raut wajahnya sangatlah acak.

“Pandi memang yang terbaik,” lanjut Mino memuji Pandi.

Tidak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan kami. Pandi keluar dari mobil. Ia tampak gagah dalam balutan setelan jas hitamnya.

            Pandi mengangguk ke arahku. Aku membalas sedikit menganggukkan kepala. Kami langsung masuk mobil. Pandi membawa kami ke tempat yang sudah diatur oleh Arin. Tapi kali ini berbeda, tempatnya bukanlah di gedung tua yang berada di belakang minimarket.

            “Sebenarnya aku tidak mau mengambil resiko, tapi aku akan lakukan untuk kalian, hanya sekali ini saja,” tegas Pandi di balik stir kemudi.

            “Apa kau benar-benar diancam Mino?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku begitu saja.

            Pandi terkekeh. “Mino bilang begitu? Tidak. Hanya saja dia sedikit menyedihkan ketika meminta padaku dua hari lalu.” Pandi kembali terkekeh. Barangkali ia teringat kembali perangai Mino dua hari lalu setelah kami bertemu di café.

            Kami sampai di sebuah gedung bertingkat berwarna coklat pastel. Pandi memarkirkan mobil di basement gedung. Suasana hangat dan tenang bisa kurasakan. Jendela besar dan tinggi memenuhi dinding gedung sehingga pencahayaan gedung sangat terang tanpa harus menyalakan lampu.

            Kami menunggu di salah satu meja. Mengambil sembarang buku untuk dibaca. Sebenarnya aku tidak tahu alasan Arin ingin menemui Pandi di sebuah perpustakaan yang ramai dan terpantau CCTV. Bukankah itu akan membahayakan dirinya sendiri?

            Malam setelah kami bertemu, Mino menghubungiku. Ia bilang Pandi bersedia. Entahlah cara apa yang dilakukannya. Karena Pandi bukan tipe pengawal yang mau merugikan apalagi membahayakan majikannya. Aku tahu persis sebenarnya Pandi sangat protektif terhadap Mino. Meskipun perangai Mino sangatlah tidak biasa dan tidak bisa ditebak, Pandi tidak bisa menolak permintaan Mino.

            Dan keesokan malamnya, aku kembali dibuat bertanya-tanya, Mino mengabariku melalui panggilan telfon. Ia bilang Arin akan memberikan berkasnya di perpustakaan. Hanya saja mereka tidak akan benar-benar bertemu. Arin selalu menolak bertemu secara langsung jika yang membeli berkasnya bukanlah anak sekolah. Aku menebak kalau gadis itu khawatir kalau ia bisa dikenali oleh pembeli yang bisa saja kenalan orang tuanya.

Aku mengamati pandi menyusuri salah satu rak buku di depanku. Kini ia belok kiri ke rak lainnya dan menghilang dari pandanganku.

Lima menit kemudian, Pandi kembali. Aku melihatnya berjalan di antara rak buku yang sama. Dia tidak menghampiri kami, tapi langsung menuju pintu keluar lalu ke basement.

Kamipun bangkit dan bergegas menyusul Pandi. Kini kami bertiga sudah berada di dalam mobil. Dia menyerahkan berkas beramplop coklat kepadaku.

“Cukup sekali ini saja, dan ini yang terakhir,” tegas Pandi mengingatkan sekali lagi.

“Aku tahu, aku mengerti. Kau sudah mengatakannya seratus kali,” cibir Mino membalas Pandi.

Aku bergegas membuka perekat amplop. Mengeluarkan tumpukan kertas di dalamnya. Benar saja. Itu adalah berkas ujian yang akan di laksanakan satu bulan lagi.

LEMBAR SOAL UJIAN JULI 2021.

            Tulisan itulah yang pertama kali kulihat dari halaman depan.

            Pandanganku beralih menatap Mino. Begitu pula dengannya. Kami bertatapan. Mata kami seakan melakukan percakapan. Tanganku dengan cepat memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplop. Tapi tangan Mino sudah lebih dulu menahan tanganku.

            “Ayolah, kapan lagi nama kita bisa dipajang di halaman depan majalah sekolah,” goda Mino.

Aku menepis tangannya. Kembali merapikan aplop berkas itu lalu memasukkannya ke dalam tas.

            Sebenarnya aku bukan termasuk murid yang pintar. Tapi nilaiku juga tidak seburuk itu. Dan ini bisa menjadi kesempatanku. Aku memilih untuk tidak melakukan hal ini karena bisa menjadi senjata makan tuan bagiku nanti. Aku tidak mau melakukannya hanya untuk mendapatkan sebuah pujian. Apalah arti dari pujian? Dan seberapa lamakah pujian itu bisa bertahan?

****

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Our Fight   EPILOG

    Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t

  • Our Fight   103. FINAL CHAPTER

    Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol

  • Our Fight   102. PETISI

    Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si

  • Our Fight   101. DEMO

    “Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa

  • Our Fight   100. BENDERA PUTIH

    “Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d

  • Our Fight   99. VERONIKA

    Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta

  • Our Fight   98. MOM CAFE

    “Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan

  • Our Fight   97. KARTU KREDIT

    “Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal

  • Our Fight   96. ONE BY ONE

    Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status