Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah.
Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.
Bruk!
Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.
Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.
“Kau tak apa?” tanyanya sambil meraih kedua tanganku. Membantuku bangun dan berdiri.
Aku memegangi punggung. Terasa sangat sakit. Seragam bagian belakangku juga basah dan kotor. Mino membantu membersihkan bajuku bagian belakang. Menepuk pelan berharap nodanya dapat tersamarkan.
“Kau yakin punggungmu tidak patah?” tanya Mino sekali lagi. Tangannya masih menepuk-nepuk punggungku.
Aku mengangguk lemas. Sakit dan juga malu. Itulah yang kurasakan. Mino membantu mengambil tasku yang masih tergeletak di lantai. Ia membantuku berjalan menuju kelas.
“Aih, kenapa harus jatuh,” gumamku pelan. Tanganku terangkat menutupi wajahku. Aku membayangkan foto diriku yang sudah memenuhi ruang obrolan sekolah. Entahlah, diriku selalu menjadi topik nomor satu di sekolah.
“Siapa suruh berlari-lari di jalanan licin,” katanya.
Belum sempatku membalas Mino yang mengejekku. Sebuah bel pertanda pengumuman sekolah kembali berbunyi.
“Huft, sekarang apa lagi?” ujar Mino. Ia bersandar pada kursinya. Ia menantikan suara yang sudah bisa didengarnya meskipun belum mengeluarkan suara apapun.
Sepertinya sudah kebiasaan bagi sekolahku untuk membuat sebuah pengumuman, sekecil apapun itu, baik atau buruk, akan disiarkan ke seluruh penjuru sekolah.
Selamat pagi, hari yang buruk membawa berita buruk lainnya. Berikan semangat pada teman kita yang akan melakukan introspeksi diri selama tiga bulan. Geofani Liana akan dirumahkan selama tiga bulan karena mencemarkan nama baik sekolah. Sekian, enjoy your study.
Mataku membesar. “Jangan-jangan..,” gumamku. Dengan punggung yang masih sakit, aku reflek bangkit dari bangku.
Dengan cepat Mino menahan badanku. Ia meletakkan kedua tangannya di bahuku. Menekannya dan mendorong tubuhku kembali terduduk.
“Kau mau kemana? Protes pada Mister Han? Kau pikir bisa membalikkan keadaan? kau terlalu cepat marah, itu kebiasaan buruk,” Mino menjelaskan sambil menggeleng-geleng. Nada suaranya masih tenang. Seperti biasanya.
“Aku sudah merasa aneh ketika melihatnya di auditorium kemarin. Kau tahu dia tidak salah apapun, tapi harus menanggung semuanya. Aku merasa bersalah padanya.”
“Mister Han tidak mungkin menskors anaknya sendiri, itu akan mencoreng nama baiknya, ditambah lagi terlalu banyak rumor dan story tentang kau di sekolah ini. Pikirkanlah cara lain.”
Aku menopang dagu dengan kedua tanganku sambil memikirkan cara agar Geofani kembali bersekolah normal. Aku tidak peduli dengan suasana kelas yang mulai berisik karena hari ini Bu Hani tidak mengajar. Kami mendapatkan tugas mandiri. Tapi aku sama sekali tidak peduli. Mino yang duduk di sampingku terus menatapku yang sedang berpikir keras. Beberapa kali aku merubah posisi duduk.
Tiba-tiba aku bangkit ketika sebuah ide melintas di benakku. Rasa sakit pada punggungku seakan hilang tanpa jejak. Mino yang masih duduk dengan tangan di saku mendongak melihat raut wajahku tampak serius.
Aku menunduk membalas tatapan Mino. Sorot mataku berubah, penuh tekad.
Mino ikut bangkit dari kursinya. “Jangan bilang kau,” ucapannya terhenti seakan bisa membaca apa yang kupikirkan.
“Tapi itu terlalu berisiko, kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika ketahuan,” balasnya. Nada suara Mino berubah, terdengar sangat mengkhawatirkanku.
“Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak melakukannya, orang lain hanya akan terluka tanpa tahu apa yang terjadi, dan itu akan membuatku menjadi orang jahat tanpa rasa bersalah,” aku berhenti sejenak, “seperti yang kau bilang, ayahku tidak mungkin mengeluarkan anaknya sendiri,” aku mengalihkan pandangan.
“Aku tidak serius bilang seperti, Mister Han bisa berubah kapan saja.” Mino mencoba menghentikanku.
“Setidaknya kita harus mencoba. Aku mohon bantulah aku, kita tidak bisa membiarkan gadis yang tidak bersalah menanggungnya. Hanya kau yang bisa membantuku,” pintaku pada Mino. Aku kembali duduk, meraih tangan Mino, membujuknya agar mau membantuku kali ini.
Mino hanya menghela nafas ketika melihat sorot mataku yang penuh harap padanya. Pertanda kalau ia sudah menyerah dengan sifat keras kepalaku. Ia mau membantuku meskipun sebenarnya ia tidak mau kami melakukan hal itu.
Aku tahu betul apa yang akan kulakukan nanti sangatlah berisiko, tapi aku harus melakukannya. Akupun merasa bersalah karena telah melibatkan Mino. Jauh di lubuk hatiku paling dalam, aku merasa takut dan juga khawatir. Tapi perasaan itu tidak boleh terukir jelas pada raut wajahku. Jikalau nanti terjadi hal buruk yang menimpa kami, aku berjanji akan menanggung semuanya tanpa melibatkan Mino. Aku tidak akan menyebutkan namanya sekalipun.
****
Bel tanda pembelajaran berakhir telah berbunyi. Anak-anak lain langsung berhamburan keluar kelas ketika mendengar bel. Sangat berbeda denganku dan juga Mino yang mengabaikan suara bel. Kami adalah murid terakhir yang meninggalkan kelas.
Aku tidak banyak berbincang dengan Mino semenjak percakapan tadi pagi. Dengan berat hati Mino bersedia membantuku, kini aku tidak berani menatap wajahnya. Ditambah lagi ada hal yang harus kami lakukan setelah ini. Aku dan Mino menunggu di belakang sekolah.
Suasana hening. Tanpa suara. Langit mulai berganti warna kemerahan. Sekolah sudah sepi. Hanya tersisa beberapa penjaga dan juga petugas kebersihan yang berada di sekolah.
“Kita masuk sekarang,” perintahku mengambil langkah pertama.
Mino menahan tanganku. Mencoba menghentikanku untuk terakhir kalinya, berharap aku berubah pikiran. Aku tidak menghiraukau Mino, melepaskan tangannya dari tanganku lalu berjalan meninggalkan Mino.
Kami menuju ruang guru tempat penyimpanan berkas-berkas, termasuk berkas ujian. Kami berjalan pelan sambil memperhatikan sekitar. Kau pasti sudah bisa menebak apa yang akan kulakukan bukan?
“Pintunya terkunci,” Mino menyentuh layar otomatis yang dilengkapi kode keamanan.
Aku menyandarkan bahuku pada dinding di samping pintu. Mencoba memasukkan sembarang angka.
Kode yang anda masukkan salah.
Aku membelalak. Layar itu mengeluarkan suara. Mino sama denganku. Ia terkejut karena suara layar yang cukup keras hingga terdengar ke ujung lorong. Tanganku kembali terangkat mematikan layar otomatis.
Mino menopang dagunya dengan tangan kanan yang bertumpu pada tangan kirinya. Mencoba memikirkan kemungkinan kombinasi angka kode keamanan yang terdiri dari enam angka.
“Kita cuma punya dua kali kesempatan lagi. Kau tau tanggal berdirinya sekolah? Atau tanggal lahir Mister Han?” tanyanya.
“Mana kutahu tanggal sekolah ini berdiri. Aku belum hidup selama itu. Sekolah ini bahkan sudah berdiri jauh sebelum aku lahir,” bisikku pelan.
Aku mencoba pilihan kedua. Memasukkan tanggal lahir ayahku.
“Berhasil,” teriakku tertahan.
“Apa ini? Kenapa sandinya sangat mudah, dia seperti ingin seluruh sekolah memperingati ulang tahunnya,” gerutu Mino.
Aku masuk lebih dulu. Mataku liar ke segala arah hingga berhenti pada salah satu lemari besi. Di dalamnya ada berkas ujian yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.
“Di sana,” ajakku pada Mino.
Lemari itu tidak dikunci. “What!! Ini tidak dikunci, keamanan yang sia-sia, siapa saja bisa datang dan mencuri,” gerutu Mino yang kedua kali. Dia tampak kesal.
Aku mengambil berkas di rak paling bawah. Membuka perekat aplop dengan sangat hati-hati. Tapi.
Zztttt!
Bagian atas apmplop robek. Mataku membesar, tanganku terhenti. Mino turut menoleh melihat lembaran kertas yang sudah berserakan di lantai.
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K
Aku tidak berselera melahap makan siang yang ada di nampanku. Tidak ada sesuatu yang bisa di makan. Nasi putih dan sedikit warna hijau sayuran. Aku dan Mino mendapatkan makanan paling terakhir. Sebenarnya aku bisa mendapatkan lebih banyak, tapi aku memilih untuk antri paling belakang bersama Mino karena ia peringkat akhir. Ya. Seperti itulah tradisi gila yang ada di sekolahku. “Bukankah kau bilang akan bawa bekal?” tanyaku sambil mengaduk-ngaduk nasi dan kuah sayur. Teringat gumaman Mino kemarin. Aku mengangkat pandanganku dari nampan karena Mino tidak bersuara. Ia termenung dengan sendok yang masih terjepit di antara dua jarinya. “Hei.” Aku memukul nampannya tiga kali dengan sendok hingga ia tersadar. Tidak biasanya Mino bermenung. Ini sudah kedua kalinya hari itu. Bahkan hari itu belum sepenuhnya berakhir. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. “Kau kenapa? Apa karena Arin tadi pagi? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanyaku bertubi-
Keesokan harinya, di hari Minggu. Mino kembali bertemu dengan Arin tanpa sepengetahuanku. Mereka bertemu di sebuah café yang pernah kudatangi dengan Mino. “Jadi kau rupanya,” ucap Arin sambil mengibaskan sebagian rambutnya ke belakang. “Aku bertanya-tanya siapa yang membeli soal itu dengan terburu-buru dan bukan dari kalangan anak sekolah pula, ternyata kau,” lanjutnya terkekeh pelan seperti mengejek Mino. “Kenapa? Memangnya ada larangan aku tidak boleh melakukannya?” balas Mino tak mau kalah. Dia duduk sambil melipat tangan dan menyilangkan kaki. Wajahnya tak kalah sengit dibandingkan Arin. Arin masih menunjukkan senyum tipis yang memiliki arti lain di baliknya. “Tidak, aku hanya penasaran kenapa nilai kau jelek sek
Aku berjalan melewati lorong yang ramai dengan anak-anak yang tengah beristirahat. Langkahku bergerak dengan cepat mengabaikan semua orang yang sedang memperhatikan anak kasta tiga yang kini berada di gedung kasta satu. Terlebih lagi berada di lantai paling atas. Aku memasuki salah satu kelas bertanya pada anak laki-laki yang bergelut dekat pintu. “Kau lihat Arin?” tanyaku tegas. Rasanya mukaku sudah merah padam karena amarahku sudah mencapai ubun-ubun. Anak laki-laki itu memanyunkan mulutnya menunjuk Arin yang sedang memainkan ponsel di bangkunya. Aku menerobos masuk kelas dan menghampiri gadis yang sedang kucari itu. Ia tak menyadari kedatanganku karena sepasang earphone menggantung di kedua telinganya. Tanganku terangkat lalu mendarat di belakang kep
Kalian pernah mendengar ungkapan kacang lupa akan kulitnya? Ya. Tapi aku merasa jikalau ungkapan itu tidak cocok sama sekali dengan kejadian yang kualami. Dimanakah letak aku, sebagai seorang anak, yang melupakan perjuangan dan kasih sayang seorang ayah? Tak bisa kutemukan hingga hari ini. Hanya saja aku bersyukur karena terlahir dari keluarga yang berada sedari lahir. Orang bilang anak yang terlahir dengan sendok emas, meskipun aku tak pernah bangga dengan ungkapan itu semenjak menginjakkan kaki di sekolah ayahku. Mungkin kini orang-orang lebih banyak menyebutku anak tak tahu diri jika melihat apa yang kulakukan untuk ayahku. Drrt! Drrt! Ponselku bergetar di saku. Aku menopang kepala dengan lengan yang bertumpu di meja. Sebentar lagi jam olahraga akan dimulai, tetapi aku malas untuk berganti baju.