“Tidak pak, bukan seperti itu, sekolah kami selalu memperhatikan para siswa dengan baik, mendisiplinkan yang berulah, tidak ada hal semacam itu di sekolah kami,” Mister Han berusaha menjelaskan dengan senyum yang dipaksakan.
Pagi itu ayahku mendapatkan panggilan dari departemen Pendidikan. Barangkali amplop dan surat yang kutulis sudah diterima.
“Tapi kami tetap akan melakukan penyidikan pak, karena menurut laporan yang kami terima, terdapat diskriminasi diantara para siswa, kalau bapak bersedia, kami akan mewawancarai beberapa orang sekolah, saya mohon kerja samanya.”
Suara pria baruh baya lain di seberang sana membuat kesepakatan lalu mengakhiri panggilan.
Mister Han menghempaskan ponselnya ke meja. “Kenapa masalah ini bisa sampai ke departemen pendidikan?” Suaranya meninggi, mukanya masam.
Sekretaris Lin yang di hadapannya hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan mencari tahu kenapa masalah itu bisa sampai ke departemen pendidikan.
“Bagaimana dengan Jia?”
“Semenjak dipindahkan ke kasta tigaa….”
Mister Han berdiri memotong sekretaris Lin. “Bawa aku ke kelas Jia,” perintahnya.
Sekretaris Lin mengangguk, mempersilahkan Mister Han berjalan lebih dulu.
Lima menit kemudian, mereka sampai di depan kelasku. Bu Hani yang tengah menjelaskan berhenti, ia memberi hormat ketika ayahku dan sekretaris Lin memasuki kelas. Sepertinya aku punya ikatan dengan sastra, selalu terjadi sesuatu pada jam pelajaran ini, begitu pula minggu lalu.
Semua anak kelas malah mengarahkan pandangannya padaku, bukan pada ayahku. Sudah pasti kejadian ini telah tersebar ke seluruh sudut sekolah.
“Hm. Apa yang membawa Mister Han kemari?” Bu Hani menyapa ramah.
Mister Han tertawa. Mengangkat tangan pertanda tidak ada hal penting. “Aku hanya memastikan pembelajaran berjalan lancar.”
Aku melipat tangan di dada. Aku tau ayahku berbohong. Sekejab matanya bertemu dengan mataku. Aku dengan cepat mengalihkan arah pandangku.
“Lanjutkan saja, Aku akan berkunjung ke kelas lainnya,” ayahku pamit. Aku yakin dia hanya ingin memastikan aku tidak melakukan hal-hal aneh.
Bu Hani membungkukkan badannya, mengantar Mister Han dan Sekretaris Lin ke pintu. Mister Han sekali lagi tersenyum. Aku masih memperhatikannya hingga ia menghilang di balik pintu.
Mister Han melipat tangan ke belakang. “Apakah Jia tidak punya teman?” tanya Mister Han pada Sekretaris Lin yang berjalan di belakang.
“Sepertinya akhir-akhir ini dia dekat dengan teman sebangkunya, Mino.”
“Mino?” Mister Han memiringkan kepalanya. Mencoba mengingat, ia pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Putra bungsu dari keluarga Albert. Pengusaha real estate paling berpengaruh.” Sekretaris Lin melanjutkan.
Mister Han berhenti. Berbalik menatap Sekretaris Lin. “Kenapa dia bisa di kasta tiga?”
“Banyak rumor buruk tentang dirinya, selain itu, nilainya juga tidak memenuhi kriteria untuk ditempatkan di kasta dua ataupun satu,” jelasnya.
Mister Han meneruskan langkahnya. Mengerti dengan penjelasan sekretarisnya.
“Dan kemarin mereka menghabiskan waktu seharian. Bahkan sepulang sekolah mereka mengunjungi sebuah minimarket bersama. Tapi ada yang aneh, mereka berada di dalam supermarket selama lebih dari satu jam, setelah itu mereka tidak keluar sama sekali, aku putuskan untuk menunggu lebih lama, tapi nihil, aku tidak melihat mereka keluar dari minimarket itu,” Sekretaris Lin kembali melaporkan. Ia mungkin juga heran dengan apa yang kami lakukan kemarin.
Mister Han kembali berhenti, tapi ia tak berbalik. “Tetap awasi Jia, termasuk Mino, laporkan kepadaku secepatnya, hal sekecil apapun itu,” nada suara Mister Han terdengar serius. Tatapan matanya berubah tajam.
****
Aku mengikuti Mino dari belakang. Kami sama-sama tidak dijemput. Aku sudah menghubungi Pak Andra untuk tidak menjemputku. Begitupula dengan Mino.
Sudah sekitar sepuluh menit lalu kami meninggalkan sekolah. Tapi aku masih belum tahu kemana Mino akan membawaku.
“Hei,” aku memanggilnya dari belakang.
Mino menoleh, ia berbalik lalu berjalan mundur.
“Sebenarnya kita mau kemana?” tanyaku sekali lagi.
Lagi-lagi senyum itu. Mino berbalik, dia kembali berjalan normal. “Lihat saja nanti.”
Kami sampai di sebuah minimarket. Aku menyerngitkan kening. Mino mengajakku jalan cukup jauh hanya untuk berkunjung ke minimarket?
Mino membuka pintu minimarket. Mainan pintu berbunyi.
“Selamat datang.”
Salah satu kasir minimarket menyapa kami. Aku sedikit membungkuk memberi salam. Tapi Mino tetap berjalan tegap tanpa melirik pelayan yang sudah terseyum ramah itu, berharap kami akan memborong semua isi minimarket.
Tapi bukan itu maksudnya. Ia belok kiri menuju rak paling ujung. Disana ada pintu lain yang terhubung dengan sebuah gang sempit di baliknya. Pintu ini sudah tidak digunakan sebagai pintu utama lagi setelah pembangunan gedung baru di samping minimarket yang menghalangi pintu terbuka. Kini pintunya tidak bisa terbuka sempurna, tapi masih bisa dilalui. Gang kecil itu ditutupi oleh atap plastik yang sudah bolong dan ditumbuhi lumut. Tidak akan berguna jika hujan turun.
Aku masih mengikutinya dari belakang. Jalannya bukan dari beton apalagi aspal, tapi tanah yang lembab dan sedikit becek karena hujan semalam. Aku bisa melihat beberapa cetakan kakiku yang meninggalkan jejak di belakang.
Siapa sangka di belakang supermarket itu ada sebuah gedung tua, bentuknya sudah sangat reot, pintu depannya sudah kehilangan gagangnya. Tapi yang menarik perhatianku adalah bagaimana gedung ini masih berdiri sementara dikelilingi oleh gedung bertingkat lainnya.
“Ini tempat apa?” suaraku menghentikan langkah Mino.
“Kita tidak benar-benar masuk, hanya mengintip sedikit saja, kau tidak akan percaya dengan apa yang akan kau lihat nanti,” Mino mengangkat tangan, jarinya membentuk persegi kecil sambil memicingkan sebelah matanya.
Disana cukup berisik karena aktivitas gedung lainnya. Aku masih bisa mendengar suara mobil yang melintasi jalan di luar sana, sampai akhirnya aku mendengar samar suara seorang gadis dan anak laki-laki dari dalam ketika Mino mendorong pintu.
Ia berhenti. “Jangan bersuara kalau kau tidak mau ketahuan,” ia mengingatkan.
Tapi ekspresi wajahnya terlihat sedang mengejekku.
“Aku tidak sedang bercanda,” balasku. Ekspresi wajahku serius, kembali mengikuti Mino yang sudah masuk lebih dulu.
Kami mengintip dari balik pintu lain yang berada dalam gedung itu.
“Arin,” gumamku pelan. Sontak tanganku terangkat menutupi mulut.
Arin tidak seorang diri. Tampak dua gadis lain yang selalu mengikutinya. Lalu ada lima anak lainnya, dua orang gadis dan tiga orang laki-laki, seragam yang mereka kenakan berbeda dengan kami.
Aku melihat Arin menyerahkan beberapa amplop dan juga USB pada gadis di depannya. Sedangkan anak-anak lainnya hanya berdiri mengawasi. Aku tidak mengenalnya, karena memang kami tidak satu sekolah. Tapi penampilannya serupa dengan Arin. Rok pendek, ketat dan juga rambut panjang yang ujungnya diwarnai blonde.
“Tujuh puluh tiga puluh,” tegas Arin.
Hanya itu yang terdengar jelas di telingaku. Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Mengabadikan momen yang sedang kuintip. Berharap suatu saat nanti bisa menjadi potongan puzzle yang sedang kususun.
Mino yang sedari tadi ikut mengintip denganku, menarik tanganku keluar dari gedung. Menurutnya kami sudah melihat cukup banyak. Setelah posisi kami cukup jauh dari gedung, Ia melepaskan tanganku.
Kami berjalan pelan. Tanpa tujuan.
Aku memikirkan beberapa kemungkinan tentang apa yang dilakukan Arin. Bukankah ia berasal dari keluarga kaya? Untuk apa dia melakukan semua ini? Aku membatin.
“Jangan bilang kau tak tahu apa yang mereka lakukan tadi?” tanya Mino.
“Bukankah sudah jelas? Kau bisa langsung tahu hanya dengan sekali lihat,” balasku.
Kasta satu di sekolah kami mendapatkan fasilitas super lengkap. Anak-anak di kasta satu juga mendapatkan soal prediksi ujian yang tidak didapatkan anak-anak kasta dua dan tiga. Itu bukan prediksi biasa, lebih dari sembilan puluh persen soal prediksi yang diberikan sama dengan soal ujian sebenarnya. Dan lebih mirisnya, soal ujian yang dikeluarkan sekolahku sering dijadikan patokan untuk ujian sekolah lain.
“Sejak kapan kau tahu tempat itu?” tanyaku
“Hm, sekitar tiga atau empat minggu yang lalu, aku tidak terlalu ingat,” jawabnya mencoba mengingat.
“Bagaimana bisa?”
“Iseng,”
Aku tertawa ringan mendengar jawaban singkatnya. “Kau benar-benar aneh, mana ada iseng sampai segitunya,” lanjutku.
Mino selalu penuh dengan kejutan. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengetahui hal-hal yang susah payah disembunyikan orang lain. Dan aku tidak yakin berapa banyak lagi rahasia sekolah yang diketahuinya. Yang aku yakini waktu itu adalah tujuannya sama dengan tujuanku.
“A.,” aku teringat sesuatu.
“Aku selalu penasanan dan ingin bertanya,” aku menoleh mengamati raut wajah Mino.
Aku tidak perlu mendongak untuk melihat wajahnya. Karena tinggi kami tidak terlalu jauh.
“Tentang apa?” balasnya sambil melirikku sekali.
Aku terseyum. “Kacamata yang kau pakai itu, apakah asli ataukah hanya semacam mainan atau apalah itu?”
“Asli.” Seperti biasa. Jawaban Mino selalu singkat.
“Benarkah?” aku memastikan mencoba menyentuh kacamata yang sedang bertengger di hidungnya.
Dengan cepat Mino menjauhkan kepalanya dan menepis tanganku. “Ya. Tidak ada untungnya bagiku membohongi kau,” lanjutnya.
Mino mempercepat langkahnya.
“Hei, tunggu aku,” aku berlari-lari kecil menyusulnya.
“Sesekali cobalah untuk melepas kacamata, pasti kau terlihat lebih tampan,” aku usil menyarankan.
“Mau bagaimanapun, aku tetap tampan,” balasnya dengan percaya diri.
Langit mulai berubah warna. Perpaduan orange dan sedikit percikan merah sangatlah indah. Sama halnya dengan perjalanan pulang kami sore itu.
****
Matahari berada tepat di atas kepalaku. Aku sudah berdiri hampir lima belas menit di depan pintu, tapi aku masih belum melihat batang hidungnya.Hari ini hari libur. Aku mengajak Mino bertemu. Aku membuat janji dengannya di sebuah café. Pada awalnya Mino menolak, tapi akhirnya ia menurutiku. Alasannya hanya karena ia tidak suka kopi. Satu hal lain yang tak kusangka darinya.Aku sampai lebih dulu. Tapi dia malah menyuruhku menunggu di depan café, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Ia bilang agar aku mudah ditemukan. Padahal Café yang kupilih ini tepat berada di perempatan jalan yang sangat mudah ditemukan. Café yang kupilih juga memiliki tema orange kemerahan. Warna yang sangat mencolok memang, tapi akan sangat indah ketika malam tiba. Cahaya lampunya seakan memancarkan suasana senja berkepanjangan.Lima menit kemudian. Aku melihat Mino dari seberang jalan. Ia mengenakan baju kaos oversize berwarna orange
Pagi itu, aku berpapasan dengan segorombolan pria paruh baya yang mengenakan setelan jas lengkap mendatangi sekolah di gerbang sekolah. Hari itu aku tidak lewat belakang seperti biasanya. Tanpa alasan, aku hanya ingin sedikit berolahraga menuju kelasku yang jauh di belakang sana. Tapi lihatlah, siapa yang kulihat. Tidak hanya aku, seluruh sekolah heboh karena kedatangan tamu yang sangat tidak biasa. Salah satu pria baruh baya yang memimpin rombongan sangatlah terkenal. Wajahnya sering menghiasi layar televisi dengan mengisi banyak program sebagai narasumber. Dia terkenal dengan slogannya“Etika, Moral, dan Pengetahuan membentuk Piramida Pendidikan”. Banyak anak-anak muda yang mengidolakan beliau, Bapak Teddy Marta, Kepala Departemen Pendidikan. Aku sempat menyerngitkan kening, mengingat-ngingat siapa mereka. Setelah mencoba mengorek-ngorek memoriku, barulah aku ingat, foto beliau juga terpa
Hujan membasuh kota. Langit menangis membasahi jalanan dan gedung tanpa henti. Aku langsung mengembangkan payung sesaat setelah keluar dari mobil. Berlari melewati jalan kecil berlumut yang licin karena basah. Lantai lorong yang dilapisi keramik turut basah imbas dari hujan yang disertai angin kencang. Sepatuku yang ditempeli sisa lumut dari jalan kecil tadi membuatku kehilangan keseimbangan. Pijakan kakiku tidak pas. Kaki kananku meluncur begitu saja, lurus ke depan.Bruk!Aku terbaring di lantai dengan posisi telentang. Badanku terhempas cukup keras. Suara tubrukan terdengar jelas. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Beberapa diantara mereka ada yang mengambil gambar diriku yang menyatu dengan lantai lorong.Aku membuka mata. Mataku menangkap mata hitam yang tengah menatap iba ke arahku. Wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia jongkok di samping badanku yang masih kaku.&ldquo
Zztttt! Bagian atas aplop robek. Baberapa kertas berserakan di lantai. Aku dengan cepat mengambil yang di lantai, lalu mengeluarkan ponsel dari saku. Aku mengambil gambar semua halaman dari soal itu. Tidak ada waktu untuk melihat apalagi membaca satu per satu. Sebentar lagi seluruh sekolah akan ditutup dan dikunci sehingga tidak ada yang bisa masuk maupun keluar. Semua staff akan dipulangkan kecuali petugas keamanan yang akan berpatroli malam. Kami harus bergegas. Mino mengeluarkan aplop baru dari dalam tasnya. Entah kapan ia menyiapkan aplop yang sangat mirip dengan aslinya padahal waktu kami sangat singkat. Dia punya banyak bakat dan sangat cerdas. Aku tidak bertanya, segera memindahkan kertas ujian dengan hati-hati. Mino tidak membantuku. Ia sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Aku melepaskan tanganku dari lengan Mino. Kami sudah meninggalkan ruangan Mister Han cukup jauh.Mino menahan lenganku, menyadari arah kami bukan menuju kelas. “Kau mau kemana? Jalan menuju kelas kita lewat lorong sana,” jelas Mino sambil melirik lorong dengan arah berlawanan dari tempat kami berdiri.“Aku ingin menyegarkan pikiranku,” kataku pada Mino. Anak laki-laki itu mengangkat alisnya.“Kemana?” tanyanya polos.“Kau kembalilah ke kelas, jangan menempeliku hari ini,” perintahku sambil tersenyum mengejek padanya. Jika kuingat-ingat, Mino selalu ada bersamaku semenjak aku bersekolah di sini dan aku hanya punya Mino. Aku melepaskan tangannya lalu berjalan melewatinya. Mino tidak menuruti perintahku. Ia berlari pelan menyusulku sambil membenarkan posisi tasnya. Kini ia sudah berjalan beriringan di sampingku. “Orang bilang warna langit menunjukkan suasana hati seseorang, tapi sebenarnya a
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Belum ada satupun keinginanku yang terwujud. Kecuali satu hal. Seorang anak laki-laki yang tengah memungut bekas permen karet di halaman depan dekat gerbang sekolah. Sambil mendengarkan musik melalui portable headset berwarna putih yang tersemat di kedua telinganya, tangan kanannya lihai menggunakan jepitan panjang dan memasukkan sisa permen karet yang lengket di jalan pada plastik di tangan kirinya. Sesekali ia melirik ke arahku. “Hei, jangan bermenung, kita juga harus memisahkan sampah di halaman belakang,” teriaknya. Aku balas tersenyum sambil mengangkat plastik dan jepitan panjang di tanganku. Kami sudah melakukan ini selama satu minggu penuh. Tapi ini lebih baik dibandingkan Geofani yang harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku melihat Mino berjalan ke arahku. “Bagianku sudah selesai,” katanya sambil berlalu melewatiku.
Pagi, lima belas Juli itu, hari ujian pertama dimulai. Guru yang mengawas ujian hari itu adalah Bu Hani yang kini tengah membagikan lembar soal dan ujian satu persatu. Aku melihat lembar soal yang ada di hadapanku. Aku sudah hapal dengan halaman pertamanya, lalu membalik lembar kedua. Aku melirik Mino sekilas yang terpaku melihat soal ujiannya. Sepertinya ia bersenang-senang karena kami sudah mendapatkan bocoran soal sebelumnya. Lebih tepatnya mencuri soal ujian. Mino balik membalas lirikanku. Sesekali memperhatikan Bu Hani yang mengitari kelas. Takut kami ketahuan dan berujung di keluarkan dari kelas. Otakku memang tidak pintar, tapi aku bisa mengingat setiap jawaban dari soal yang kini menjadi beban bagi anak-anak lain-lain. Setidaknya aku harus tahu diri. Aku melemparkan secarik kertas ke paha Mino. Bukan kinci jawaban, hanya memanggilnya agar menoleh ke arahku. Mulut berkomat-kamit menyuruhnya untuk tidak menjawab salah pada beberapa soal. K
Aku tidak berselera melahap makan siang yang ada di nampanku. Tidak ada sesuatu yang bisa di makan. Nasi putih dan sedikit warna hijau sayuran. Aku dan Mino mendapatkan makanan paling terakhir. Sebenarnya aku bisa mendapatkan lebih banyak, tapi aku memilih untuk antri paling belakang bersama Mino karena ia peringkat akhir. Ya. Seperti itulah tradisi gila yang ada di sekolahku. “Bukankah kau bilang akan bawa bekal?” tanyaku sambil mengaduk-ngaduk nasi dan kuah sayur. Teringat gumaman Mino kemarin. Aku mengangkat pandanganku dari nampan karena Mino tidak bersuara. Ia termenung dengan sendok yang masih terjepit di antara dua jarinya. “Hei.” Aku memukul nampannya tiga kali dengan sendok hingga ia tersadar. Tidak biasanya Mino bermenung. Ini sudah kedua kalinya hari itu. Bahkan hari itu belum sepenuhnya berakhir. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. “Kau kenapa? Apa karena Arin tadi pagi? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanyaku bertubi-