Falri memainkan ponselnya, jari-jari tangan bergerak lincah meneliti segala sudut pandang sosial media. Beginilah seorang Falri jika dilanda kegabutan di tengah lokasi syutting.
Syuting sedang break sejak lima menit lalu. Falri enggan membaca dan memahami dialog yang akan dipakainya nanti. Dia masih sibuk memainkan ponsel bermerk apik itu.
"Falri," panggil seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.
Falri mengalihkan atensinya. Kemudian, melihat seorang gadis yang memanggilnya. Dia --- Kak Fani.
Falri segera meletakkan ponselnya di saku celana. "Ada apa, Kak?"
"Gue butuh bicara sama lo," jawab Kak Fani, tidak sabaran.
"Mau dimana?"
"Di kafe dekat sini. Gue nggak punya banyak waktu."
Falri mengangguk setuju. Dia mengikut langkah sang kakak yang terlebih dahulu melangkah. Falri masih menebar senyum mempesona untuk para penggemar yang berteriak bahagia karena bertemu dengan si idola. Andai saja penggemarnya tahu apa yang dulu pernah diperbuat Falri. Mungkin saat ini, dia sudah dihujat habis-habisan.
Mereka berdua sudah sampai di kafe. Memilih meja yang disekitarnya sepi, nyaris tidak ada orang. Farli dan Fani duduk berhadapan.
"Ada apa, Kak?" tanya Falri, sekali lagi.
Fani menghembuskan nafas panjang. "Gue minta maaf."
"Minta maaf? Buat apa? Seharusnya gue yang minta maaf karena gue jadi adik yang ---"
"Bukan perihal itu, Ri!"
"Terus?"
"Gue minta maaf karena gue harus menyampaikan ini."
"Apa?"
"Lo masih ingat dengan kejadian dua tahun lalu?"
"Gue selalu ingat," jawab Falri lalu terkekeh pelan.
"Maaf karena gue, nyokap, dan bokap ngusir lo. Tapi ada satu hal yang lo harus tau, Ri."
"Lo ngomong jangan berbelit-belit, dong, Kak."
"Kondisi bokap makin parah. Dia butuh darah, dan darah lo sama bokap itu sama. Jadi, gue harap ---"
Falri tertawa hambar. "Jadi, setelah kalian buang gue? Terus kalian mau pungut gue lagi karena gue dibutuhkan saat ini? Iya?"
Fani diam, tidak menyahut. Ujaran Falri memang benar adanya.
"Ngomong, Kak!"
"Gu-gue butuh darah lo, Ri. Demi keselamatan Papa."
"Meskipun hati gue sakit diginiin, tapi tenang aja. Gue bakal ngasih donor darah ke Papa. Lo sebutin rumah sakit mana Papa dirawat, biar nanti malam gue ke sana," sahut Falri seraya memaksakan senyumnya.
"Rumah sakit permata indah."
"Oke, abis syutting gue bakal ke sana. Mungkin agak malam."
"Falri, gue bener-bener ---"
"Stop! Gue pergi ke lokasi syutting dulu. Waktu break udah hampir habis. Makasih udah kasih tahu hal ini, Kak."
Falri meninggalkan Fani yang masih di membeku. Farli melangkahkan kaki dengan ribuan pisau yang seakan-akan menghujam tubuhnya. Diperlakukan seperti ini oleh keluarga memang menyakitkan. Tetapi tak apa, biar pun dia diperlakukan seperti ini yang terpenting dia bisa bermanfaat untuk orang yang pernah dikecewakan.
***
Falri berkali-kali melakukan kesalahan dalam proses syuting. Dia masih memikirkan kejadian tadi dengan Fani. Ucapan Fani membuat dirinya tidak fokus.
"Cut!" teriak Sutradara, frustasi.
Sudah sepuluh kali take, Falri gagal melakukan. Sutradara yang biasa dipanggil Pak John itu pu menghela nafas panjang.
"Kita break sepuluh menit lagi!''teriak Pak John, memberitahu.
Falri masih diam di tempat. Pak John menepuk bahu kanan Falri. Dia menatap Farli dengan tatapan penuh selidik.
"Lagi ada masalah?"
Falri menggeleng singkat. "Nggak ada, Pak."
"Terus kenapa dari tadi gagal? Padahal take kali ini nggak sesulit sebelumnya."
"Maaf, Pak."
"Minum kopi dulu, gih. Biar fokus kerjaan. Ingat, kita masih banyak take yang harus dikerjakan hari ini."
Falri mengangguk. "Iya, Pak."
Pak John melangkah pergi. Sebelum itu, dia menepuk bahu kanan Falri. Falri tersenyum kecil. Hatinya masih sakit, hingga membuat fokusnya selalu buyar.
***
Falri sudah selesai syutting hari ini. Dia sudah menghubungi Glen untuk tidak menjemputnya, karena dia ada urusan di luar. Beruntung Glen mengerti, sehingga Falri tidak perlu menjelaskan lebih detail lagi.
Falri sudah memesan taksi online. Dia sedang menunggu di halte bus, dekat lokasi syutting. Salahkan dirinya yang malas membuat kartu SIM.
Falri melihat mobil taksi yang dipesannya. Dia segera menghampiri, membuka pintu, kemudian masuk ke mobil taksi.
Falri menyenderkan tubuhnya. Hari ini begitu penat. Mulai dari berbincang singkat dengan Jeslyn, lalu bertemu singkat dengan Jessica, syutting berjam-jam lamanya, terakhir bertemu kakak kandungnya yang memberitahu keadaan papanya.
Falri keluar dari mobil taksi saat sudah sampai tujuan. Sebelum keluar, Falri sudah membayar perjalanan taksi sesuai dengan biaya.
Falri berlari kecil dari pintu gerbang rumah sakit ke pintu utama. Falri mengabaikan tatapan-tatapan heran dan aneh di sekitarnya. Meskipun sudah malam, nyatanya rumah sakit di sini masih ramai dikunjungi.
Falri segera bertanya kepada salah seorang suster. Dia menanyakan dimana ruang rawat inap Papanya yang bernama Bram. Saat Falri sudah mengetahui ruangannya yang berada di ruangan mawar nomor tiga puluh pun, dia segera berlari.
Betapa sakitnya hati Falri. Saat melihat keadaan Papanya lewat celah-celah kaca jendela. Begitu menyedihkan. Terbaring lemah di brankas rumah sakit, dipenuhi alat-alat medis. Falri ngilu dibuatnya.
Falri membuka perlahan pintu ruangan rawat inap. Dia juga menemukan kehadiran Mamanya dan Fani di sana. Falri segera mendekati dua wanita yang amat dicintainya.
Falri ingin menyalimi tangan Mamanya, tetapi ditepis kasar. Tatapan mamanya berubah dingin, tidak seperti dulu. Sedangkan Fani masih diam, tidak berani berbicara.
"Fani, segera antarkan dia ke ruang ambil darah," titah Mamanya dengan nada dingin.
Fani mengangguk. "Ayo, Ri!"
Falri menatap mamanya sejenak. Kemudian, mengikuti langkah Fani.
Mereka berdua jalan beriringan menuju ruang pengambilan darah. Falri masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan.
Ditemuinya seorang dokter pria yang duduk di kursinya. Falri segera duduk di hadapan dokter setelah dipersilahkan duduk.
Davino. Begitu namatag dokter yang tidak sengaja dibaca oleh Falri.
Fani berdiri di belakang Falri. "Dok, ini adik saya. Dia yang akan mendonorkan darah untuk Papa."
"Kalau boleh tau golongan darah kamu apa?" tanya Dokter Davino pada Falri.
"O, dok."
"Baik, kita ambil darah lalu test kecocokan. Baru kemudian bisa didonorkan ke tubuh pasien."
Falri dan Fani mengangguk paham. Falri mengikuti segala prosedur pengambilan darah dari arahan dokter. Fani masih menunggu di luar ruangan.
***
Tubuh Falri pucat pasi, mungkin karena belum makan saat diambil darahnya. Tetapi biarlah, yang penting keadaan Papanya lekas pulih.
Falri segera berpamitan pada Fani untuk pulang usai menjalankan tugasnya. Fani hanya mengangguk seraya mengucapkan, "hati-hati."
Falri berusaha tetap berjalan. Meskipun tubuhnya sudah tak lagi kuat menahan. Bahkan kepalanya sudah amat terasa pusing. Salahkan Falri yang terlalu bersemangat mendonorkan darah hingga lupa makan sebelum itu.
Falri menelpon Glen. Dia meminta Glen untuk menjemputnya di rumah sakit. Glen menyetujui kemudian berkata jika sepuluh menit lagi akan sampai.
Saat Glen beserta mobilnya sudah di hadapan Falri. Falri bergegas berjalan kemudian masuk ke mobil. Dia duduk di bangku penumpang, di samping bangku pengemudi.
Falri menyenderkan tubuhnya. Kemudian, memejamkan matanya. "Bang, ntar kalau udah sampai bilang, ya."
Glen hanya mengangguk. Dia juga prihatin dengan Falri yang tiba-tiba pucat pasi. Setahunya tadi Falri hanya mengatakan ada urusan sebentar di luar. Lantas kenapa urusannya ada di rumah sakit? Apa yang sebenarnya disembunyikan Falri darinya?
***
Falri masih tertidur pulas. Kulitnya terlihat pucat pasi. Bibir tipisnya kering, seperti tidak bertenaga.Glen yang melihat keadaan adik angkatnya hanya tersenyum sendu. Dia sudah mengetahui bahwa tadi malam, Falri mendonorkan darahnya ke Papa kandungnya. Glen tentu saja tahu, dia punya banyak intel. Jadi, jangan pernah heran jika Glen tahu sendiri tanpa diberitahu terlebih dahulu.Glen berusaha membangunkan Falri. Falri juga butuh makan meskipun sedang sakit.Falri mengerjapkan matanya perlahan. Rasa pusing masih menyergap di ubun-ubun kepalanya. Dia memegang keningnya, mencoba untuk meredakan rasa pusing itu."Eh, bang Glen." Falri menyapa dengan suara serak karena habis bangun tidur dan masih sakit.Glen berdehem pelan. "Gue bangga sama lo, Ri.""Maksudnya, Bang?""Lo pikir gue nggak tau apa yang lo lakuin semalem? Sampai-sampai lo jadi jatuh sakit gini?""Tahu darimana? Gue belum ngasih tahu, deh.""Gue tau sendiri, lah
Sudah sehari semalam, Falri beristirahat di rumah. Dia sudah siap untuk bekerja kembali. Walaupun Glen masih bilang, 'jangan dulu.'Glen menatap khawatir ke arah Falri yang tengah duduk di sofa sembari memakai sepatu."Lo seriusan mau hari ini syutting?"Falri menoleh ke arah Glen. "Daripada di rumah terus, kan? Lagi pula gue udah sehat sentosa gini.""Terus lo bakal klarifikasi tentang gosip di media sosial?"Memang kemarin, lebih tepatnya malam hari. Falri dicerca habis-habisan dengan puluhan pertanyaan dari Glen. Pada akhirnya, Falri lebih memilih jujur meskipun masih ada bumbu kebohongan. Falri hanya mengatakan jika Fani adalah kakak kandungnya sedangkan Jeslyn adalah teman sekelasnya pada zaman SMP."Ya, harus. Demi citra baik gue. Ya, kali gue digosip pakai berita sampah gini,"decak Falri."Lo mau klarifikasi apa? Okelah, kalau masalah Jesyln. Lah, kalau Fani? Lo mau bilang kalau dia adalah kakak kandung lo yang ikut-ikutan buang lo?"
Falri dan Glen tengah makan malam bersama di ruang Televisi. Mereka berdua memakan pecel lele buatan Bu Iy. Bu Iy, seorang pedagang pecel lele di depan area gedung apartemen yang terkenal dengan keenakan dan kemewahan dapargannya. Harga murah, kualitas mewah. Begitu sekiranya kata Bu Iy."Bang." Falri memanggil Glen di sela-sela melahap pecel lele."Apaan?""Gue mau minta suatu hal. Boleh?""Apaan? Jangan aneh-aneh!""Kak Satya belum ngajarin biologi tentang anu. Iya, itu a-anu, lho. Gue pas kelas tiga smp, kan nggak sempat ikut. Terus kelas satu SMA malah ketunda."Guratan kernyitan di dahi Glen kentara jelas. Dia menghentikan makanannya kemudian menegak setengah gelas air. "Anu apaan? Jangan ambigu, deh.""Ih, anu itu. Gimana, ya ngomongnya? Duh!" Falri jadi bingung sendiri.Glen mengedikkan bahu acuh. "Lo pikir dulu apa yang mau lo sampaikan, baru kasih tau gue," kata Glen lalu melanjutkan makannya.Falri mengangguk paham. Fal
Falri menutup pintu yang mengarah balkon kamarnya. Dia meraup wajah kasar. Kemudian mengacak-acak rambut. Sungguh, jangankan berbicara dengan Jeslyn. Bertemu dengannya saja bisa membuat Falri kembali frustasi.Falri membanting semua barang yang ada di kamarnya. Dia berteriak sesukanya. Berusaha mengalihkan rasa-rasa yang saling memberontak. Beruntung kamarnya kedap suara."Sialan, sialan! Gue benci sama diri gue sendiri! Agh!" Falri berteriak terus-menerus sembari melemparkan barang-barang hingga pecah.Kamar yang semula rapi bersih berubah menjadi kapal pecah. Pecahan barang bertebaran di lantai. Tubuh Falri merosot ke lantai. Lagi, lagi air matanya jatuh. Falri kembali menangis."Kenapa harus sesulit ini? Kenapa hidup ini jahat sama gue?" Falri bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Falri mengambil sebuah pecahan kaca keramik. Pecahan itu begitu tajam, setajam pisau yang siap menancap dimana pun. Falri tersenyum tipis."Harus banget gue nyakitin diri
***"Pacarnya kak Fani, kan?" tanya Jeslyn, memotong ucapan Glen.Glen mengangguk puas. Falri masih termangu. Berbeda dengan Fani yang berubah geram."Diam lo, bocah!" sentak Fani."A-aku cuma ngomong setahuku aja, kak," jujur Jeslyn seraya memainkan tangannya."Kak Fani," ucap Falri, menatap tidak menyangka ke arah Fani."Gue bisa jelasin semuanya, Ri!""Lo mau jelasin apa?" tanya Glen seraya menatap remeh ke arah Fani. Dia mengeluarkan ponselnya kemudian memecet dan memberikannya kepada Falri. "Lo lihat ini! Video tentang kelicikan tiga serangkai duri."Falri menerima, meneliti video yang berisi perbincangan singkat antara Fani, Mamanya, dan orang yang nyaris mirip dengan Papanya."Gian ... kamu harus kuat, ya. Aku pastiin Falri bakalan mau donorin ginjalnya sama kamu," ucap Fani dengan optimis.Gian mengangguk lemah. "Semoga.""Pokoknya kamu jangan pernah putus asa, menantu tersayang," ujar Dira, Mama Fal
Malam ini, Falri lebih memilih untuk menetap di hotel sementara. Dia masih ingin lari dari masalah yang datang. Falri juga butuh waktu istirahat.Pintu nomor 32. Itu lah kamar hotel yang akan diinap Falri semalaman. Falri masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintunya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk.Beruntung dia membawa blackcard dan sejumlah uang merah. Falri menghembuskan nafas kasar. Dia menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk."Mama, Kak Fani, kenapa kalian tega sama Naufal?" tanyanya, lirih.Falri mengusap wajahnya kasar. Dia bangkit dari bangunnya kemudian melangkahkan kaki menuju balkon kamar.Malam ini tidak ada bulan. Tidak ada juga ribuan bintang indah yang bertebaran di langit. Langit malam ini begitu sepi. Ditemani dengan awan-awan mendung yang akan sebentar lagi menurunkan hujan.Falri menikmati udara dingin malam. Dia terus menatap kosong ke jalanan yang masih ramai padat. Begini lah hidup di Jakarta.
Falri dan Deslyn masih berada di taman. Mereka bermain bersama di salah satu tempat permainan di taman. Jeslyn belum menampakkan batang hidungnya.Falri merasa menyesal sekaligus bahagia bisa bertemu dengan Deslyn. Menyesal karena pernah meninggalkan anak kecil seimut ini. Dan, bahagia karena masih memiliki kesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Deslyn. Meskipun sampai saat ini, dia masih belum diakui Papa."Om, Deslyn cape," keluh Deslyn.Falri tertawa. "Terus sekarang mau apa, hm?""Mau makan, Om! Deslyn lapar, hehe."Falri mengacungkan kedua jempolnya. "Kita ke restoran, oke?""Ayo!" seru Deslyn kemudian menggandeng tangan Falri.Falri ikut menggandeng tangan Deslyn. Tangan mereka berdua saling bergandengan. Si tangan mungil dengan tangan orang dewasa.Falri mengeratkan genggamannya pada Deslyn saat menyebrang jalan. Mereka berdua berniat makan di restoran seberang.Sesampainya di depan restoran. Deslyn lan
Falri sudah berada di apartemen, atau lebih tepatnya di ruangan TV. Deslyn sudah dibawa pulang dengan Jeslyn sejak sore hari tadi. Sedangkan Glen baru saja pergi keluar. Katanya, ada urusan penting.Falri menguap lebar. Merasa bosan menonton sinetron yang sedang disiarkan di TV. Entah kapan sinetron ini selesai. Selalu saja ada konflik yang diselesaikan dengan cara yang mudah ditebak penonton. Membosankan!Beruntung Falri tidak pernah memerankan sinetron. Dia lebih suka dan memilih menjadi pemeran tokoh film. Uang job peran utama film nyatanya jauh lebih tinggi dibanding pemeran sinetron.Falri mematikan televisinya. Kemudian beralih bermain ponsel. Jemari tangannya berselancar di aplikasi yang membesarkan namanya. Instagram, namanya.Banyak notifikasi spam dari beberapa akun yang tidak dikenal. Dibiarkan saja oleh Falri. Toh, apa peduli dirinya?Falri menghembuskan nafas gusar. Lagi, lagi ponsel tidak bisa mengalihkan rasa bosannya. Dilemparnya p