Share

05

Falri memainkan ponselnya, jari-jari tangan bergerak lincah meneliti segala sudut pandang sosial media. Beginilah seorang Falri jika dilanda kegabutan di tengah lokasi syutting.

Syuting sedang break sejak lima menit lalu. Falri enggan membaca dan memahami dialog yang akan dipakainya nanti. Dia masih sibuk memainkan ponsel bermerk apik itu.

"Falri," panggil seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.

Falri mengalihkan atensinya. Kemudian, melihat seorang gadis yang memanggilnya. Dia --- Kak Fani.

Falri segera meletakkan ponselnya di saku celana. "Ada apa, Kak?"

"Gue butuh bicara sama lo," jawab Kak Fani, tidak sabaran.

"Mau dimana?"

"Di kafe dekat sini. Gue nggak punya banyak waktu."

Falri mengangguk setuju. Dia mengikut langkah sang kakak yang terlebih dahulu melangkah. Falri masih menebar senyum mempesona untuk para penggemar yang berteriak bahagia karena bertemu dengan si idola. Andai saja penggemarnya tahu apa yang dulu pernah diperbuat Falri. Mungkin saat ini, dia sudah dihujat habis-habisan.

Mereka berdua sudah sampai di kafe. Memilih meja yang disekitarnya sepi, nyaris tidak ada orang. Farli dan Fani duduk berhadapan.

"Ada apa, Kak?" tanya Falri, sekali lagi.

Fani menghembuskan nafas panjang. "Gue minta maaf."

"Minta maaf? Buat apa? Seharusnya gue yang minta maaf karena gue jadi adik yang ---"

"Bukan perihal itu, Ri!"

"Terus?" 

"Gue minta maaf karena gue harus menyampaikan ini."

"Apa?"

"Lo masih ingat dengan kejadian dua tahun lalu?"

"Gue selalu ingat," jawab Falri lalu terkekeh pelan.

"Maaf karena gue, nyokap, dan bokap ngusir lo. Tapi ada satu hal yang lo harus tau, Ri."

"Lo ngomong jangan berbelit-belit, dong, Kak."

"Kondisi bokap makin parah. Dia butuh darah, dan darah lo sama bokap itu sama. Jadi, gue harap ---"

Falri tertawa hambar. "Jadi, setelah kalian buang gue? Terus kalian mau pungut gue lagi karena gue dibutuhkan saat ini? Iya?"

Fani diam, tidak menyahut. Ujaran Falri memang benar adanya.

"Ngomong, Kak!" 

"Gu-gue butuh darah lo, Ri. Demi keselamatan Papa."

"Meskipun hati gue  sakit diginiin, tapi tenang aja. Gue bakal ngasih donor darah ke Papa. Lo sebutin rumah sakit mana Papa dirawat, biar nanti malam gue ke sana," sahut Falri seraya memaksakan senyumnya.

"Rumah sakit permata indah."

"Oke, abis syutting gue bakal ke sana. Mungkin agak malam."

"Falri, gue bener-bener ---"

"Stop! Gue pergi ke lokasi syutting dulu. Waktu break udah hampir habis. Makasih udah kasih tahu hal ini, Kak." 

Falri meninggalkan Fani yang masih di membeku. Farli melangkahkan kaki dengan ribuan pisau yang seakan-akan menghujam tubuhnya. Diperlakukan seperti ini oleh keluarga memang menyakitkan. Tetapi tak apa, biar pun dia diperlakukan seperti ini yang terpenting dia bisa bermanfaat untuk orang yang pernah dikecewakan.

***

Falri berkali-kali melakukan kesalahan dalam proses syuting. Dia masih memikirkan kejadian tadi dengan Fani. Ucapan Fani membuat dirinya tidak fokus.

"Cut!" teriak Sutradara, frustasi.

Sudah sepuluh kali take, Falri gagal melakukan. Sutradara yang biasa dipanggil Pak John itu pu menghela nafas panjang.

"Kita break sepuluh menit lagi!''teriak Pak John, memberitahu.

Falri masih diam di tempat. Pak John menepuk bahu kanan Falri. Dia menatap Farli dengan tatapan penuh selidik.

"Lagi ada masalah?"

Falri menggeleng singkat. "Nggak ada, Pak."

"Terus kenapa dari tadi gagal? Padahal take kali ini nggak sesulit sebelumnya."

"Maaf, Pak."

"Minum kopi dulu, gih. Biar fokus kerjaan. Ingat, kita masih banyak take yang harus dikerjakan hari ini."

Falri mengangguk. "Iya, Pak."

Pak John melangkah pergi. Sebelum itu, dia menepuk bahu kanan Falri. Falri tersenyum kecil. Hatinya masih sakit, hingga membuat fokusnya selalu buyar.

***

Falri sudah selesai syutting hari ini. Dia sudah menghubungi Glen untuk tidak menjemputnya, karena dia ada urusan di luar. Beruntung Glen mengerti, sehingga Falri tidak perlu menjelaskan lebih detail lagi.

Falri sudah memesan taksi online. Dia sedang menunggu di halte bus, dekat lokasi syutting. Salahkan dirinya yang malas membuat kartu SIM.

Falri melihat mobil taksi yang dipesannya. Dia segera menghampiri, membuka pintu, kemudian masuk ke mobil taksi.

Falri menyenderkan tubuhnya. Hari ini begitu penat. Mulai dari berbincang singkat dengan Jeslyn, lalu bertemu singkat dengan Jessica, syutting berjam-jam lamanya, terakhir bertemu kakak kandungnya yang memberitahu keadaan papanya.

Falri keluar dari mobil taksi saat sudah sampai tujuan.  Sebelum keluar, Falri sudah membayar perjalanan taksi sesuai dengan biaya. 

Falri berlari kecil dari pintu gerbang rumah sakit ke pintu utama. Falri mengabaikan tatapan-tatapan heran dan aneh di sekitarnya. Meskipun sudah malam, nyatanya rumah sakit di sini masih ramai dikunjungi.

Falri segera bertanya kepada salah seorang suster. Dia menanyakan dimana ruang rawat inap Papanya yang bernama Bram. Saat Falri sudah mengetahui ruangannya yang berada di ruangan mawar nomor tiga puluh pun, dia segera berlari.

Betapa sakitnya hati Falri. Saat melihat keadaan Papanya lewat celah-celah kaca jendela. Begitu menyedihkan. Terbaring lemah di brankas rumah sakit, dipenuhi alat-alat medis. Falri ngilu dibuatnya.

Falri membuka perlahan pintu ruangan rawat inap. Dia juga menemukan kehadiran Mamanya dan Fani di sana. Falri segera mendekati dua wanita yang amat dicintainya.

Falri ingin menyalimi tangan Mamanya, tetapi ditepis kasar. Tatapan mamanya berubah dingin, tidak seperti dulu. Sedangkan Fani masih diam, tidak berani berbicara.

"Fani, segera antarkan dia ke ruang ambil darah," titah Mamanya dengan nada dingin.

Fani mengangguk. "Ayo, Ri!"

Falri menatap mamanya sejenak. Kemudian, mengikuti langkah Fani.

Mereka berdua jalan beriringan menuju ruang pengambilan darah. Falri masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan.

Ditemuinya seorang dokter pria yang duduk di kursinya. Falri segera duduk di hadapan dokter setelah dipersilahkan duduk. 

Davino. Begitu namatag dokter yang tidak sengaja dibaca oleh Falri.

Fani berdiri di belakang Falri. "Dok, ini adik saya. Dia yang akan mendonorkan darah untuk Papa."

"Kalau boleh tau golongan darah kamu apa?" tanya Dokter Davino pada Falri.

"O, dok." 

"Baik, kita ambil darah lalu test kecocokan. Baru kemudian bisa didonorkan ke tubuh pasien."

Falri dan Fani mengangguk paham. Falri mengikuti segala prosedur pengambilan darah dari arahan dokter. Fani masih menunggu di luar ruangan.

***

Tubuh Falri pucat pasi, mungkin karena belum makan saat diambil darahnya. Tetapi biarlah, yang penting keadaan Papanya lekas pulih.

Falri segera berpamitan pada Fani untuk pulang usai menjalankan tugasnya. Fani hanya mengangguk seraya mengucapkan, "hati-hati."

Falri berusaha tetap berjalan. Meskipun tubuhnya sudah tak lagi kuat menahan. Bahkan kepalanya sudah amat terasa pusing. Salahkan Falri yang terlalu bersemangat mendonorkan darah hingga lupa makan sebelum itu.

Falri menelpon Glen. Dia meminta Glen untuk menjemputnya di rumah sakit. Glen menyetujui kemudian berkata jika sepuluh menit lagi akan sampai.

Saat Glen beserta mobilnya sudah di hadapan Falri. Falri bergegas berjalan kemudian masuk ke mobil. Dia duduk di bangku penumpang, di samping bangku pengemudi.

Falri menyenderkan tubuhnya. Kemudian, memejamkan matanya. "Bang, ntar kalau udah sampai bilang, ya."

Glen hanya mengangguk. Dia juga prihatin dengan Falri yang tiba-tiba pucat pasi. Setahunya tadi Falri hanya mengatakan ada urusan sebentar di luar. Lantas kenapa urusannya ada di rumah sakit? Apa yang sebenarnya disembunyikan Falri darinya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status