Sudah sehari semalam, Falri beristirahat di rumah. Dia sudah siap untuk bekerja kembali. Walaupun Glen masih bilang, 'jangan dulu.'
Glen menatap khawatir ke arah Falri yang tengah duduk di sofa sembari memakai sepatu.
"Lo seriusan mau hari ini syutting?"
Falri menoleh ke arah Glen. "Daripada di rumah terus, kan? Lagi pula gue udah sehat sentosa gini."
"Terus lo bakal klarifikasi tentang gosip di media sosial?"
Memang kemarin, lebih tepatnya malam hari. Falri dicerca habis-habisan dengan puluhan pertanyaan dari Glen. Pada akhirnya, Falri lebih memilih jujur meskipun masih ada bumbu kebohongan. Falri hanya mengatakan jika Fani adalah kakak kandungnya sedangkan Jeslyn adalah teman sekelasnya pada zaman SMP.
"Ya, harus. Demi citra baik gue. Ya, kali gue digosip pakai berita sampah gini,"decak Falri.
"Lo mau klarifikasi apa? Okelah, kalau masalah Jesyln. Lah, kalau Fani? Lo mau bilang kalau dia adalah kakak kandung lo yang ikut-ikutan buang lo?" Glen menatap Falri. "Kalau lo bilang kayak gitu bakal kena skandal besar, Ri."
Falri menggeleng pelan. "Gue nggak akan bahas ke situ, Bang. Gue bakal ngelak. Gue juga harus jaga image gue sendiri juga keluarga gue."
"Gue bangga sama lo!"
"Makasih. Btw, langsung gas ke loksyut aja, ya?"
"Iya."
Glen dan Falri berjalan beriringan keluar dari apartemen. Di sela-sela perjalanan, mereka saling melempar canda tawa. Mungkin jika salah seorang dari mereka berjenis kelamin, pasti sudah dikira pacaran. Tapi siapa yang mau jadi ceweknya?
Karena tidak melihat ke depan saat berjalan. Falri menabrak sesuatu. Bukan, bukan sesuatu! Melainkan seseorang. Lebih tepatnya gadis dengan rambut panjang yang tergerai bebas.
"Jes-Jeslyn?" sapa Falri, tergagap.
Jeslyn tersenyum tipis. "Maaf, aku nggak lihat kamu tadi."
Falri mengangguk. "Kembali maaf. Gue juga tadi nggak lihat ada lo di depan."
"Aku permisi," pamit Jeslyn.
Kemudian, Falri memberikan jalan untuk Jeslyn berjalan. Kejadian singkat itu tidak luput dari dua bola mata Glen yang masih menatap penuh selidik.
"Gue nggak yakin kalau lo sama Jeslyn itu kagak ada hubungan apa-apa, selain temen," ucap Glen, saat Jeslyn sudah pergi menjauh.
Falri tersentak halus. Dia menoleh ke arah Glen. "Maksudnya?"
"Lo pernah pacaran sama dia? Atau seenggaknya kalian saling suka? Soalnya, gue lihat. Di mata kalian berdua kayak ada perasaan yang lebih dari temen," sahut Glen.
"Apa, sih, Bang? Lo mulai gak jelas. Udahlah, ayo buruan jalan. Ntar gue telat syutting lagi." Falri mengelak dengan praduga yang dilontarkan Glen. Meskipun apa yang dilontarkan Glen tadi, memang benar adanya. Bahkan kejadian yang terjadi lebih dari itu.
Glen mendengus kesal. Tetapi Glen tidak luput mengikut langkah Falri yang mendahuluinya. Glen terus mengoceh ria, berbicara hal ini dan hal itu. Sebagai seorang aktor yang baik, Falri hanya bisa diam dan mendengarkan. Ocehan Glen serasa senandung lagu. Meskipun suaranya agak-agak gimana gitu.
Mereka berdua sudah sampai di parkiran mobil. Glen dan Falri segera mendekati mobil yang sudah tertata rapi di parkiran. Saat sesudah menemukan mobil, mereka berdua segera memasuki mobil. Tetap seperti biasanya, Glen duduk di kursi pengemudi. Sedangkan, Falri duduk di kursi penumpang tepat di samping Glen.
***
Falri keluar dari mobil terlebih dahulu. Mereka berdua sudah sampai di lokasi syutting, lebih tepatnya berada di sebuah danau. Kalau tidak salah ingat, hari ini ada take di danau. Sepertinya scene yang akan dilakukan merupakan scene baper. Karena sudah ada perahu kecil di pinggir danau.
Falri segera duduk di kursi yang disediakan khusus untuk para aktor/aktris yang memerankan karakter film. Falri sudah memegang selembar kertas berisi dialog dan scene yang nanti akan diperankan. Sesekali Falri meminum segelas es teh yang tadi diberikan.
"Falri!"
"Falri!"
Teriakan berkali-kali memanggil Falri. Tidak hanya seorang yang memanggilnya, tetapi belasan orang. Mereka semua masing-masing membawa sebuah mic dan kamera penyorot.
Falri mendesis pelan. Pasti sebentar lagi, mulutnya akan berbusa. Lihat saja, nanti!
"Falri! Falri!"
Begitu teriakan seiring gerombolan para wartawan bercampur penggemar kepo menghampiri Falri. Falri menampilkan senyum hangatnya. Meskipun sedikit dipaksakan, Falri tetap keren dan kece badai!
"Falri, kita mau klarifikasi, dong!"
"Iya, Falri! Berita itu benar, nggak?"
"Teman-teman sekalian, yuk duduk dulu. Walaupun di atas rumput bukan di sofa empuk, nggak papa, ya. Aku bakal klarifikasi semua hal yang menyangkut aku, kok. Tapi duduk, ya. Jangan ada yang terlalu berkoar-koar. Oke?" Falri mencoba mengalihkan kebisingan. "Ingat, di sini lokasi syutting bukan apartemen."
Seluruh orang yang mengitari Falri hanya diam setuju. Saat Falri mengambil posisi dudu di atas rumput pun, mereka mengikut gerakan Falri. Seperti saat ini, seperti bukan orang yang ingin berbincang alias wawancara berita. Melainkan kumpul-kumpul bareng temen. Cuma satu yang kurang, gak ada kopi. HAHA!
"So? Tanya satu-satu, ya," kata Falri yang diangguki oleh mereka.
"Hm ... dari paling kanan, deh."
Mereka pun mengangguk. Seorang wartawan yang berada di ujung kanan pun segera ambil posisi. Dia dan beberapa rekan lainnya, langsung menyodorkan mic ke hadapan Falri.
"Kak, apa benar kakak itu punya dua gebetan sekaligus?" tanya wartawan pertama.
Falri menggeleng singkat. "Mereka teman saya. Bukan siapa-siapa."
"Terus kenapa kalian bertemu di kafe secara bergantian?" tanya lagi, dari seorang wartawan kedua.
"Kita ada sedikit perbincangan. Jadi, kita ketemuan bergantian dalam waktu dekat. Nggak ada yang dilebih-lebihkan."
"Apa mereka teman lama atau baru, Kak?" tanya seorang wartawan ketiga.
Falri tersenyum tipis. "Cukup lama. Bisa dibilang gitu, sih."
Maaf, Kak Fani dan Jeslyn. Gue terpaksa harus bohong perihal kalian. Demi image gue."Kak Falri lagi dekat sama siapa, dong? Kalau bukan mereka berdua." Wartawan keempat mulai angkat pertanyaan.
Falri terkekeh pelan. "Saya nggak lagi ada hubungan spesial dengan gadis siapa pun. Saya lagi pingin fokus dengan karir dan pendidikan saya yang sempat tertunda."
Memang, sih, tahun ajaran pertama kelas sepuluh SMA, Falri terpaksa tidak ikut belajar. Jadi, dia ketertinggalan selama setahun. Maka dari itu dia memutuskan untuk homescholling setelah setahub berlalu.
"Kasih tau kita dong, Kak! Apa saja tipe-tipe gadis pujaan seorang Kak Falri?"
"Nggak ada yang terlalu spesifik untuk tipe. Saya memang tipekal lelaki yang pemilih alias tidak sembarang memacari atau menyukai seorang gadis. Lagi pula yang terpenting bagi saya adalah perempuan yang berakhlak baik dan apa adanya." Falri mengucapkan itu dengan senyuman manis. Manis seperti gulali, tetapi kejadian masa lalunya -- eh!
"Kak, mau tanya dong! Kakak kapan punya niat pacaran gitu? Kali-kali aja ada yang mau memantaskan diri," ujar wartawan keenam.
Falri tertawa singkat. "Kalau itu, biar waktu yang menjawab. Saya juga pingin punya cewek yang jadi dirinya sendiri aja, sih. Sesimple itu."
"Kak Falri, udah pernah pacaran belum?"
Falri tersentak halus. Dia berusaha menutupi kegugupan dengan senyum tipis. "Alhamdulillah ..., sampai saat ini saya masih ingin menjadi lelaki jomlo, hehe."
maafin gue, Jes!
Dan pertanyaan lainnya masih terlontar. Dengan wajah senang dan hati mengkerut kesal, Falri menjawab satu per satu pertanyaan. Demi aleks, eh nggak! Demi karir, apa sih yang nggak dilakukan Falri? Sampai mulut berbusa sekalipun, Falri tetap rela, kok. Asal nggak ada yang nyebar gosip perihal masa lalunya.
***
Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica sontak berlari masuk ke rumah. Mereka terkejut mendengar suara teriakan dari Jeslyn dan Deslyn di dalam rumah.Jeslyn dan Deslyn menghampiri mereka. Membuat Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica menatap khawatir keduanya."Jes, tadi kenapa?" tanya Falri.Jeslyn dan Deslyn saling tatap. Kemudian mereka berdua tertawa renyah. Hal itu lagi, lagi membuat mereka berlima menatap bingung keduanya."Kok ketawa?" cengo Jessica."Kita nggak apa-apa," ulas Jeslyn, "kita tadi cuma mau ngagetin aja. Eh taunya bener-bener kaget."Deslyn tertawa kecil. "Muka kalian lucu kayak Shaun The Sheep, hihi ....""Kita dikerjain?" culas Glen yang diangguki semangat oleh Deslyn dan Jeslyn."Pengen ngomong kasar tapi ada bocil," ucap Satya mengelus dada."Bocil siapa, Papa?" tanya Deslyn bingung."Bocil ya lo, Deslyn," ceplos Glen."Bocil emang apa, Om?" tanyanya lagi.Glen mendesah frustasi. "Bocil y
Seminggu kemudian ...Jeslyn sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Sontak hal itu membuat Falri dan Deslyn begitu antusias membawa pulang Jeslyn.Dibantu Satya, Glen, Fani, dan Jessica, Jeslyn akhirnya keluar dari rumah sakit. Falri masih menggendong Deslyn sampai di depan mobil.Glen duduk di kursi pengemudi. Fani di sebelah sisi Glen. Sedangkan Falri, Jeslyn, dan Deslyn duduk di bangku tengah. Hanya Satya yang duduk di belakang bersama Jessica."Lo bener udah sehat, Jes?" tanya Satya."Iya, Kak.""Jes, pokoknya ntar harus makan banyak ya!" seru Jessica begitu semangat, "ntar gue masakin, deh. Serius!""Gue ikutan masak, dong," timpal Fani ikut nimbrung."Skuy, lah. Yang penting bahannya udah ada di dapur. Ya, nggak, Yara?" Jessica menaik-turunkan kedua alisnya sembari menatap Satya."Gue belum belanja, astaga.""Gampang, Sat. Lo tinggal beli aja ntar sama Glen." Fani memberi solusi.Kedua lelaki yang dititah
Falri menatap gundukan tanah di hadapannya. Hatinya terasa sakit. Seperti ditikam beribu belati tajam.Falri menangis. Meratapi nasibnya. Ia direngkuh hangat oleh Fani, kakaknya.Falri mengecup pelan batu nisan. Tak lupa ia memanjatkan beribu doa."Fal," panggil Fani mencoba menahan isak tangis.Falri menghentikan tangisnya. Ia menatap sang kakak, kemudian memeluknya begitu erat."Fal, kita harus sabar," lirih Fani."Tapi kenapa harus Mama dan Papa yang tiada?" tanya Falri. Ia menitikkan air mata untuk kesekian kalinya. "Gue ngerasa kalau gue ...." Falri menjeda ucapannya sebab terhalang oleh suara isakan tangisnya."Gue nggak bisa banggain Mama dan Papa. Gue nyesel, Kak."Memang benar, Dira dan Bran dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan. Kemarin, tepat di saat usai Jeslyn tertembak. Dira dan Bram berinisiatif membawa mobil sendiri, karena mobil ambulance sudah penuh.Naas, di jalan menuju rumah sakit, mobil ya
Falri diambang kebingungan. Di satu sisi, ia tidak ingin menerima tawaran Alda. Namun, di sisi lainnya ia tidak bisa berlama-lama menyelamatkan orang-orang yang dikenali.Falri mengusak rambutnya frustasi. Ia menatap Alda dengan tatapan lelah bercampur gusar."Lo udah buat drama banyak banget di hidup gue. Apa lo nggak cape juga?" Falri berujar, seolah-olah ia ingin bernegoisasi dengan Alda.Alda menggeleng cepat. "Aku nggak akan pernah cape! Sebelum kamu jadi pacarku, Fal.""Lo cinta sama gue?" Alda menggeleng sekali lagi. Membuat Falri mengernyit heran."Aku nggak cinta sama kamu.""Terus kenapa lo seolah-olah maksa gue untuk jadi pacar lo?""Kepo! Jadi, cowok gak usah kepo!" tukas Alda.Falri berdecih pelan. "Ngeselin lo jadi cewek!""Gak ngejek aku buta lagi?" tantang Alda.Falri menggeram marah. Bagaimana ia mengejek Alda buta jika Alda sendiri saja sudah bisa melihat. Ada-ada saja perempuan sialan itu!"Fal, per
***Dengan perasaan mantap, Falri menaiki satu per satu anak tangga. Ia harus berhati-hati karena lantai tangga juga tak kalah licin. Nyatanya rasa penasaran Falri masih mampu mengalahkan rasa takutnya.Celana Falri sudah basah kuyup. Diakibatkan oleh genangan air dan air ngompol yang tanpa disengaja. Falri tetap berteriak, meneriaki si perempuan misterius. Namun, semakin waktu berjalan sudah tidak lagi terdengar suara perempuan menggema."Duh, ini gue milih pilihan yang tepat, kan?" tanya Falri jadi bimbang sendiri.Falri menggeleng seraya berdecak. "Bodo, ah. Siapa tau ntar di lantai dua ada harta karun gitu. Kan, nggak ada yang tau."Falri terus menggerutu. Begitu juga dengan hatinya yang terus meneriaki kalimat, "Demi gue, Jeslyn, dan Deslyn!"Falri menghela nafas lelah saat sudah berada di lantai dua. Matanya menelisik sekitar, banyak pintu kamar di sepanjang tembok hingga ujung tangga.Falri mengusap kasar keringat. Ia kembali berteriak,
Falri memutuskan untuk masuk ke gedung seram itu. Mau bagaimana lagi? Ini sudah cara terakhir mendapatkan petunjuk tentang drama di hidupnya.Saat Falri membuka pintu utama gedung. Tiba-tiba air dari dalam gedung meluruh keluar, sehingga kedua kakinya terpaksa basah karena air itu. Falri hanya bisa berdecak kesal.Matanya berkeliaran melihat sisi-sisi di dalam gedung. Tidak ada yang spesial. Hanya ada lorong-lorong gelap di sisi kanan, kiri, depan. Tak hanya itu, lorong-lorong itu digenangi banyak air.Bahkan juntaian rumput liar ikut menghiasi pemandangan dalam gedung. Falri bergidik ngeri. Dia menatap kedua kakinya, takut ada ular yang tiba-tiba melilitkan diri di kakinya. Jangan sampai, deh!Falri mencoba maju tiga langkah. Di saat itu juga sibakan air menggema di seluruh gedung. Falri mengumpulkan keberanian. Meskipun dia lelaki, tetapi jangan salah jika ia juga punya takut. Apa lagi kegelapan adalah salah satu phobianya."Please, ya ... di sini ada