Share

PENDEKATAN

“Matheo!”

Jelita merasa tak asing dengan orang yang tengah berjalan ke arahnya. Jelita pun memperhatikan seksama. Benar, kan tidak asing. Cewek itu yang tadi ditangani di ruang kesehatan sekolah.

“Lo kenal sama dia, Mat?”

“Enggak.”

Kini Shelka sudah berdiri di depan motor Matheo. Ia menampilkan senyum yang begitu manis. “Kak Matheo,” katanya.

“Ada apa?”

Shelka diam membisu. Kini ia merutuki dirinya yang kelepasan memanggil Matheo. Giliran sudah di depan orangnya malahan bingung sendiri. “Gapapa, Kak. Cuma mau bilang hati-hati.”

Matheo hanya menggelengkan kepalanya saja. Tak ingin membuang waktu percuma, Matheo langsung menarik gasnya. Matheo segera melajukkan motornya melewati Shelka.

Jelita menengok sekilas ke arah Matheo. Dapat Jelita lihat tatapan kesedihan yang dipancarkan oleh adik kelasnya itu. “Mat,” panggil Jelita sambil menepuk bahu Matheo.

“Apa, Ta?”

“Kayaknya cewek itu suka sama lo deh.”

“Jangan ngaco lo, Ta.”

“Nggak ngaco. Tapi kelihatan banget kalau dia suka sama lo. Lagipula dia juga cantik kok.”

“Gue nggak lihat cantiknya. Yang gue butuhin rasa nyaman.”

“Terserah lo dah!” Jelita merasa percuma saja jika menasihati seorang Matheo. Sikapnya sangat keras kepala juga sulit untuk dibantah.

Dalam perjalanan menuju ke arah rumah Jelita pun terjadi keheningan antara Matheo juga Jelita. Keduanya sama-sama tak mengeluarkan suara sedikit pun. Hingga akhirnya perjalanan mereka sampai.

Jelita langsung turun dari motor Matheo. Ia melepaskan helm serta menyerahkan ke arah Matheo dengan wajah yang dibilang sangat jutek. “Makasih, Mat.”

“Lo marah?”

“Enggak!”

“Tapi kelihatan lo marah.”

“Udah tahu tanya,” jawab Jelita dengan ketus.

“Maaf, Ta.”

“Nggak perlu. Udah sana lo pulang,” usir Jelita secara terang-terangan.

Matheo langsung menyalakan starter motornya. “Jaga diri lo.” Matheo segera menarik gasnya dan melaju begitu kencang.

Dalam perjalanan menuju ke arah rumah, Matheo dipepet oleh orang yang sangat ia hindari.

“Anak Mommy, woy,” seru Gilang yang disambut ketawa oleh teman-teman lainnya.

Matheo yang merasakan akan terjadi sesuatu yang nggak beres langsung mencoba menghindar dari Gilang dan teman-temannya itu. Matheo langsung menancapkan gasnya kencang hingga membuat Gilang kehilangan jejak Matheo.

“Gila tuh anak. Bukannya tobat udah kelas tiga malahan ngajakin nggak benar,” gumam Matheo bermonolog.

Matheo langsung melajukan motornya ke arah rumah. Setelah sampai, ia langsung memarkir, kan sepeda motornya.

“Siang, Mom.”

“Eh, Mamat. Sudah pulang, Nak. Tumben sekali cepat,” sambut Kaila.

“Nggak ada pelajaran jadi pulang cepat.” Matheo berjalan menuju ke arah Kaila yang tengah duduk sambil membuka-buka majalah. Matheo bersalaman kemudian pamit menuju kamarnya. Sebelum masuk ia merasa aneh dengan suasana rumah yang sepi. “Sasha mana?”

“Belum pulang.”

“Tumben.”

“Mungkin langsung mendapatkan pelajaran.”

“Oh, gitu.”

Matheo langsung melanjutkan berjalan ke arah kamar. Ia melempar tas ke arah meja. Matheo selalu teringat dengan Gilang yang memang memiliki perasaan dengan Jelita.

“Tidak bisa dibiarkan kalau begini,” gumam Matheo.

Matheo langsung menuju ke arah lemari untuk berganti pakaian. Selesai semua, ia kembali keluar kamar yang kebetulan berpapasan dengan Mommynya.

“Mau pergi ke mana kamu, Mat?”

“Mau ke rumah Lita, Mom. Pinjam mobil, ya.”

“Pakai aja. Lagian Daddy kamu juga sudah kasih itu mobil buat kamu, kan?”

Matheo hanya membalas perkataan mommynya dengan senyuman tipis. Ia segera cipika cipiki dengan Mommynya. “Matheo pergi, Mom,” pamitnya.

“Hati-hati sayang,” sahut Kaila yang melihat anaknya sudah tumbuh dewasa. Tanpa sadar senyum Kaila terbit dengan sendirinya. Ia menarik napas panjang ketika melihat anak-anaknya yang semakin hari semakin bertumbuh besar tanpa ia dasari.

Bentar lagi mereka menemukan pasangan hidup masing-masing, terus menikah. Padahal baru saja Mommy merasakan kalian berada di perut Mommy kemarin.

***

Matheo kini tengah menyetir mobil menuju ke arah rumah Jelita. Padahal baru saja ia mengantarkan Jelita pulang ke rumahnya tapi, sudah ingin bertemu kembali. Entahlah.

Dalam perjalanan pun, Matheo memutar musik kesukaannya. Jarinya ia ketuk-ketukan di setir mobil mengikuti irama musik. Tak berapa lama ponsel yang ia letakan di bangku penumpang bergetar hebat.

“Ya, halo, Ren. Ada apa?”

“Di mana lo? Bisa ke rumah gue nggak?”

“Nggak bisa, gue mau ke rumah Lita.”

Decak Rendi kesal. “Bentar doang anjir, ada cewek cantik banget. Lo pasti suka deh. Mana dia sok kenal sama gue. Dan, dia minta nomor hape lo.”

“Hah, jangan macam-macam lo, Ren. Atau, besok lo bakalan masuk rumah sakit.”

“Gapapa masuk rumah sakit, bisa dirawat sama bebeb Sasha nanti.”

“Shit!”

Matheo langsung mematikan sambungan teleponnya dengan sepihak. Ia segera menancapkan gasnya menuju ke arah rumah Rendi. Niat mau ke rumah Lita gagal total.

Dalam perjalanan pun, Matheo mengumpati temannya itu. Mana kalau diiming-iming kopi starbuck dia langsung luluh lantah pula.

Tak berapa lama akhirnya perjalanan seorang Matheo sampai. Ia langsung disambut oleh Rendi dengan senyuman khasnya itu.

“Wuih, Bro. Datang juga lo.”

“Shit! Jangan sampai lo sebarin nomor hape gue.”

“Aduh, sudah terlanjur gue kasih. Gimana dong.”

“Sial!”

Rendi langsung terkekeh. “Udah lah, lagipula Shelka itu cantik. Dia teman adik gue.”

Matheo memejamkan matanya. “Gue nggak kenal sama dia.”

“Makanya biar kalian kenal itu saling chatingan. Pasti kalian berdua lama-lama jatuh cinta deh. Mukanya mirip boneka barbie gitu si Shelka. Bego lo kalau nggak suka.”

Matheo diam. Ia lebih memilih mendengarkan ocehan Rendi tentang perempuan yang tak ia kenal sama sekali.

“Anaknya ada di dalam noh,” tambahnya.

“Shit!” umpat Matheo kembali. “Gue nggak peduli! Gue mendingan pulang.”

“Ets, tunggu dulu. Lagian udah sampai sini lo malahan pulang. Udah, lo tiap hari ketemu Lita juga. Kalau yang Ini cewek langka, Bro.”

“Gila lo, Ren. Lama-lama lo mirip mucikari tahu nggak, sih. Nawar-nawarin cewek begini.”

“Bukan begitu, Mat. Gue hanya ingin membantu supaya lo tidak jomlo seumur hidup aja.”

Merasa Matheo sudah mulai jinak. Rendi langsung menarik lengan Matheo agar segera masuk ke rumah. Di sana sudah ada dua wanita yang masih pakai seragam SMP sedang berdiskusi masalah kegiatan untuk masa orientasi sekolah.

Mata Matheo langsung melotot tajam ketika melihat cewek yang tak asing bagi matanya. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali.

“Halo, adik-adik manis. Babang Matheo datang nih.” Rendi dengan suara mirip toa masjid langsung menyodorkan Matheo ke arah Shelka.

Shelka sendiri langsung tersenyum senang. Ia segera berdiri dan merapikan pakaian seragamnya. Rambut yang Shelka gerai lurus pun langsung ia rapikan dengan sela-sela jari tangannya.

“Halo, Kak,” sapa Shelka.

“Ini, kan yang lo taksir?” tanya Rendi dengan mulut embernya.

Shelka langsung tersenyum malu-malu. Wajahnya ia tundukan menghadap ke arah bawah. Pipinya kini sudah merah seperti kepiting rebus.

Rendi sendiri yang melihat sikap Shelka jadi ikut gemas sendiri. “Kenalan dong kalian berdua. Biar akrab nantinya.”

Rendi mendorong tubuh Matheo lebih mendekat lagi. Hingga kini tubuh Matheo sudah berada di depan Shelka.

Matheo sendiri merutuki temannya itu, ia bersumpah besok akan memberi pelajaran kepada Rendi karena sudah berani membuatnya seperti ini.

“Hai, Kak, kenalin aku Shelka,” ujar Shelka sambil mengulurkan tangannya.

Matheo berdeham pelan. “Matheo.”

Shelka tersenyum lebar, tangan keduanya masih bertautan hingga membuat Rendi langsung menyindir keduanya. “Udah kali salamannya, lama banget kayak mau ijab qobul aja kalian berdua.”

Dengan cepat keduanya melepaskan tangan. Matheo ingin segera pergi namun langsung ditahan oleh Rendi.

“Ett, lo mau ke mana, sih?”

“Pulang.”

“Ya ampun, Mat. Gitu cara kenalan sama cewek? Gila, nggak ada romantisnya sekali.” Rendi menggelengkan kepalanya. Ia menatap Shelka yang masih saja terkagum-kagum dengan Matheo. “Dedek Shelka mendingan sama Abang Rendi aja, dari pada sama es batu begini.”

“Gapapa, aku siap mencairkan bekunya es batu itu.”

“Whoa, gila. Keren!” seru Rendi bersamaan dengan Dita.

Matheo sendiri hanya bisa menatap datar ke arah dua kakak beradik ini. Tak sengaja matanya beralih menatap ke arah Shelka. Tanpa diduga Shelka pun tengah menatap Matheo, hingga  keduanya sama-sama tengah menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iren Rogate
Ada maunya Jika mulai Ada pedekate.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status