Share

Bab 2. Malam Pertama Yang Menyakitkan

Aldin segera masuk kamar mandi untuk berendam air hangat agar ia lebih rileks dan bisa meredam amarahnya. Ia tidak bisa menahan emosi, walau sebenarnya ia tidak tega memperlakukan wanita yang sangat ia cintai dengan kasar. Tapi, ia sudah terlanjur kecewa dengan wanita yang baru beberapa jam lalu sah menjadi istrinya.

Iya begitu mecintai istrinya dengan tulus, tapi sang istri mendekatinya hanya karena sebuah taruhan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh seorang wanita. Terlebih dia adalah istrinya, orang yang sangat ia cintai, wanita pertama yang ia cintai setelah Bunda dan adiknya.

Setelah selesai mandi dan berpakaian. Aldin menghampiri istrinya yang sudah terbaring di tempat tidurnya. Tapi, bukan untuk tidur di samping sang istri, melainkan untuk mengambil bantal dan selimut.

“Hubby kamu mau tidur di mana?” tanya Sisil pada Aldin. Ia berbicara dengan lembut kepada suaminya, mencoba melupakan perlakuan kasar sang suami karena ia memang merasa kalau dirinya lah yang bersalah.

Aldin tidak menjawab pertanyaan Sisil. Ia melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada di kamar. Membaringkan tubuhnya yang jangkung di sana, sehingga ia harus menekuk kaki panjangnya.

“Dia nggak sadar kakinya panjang banget.” Sisil menggelengkan kepalanya. Lalu ia turun dari tempat tidur menghampiri sang suami.

“Hubby!” panggil Sisil dengan lembut sambil mengusap bahu suaminya.

“Jangan sentuh aku!” Aldin tidak sengaja menyikut wajah istrinya.

“Aww!” Sisil mengaduh sambil memegangi wajahnya.

Mencoba bersabar dengan sikap sang suami yang berubah menjadi kasar, tapi Aldin tetap memperlakukannya seperti najis yang harus dijauhi. Ia sudah mencoba berbicara baik-baik walau sejak tadi dikasari oleh laki-laki jangkung yang baru saja menikahinya, tapi kini kesabarannya sudah menipis.

“Gue tahu, gue salah, tapi apa harus lo nyakitin jiwa dan raga gue?” cecar Sisil sambil memegangi pipi kirinya.

Aldin bangun dan terduduk, ia merasa sakit melihat istrinya kesakitan gara-gara ulahnya. Tapi, ia tidak bisa melawan egonya. Hatinya sudah terlanjur kecewa pada gadis mungil yang ada di hadapannya.

“Aku udah bilang, jangan sentuh!” sergah Aldin pada istrinya.

“Sana lo pindah! Biar gue yang tidur di sini. Gue sadar diri, gue cuma tamu di rumah ini.” Sisil mendorong suaminya dengan keras.

Sisil membaringkan tubuhnya di sofa yang pas dengan badannya yang mungil. Ia tidur membelakangi sang suami. Tak terasa air matanya luruh dengan begitu saja. Hatinya sangat sakit mendapat penolakan dari suaminya.

Aldin berjalan menuju tempat tidur, hatinya tambah sakit mendengar sang istri berbicara kasar padanya “Apa dia juga merasakan sakit seperti ini, ketika aku kasari?” batin Aldin.

Aldin membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang sudah dihiasai dengan kelopak bunga mawar merah. Aldin menoleh pada sang istri yang tidur meringkuk, membelakanginya. Kemudian ia memiringkan tubuhnya membelakangi sang istri.

“Astaga! Dingin banget.” Sisil mengusap-usap legannya. Ia bangun untuk mencari selimut, kemudian ia membawa selimut dan bantal ke ruang ganti. “Di sini nggak dingin. Gue tidur di sini ajalah.” Sisil menggelar selimutnya di lantai, dan sebagian lagi, ia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya.

Sisil memejamkan mata setelah tubuhnya mulai menghangat lagi. Sisil tidak kuat tidur di dalam ruangan bersuhu rendah, Biasanya Andin mematikan AC kalau Sisil sedang menginap dirumahnya.

Mentari pagi sudah menampakkan wujudnya. Aldin membuka mata, lalu menoleh pada sang istri yang tidur di sofa.”Ke mana dia? Apa dia udah bangun?” gumam Aldin dengan pelan.

Aldin pun turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah sepuluh menit Aldin keluar dari kamar mandi dan melangkahkan kakinya menuju ruang ganti.

“Astaga!” Aldin terkejut saat pintu ruang ganti terbuka, ia melihat istrinya tidur sambil meringkuk. Tubuhnya dililit dengan selimut sampai kepalanya, yang terlihat hanya bagian wajahnya saja.

Hatinya sakit melihat Sisil menderita seperti itu, tapi ia sangat kecewa pada sang istri jika ingat kalau dirinya hanya dijadikan sebuah taruhan oleh gadis mungil itu.

Aldin melangkahi istrinya, ia berjalan dengan sangat hati-hati agar langkahnya tidak membangunkan sang istri. Setelah mengambil baju ganti, ia segera keluar dari ruang ganti, lalu masuk lagi ke kamar mandi untuk memakai baju.

Setelah berpakaian, Aldin keluar dari kamar mandi dan duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Ia menghapus semua fotonya bersama Sisil. Tidak ada satu pun foto sang istri yang tersisa di benda pipih itu.

“Kenapa dia nggak bangun-bangun? Nggak mungkin juga kan keluar sendirian, pasti Bunda nanyain anak itu,” gumam Aldin dalam hatinya.

Pandangan mereka bertemu ketika Aldin menoleh pada ruang ganti, dan ketika itu pula Sisil keluar dari ruangan itu.

Dengan cepat Aldin memalingkan wajahnya. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Selama ini aku udah susah payah mendapatkan cintamu, memberikan semua cintaku hanya untukmu, tapi kini setelah aku mendapatkanmu, cinta itu semakin menjauh dariku. Aku sudah lelah mengejar cintamu. Aku akan melepasmu jika bersamaku hanya menyakitimu saja,” gumam Sisil dalam hatinya.

Kemudian Sisil masuk ke kamar mandi, setelah itu ia masuk ke ruang ganti dan setelah selesai berpakaian ia langsung keluar dari kamar tanpa mengajak suaminya.

Sisil berjalan dengan santai menuju meja makan seperti tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan sang suami.

Sementara Aldin mengikutinya dari belakang.

“Pagi Bunda!” sapa Sisil pada mertuanya. Sejak bersahabat dengan Aldin, Sisil memang sudah dekat dengan Bunda Anin. Jadi, ketika ia menjadi menantunya, Sisil sudah tidak canggung lagi dengan mertuanya itu.

“Pagi Sayang!” balas Bunda Anin pada menantu barunya. “Malam pertamamu gimana, Sayang?” tanya Bunda. Keluarga ini memang keluarga gesrek yang berbicara ceplas ceplos kepada anggota keluarganya sendiri.

“Malam pertama yang menyakitkan, Bun,” jawab Sisil sambil melirik Aldin yang duduk di sampingnya.

Aldin langsung menoleh pada sang istri. Menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, tapi Sisil tidak takut dengan semua itu.

“Kenapa Sisil begitu segar, nggak kayak Andin sampai nggak bisa bangun dari tempat tidur. Apa Al kurang mantap permainannya?” Bunda Anin memerhatikan anak dan menantunya. “Apa jangan-jangan mereka belum belah duren?”

“Bunda kenapa melamun?” Ayah Rey menepuk bahu istrinya karena sang istri hanya mengaduk-aduk makanannya saja. Sehingga Bunda terkejut sampai-sampai makanannya berceceran.

“Ayah! Ada apa sih? Ngagetin aja!” Bunda Anin marah pada sang suami.

“Pagi-pagi Bunda ngelamunin apaan?” tanya suaminya sambil terkekeh melihat istrinya mengerucutkan bibir seperti gadis remaja saja. “Bunda pengin dicium sama laki-laki tampan ini ya,” kata Ayah Rey sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Ya ampun, Yah. Ngaca sana! Udah tua narsis banget,” cibir Bunda pada suaminya. “Ayah udah punya cucu, udah jadi kakek-kakek,” imbuhnya.

“Walaupun udah jadi kakek, tapi Ayah masih kuat, Bun,” sahut Ayah Rey. “Mau bikin anak tiap hari juga Ayah masih kuat.”

“Nggak nyadar, udah pada tua juga,” gumam Aldin pelan, tapi masih terdengar oleh yang lainnya.

Ayah dan bundanya langsung terdiam mendengar gumaman anak laki-lakinya. “Ada yang lagi sensi, Bun,” kata Ayah Rey setengah berbisik.

“Kayaknya semalam dia gagal jebol gawang istrinya,” timpal Bunda Anin.

“Bun-”

Ucapan Aldin  terpotong oleh teriakan keponakannya yang berlari mendekati meja makan.

“Selamat pagi, Nenek cantik!” sapa si kembar pada Bunda Anin.

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status