Aldin segera masuk kamar mandi untuk berendam air hangat agar ia lebih rileks dan bisa meredam amarahnya. Ia tidak bisa menahan emosi, walau sebenarnya ia tidak tega memperlakukan wanita yang sangat ia cintai dengan kasar. Tapi, ia sudah terlanjur kecewa dengan wanita yang baru beberapa jam lalu sah menjadi istrinya.
Iya begitu mecintai istrinya dengan tulus, tapi sang istri mendekatinya hanya karena sebuah taruhan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh seorang wanita. Terlebih dia adalah istrinya, orang yang sangat ia cintai, wanita pertama yang ia cintai setelah Bunda dan adiknya.
Setelah selesai mandi dan berpakaian. Aldin menghampiri istrinya yang sudah terbaring di tempat tidurnya. Tapi, bukan untuk tidur di samping sang istri, melainkan untuk mengambil bantal dan selimut.
“Hubby kamu mau tidur di mana?” tanya Sisil pada Aldin. Ia berbicara dengan lembut kepada suaminya, mencoba melupakan perlakuan kasar sang suami karena ia memang merasa kalau dirinya lah yang bersalah.
Aldin tidak menjawab pertanyaan Sisil. Ia melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada di kamar. Membaringkan tubuhnya yang jangkung di sana, sehingga ia harus menekuk kaki panjangnya.
“Dia nggak sadar kakinya panjang banget.” Sisil menggelengkan kepalanya. Lalu ia turun dari tempat tidur menghampiri sang suami.
“Hubby!” panggil Sisil dengan lembut sambil mengusap bahu suaminya.
“Jangan sentuh aku!” Aldin tidak sengaja menyikut wajah istrinya.
“Aww!” Sisil mengaduh sambil memegangi wajahnya.
Mencoba bersabar dengan sikap sang suami yang berubah menjadi kasar, tapi Aldin tetap memperlakukannya seperti najis yang harus dijauhi. Ia sudah mencoba berbicara baik-baik walau sejak tadi dikasari oleh laki-laki jangkung yang baru saja menikahinya, tapi kini kesabarannya sudah menipis.
“Gue tahu, gue salah, tapi apa harus lo nyakitin jiwa dan raga gue?” cecar Sisil sambil memegangi pipi kirinya.
Aldin bangun dan terduduk, ia merasa sakit melihat istrinya kesakitan gara-gara ulahnya. Tapi, ia tidak bisa melawan egonya. Hatinya sudah terlanjur kecewa pada gadis mungil yang ada di hadapannya.
“Aku udah bilang, jangan sentuh!” sergah Aldin pada istrinya.
“Sana lo pindah! Biar gue yang tidur di sini. Gue sadar diri, gue cuma tamu di rumah ini.” Sisil mendorong suaminya dengan keras.
Sisil membaringkan tubuhnya di sofa yang pas dengan badannya yang mungil. Ia tidur membelakangi sang suami. Tak terasa air matanya luruh dengan begitu saja. Hatinya sangat sakit mendapat penolakan dari suaminya.
Aldin berjalan menuju tempat tidur, hatinya tambah sakit mendengar sang istri berbicara kasar padanya “Apa dia juga merasakan sakit seperti ini, ketika aku kasari?” batin Aldin.
Aldin membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang sudah dihiasai dengan kelopak bunga mawar merah. Aldin menoleh pada sang istri yang tidur meringkuk, membelakanginya. Kemudian ia memiringkan tubuhnya membelakangi sang istri.
“Astaga! Dingin banget.” Sisil mengusap-usap legannya. Ia bangun untuk mencari selimut, kemudian ia membawa selimut dan bantal ke ruang ganti. “Di sini nggak dingin. Gue tidur di sini ajalah.” Sisil menggelar selimutnya di lantai, dan sebagian lagi, ia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya.
Sisil memejamkan mata setelah tubuhnya mulai menghangat lagi. Sisil tidak kuat tidur di dalam ruangan bersuhu rendah, Biasanya Andin mematikan AC kalau Sisil sedang menginap dirumahnya.
Mentari pagi sudah menampakkan wujudnya. Aldin membuka mata, lalu menoleh pada sang istri yang tidur di sofa.”Ke mana dia? Apa dia udah bangun?” gumam Aldin dengan pelan.
Aldin pun turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah sepuluh menit Aldin keluar dari kamar mandi dan melangkahkan kakinya menuju ruang ganti.
“Astaga!” Aldin terkejut saat pintu ruang ganti terbuka, ia melihat istrinya tidur sambil meringkuk. Tubuhnya dililit dengan selimut sampai kepalanya, yang terlihat hanya bagian wajahnya saja.
Hatinya sakit melihat Sisil menderita seperti itu, tapi ia sangat kecewa pada sang istri jika ingat kalau dirinya hanya dijadikan sebuah taruhan oleh gadis mungil itu.
Aldin melangkahi istrinya, ia berjalan dengan sangat hati-hati agar langkahnya tidak membangunkan sang istri. Setelah mengambil baju ganti, ia segera keluar dari ruang ganti, lalu masuk lagi ke kamar mandi untuk memakai baju.
Setelah berpakaian, Aldin keluar dari kamar mandi dan duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Ia menghapus semua fotonya bersama Sisil. Tidak ada satu pun foto sang istri yang tersisa di benda pipih itu.
“Kenapa dia nggak bangun-bangun? Nggak mungkin juga kan keluar sendirian, pasti Bunda nanyain anak itu,” gumam Aldin dalam hatinya.
Pandangan mereka bertemu ketika Aldin menoleh pada ruang ganti, dan ketika itu pula Sisil keluar dari ruangan itu.
Dengan cepat Aldin memalingkan wajahnya. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
“Selama ini aku udah susah payah mendapatkan cintamu, memberikan semua cintaku hanya untukmu, tapi kini setelah aku mendapatkanmu, cinta itu semakin menjauh dariku. Aku sudah lelah mengejar cintamu. Aku akan melepasmu jika bersamaku hanya menyakitimu saja,” gumam Sisil dalam hatinya.
Kemudian Sisil masuk ke kamar mandi, setelah itu ia masuk ke ruang ganti dan setelah selesai berpakaian ia langsung keluar dari kamar tanpa mengajak suaminya.
Sisil berjalan dengan santai menuju meja makan seperti tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan sang suami.
Sementara Aldin mengikutinya dari belakang.“Pagi Bunda!” sapa Sisil pada mertuanya. Sejak bersahabat dengan Aldin, Sisil memang sudah dekat dengan Bunda Anin. Jadi, ketika ia menjadi menantunya, Sisil sudah tidak canggung lagi dengan mertuanya itu.
“Pagi Sayang!” balas Bunda Anin pada menantu barunya. “Malam pertamamu gimana, Sayang?” tanya Bunda. Keluarga ini memang keluarga gesrek yang berbicara ceplas ceplos kepada anggota keluarganya sendiri.
“Malam pertama yang menyakitkan, Bun,” jawab Sisil sambil melirik Aldin yang duduk di sampingnya.
Aldin langsung menoleh pada sang istri. Menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, tapi Sisil tidak takut dengan semua itu.
“Kenapa Sisil begitu segar, nggak kayak Andin sampai nggak bisa bangun dari tempat tidur. Apa Al kurang mantap permainannya?” Bunda Anin memerhatikan anak dan menantunya. “Apa jangan-jangan mereka belum belah duren?”
“Bunda kenapa melamun?” Ayah Rey menepuk bahu istrinya karena sang istri hanya mengaduk-aduk makanannya saja. Sehingga Bunda terkejut sampai-sampai makanannya berceceran.
“Ayah! Ada apa sih? Ngagetin aja!” Bunda Anin marah pada sang suami.
“Pagi-pagi Bunda ngelamunin apaan?” tanya suaminya sambil terkekeh melihat istrinya mengerucutkan bibir seperti gadis remaja saja. “Bunda pengin dicium sama laki-laki tampan ini ya,” kata Ayah Rey sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Ya ampun, Yah. Ngaca sana! Udah tua narsis banget,” cibir Bunda pada suaminya. “Ayah udah punya cucu, udah jadi kakek-kakek,” imbuhnya.
“Walaupun udah jadi kakek, tapi Ayah masih kuat, Bun,” sahut Ayah Rey. “Mau bikin anak tiap hari juga Ayah masih kuat.”
“Nggak nyadar, udah pada tua juga,” gumam Aldin pelan, tapi masih terdengar oleh yang lainnya.
Ayah dan bundanya langsung terdiam mendengar gumaman anak laki-lakinya. “Ada yang lagi sensi, Bun,” kata Ayah Rey setengah berbisik.
“Kayaknya semalam dia gagal jebol gawang istrinya,” timpal Bunda Anin.
“Bun-”
Ucapan Aldin terpotong oleh teriakan keponakannya yang berlari mendekati meja makan.
“Selamat pagi, Nenek cantik!” sapa si kembar pada Bunda Anin.
“Selamat pagi juga cucu kesayangan Nenek!” Bunda Anin memeluk cucu kembarnya. “Mommy kalian mana?” tanya Bunda Anin sambil celingukkan mencari ibu dari kedua cucunya. “Aku diantar Om Nabil, Nek. Mommy dan Daddy lagi sibuk,” jawab Gara. “Iya, Mommy dan Daddy sibuk di kamarnya. Jadi aku minta diantar ke sini aja sama Om Nabil,” timpal Bara. Bunda Anin mengembuskan napasnya perlahan. Ia sudah paham dengan maksud dari cucunya. “Kalian udah sarapan belum?” tanya Bunda Anin pada cucunya. “Udah, Nek,” jawab Bara dan Gara serempak. Ke dua anak laki-laki yang berumur empat tahun itu menghampiri Sisil. “Tante, kalau tante udah sarapan kita main yuk!” ajak Bara pada Sisil. “Tante udah kok sarapannya. Ayo kita main!” Sisil bangun dari duduknya, lalu menggandeng kedua anak laki-laki itu menuju halaman belakang. “Al, kalian lagi berantem?
“Aku nggak akan melepaskanmu begitu aja setelah kamu menyakiti hatiku,” ucap Aldin dalam hatinya sambil melirik sang istri dengan sinis.“Bara! Gara! Ayo kita masuk, Sayang!” ajak Sisil pada keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Bara dan Gara serempak. Lalu mereka pun turun dari saung gajebo itu.“Om, ayo kita masuk!” ajak Gara pada Aldin yang melihat om kesayangannya masih duduk di saung gajebo dengan kaki yang menjuntai ke bawah.Aldin pun tersenyum sambil menganggukkan kepala menanggapi ajakan keponakannya. Ia terpaksa mengikuti kemauan sang keponakan, walaupun hatinya akan terasa perih lagi jika melihat wajah istrinya.“Bara, kamu pegang tangan Om ya!” Aldin melepas genggaman tangan keponakannya itu. Kemudian digantikan dengan tangannya. Ia menggandeng tangan Sisil sambil meremasnya dengan kuat.Sisil meringis kesakitan saat tangannya diremas oleh
Aldin dan Sisil tidak menyadari kalau dari tadi ada yang menguping pembicaraannya. Dia adalah Bunda Anin, ibu dari Aldin. “Aldin Putra Pradipta, yang terhormat. Dengarkan aku! Kamu akan menyesal karena udah menyakiti hati istrimu ini,” kata Sisil dengan tegas sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kamu akan menyesalinya seperti aku yang sangat menyesal karena terlalu mencintaimu.” Setelah mengucapkan semua itu, Sisil pergi meninggalkan suaminya yang diam mematung setelah mendengar ungkapannya. Aldin pergi ke kamar diikuti oleh bundanya. Bunda Anin ikut masuk ke kamar anaknya, ia sangat kecewa dengan kelakuan sang putra. “Al … Bunda kecewa sama kamu,” ucap Bunda Anin tanpa basa-basi. Alis Aldin betaut, ia bingung dengan ucapan bundanya. “Emangnya Abang ngelakuin apa sama Bunda?” tanya Aldin penuh dengan keheranan. “Bunda tahu apa yang kamu lakukan sama
Aldin pergi meninggalkan meja makan dengan penuh amarah. Ia tidak habis pikir, bundanya sendiri mengizinkan orang lain untuk mengambil istrinya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.“Aku mencintainya sangat mencintainya. Tapi, aku juga membencinya karena dia telah membohongiku!” teriak Aldin. “Aku nggak mau orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.” Aldin melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia sudah seperti orang gila yang kerasukan setan.Aldin tidak suka kalau istrinya dekat dengan laki-laki lain, tapi ia juga tidak bisa bersikap manis pada istrinya. Bayangan wajah sang istri ketika tertawa bahagia saat memenangkan dirinya selalu terbayang dalam ingatan yang membuat ia semakin merasa terhina. Orang yang ia cintai telah mengecewakannya.“Kenapa aku seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya. Ia marah pada diri sendiri karena tidak
“Tante cantik … Tante cantik!” kita main yuk!” Bara dan Gara mengetuk kamar Aldin dan Sisil sambil memanggil tantenya.“Tante cantik! Buka dong pintunya!” Bara berteriak sambil mengetuk pintu kamar tanpa henti.Sebelum Sisil menjadi istri Aldin. Mereka memang sudah sangat dekat dengan Sisil karena sang mommy bersahabat dengan tantenya.“Mungkin Tante lagi tidur, ayo kita main sama mommy aja!” ajak Gara pada adiknya. Gara memnag sedikit lebih kalem dari Bara. Ia anak yang penurut dibandingkan dengan Bara, adik kandungnya.“Tapi, aku mau main sama Tante cantik.” Bara tidak mau pergi walaupun Gara memaksanya untuk tidak mengganggu sang tante.Berkali-kali Bara mengetuk pintu sambil berteriak memanggil Sisil, tapi tidak ada sahutan dari dalam, sehingga Bara masuk ke kamar tantenya tanpa izin.
Sisil menghampiri anak kembar dari sahabatnya yang sekarang resmi menjadi adik iparnya. “Sayang, katanya mau main sama Tante, tapi kenapa kalian pergi?”“Tadi kata Om Al, mainnya ntar sore aja,” sahut Gara yang sedang belajar menulis sementara Bara sedang bermain robot-robotan.“Oh begitu ya.” Sisil duduk di antara mereka, memerhatikan kedua anak kembar dari sahabatnya itu.“Iya, Tante, makanya kami pergi dari kamar Tante.” Kini Bara yang menimpali.Sisil mengganggukkan kepalanya, lalu mendekati Gara. “Tulisanmu bagus, Sayang,” puji Sisil sambil membelai rambut Gara. “Bara kenapa nggak belajar juga kayak abang?” Sisil menoleh pada Bara yang sedang asyik dengan mainannya.“Belajar tuh ngebosenin, Tante,” jawab Bara dengan santainya. “Aku nggak suka belajar,” imbuhnya.
Sisil masuk ke dalam kamar sambil bersenandung. Tidak peduli lagi dengan masalahnya. Ia akan berusaha melupakan semuanya. Melupakan pernikahan, dan bahkan suaminya.Hatinya terlalu sakit saat orang yang paling ia cintai tidak memercayainya bahkan begitu tega menyakiti raga dan batinnya.“Sisil!” panggil Aldin pada gadis mungil yang melenggang dengan santai di hadapannya menuju kamar mandi.Sisil menoleh pada suaminya tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Aldin, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Tapi, Aldin tidak kunjung bersuara juga.Melihat Aldin hanya bengong saja tanpa berbicara sepatah kata pun, Sisil kembali melanjutkan langkahnya.“Seeorang istri nggak boleh pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suaminya.”Ucapan Aldin menghentikan langkah kaki Sisil. Kemudian ia membalikkan badannya menghadap Aldin.
Ketika pintu kamar mandi dibuka, kedua jagoan sahabatnya sudah berdiri didepan pintu. “Kalian ngapain?” tanya Sisil sambil mengucek rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.“Kalian mau pulang?” tanya Sisil pada Bara dan Gara.Kedua anak itu saling pandang dan menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, kami mau nginep,” jawab Gara dengan segera.“Nanti Tante cantik tidur di kamar kita ya.” Kini Bara yang bersuara.“Tante aku mau lihat foto tadi dong.” Gara menarik-narik baju tantenya. Gara sengaja mengalihkan pembicaraan supaya sang tante tidak banyak bertanya lagi.“Sebentar!” Sisil berjalan menuju nakas, lalu mengambil ponselnya dan memberikannya pada Gara.“Bang, aku mau lihat juga dong!” Bara merebut paksa ponsel tantenya yang dipegang Gara.