“Selamat pagi juga cucu kesayangan Nenek!” Bunda Anin memeluk cucu kembarnya. “Mommy kalian mana?” tanya Bunda Anin sambil celingukkan mencari ibu dari kedua cucunya.
“Aku diantar Om Nabil, Nek. Mommy dan Daddy lagi sibuk,” jawab Gara.
“Iya, Mommy dan Daddy sibuk di kamarnya. Jadi aku minta diantar ke sini aja sama Om Nabil,” timpal Bara.
Bunda Anin mengembuskan napasnya perlahan. Ia sudah paham dengan maksud dari cucunya. “Kalian udah sarapan belum?” tanya Bunda Anin pada cucunya.
“Udah, Nek,” jawab Bara dan Gara serempak.
Ke dua anak laki-laki yang berumur empat tahun itu menghampiri Sisil. “Tante, kalau tante udah sarapan kita main yuk!” ajak Bara pada Sisil.
“Tante udah kok sarapannya. Ayo kita main!” Sisil bangun dari duduknya, lalu menggandeng kedua anak laki-laki itu menuju halaman belakang.
“Al, kalian lagi berantem?” tanya Bunda Anin pada putranya. “Kalian kok diem-dieman gitu, nggak kayak biasanya.”
“Masa pengantin baru udah berantem, Bun,” sahut Ayah Rey. “Mungkin mereka cuma kecapean aja, Bun.”
“Iya, Bun. Aku dan Sisil cuma kecapean aja. Kemarin ‘kan tamunya banyak banget,” sahut Aldin sambil tersenyum. “Aku susul mereka dulu ya.” Aldin pun bangun dari duduknya. Lalu menyusul Sisil dan ke dua keponakan kembar itu agar Ayah dan bundanya tidak curiga.
“Halo keponakanku yang ganteng-ganteng!” sapa Aldin pada keponakannya. “Om boleh ikut main sama kalian nggak?” tanyanya sambil berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan kedua anak kembar itu.
“Nggah ah, aku mau main sama Tante aja. Kasihan, Tante lagi bersedih,” jawab Bara sambil melirik tantenya yang sedang duduk di kursi panjang di bawah pohon mangga.
“Iya, aku sama Bara mau menghibur Tante dulu,” timpal Gara. “Aku mau bantuin Tante memukul orang jahat itu,” lanjutnya sambil memukuli Aldin.
“Kenapa Om yang dipukulin,” protes Aldin pada Gara sambil mengusap-usap tangannya berpura-pura kesakitan.
Gara dan Bara wajahnya sangat mirip, tidak ada yang bisa membedakan keduanya, kecuali orang tua mereka. Bara dan Gara memakai gelang yang ada inisial nama masing-masing agar orang lain mudah mengenalinya.
“Maaf, Om. Aku cuma nyontohin aja,” ucapnya sambil tertawa.
Gara dan Bara termasuk anak yang cerdas, bicaranya pun tidak cadel seperti anak lain yang seumuran dengannya. Wajah ke duanya sangat mirip dengan Haidar, tapi kelakuannya sangat mirip dengan Andin. Mudah bergaul dan sangat menyenangkan.
“Kalau Om mau main sama kita, Om bilang dulu sama Tante cantik.” Bara memberikan penawaran pada Aldin.
“Apa dia yang mengajarkan semuanya pada Gara dan Bara?” Aldin bertanya-tanya dalam hatinya.
'Enam tahun aku berjuang untuk mendapatkan cintamu, selama itu juga hatiku selalu setia mencintaimu. Tapi, sekarang aku nggak akan memperjuangkannya lagi. Aku udah capek Al. Terserah kamu aja, kalau kamu ingin aku menjauhimu, aku akan menjauh darimu. Cinta ini benar-benar membunuhku secara perlahan,' ucap Sisil dalam hatinya.
Aldin pun menghampiri Sisil dengan sangat terpaksa, ia tidak mau keponaknnya tahu kalau hubungannya dengan Sisil sedang tidak baik. Bara dan Gara berjalan di samping Aldin sambil menggenggam tangannya.
“Ayo, Om!” Bara dan Gara menarik tangan kakak dari mommy mereka karena Aldin berjalan dengan sangat lambat.
Aldin sedikit mempercepat langkahnya karena tangannya ditarik-tarik oleh laki-laki tampan yang masih berumur empat tahun itu.
“Tante, Om Aldin mau ikutan main sama kita, boleh nggak?” tanya Bara saat mereka sudah berdiri di hadapan Sisil.
“Om kamu nggak bisa ngomong ya?” tanya Sisil sambil menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Kenapa kamu yang bertanya.
“Sialan!” umpat Aldin dalam hatinya.
“Ops.” Bara menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. “Aku cuma membantunya aja, Tante. Aku kasihan sama Om, dia nggak ada temenya.”
Tenggorokan Aldin mendadak sangat kering. Hingga ia susah menelan ludahnya sendiri. Ia pun menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.
“Sil, aku boleh ikutan main sama kalian nggak?” tanya Aldin pada istrinya dengan malas. Kata taruhan itu selalu terngiang di telinganya. Cintanya yang besar kepada Sisil tertutup dengan kekecewaan yang teramat sangat.
“Om! Kalau membujuk orang tuh yang lembut ngomongnya,” kata Bara sambil bertolak pinggang.
“Iya nih. Om lagi berantem ya sama Tante cantik?” tanya Gara sambil bergantian melirik Om dan tantenya.
“Nggak kok,” jawab Aldin dengan cepat. “Kalau nggak percaya tanya aja sama Tante cantik!” kata Aldin sambil tersenyum.
“Bener itu Tante?” tanya Bara sedikit tidak percaya.
Sisil hanya menjawab dengan senyumam saja, lalu ia bangun dari duduknya. “Kita main di sana yuk!” ajak Sisil kepada anak dari sahabatnya yang sejak kemarin sudah menjadi adik iparnya. Sisil menunjuk sebuah saung gajebo yang teduh, penuh dengan kenangannya bersama Aldin.
“Terus Om gimana Tante?” tanya Gara sambil melirik Aldin.
“Biarin aja di sini, kalau dia nggak mau ikut main bareng kita,” jawab Sisil sambil tersenyum manis pada kedua anak kecil itu.
“Tunggu … my lovely! Aku boleh ikutan main bareng kalian nggak?” tanya Aldin dengan lembut sambil tersenyum manis.
Sisil hanya menganggukkan kepalanya tanpa menyahuti ucapan suaminya.
“Sil, kamu jangan coba-coba menghasut mereka untuk membenciku,” bisik Aldin pada istrinya saat mereka duduk di saung gajebo.
Sisil menoleh pada suaminya. “Aku nggak serendah itu. Kita udah lama bersama, apa kamu belum juga mengenaliku?” tanya Sisil dengan pelan. Ia takut keponakannya yang sedang asik menggambar mendengar perdebatannya.
“Selama ini aku selalu percaya sama kamu, tapi setelah hari kemarin, aku udah nggak mempercayaimu lagi. Bertahun-tahun kamu bohongi aku, kalian jadikan aku sebagai bahan taruhan,” kata Aldin sambil memandangi kedua keponakannya itu. Ia berbicara tanpa menoleh pada sang istri.
“Aku akui kalau aku dan Andin bertaruh untuk meluluhkan hatimu, tapi cintaku padamu tumbuh sebelum pertaruhan itu. Terserah kamu mau percaya atau nggak. Aku nggak akan memaksamu untuk memercayaiku. Setelah ibuku benar-benar sehat seperti dulu lagi, aku akan menjauhimu selamanya sesuai keinginanmu,” ucap Sisil dengan tenang. Tidak seperti semalam yang ucapannya sangat kasar.
Degg
Jantung Aldin seakan berhenti berdetak, dunia seakan berhenti berputar saat mendengar istrinya berbicara seperti itu. Ia memang begitu marah dengan istrinya, tapi ia tidak menyangka kalau sang istri bisa dengan gampangnya mengucapkan kata pisah.
Aldin menoleh pada sang istri. Ia terkejut dengan apa yang diucapkan sang istri. “Aku nggak akan menceraikanmu karena kamu adalah amanah dari ibumu,” kata Aldin pelan, tapi tegas.
“Aku akan tetap pergi dari hidupmu,” sahut Sisil dengan mantap. “Jika cinta ini hanya saling menyakiti untuk apa kita bersama. Aku akan menjauh darimu jika keberadaanku hanya akan menyakitimu.”
Kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua pada sang istri. Lalu pria itu mengeluarkan jurus lidah membelah semak-semak."Mas ...." Amy menggelinjang sambil mencengkram rambut sang suami. "Ampun, Mas!"Walaupun sang istri meminta ampun, ia tidak mendengarkan ucapan istrinya. Rudi terus melanjutkan aksinya.Sentuhan lidah dan tangannya berhasil membuat Amy menjerit merasakan kenikmatan yang bergejolak di dalam tubuhnya. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.Ia meninggalkan jejak-jejak cinta di tubuh sang istri. Amy menjerit saat Rudi menyesapi pusat intinya dengan rakus."Mas ... awas, aku pengin pipis."Amy mendorong wajah suaminya, berusaha menyingkirkan kepala sang suami dari daerah keramatnya."Namun, Rudi tidak mau menuruti keinginan sang istri, ia malah melakukan aksinya lebih dan lebih lagi."Mas ... aahhh...!"Napas wanita itu sudah tersengal-sengal. Ia menjerit merasakan kenikmatan yang lua
"Mas, aku tidur duluan ya." Setelah mandi dan berpakaian Amy naik ke tempat tidur.Wanita itu menyingkirkan kelopak mawar merah yang sudah kembali ditata berbentuk hati. Ia malah membersihkannya tanpa sisa. Kelopak bunga itu berserakan di lantai.Rudi hanya melongo melihat itu semua. 'Kenapa? Apa dia marah atau efek kelelahan?'"Sayang, kok bunganya dibuang?" tanya Rudi setelah naik ke tempat tidur."Memangnya kenapa? Nggak boleh ya? Emangnya itu buat apaan?"Amy malah balik bertanya kepada suaminya."Boleh," jawab Rudi cepat. "Sekarang kamu istirahat ya." Rudi mencium kening istrinya dengan mesra. Ia tidak mau membahas hal sepele yang akan memancing keributan.Amy meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu membalikkan badannya membelakangi sang suami.Terdengar bunyi ketika Amy meregangkan otot-ototnya.'Kelihatannya dia sangat lelah.' Rudi memijat bahu sang istri dengan lembut. "Kamu capek ya?"
Pasangan pengantin baru itu menunggu di depan ruang bersalin."Dari dulu sampai sekarang lo selalu merepotkan gue, Sil," gumam Rudi sambil menatap pintu ruang bersalin."Mas, nggak boleh ngomong kayak gitu! Kalau nolong tuh harus ikhlas.""Kamu tahu?" Rudi memegang bahu Amy sembari menatap wajah sang istri.Amy menggeleng pelan. "Nggak!""Oh iya, aku belum ngomong," kata Rudi sembari menyeringai. "Sejak dia nikah, yang ngurusin Sisil kalau lagi berantem sama Aldin itu aku, dari dulu sampai sekarang tuh anak dua merepotkan banget.""Kalau nggak ikhlas nolongnya nanti kamu nggak bakal dapat pahala loh, Mas. Lagian Tuan Aldin dan Mbak Sisil udah baik banget sama aku.""Iya, Sayang, maafkan aku." Rudi memeluk mesra wanita yang dinikahinya beberapa jam lalu. "Aku hanya heran aja, kenapa Aldin tidak pernah ada di saat Sisil butuh."Amy melepas pelukannya karena ia merasa malu berpelukan di tempat umum."Tadi 'kan Tuan Al
Andin mengetuk-ngetuk pintu dengan keras sembari berteriak memanggil nama sahabatnya.Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka. "Lo kebelet juga?" tanya Sisil sembari meringis."Gue khawatir sama lo," sahut Andin. "Sil, lo baik-baik aja 'kan?"Ibu dua anak itu merasa khawatir dengan kakak iparnya yang terlihat sangat pucat."Gue mules, Din," jawab Sisil. "Tapi, dari tadi nggak keluar-keluar.""Jangan-jangan kamu mau ngelahirin." Andin segera memapah Sisil menuju ranjang pengantin."Tiduran dulu, Mbak. Aku panggil Tuan Aldin dulu." Setelah membantu Sisil berbaring di tempat tidur pengantin. Ia berlari keluar memanggil suami Sisil.Tempat tidur yang sudah dirancang untuk pengantin baru, dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang membentuk hati, kini berantakan oleh Sisil yang sedang merasakan kontraksi."Perut lo sering kontraksi nggak?" tanya Andin pada Sisil setelah memberikan air minum kepada sahabatnya itu.
Di kediaman Amy sedang disibukkan dengan persiapan acara akad nikah yang akan dilaksanakan siang hari dan langsung dilanjut dengan resepsi.Hari ini adalah hari kebahagiaan Amy dan Rudi setelah beberapa bulan lalu Rudi melakukan lamaran dadakan.Amy menginginkan pesta yang sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga, kerabat dekat, dan beberapa rekan kerja Rudi."Amy, kamu cantik sekali," puji Sisil saat gadis manis itu selesai dirias.Amy mengenakan kebaya pengantin berwarna putih dengan bordiran bunga dan aksen-aksen mutiara melengkapi penampilannya sebagai pengantin sunda.Siger berwarna silver bertengker indah di kepalanya. Dan beberapa hiasan lainnya, seperti untaian melati yang semerbak.Hiasan daun sirih berbentuk wajik di tengah keningnya semakin mempercantik riasan wanita itu.Akad nikah berlangsung di lantai bawah, di mana resepsinya dilakukan. Sedangkan Amy berada di dalam kamar pengantin ditemani oleh Sisil.'
Hai semuanya, terima kasih terima kasih terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti cerita recehku. Maaf, atas semua hal yang mengecewakan kalian, entah dari alur, typo atau kesalahan penulisan nama tokoh. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Untuk kedepaannya aku akan belajar menulis dengan baik lagi. Maaf, kalau selama ini slow update karena kemarin aku lagi kurang sehat, tapi alhamdulilah sekarang udah sembuh dan bisa menamatkan cerita ini. Jika ada keluhan, silakan komen di bawah ini. Aku menerima kritik dan saran dari kalian semua untuk membangun aku menjadi lebih baik lagi. Love sekebon untuk kalian yang sudah mendukung aku dan cerita-cerita recehku. Sampai jumpa di cerita yang baru. Eh, Pengantin Tuan Haidar masih lanjut. Insyaallah aku akan rajin update lagi. I LOVE YOU ALL MY READERS.
Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit. Kondisi kesehatan Amy semakin membaik.Berada di tengah-tengah orang yang menyayanginya membuat Amy bersemangat untuk segera sembuh."Amy, kamu mau ke mana?" tanya Sisil ketika Amy bangun dari duduknya.Wanita hamil itu sedang berada di rumah Amy. Ia jarang sekali berada di rumahnya. Sisil selalu berkunjung ke rumah sahabat, mertua, dan juga teman barunya.Sisil pergi tidak sendiri, ia pasti ditemani Andin atau Bunda Anin. Kedua wanita itu tidak mengizinkan Sisil untuk bepergian sendiri karena kehamilannya yang semakin membesar."Saya mau ambilkan camilan untuk Mbak Sisil dan Mbak Andin," jawab Amy. "Ibu hamil pasti sering laper.""Duduk!" perintah Sisil kepada wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. "Kamu jangan banyak gerak. Istirahat aja dulu! Lagi sakit juga nggak bisa diem.""Iya, Mbak." Amy pun kembali duduk di hadapan Sisil dan Andin."Sama kayak lo, lagi hamil
Bu Mila langsung terdiam mendengar ucapan Amy. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya."Maksud kamu apa?" Sisil meraih tangan Amy. Ia menatap bola mata gadis itu, terlihat kesedihan di dalamnya. "Terus siapa yang dicintai Rudi?""Saya nggak tahu, Nyonya karena saya nggak kenal, tapi kayaknya saya pernah melihat wajahnya. Dia cantik, sangat cantik.""Aduh Amy, jangan panggil aku Nyonya, dan jangan berbicara formal kayak gitu, aku nggak suka.""Iya, Mbak, maaf. A-aku masih belum terbiasa," ucap Amy pelan."Baiklah aku maafkan," balas Sisil dengan serius."Tapi, Nak. Rudi bilang sama Ibu kalau dia mencintaimu."Bu Mila menjadi sedih mendengar ucapan gadis yang ia harapkan menjadi menantunya itu.Amy meraih tangan Bu Mila, menatap wajah wanita tua itu yang terlihat sedih padahal awalnya terlihat sangat bahagia."Bu, terima kasih udah ngurusin saya sampai detik ini, walau saya bukan siapa-siapa, tapi Ibu begi
"Apa wanita ini kekasihnya Mas Rudi?" Amy memerhatikan wanita yang berfoto dengan sang asisten CEO itu. "Jadi, selama ini dia nggak mencintaiku? Kenapa dia sejahat itu sama aku."Amy menaruh ponselnya di atas nakas, lalu membaringkan tubuhnya, kemudian menutupi tubuh hingga wajahnya dengan selimut.Gadis itu menangis dalam diam. Hatinya terasa sakit melihat Rudi berfoto mesra dengan wanita seksi.Hampir satu jam ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.Pagi-pagi sekali ia sudah membuka mata. Kepalanya terasa pusing karena terlalu lama tertidur. Matanya terasa sulit untuk dibuka lebar, wajahnya masih terlihat sembab akibat menangisi Rudi."Kenapa aku nangis ngeliat dia sama wanita lain? Dia kan bukan siapa-siapa aku, toh aku juga sudah menolak cintanya." Amy menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bangun dengan sangat hati-hati.Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Amy melihat wajahnya yang te