Share

Bab 4. Sakitnya Tuh Di Sini

Aku nggak akan melepaskanmu begitu aja setelah kamu menyakiti hatiku,” ucap Aldin dalam hatinya sambil melirik sang istri dengan sinis.


“Bara! Gara! Ayo kita masuk, Sayang!” ajak Sisil pada keponakannya.

“Iya, Tante,” jawab Bara dan Gara serempak. Lalu mereka pun turun dari saung gajebo itu.

“Om, ayo kita masuk!” ajak Gara pada Aldin yang melihat om kesayangannya masih duduk di saung gajebo dengan kaki yang menjuntai ke bawah.

Aldin pun tersenyum sambil menganggukkan kepala menanggapi ajakan keponakannya. Ia terpaksa mengikuti kemauan sang keponakan, walaupun hatinya akan terasa perih lagi jika melihat wajah istrinya.

“Bara, kamu pegang tangan Om ya!” Aldin melepas genggaman tangan keponakannya itu. Kemudian digantikan dengan tangannya. Ia menggandeng tangan Sisil sambil meremasnya dengan kuat.

Sisil meringis kesakitan saat tangannya diremas oleh sang suami yang sudah dibutakan kekecewaan. Saat harga diri seorang laik-laki merasa diinjak-injak oleh seorang wanita terlebih lagi wanita itu adalah istrinya sendiri, orang yang ia cintai, seorang laki-laki akan sangat marah bahkan mereka akan membalas menyakitinya.

Sisil menahan rasa sakitnya agar keponakannya tidak mengetahui kelakuan omnya. Setelah mereka masuk ke dalam rumah ternyata Mommy Gara dan Bara yang tak lain adalah sahabatnya sendiri sudah ada di dalam.

“Hai, Kakak ipar,” sapa Andin pada sahabatnya. “Makasih ya udah jagain anak gue,” ucapnya sambil tersenyum.

Sisil hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. “Bara, Gara, Tante masuk dulu ya.” Sisil pun berjalan cepat menuju kamarnya.

“Sisil kenapa?” Andin terus menatap sahabatnya yang berjalan begitu cepat menuju kamarnya. “Sayang, kalian main sama Om dulu ya, Mommy ada urusan sebentar sama Tante.”

Setelah menitipkan si kembar pada abangnya, Andin pun segera manyusul Sisil ke kamar. Pintu kamar tidak terkunci sehingga Andin bisa masuk ke dalam kamar abangnya. Andin berjalan dengan sangat hati-hati.

“Sisil mana?” Andin celingukkan mencari sahabatnya. “Mungkin di sana, tapi kenapa pintunya nggak di tutup,” gumam Andin saat melihat pintu kamar mandi terbuka lebar.

Andin berjalan pelan menuju kamar mandi. Ia segera mendekatinya saat melihat Sisil sedang merendam tangan kirinya di dalam ember kecil.

“Sil, tangan lo kenapa?” Andin ikut berjongkok di depan Sisil. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi dengan sahabatnya.

“Nggak apa-apa, cuma pegel aja,” ucap Sisil pelan. Ia berusaha menyembunyikan masalahnya pada sang sahabat, tapi tidak terasa air matanya luluh begitu saja.

“Sil, sebenarnya lo kenapa? Cerita sama gue!” Andin menarik tangan Sisil yang direndam air hangat. “Siapa yang nyakitin lo? Abang gue?” tanya Andin yang juga ikut menangis. Sambil mengacungkan tangan sahabatnya.

Sisil tidak menjawab sepatah kata pun pertanyaan sahabatnya. Ia hanya bisa menangis menghadapi setiap perlakuan kasar sang suami. Kemudian Sisil bagun dan berdiri, lalu keluar dari kamar mandi.

Andin menikuti Sisil yang duduk di tepi tempat tidur. Sisil mengelap air matanya dengan tisu. “Gue nggak apa-apa,” jawab Sisil sambil terisak.

“Sil, gue bukan adik ipar lo, gue ini sahabat lo. Kenapa sekarang lo nggak anggap gue sahabat lo lagi.” Andin duduk di samping sahabatnya. Lalu memegang kedua bahu sahabatnya dan memutarnya agar menghadapnya. “Apa pun yang terjadi antara lo dan abang gue, lo tetep sahabat gue, Sil,” kata Andin sambil menangis.

Sisil pun memeluk sahabatnya sambil menangis, meluapkan semua kesedihannya. “Al, tahu kalau aku taruhan untuk meluluhkan hatinya. Ia pikir aku menikahinya cuma karena taruhan itu,” ucap Sisil sambil terisak dalam pelukan sahabatnya.  

Andin melepas pelukan sahabatnya. “Lo nggak bilang kalau lo mencintainya sebelum taruhan itu?” tanya Andin pada Sisil.

“Udah, tapi dia nggak percaya sama gue. Semua yang gue ucapkan dianggap dusta,” jawab Sisil.

“Terus lo diem aja disakiti Abang gue kayak gini.” Andin mengangkat tangan Sisil yang masih terlihat memerah. “Lo jangan lemah, Sil! Ini bukan Sisil yang gue kenal.”

“Tadi ‘kan ada Bara sama Gara, masa iya gue bar-bar di depan anak lo, ntar dia manggil gue Tante bar-bar, bukan Tante cantik lagi,” sahut Sisil sambil memonyongkan bibirnya.

“Terus rencana lo apa? Gue selalu dukung lo.” Andin mengusap-usap lengan sahabatnya.

“Gue nau pisah-”

“Kalau ini gue nggak setuju.” Andin memotong ucapan Sisil sebelum sahabatnya itu menyelesaikan ucapannya. “Gue nggak mau kalian pisah. Kalian saling mencintai, kenapa harus pisah? Apa lo udah nggak cinta lagi sama Abang gue?”

“Untuk apa bersama kalau hanya saling menyakiti,” jawab Sisil sambil tersenym tipis. “Lebih baik kita berpisah, mungkin aku dan Aldin bisa berteman baik, walau kita sudah bercerai.”

“Gue bakal bilang sama Bunda,” kata Andin. Ia tidak mau kalau sampai Abang dan sahabatnya berpisah karena Andin tahu persis perjuangan sahabatnya itu untuk mendapatkan hati orang yang dicintainya.

“Jangan, Din, lo jangan bilang siapa-siapa! Ibu lagi kurang sehat, jangan sampai dia mendengar masalah gue dan Aldin. Gue takut Ibu jadai kepikiran terus sama gue.

”Lo udah berjuang sampai saat ini, masa lo harus melepaskan begitu aja cinta yang udah lo dapetin,” sahut Andin. Ia tidak habis pikir, kenapa masalahnya bisa serumit ini.

“Gue udah capek, Din. Gue nggak mau cinta ini membunuh gue secara perlahan.” Sisil bangun dari duduknya, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu ia memakai tetes mata agar matanya tidak terlihat merah lagi karena habis menangis.

“Terserah lo dah! Apa pun keputusan lo, gue pasti dukung, tapi gue tetap berharap kalau kalian bisa bersama lagi.” Andin juga masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.

“Kita keluar yuk!” ajak Andin pada sahabatnya setelah selesai mencuci muka.

Sisil pun menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum. “Gue akan bertahan sampai Ibu benar-benar sehat.”

Andin berjalan di samping Sisil sambil merangkul bahu sahabatnya itu. “Gue akan selalu dukung lo. Apa pun keputusan lo nanti. Gue berharap itu yang terbaik buat kalian,” ujar Andin sambil mengusap-usap lengan anaknya.

“Mommy sama Tante abis ngapain sih lama banget!” protes Bara pada Mommy dan tantenya ketika mereka berpapasan di tangga. Kedua anak kembar itu ingin menyusul sang mommy ke kamar tantenya.

“Iya, aku dari tadi nungguin Mommy sama Tante cantik,” timpal Gara.

“Kalian abis ngapain sih di dalam? Aku capek dari tadi ngeladenin ocehan nih anak dua,” kata Aldin sambil menunjuk kedua keponakan kembarnya.

“Bara, Gara, ayo kita makan!” Andin berjalan sambil menggandeng tangan kedua anaknya, meninggalkan Sisil dan Aldin.

Aldin meraih tangan Sisil, tapi diempaskannya dengan kasar tangan suaminya itu. “Lo mau nyakitin tangan gue lagi?” tanya Sisil pelan sambil menunjukkan tangannya yang masih memerah. “Tangan ini yang lo sakiti, tapi sakitnya tuh di sini, sakit banget,” ucap Sisil sambil menunjuk dadanya dengan jari telunjuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status