Share

Saya Suka Sama Dia (Dewi Sasikirana)

Kim mendadak mengerutkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya kembali, seperti tidak suka dengan yang diucapkan Sasi. Laki-laki itu mendekatkan jarak wajahnya dengan Sasi membuat perempuan itu harus memundurkan wajahnya, karena tidak ingin saling berdekatan. Bahkan sudah terdengar suara histeris para perempuan di restoran ini dengan yang dilakukan oleh Kim kepada Sasi.

“Kamu pikir ... saya percaya dengan yang namanya per-ni-ka-han.” Kim mengulang kembali kata ‘pernikahan’ dengan terbata-bata, tapi penuh penegasan.

“Saya nggak suka berkomitmen dengan yang namanya pernikahan, saya cuma ingin senang-senang saja tapi nggak mau berhubungan dalam pernikahan, karena hal itu membosankan,” tegas Kim yang masih berbicara  dengan jarak yang begitu dekat dengan Sasi, bahkan deru napas Kim pun terdengar jelas di telinga Sasi, membuat jantung dan aliran daranya seperti berjalan tak normal.

Dengan cepat Sasi langsung menjauhkan tubuhnya dari Kim.

“Ya udah, Pak Kim cari saja wanita penghibur kalau untuk bersenang-senang semata. Lagi pula saya juga nggak mau kok, tadi saya cuma bercanda aja, karena saya pun sudah memiliki kekasih, jadi nggak mungkin saya mau nikah dengan pria seperti anda, Pak Kim.”

Ada yang kesal dan geram dengan sikap yang begitu berani Sasi kepada Kim, dan dianggap sebagai perempuan munafik, karena perempuan mana yang dapat menolak pesona dari seorang Kim Andersean. Namun, ada juga yang sangat mengagumi dan mendukung dengan sikap berani Sasi kepada pria yang suka merendahkan dan melecehkan martabat perempuan.  

“Tapi Nona ... jika Pak Kim menginginkan anda. Jarang sekali bagi Pak Kim memilih perempuan dari kalangan biasa, biasanya seorang model terkenal yang dipilih oleh Pak Kim,” sahut Win yang menimpali.

Sasi semakin tak percaya dengan yang dirasakannya ini setelah sekretaris pribadi atasannya ikut berbicara. Ia mengusap wajahnya karena tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua orang yang katanya terkenal dan tamu spesial ini, namun kedua otaknya begitu bobrok. Bahkan sekarang Sasi pun ingin mengacak-acak wajah sekretarisnya yang tanpa berdosa mengatakan seperti itu.

“Tapi saya nggak mau!” tegas Sasi mengulang.

“Drtt ... Drtt ...”

Sasi langsung menghentikan ucapannya ketika ponselnya bergetar. Ia merogoh ponselnya, terlihat jika Nadine lah yang menelepon. Perempuan itu sedikit menjauhan jaraknya dengan orang-orang bodoh ini menurutnya, karena akan menjawab panggilan dari saudara tirinya.

“Halo Nadine, tumben sekali kamu meneleponku.”

“Kamu nggak usah kepedean deh, tujuan aku menelepon kamu cuma ingin memberitahu kalau ayah kamu sekarang sedang kelaparan. Dan cepatlah pulang, karena aku nggak mau memasakkan makanan untuk ayahmu.”

“Nad, tolong kamu ....”

Ucapan Sasi terpotong ketika Nadien langsung menutup sambungan teleponnya dengan sasi, padahal Sasi ingin memohon agar Nadine menyiapkan makanan untuk ayahnya. Sekarang wajahnya sudah terlihat sendu, memikirkan keadaan ayahnya.

Sasi segera bergegas kembali ke tempat semula untuk meminta izin agar dapat pulang terlebih dahulu, karena memang sudah waktunya pulang. Namun, gara-gara Kim dirinya harus berdebat terlebih dahulu dan menyebabkan kepulangannya tertunda.

“Pak Kei, saya izin pulang,” ucap Sasi sambil menundukkan wajahnya. Bahkan Sasi tidak menunggu sang manajer memperbolehkan kepulangannya, dan Sasi pun tidak memperdulikan ajakan dari Kim yang begitu menginginkan dirinya.

Tanpa menunggu jawaban dari sang manajernya, Sasi langsung pergi begitu saja untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu untuk segera pulang, karena kondisi dan kesehatan ayahnya begitu penting.

Terdapat sedikit raut wajah kekecewaan di wajah Kim ketika melihat kepergian Sasi. Entahlah, ia pun tidak mengerti, mengapa dirinya langsung tertarik begitu saja kepada Sasi.

Kim menenggak winenya yang sudah terisi dari tadi di dalam gelas, karena sibuk kepada Sasi membuat Kim tidak langsung meminumnya. Sedangkan matanya masih menatap kepergian Sasi lekat.

“Siapa nama perempuan itu?” tanya Kim kepada Keiko yang masih berdiri.

“Namanya Dewi Sasikirana, Pak Kim.”

Kim tampak tersenyum setelah mengetahui nama pelayan yang sudah masuk ke dalam hatinya begitu saja secara tiba-tiba. “Nama yang sangat indah,” gumamnya yang kembali menenggak wine nya.

“Berikan saya nomor ponselnya,” pinta Kim kepada sang manajer.

Win menatap lekat dan memperhatikan sikap dari atasannya ini, bahkan menurut Win jika atasannya sangat pantang meminta nomor telepon seorang perempuan, atau orang yang baru dikenalnya. Nomor ponselnya pun tidak banyak orang yang tahu, karena begitu dirahasiakan.

Ketika Sasi akan melepas celemek yang tersemat di tubuhnya, dengan cepat pergelangan tangannya langsung ditarik oleh Mely, membuatnya terkejut seketika.

“Apaan sih, Mel.”

“Lo, bener udah jadian sama Linggar?” tanya Mely yang baru saja selesai melayani tamu terakhirnya karena ia pun akan segera bergegas pulang.

Mely tampak penasaran dengan yang dilontarkan Sasi kepada laki-laki tadi, pasalnya Mely tahu jika Sasi hanya menyukai Linggar seorang, tanpa dicintai balik oleh laki-laki itu. Sampai sekarang saja perasaannya masih digantung oleh pria yang tidak bertanggung jawab seperti Linggar.

“Nggak lah, tadi tuh gue cuma berbohong aja di depan cowok gak jelas itu. Bahkan sampai sekarang aja Linggar nggak pernah mengatakan perasaannya ke gue, baru gue yang ngungkapin,” jawab Sasi dengan nada sendu sambil memanyunkan wajahnya.

"Ya ampun ... gue kira lo bener-bener udah jadian sama Linggar. Terus lo mau pulang duluan, Si?” tanya Mely kembali.  

Sasi menganggukkan kepalanya. “Iya Mel. Gue mau masak buat ayah. Barusan Nadine telepon gue, kalau ayah belum makan dan dia nggak mau masak buat ayah,” jawabnya yang sedang bersiap-siap.

“Dasar Nadine tuh yah, padahal dia juga sama anaknya, tapi ....”

“Ah udahlah, gue nggak mau bahas dia. Lo kaya nggak tahu aja dengan sikapnya Nadien kek gimana. Anak dan ibu sama aja cuma cinta pas ayah lagi kerja dan banyak duitnya. Dan sekarang ketika ayah lagi sakit, butuh uluran tangan kepada orang-orang terdekatnya, mereka nggak peduli sama sekali,” gerutu Sasi yang ikut kesal,

“Ya udah lo hati-hati yah. Oh iya, lo mau naik taksi atau bus?” tanya Mely.

“Hehe, kayanya bus deh, lebih murah lumayan ‘kan sisa ongkosnya bisa gue tabung,” jawabnya sembari nyengir kuda. “Gue berangkat yah.” Sasi berpamitan kepada Mely yang sebentar lagi juga akan segera pulang.

“Dasar munafik,” sahut Ghea yang menyimpan nampan di atas meja dengan wajah tidak sukanya kepada Sasi.

“Apa maksud lo, Ghe?”

“Yah, teman lo itu munafik banget. Seharusnya dia terima ajakan dari Pak Kim, kapan lagi coba cowok ganteng, kaya seperti Pak Kim ngajak perempuan biasa tidur dengannya. Eh ... dia malah nolak. Kalau gue ada di posisinya tanpa berpikir panjang, gue pasti langsung mau.”

Mely tampak geram dengan ucapan yang dilontarkan Ghea kepada sahabatnya itu.

“Sasi punya harga diri yang tinggi dan nggak bisa disogok dengan uang, maka dari itu dia nolak ajakan dari Pak Kim. Perempuan yang selalu menjaga kehormatan dan harga dirinya pasti akan menolak ajakan nggak bener dari laki-laki yang nggak bener juga. Tapi kayanya lo nggak punya harga diri deh haha,” jawab telak Mely membela Sasi yang sudah pergi terlebih dahulu.

Ghea ingin sekali menyumpal mulut Mely yang telah membuatnya kesal. Tapi tidak mungkin juga baginya melakukan hal itu di sini.

To Be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status