“Saya pesan kamu!” tegas Kim yang mengeluarkan nada suara baritonenya yang sejak dari tadi ditunggu oleh Sasi, bahkan begitu terdengar maskulin oleh telinga Sasi.
Sasi masih tercengang karena tidak mengerti maksud perkataannya.
“Pesan saya, maksudnya?” tanya Sasi tak paham. Tidak hanya Sasi yang tercengang, melainkan sang sekretaris pun menampilkan wajah yang sama seperti Sasi. Win merasa bingung dengan ucapan atasannya itu.
Kim mengubah posisi duduknya menghadap Sasi sekarang. Fokus kepada perempuan itu yang sedang berdiri di hadapannya, membuat Sasi sedikit merasa canggung ketika melihat dengan jelas rupa salah satu pengunjung spesialnya itu yang memang sangat tampan, dan mampu menggoda para perempuan.
“Iya, saya pesan kamu untuk menemani saya malam ini di sebuah hotel berbintang,” tukasnya sambil tersenyum tampan, seperti tanpa beban bagi Kim mengatakan kalimat itu.
“Saya akan memberikan apapun yang kamu mau, dengan syarat berikan tubuh kamu ke saya, mudah ‘kan.” Kim mengucapkan kalimat tanpa merasa bersalah sedikit pun kepada perempuan yang baru dilihat dan dikenalnya. Bagi Kim, jika dirinya mulai tertarik kepada seorang perempuan, ia akan rela melakukan apapun untuk mendapatkannya. Dan hal itu terjadi pada Sasi sekarang, karena wajah Sasi mampun membuat Kim langsung terpana dalam satu kali pandangan.
Sasi langsung membulatkan matanya sekilas, sedangkan mulutnya sedikit menganga. Ucapan dari pria di hadapannya ini begitu keterlaluan dan dirasa telah melecehkannya. Padahal ia baru melihat dengan sosok pria ini. Ingin sekali Sasi mengarahkan kepalan tangannya ke arah wajah pria itu yang sudah berani melecehkannya. Namun, dirinya hanya seorang pelayan yang tak memiliki kuasa lebih untuk melawan pria kaya sepertinya. Bahkan mata para pengunjung yang terus diarahkan kepadanya menjadikan sebagai objek tontonan.
Kekesalan Sasi sudah naik ke ubun-ubun dengan perkataan Kim. “Apa maksud bapak, yah? Bapak pikir saya perempuan murahan yang suka mengobral tubuh saya ke setiap pria!” gertak Sasi dengan nada sedikit tinggi kepada Kim. Gertakan dari Sasi terdengar oleh para pengunjung yang lain, termasuk oleh sang manajer sendiri sampai membuat Keiko menekan-nekan pelipisnya pusing karena mendengar kegaduhan yang dilakukan oleh salah satu pelayannya itu.
“Kamu nggak usah panggil saya dengan sebutan bapak, itu terlalu ketuaan. Kamu panggil saya Kim saja, karena usia saya baru 28 tahun dan saya kira usia kita nggak jauh berbeda,” ungkap Kim yang tidak peduli dengan kekesalan Sasi.
“Masa bodoh,” gertak Sasi cepat.
Tawa Kim meledak seketika mendengar gertakan dari Sasi, bahkan menurut Kim jika dalam keadaan marah pun Sasi masih terlihat cantik dan lucu.
Sasi terus memperhatikan sikap Kim yang terus memberikan senyuman kepadanya, seperti tidak merasa bersalah. Ia pun tak mengerti dengan jalan pikiran tamunya kali ini, bahkan Sasi berpikir jika pria ini tak waras. Belum kenal tapi sudah menginginkan dirinya.
“Saya sebenarnya nggak melecehkan kamu kok, buktinya saya nggak menyentuh sedikit pun kulit kamu, dari ujung rambut sampai ujung kaki kamu. Saya hanya ingin bermalam dengan kamu dan kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau, daripada bersusah payah bekerja sampai malam, bukankah itu penawaran yang bagus,” ucapnya yang merayu Sasi kembali untuk melancarkan keinginannya.
Sasi bergidik ngeri, walaupun pria di hadapannya ini memang begitu tampan. Namun, Sasi bukanlah perempuan murahan yang ditawari bermalam dengan seorang pria mau saja. Bahkan dengan tegas Sasi menolak ajakan dari pria aneh itu.
Sasi menyiratkan senyuman aneh ke arahnya. “Nggak!” tegasnya menolak. “Pak Kim memang nggak menyentuh saya seujung kuku pun, tapi ucapan dari Pak Kim yang sudah melecehkan saya dan itu termasuk pelecehan verbal. Pak Kim nggak usah mengada-ngada deh, kalau mau mencari perempuan penghibur yang mau memberikan tubuhnya demi uang, bukan di sini tempatnya. Tapi di sana di tempat hiburan malam. Ini restoran bukan bordil! Dan ingat yah, Pak .... ” Sasi dengan berani mengarahkan jari telunjuknya ke arah wajah Kim. Membuat Win, sang manajer, para tamu dan pelayan yang lain tercengang dengan sikap berani Sasi kepada Kim.
“Ingat yah, Pak. Saya perempuan baik-baik, jadi Pak Kim nggak bisa seenaknya melecehkan saya dengan ucapan dari Pak Kim itu. Mana mungkin saya mau memberikan harta yang paling berharga saya kepada orang yang nggak dikenal seperti Pak Kim ini!” seru Sasi yang masih mengarahkan jari telunjuknya di hadapan wajah Kim. “Dan harta yang saya punya khusus untuk suami saya kelak, bukan untuk pria kurang aja seperti bapak ini!” tegas Sasi dengan berani.
Sudut bibir Kim sedikit melengkung, ada rasa ketidakpercayaan dengan yang diucapkan oleh Sasi terhadapnya, bahkan dengan jari telunjuk perempuan itu yang masih mengarah ke wajahnya.
“Apa sikap seperti itu sopan dilayangkan kepada seorang tamu spesial seperti saya ini,” ucap Kim dengan tersenyum simpul.
Sang manajer langsung menghempaskan telunjuk Sasi dari wajah tamunya. Karena sikap salah satu karyawannya ini memang sudah keterlaluan menurutnya.
“Apa yang telah kamu lakukan, Sasi!” gertak Keiko yang begitu kesal kepada Sasi, bahkan ia ingin mengacak-acak wajah Sasi karena sudah membuat malu di depan Pak Kim dan di depan umum, tapi ia berusaha menahannya.
Sasi langsung terdiam dan menundukkan wajahnya dalam, karena apa yang dilakukannya memang salah, tapi ia melakukannya karena merasa jika harga dirinya sebagai perempuan direndahkan begitu saja oleh pria ini. Jadi wajar jika dirinya melawan pria yang sudah kurang ajar kepadanya.
“Maafkan sikap salah satu karyawan saya, Pak,” ucap sang manajer yang meminta maaf sembari menundukkan wajahnya menahan malu akibat kelakukan Sasi.
“No problem,” jawab Kim yang tidak mempermasalahkannya.
Sasi mengangkat wajahnya ke arah sang manajer. “Loh, kenapa Pak Kei yang meminta maaf sih. Seharusnya ‘kan dia yang meminta maaf ke saya karena telah melecehkan saya dengan ucapannya itu, bukan Pak Kei yang meminta maaf,” gertak Sasi yang langsung mencerocos karena ingin membela diri. Emosinya benar-benar sudah naik ke ubun-ubun.
“Sasi diamlah!” seru Keiko memerintah.
“Sampai kapanpun lo nggak bakalan menang melawan orang berduit dan punya kuasa. Sedangkan lo sendiri hanya seorang pelayan biasa. Mana mungkin dibela atas kesalahan orang lain,” gerutu Sasi dalam hati yang mencengkeram kuat ujung celemek yang dikenakannya.
“Pak Kim, saya benar-benar meminta maaf atas sikap tidak sopan karyawan saya kepada anda. Tolong maafkan saya yang telah membuat Pak Kim merasa malu, karena dilihat oleh para pengunjung di sini. ”
Kim menyandarkan tubuhnya di kepala kursi dan terlihat santai dengan kejadian yang terjadi malam ini, bahkan menurut Kim kejadian ini bukanlah masalah besar.
“Saya udah bilang nggak apa-apa kok, toh karena saya suka sama dia,” papar Kim yang melebarkan bibirnya seketika. Membuat orang-orang seisi restoran tercengang, bahkan tidak terima jika pangeran impiannya malah menyukai seorang pelayan biasa seperti Sasi.
“Bagaimana Nona Sasi, apa kamu mau bermalam dengan saya?” tanya Kim kembali yang masih menanyakan tentang itu. Padahal sudah beberapa kali Sasi menolak.
“Sebenarnya apa sih yang dia mau dari gue. Udah ngomongnya ngelantur gak jelas dan sekarang malah bilang suka sama gue,” gerutunya dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Sasi hanya menganggap biasa ungkapan suka dari Kim kepadanya, karena hal itu tidak akan pernah terjadi.
Sekian menit Sasi terdiam, dan wajah sang manajer yang terus diarahkan kepadanya, menunggu jawaban dari Sasi.
Secara pelan Sasi mengangkat wajahnya ke arah Kim, walaupun begitu malas baginya harus berhadapan dengan pria aneh sepertinya.
“Kalau Pak Kim menginginkan tubuh saya, Pak Kim nikahi saya terlebih dahulu. Baru saya akan memberikan apapun yang Pak Kim inginkan termasuk ... tubuh saya ini kepada Pak Kim. Saya nggak mau memberikan cuma-cuma sebelum menikah, karena kedua orang tua saya nggak pernah mengajarkan hal seperti itu kepada saya.” Tegas Sasi menjawab.
To be continued...
Kim mendadak mengerutkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya kembali, seperti tidak suka dengan yang diucapkan Sasi. Laki-laki itu mendekatkan jarak wajahnya dengan Sasi membuat perempuan itu harus memundurkan wajahnya, karena tidak ingin saling berdekatan. Bahkan sudah terdengar suara histeris para perempuan di restoran ini dengan yang dilakukan oleh Kim kepada Sasi.“Kamu pikir ... saya percaya dengan yang namanya per-ni-ka-han.” Kim mengulang kembali kata ‘pernikahan’ dengan terbata-bata, tapi penuh penegasan.“Saya nggak suka berkomitmen dengan yang namanya pernikahan, saya cuma ingin senang-senang saja tapi nggak mau berhubungan dalam pernikahan, karena hal itu membosankan,” tegas Kim yang masih berbicara dengan jarak yang begitu dekat dengan Sasi, bahkan deru napas Kim pun terdengar jelas di telinga Sasi, membuat jantung dan aliran daranya seperti berjalan tak normal.Dengan cepat Sasi langsung menjauhkan tubuhnya dari Kim.“Ya udah, Pak Kim cari s
Sasi berlari terengah-engah ketika ia ingin segera sampai di halte bus yang cukup jauh dari restoran tempatnya bekerja. Sesekali Sasi melirikkan matanya kembali ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih. Jarak antara restoran ke halte bus memang cukup jauh, beberapa kali pengendara ojek online dan taksi menawarkan diri meminta ditumpangi oleh Sasi. Namun, perempuan yang mengikat rambutnya secara asal itu lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke halte bus. Sasi berpikir jika sisa uangnya dapat ditabung untuk keperluan sang ayah yang masih membutuhkan banyak biaya.Tiba-tiba saja terbesit dalam ingatan Sasi dengan sosok Linggar. Pria yang begitu disukainya namun diantara keduanya tidak memiliki hubungan apapun. Dan sekarang, sosok linggar sedang berada di luar negeri, karena pria itu sedang menjalankan perusahaan ayahnya di Amerika.Waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Jalanan masih terlihat ramai, dengan kendaraan mobil yang m
Tanpa disadari oleh Sasi maupun sang ayah, jika di arah luar pintu yang sedikit terbuka. Kedua mata Lydia terus menatap ketidaksukaan dengan ayah dan anak itu. Lydia memang tidak pernah suka kepada Sasi sesaat ia menikah dengan ayahnya. Perempuan yang pernah menjadi sekretaris ayahnya sesaat Rafi masih menjalankan perusahaannya. Lydia tidak pernah menyukai Sasi, karena ia pun memiliki seorang putri yang seusia dengan Sasi bernama Nadine. Sikap Nadine pun tidak kalah berbeda dari ibunya yang sama-sama tidak menyukai Sasi, dan selalu iri dengan keberhasilan yang diraih oleh Sasi.Setelah selesai melaksanakan pekerjaannya, Sasi kembali ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya yang begitu pegal-pegal ke atas kasur yang tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk satu bantal dan guling. Namun, begitu cukup untuk menjadi tempatnya istirahat setelah bekerja seharian.Diraihnya ponsel yang tergeletak di samping dirinya yang terlentang. Sasi teringat dengan peristiwa tadi di mana ia melih
Hampir satu jam lamanya bagi Sasi memasak dan menghidangkan makanan yang kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Bahkan Sasi pun membuat bubur sehat atas saran sang dokter untuk ayahnya. Sasi masih berdiri dengan bibirnya yang melengkung simpul, ada rasa kebanggaan tersendiri di dalam dirinya ketika ia bisa bekerja di luar rumah sekaligus di dalam rumah.“Seharusnya setiap hari kamu menyiapkan sarapan untuk kami,” gertak Lydia yang tidak tahu malu duduk begitu saja untuk memulai sarapannya bersama dengan Nadien, putri kesayangannya.Sasi merasa dongkol dengan sikap ibu tirinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahan amarahnya pagi ini, karena Sasi ingin memberikan kejutan kepada Ayahnya jika dirinya diterima bekerja di perusahaan elite dan terkenal.“Seharusnya tugas rumah dan menyiapkan sarapan adalah tanggung jawab kamu, Lydia. Bukan Sasi, putriku sudah lelah bekerja seharian tapi juga harus memasakkan makanan untuk kalian,” sahut Rafi yang berjalan tertatih-ta
Kim mengemudikan mobilnya dengan cepat, karena jalanan yang terlihat lengang tak banyak pengendara yang bepergian hari ini. Maka dari itu Kim dapat menggunakan jalanan seperti miliknya sendiri. Ketika Kim fokus dengan kemudinya karena hari ini ia tidak berangkat bersama Win, sekretaris pribadinya.Sesekali wajah pria berusia 28 tahun itu menyiratkan senyuman, jika mengingat kejadian semalam. Awal pertemuan antara dirinya dengan Sasi, perempuan yang telah membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sasi adalah perempuan kedua yang benar-benar membuatnya jatuh cinta selama hidupnya setelah Estelle.Tak lama ponselnya berdering membuat konsentrasi Kim sedikit membuncah. Dirogohnya ponsel yang berada di dalam saku jasnya. Tanpa melihat si penelepon, Kim langsung memasukkan airpods ke telinganya dan segera menjawab panggilannya.“Halo,” ucapnya terlebih dahulu.Kim mendengar dengan seksama ketika salah satu HRD yang menelponnya dan mengingatkan dengan jadwal int
“Apa kamu Nona Dewi Sasikirana?” sahut seseorang yang berjalan mendekat ke arah Sasi. Seorang laki-laki dengan pakaian formal dan rapi yang tersenyum kepadanya. Terlihat Ghea dan Sella yang menundukkan kepalanya ketika laki-laki itu menghampiri kami.“Iya, Saya Dewi Sasikirana,” jawab Sasi dengan menyiratkan senyuman tak kalah dengan laki-laki berpakaian formal itu yang tersenyum ramah kepadanya.“Ternyata kamu di sini, kenalkan saya Hardy. Salah satu HRD di sini dan orang yang telah menelepon Nona Sasi pagi tadi,” ucapnya yang menadahkan tangannya ke arah Sasi mengajaknya untuk bersalaman. Dengan cepat Sasi pun membalas tagutan tangan sang HRD.“Maafkan saya, Pak. Saya memang mencari-cari ruangan presdir, tapi nggak ketemu.”“Baiklah Sasi, saya akan antar kamu ke ruangan Pak Anders karena beliau sedang menunggu kamu,” ucapnya yang segera pergi dari hadapan Sasi dan juga kedua karyawannya itu. Namun, ketika Hardy yang akan melangkah pergi dihentikan seb
“Kamu ....” ucap Kim yang menunjuk ke arah Sasi dengan jari telunjuknya. Bibirnya melengkung bebas, sebuah senyuman tersirat di wajahnya ketika mendapati Sasi. Perempuan yang mampu memorakporandakan hatinya semalam sedang berdiri di depan kedua bola matanya.“Anda ‘kan pria semalam yang begitu menyebalkan, mengapa anda bisa ada di ruangan ini?” tanya Sasi dengan polosnya, sedangkan kedua matanya melotot tajam ke arah Kim yang belum menyadari jika Kim adalah Presdir di Perusahaan TBC, dan orang yang akan menginterviu Sasi.Hardy merasa bingung, mengapa atasannya bisa mengenal Sasi, bahkan dengan raut wajahnya yang tampak senang dengan salah satu karyawan yang diterimanya ini, dan mengapa Sasi pun terlihat berani dengan atasannya ini.“Sasi ... beliau ini adalah ....”“Biar saya yang menjelaskan kepadanya, Pak Hardy.” Kim langsung memotong ucapan Hardy yang akan menjelaskan kepada Sasi. Ketika pria itu akan memberitahukan kepada Sasi, jika Kim adalah pres
Keduanya sudah saling berhadapan. Sasi yang duduk di kursi berseberangan dengan Kim yang hanya terhalang oleh meja kerja Kim, sedangkan Kim yang duduk di kursi kerja kebesarannya dengan sikap yang sudah seperti seorang presdir. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Sasi merasa gugup karena terlihat raut wajah dan gaya Kim yang sedang fokus melihat berkas biodata dan latar belakang pendidikannya. Sikap dari Kim Andersean sangat berbeda sesaat dirinya bertemu tadi. Sekarang, terlihat jiwa seorang pemimpin bahkan sesekali Sasi tampak mengedarkan pandangannya ke arah Kim, rupanya memang begitu tampan, pasti banyak perempuan yang menginginkannya. Namun yang Sasi herankan, mengapa pria ini selalu menatapnya lekat seolah jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.“Saya kira, nggak ada yang harus saya tanyakan ke kamu, Sasi,” ucap Kim yang mengarahkan pandangannya ke arah Sasi. “Karena saya sudah melihat sendiri kinerja kamu semalam di restoran tempat kamu bekerja. Jadi ....” Kim beranja