“Hei, Grossy! Dean memanggilmu.”
Aku menengadah ke arah sumber suara. Seorang laki-laki dengan wajah lumayan tampan, tapi mengingat ia memanggilku Grossy jadi buru-buru kurevisi penilaianku tentang wajahnya. Hmm… Pasti salah satu mahasiswa favorit para gadis. Aku mencoba menerka-nerka.
Sayang, wajah tampannya dirusak oleh mulutnya sendiri. Aku masih asyik membuat penilaian tentang orang yang tengah berdiri di hadapanku.
“Heh, kamu tidak dengar ya. Cepatlah ke ruangan dekan!” nada bicara mahasiswa itu semakin kasar. Kualihkan pandanganku pada beberapa diktat dan laptopku yang tersebar di atas meja perpustakaan.
“Iya, aku akan datang. Thanks.”
“Cepatlah. Aku harus mengantarmu langsung ke ruangan dekan.” Laki-laki itu semakin tidak sabar. Dia bergerak mendekat dan menutup laptopku. Aku mendengus kesal.
Sialan. Makiku dalam hati.
*
Aku mengekor mahasiswa itu menuju ruang dekan. Kususuri lorong kampus yang sangat ramai. Tampaknya banyak yang tidak ada kuliah saat ini. Di beberapa titik terdapat sekumpulan mahasiswa atau mahasiswi yang asyik mengobrol.
“Guys, ada gempa ya”? Seseorang dari sekumpulan mahasiswa bicara dengan setengah berteriak.
Mulai lagi. Pikirku. Aku mendengus kesal. Kulihat mahasiswa yang mengantarku juga terkikik.
Ah, sama saja. Sama-sama brengsek.
“Iya, nih. Bergoyang-goyang.” Ujar mahasiswa lainnya masih dari gerombolan yang sama.
“Pasti karena Grossy lewat.” Celetuk lainnya yang ditimpali dengan tawa seluruh anggota gerombolan itu.
Sabar, Maura. Jangan terlalu sensitif. Mereka bukan baru kali ini mengejekmu seperti itu. Kucoba menenangkan diriku. Aku sendiri heran dengan diriku saat ini, aku menjadi lebih sensitif dan perasa. Biasanya aku tak pernah ambil pusing dengan semuanya.
Entah siapa yang memulai pertama kali, panggilan grossy atau kotor tersemat padaku sejak hari pertama kuliah. Seketika panggilan itu menyebar tanpa bisa kukonfirmasi alasannya. Setiap yang kutanyai selalu mengedikkan bahu, pertanda tidak tahu. Entah benar-benar tidak tahu atau pura-pura.
Ruang dekan terasa sangat jauh kali ini, meskipun aku tahu bahwa ini hanyalah perasaanku saja. Setelah melewati gerombolan cowok-cowok dengan lidah pedasnya, aku melewati sekumpulan cewek-cewek hits yang langsing dan hobi berdandan.
Huft, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. Aku mengeluh.
Aku sebenarnya tidak gentar dengan gank ini karena aku selalu meyakinkan diriku bahwa tujuanku dan mereka di kampus ini sangat berbeda. Jadi meskipun mereka mengataiku dengan kasar, aku tak pernah ambil pusing. Tapi kali ini berbeda. Entah kenapa dari pagi sebelum ke kampus aku merasa mood-ku kurang baik. Padahal aku tidak sedang PMS.
*
Aku mengetuk pintu ruang dekan. Terdengar sahutan dari dalam yang mengizinkanku masuk. Cowok yang mengantarku muncul lebih dulu. Memberikan senyuman penuh arti pada dekan, kemudian menghilang.
“Silakan, Nona Maura.” Dekan menunjuk kursi di depan mejanya. Aku mengangguk dan menarik sandaran kursi kemudian duduk.
“Nona Maura, ada hal yang harus saya sampaikan terkait studimu.” Dekan diam memberi jeda. Aku juga diam, meskipun hatiku ingin bertanya lebih.
“Anda diterima di kampus ini dari jalur beasiswa kampus. Sayangnya, mulai semester depan jatah beasiswa Anda tidak mengkover semua biaya. Anda harus membayar tuition fee, sementara asrama dan asuransi kesehatan masih dikover.”
“Kenapa bisa begitu?” diriku panik. Terbayang banyaknya uang yang harus kusiapkan untuk satu tahun perkuliahan. Mau mundur sangatlah tidak mungkin. Saat ini aku sudah menjalani proses penelitian untuk tesisku. Meminta pada orangtua juga tidak mungkin karena sejak awal aku menyampaikan keinginanku kuliah di sini, orangtuaku menentang keras. Tidak ada biaya adalah yang utama. Keluargaku bukanlah keluarga kaya. Mampu bertahan hidup setiap bulan dan mempunyai sedikit tabungan merupakan hal yang harus diupayakan dengan keras. Kami semua harus bekerja. Ya, ayah, ibu, aku, dan adikku harus bekerja keras setiap hari.
“Ini sudah kebijakan yang diatur universitas. Saya sudah mencoba semampu saya untuk menolak kebijakan ini.”
Aku dan dekan beradu pandang. Sorot mataku menghiba padanya. Mencoba meminta bantuan, walaupun tanpa kukatakan.
“Anda bisa memanfaatkan student loan.” Dekan mencoba memecah keheningan di antara kami sekaligus menghindari tatapan mataku.
“Baik, saya akan mengurusnya. Terima kasih.” Aku beranjak dari dudukku setelah melihat anggukan kepala dekan. Kulangkahkan kakiku tanpa semangat menuju bagian kemahasiswaan.
*
“Pengajuan student loan terakhir hari ini.” Kata petugas yang khusus menangani student loan.
Sial. Mungkinkah aku bisa menyelesaikan semua berkas untuk pengajuannya, sedangkan begitu banyak persyaratan yang harus kupenuhi.
“Mungkinkah semua berkas ini bisa kuperoleh saat ini juga?” Tanyaku lemah.
“Berusahalah. Setidaknya Anda punya empat jam untuk memprosesnya.”
“Baiklah.” Aku pun keluar dari ruangan itu.
*
Rasanya aku ingin menangis ketika mendengar petugas yang mengurusi student loan mengatakan bahwa kuota telah habis. Terbayang jumlah uang yang harus kubayarkan dua bulan ke depan. Memperoleh €20.000 dalam waktu sesingkat itu sangatlah tidak mungkin. Aku takt ahu harus bagaimana. Kakiku membawaku kebali ke depan ruangan dekan. Kuketuk lagi pintu dan masuk setelah mendengar jawaban dekan.
“Tidak mungkin bagi saya memperoleh €20.000 dalam waktu dua bulan, Dean.” Aku sangat putus asa. Dekan menatapku dalam-dalam. Ia tidak berkata apa pun.
“Sebanyak apa pun pekerjaan part time kuambil, tetap itu tidak mungkin. Anda tahu berapa upah untuk kerja part time. Apa aku harus tidak makan selama dua bulan?” Aku semakin bingung. Dean masih saja diam.
“Bahkan dengan berhemat sekuat tenaga pun, itu masih mustahil Dean.” Kuakhiri kalimatku dengan nada merintih. Pikiranku buntu. Aku sangat putus asa.
“Aku akan memberi rekomendasi agar kamu bisa bekerja part time pada week days. Akan kuhubungi semua kenalanku agar mereka membantumu semampu mereka. Tapi sebenarnya….” Kalimat menggantung dekan membuatku Kembali menatapnya lekat.
“Maukah kamu mencoba menemui David Peters?”
“Siapa dia, Dean?”
“Seseorang yang berpengaruh di kota ini.”
Aku berpikir keras. Menemui seseorang yang berpengaruh sangatlah tidak mudah. Pasti ada penjagaan berlapis yang melindunginya. Bisakah aku? Aahh… batinku menjerit frustasi lagi.
“Adakah aksesku untuk menemuinya, Dean?”
“Besok dia akan memberi stadium generale di auditorium. Datanglah. Aku akan memperkenalkanmu padanya.”
Kurasakan mataku sedikit berbinar setelah mendengar kalimat terakhir dekan. Thank you, Dean. Aku tahu Anda tidak akan tinggal diam.
Aku pun izin meninggalkan ruangan dekan. Hati dan pikiranku campur aduk. Segala kata, doa, motivasi, dan lainnya kurapalkan. Aku sangat berharap semoga Tuan David Peters bisa membantuku memberi pinjaman.
“Aduh!” Suara seorang pria mengaduh karena terbentur pintu yang kubuka. Buru-buru aku meminta maaf. Menanyakan bagian tubuhnya yang mungkin terluka karena benturan dengan pintu.
“Tidak apa. Lain kali berhati-hatilah.”
“Maaf.” Aku tidak berani menatapnya. Kumaki diriku sendiri karena ceroboh sehingga melukai orang.
“Ok.” Kulihat orang itu masuk ke ruangan dekan sambil tersenyum. Kudengar dekan, dengan suara ramah memanggil namanya, Matt.
***
Halo, Pembaca. Ini adalah karya pertama saya di Goodnovel. Sebenarnya karya ini sudah pernah publish, tapi saya hapus dan mulai posting lagi dari awal.
Semoga Pembaca semua suka, ya.
Selamat membaca dan semoga terhibur.
Luv,
Sita Ayodya
“Pos…!”Aku bergegas keluar kamar untuk menemui petugas pos yang telah berdiri di depan pintu.“Maura Raditya.”“Saya sendiri, Pak.”Petugas pos mengangsurkan sepucuk surat, “Dari Jakarta, Mbak.”“Terima kasih, Pak.” Kutinggalkan petugas pos yang masih berdiri di depan rumah sambil membaca beberapa sampul surat yang akan ia antarkan.Hmm… Kira-kira dari mana ya?Aku bergumam sambil menyobek tepian surat dengan hati-hati. Akhir-akhir ini ada banyak surat yang kukirim dengan tujuan Jakarta. Semuanya berupa surat lamaran, lamaran kerja atau beasiswa.
Sejak pagi, kesibukan yang luar biasa tampak di kampus Maura. Semua orang seolah-olah punya tugas yang berkaitan dengan kuliah umum David Peters. Di salah satu sudut koridor menuju auditorium, berjejer gadis-gadis cantik nan populer yang sibuk mematut diri. Sesekali mereka berbisik gaduh menyebut nama David Peters.Pemandangan yang sangat asing bagi Maura. Selama hampir dua tahun belajar di kampus ini, belum pernah Maura melihat kehebohan yang terkesan berlebihan. Semua orang menyebut-nyebut nama David Peters. Sebagian mahasiswa mengelu-elukannya sebagai sosok milyarder dan berpengaruh. Sedangkan mahasiswi, hanya satu bahasan yang sangat menarik mereka, ketampanan David Peters.Maura mengetuk pintu ruang dekan yang terbuka. Dekan yang tengah sibuk menekuni berkas di mejanya mengalihkan pandang ke arah Maura kemudian mengangguk. Maura pun melangkah masuk dan seg
Aku menghentikan langkahku di depan sebuah bangunan kantor dengan tulisan “Peters Corp.” pada pelat baja. Kemudian pandanganku beralih ke selembar kertas kecil berisi nama dan alamat seseorang yang sedari tadi kupegang di tangan kiri. David Peters adalah pemimpin perusahaan Peters Corp. yang harus kutemui hari ini atas saran dari dekan.‘Benar, ini.’ Batinku. Aku pun melangkah masuk ke dalam gedung dan langsung menuju resepsionis yang berada tepat di depan pintu masuk.“Selamat pagi.” Sapa petugas resepsionis dengan keramahan yang khas. Wajahnya yang oval dengan potongan rambut sebahu dan kacamata yang membingkai sepasang matanya membuat ia terlihat menarik, meskipun bersahaja.&ldqu
Dave geram luar biasa dengan apa yang telah dilakukan Maura. Sikapnya yang langsung meninggalkan ruang kerja Dave tanpa sepatah kata pun dianggapnya tidak sopan. Dave juga sebal karena menurutnya Maura sok jual mahal. Dave pun memikirkan sebuah rencana untuk memberi pelajaran pada Maura. Dave menekan nomor Matt dan sejurus kemudian laki-laki itu sudah muncul di hadapannya.“Aku mau kamu mengawasi Maura.”“Siapa dia, Boss?” Matt mengerutkan kening. Nama yang terdengar asing di telinganya.“Mahasiswa yang kemarin menghentikanku setelah kuliah umum. Entah, ada hubungan apa dia dengan dekan sehingga dia bisa leluasa meminta janji bertemu denganku.” Mata Dave menatap salah satu sudut kantornya. Ingatannya kembali saat dia selesai memberi kuliah umum kemudian dihentikan oleh seorang gad
Dave yang tengah menekuni tumpukan berkas di depannya tidak sadar jika Matt sudah muncul di hadapannya.“Bos…” Sapa Matt dengan suara pelan. Dave mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas. Tampak kekesalan menghiasi wajahnya.“Kau tidak mengetuk pintu!” ujar Dave tegas. Matt membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Dave pun mengangguk pertanda memaafkan Matt.“Besok pagi Maura akan menggantikan dekan mengisi kuliah tentang Indonesia.” Matt memilih informasi itu untuk dismpaikan pertama kali pada Dave. Bagi Matt, itu adalah informasi besar. Matt memang tidak mengenal Maura, tapi mengingat semua cerita dekan tadi ia sangat berharap agar Dave tidak terlalu kejam pada gadis itu. Dan tentu saja, yang terpenting menur
Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol
Maura bertekad menemui David Peters sekali lagi. Ia akan memohon agar David Peters mau membantunya. Bekerja paruh waktu setap hari ternyata sangat melelahkan. Hal ini berdampak pada produktivitasnya dalam mengerjakan tesis. Tadi pagi sebelum keluar kamar, Maura menyempatkan diri melihat kalender duduk di atas meja belajarnya. Ia mendapati tiga tanda silang pada kalender, artinya sudah tiga hari tesisnya tidak tersentuh.Maura tengah memikirkan rencana untuk menemui David Peters lagi. Tiba-tiba terlintas dalam benak Maura untuk meminta bantuan Matt. Berdasarkan pengamatan Maura, Matt bukanlah orang yang sulit untuk dimintai tolong.Apakah sebaiknya aku meminta nomor telepon Matt pada dekan?Maura sangat berharap Matt bisa membantunya, menjadi perantara dirinya unt
Bunyi notifikasi pesan membangunkan Maura dari tidurnya. Sepagi ini siapa yang mengiriminya pesan. Maura melihat penunjuk waktu di ponselnya. Pukul enam tepat. Rasanya Maura ingin menunda membaca pesan itu dan melanjutkan tidurnya. Tapi itu tidak dilakukannya setelah membaca nama pengirim pesan. Dekan.Maura, jangan lupa menghadiri malam inaugurasi. Tahun lalu kamu tidak hadir karena belum datang. Jadi untuk tahun ini kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Jangan lupa, pukul tujuh tepat!Maura melempar ponselnya ke salah satu sudut tempat tidurnya. Rasa malas kembali menyelimutinya. Padahal hari ini, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sebelum bekerja pada pukul enam sore. Maura yang tersadar dengan jadwal kerjanya pun segera bangun dan mencari ponselnya. Tak lama jemari Maura pun bergerak dengan lincahnya di atas