“Pos…!”
Aku bergegas keluar kamar untuk menemui petugas pos yang telah berdiri di depan pintu.
“Maura Raditya.”
“Saya sendiri, Pak.”
Petugas pos mengangsurkan sepucuk surat, “Dari Jakarta, Mbak.”
“Terima kasih, Pak.” Kutinggalkan petugas pos yang masih berdiri di depan rumah sambil membaca beberapa sampul surat yang akan ia antarkan.
Hmm… Kira-kira dari mana ya? Aku bergumam sambil menyobek tepian surat dengan hati-hati. Akhir-akhir ini ada banyak surat yang kukirim dengan tujuan Jakarta. Semuanya berupa surat lamaran, lamaran kerja atau beasiswa.
Surat itu dilipat menjadi tiga bagian. Pada kepala surat yang menghadap keluar terdapat sebuah lambang kampus diikuti nama salah satu universitas di Eropa. Melihat lambangnya saja, tanpa membaca nama universitas, aku sudah hafal luar kepala, kampus manakah itu. Mendadak jantungku berdetak lebih cepat. Dengan tidak sabar kususuri kata demi kata yang tertulis di sana. Di bagian tengah surat tertulis namaku dengan ukuran huruf lebih besar serta dicetak tebal. Setelahnya kudapati tulisan accepted dengan cetak tebal juga.
Aku diterima. Seolah tak percaya, kuulangi lagi membaca pada bagian yang tertulis accepted.
Iya, benar! Aku diterima. Benar-benar diterima. Hatiku menari, tapi ragaku justru diam terpaku. Aku benar-benar tidak percaya. Lamaran beasiswa yang kukirim mendekati deadline, ternyata diterima.
Terima kasih, Tuhan. Aku sangat bersyukur.
Bapak dan Ibu. Ya, aku harus segera mengatakan hal ini pada mereka.
Aku teringat Bapak dan Ibu yang saat ini masih bekerja di sawah. Ingin rasanya aku menyusul mereka ke sawah dan memberi tahu mereka tentang kabar gembira ini, tapi kuurungkan rencana itu. Biarlah kutunggu mereka pulang. Detik-detik berikutnya aku menjadi sangat tidak sabar menunggu kepulangan orangtuaku.
Sabar, Maura. Hatiku tak henti menasehati diriku. Ya, karena bahagia yang meluap-luap aku menjadi tidak sabaran.
*
“Bapak, Ibu….” Ragu-ragu kulanjutkan kalimatku. Bapak dan ibu menatapku bersamaan.
“Ada apa?”
“Maura… diterima kuliah.” Kuakhiri kalimatku dengan senyum. Bapak dan ibu saling pandang. Dan hampir bersamaan mereka berkata, “Di mana?”
“Eropa. Tepatnya di Belanda.”
Ibu langsung bereaksi, “Oalah… uang siapa yang mau dipakai untuk biaya sekolahmu? Kuliahmu yang dulu saja sudah sangat membuat keluarga kita terseok-seok mencari uang.” Bapak hanya diam, tapi dari sorot matanya aku tahu bahwa ia mengamini setiap perkataan ibu.
“Mimpi kok ketinggian, Maura.” Ibu merendahkan nada bicaranya.
“Justru bermimpi setinggi langit yang membuat Maura tetap semangat untuk hidup, Bu.” Aku mencoba meyakinkan ibu.
“Mungkin Bapak dan Ibu bisa berpura-pura tuli dengan sekiatr, tapi aku tidak, Bu. Aku sudah lelah dengan sebutan-sebutan yang hanya fokus pada fisikku. Aku tidak bisa terus menenangkan diri bahwa yang mereka katakana itu semuanya hinaan. Gembrot, tong berjalan, karung beras, bahkan gajah.” Kuhentikan bicaraku sambil terengah. Emosiku telah mencapai puncaknya kini.
“Hanya ini kupikir satu-satunya jalan agar mereka berhenti menghinaku, Pak… Buk…. Sekolah tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang bagus di kota.”
“Iya, tapi kan di sini juga banyak kampus yang bagus mutunya Maura.” Kali ini Bapak angkat suara.
“Aku sudah melamar beasiswa untuk semua kampus di sini Pak. Tapi hasilnya nol. Lamaranku tidak ada yang diterima.”
“Biayanya….”
“Maura juga memikirkan itu, Pak. Tapi di surat ini dijelaskan bahwa seluruh biaya kuliah ditanggung universitas. Maura nanti tinggal di asrama. Untuk kebutuhan sehari-hari, Maura akan cari kerja.” Aku mencoba menenangkan orangtuaku. Lama kami bertiga diam. Aku paham, Bapak dan Ibu dalam kondisi bimbang luar biasa. Antara mengizinkan aku berangkat atau menahanku di rumah dengan risiko aku menjadi tidak waras. Terdengar berlebihan memang, tapi siapa yang bisa menduga kalau ternyata aku akan menjadi benar-benar gila.
*
“Kak Maura serius mau berangkat?” Naura adikku menatapku penuh kesungguhan. Aku hanya mengangguk. Naura pasti sudah mendengar semua dari Bapak dan Ibu.
“Kapan?” Lanjutnya.
“Dua bulan lagi, Na.”
“Cepat sekali. Kakak punya uang berapa untuk mengurus semuanya.”
“Sedikit, Na. Kakak mau cari kerja dan cari pinjaman. Nanti kalau Kakak sudah di sana dan berhasil dapat kerja, Kakak akan kirim uang ke kamu untuk menyicil pinjaman.” Kedengarannya mudah, tapi dalam hati aku tidak yakin akan semudah yang kukatakan. Untuk sesaat, aku bertanya pada diriku tentang tujuanku berangkat ke Belanda. Untuk sekolah atau bekerja? Tapi, biarlah. Aku juga harus membesarkan hati Naura. Kucoba meyakinkannya bahwa keberangkatanku ke Belanda tidak akan membuat keluarga kami menjadi menderita.
“Kakak mau pinjam uang sama siapa? Aku tidak setuju kalau meminjam pada juragan-juragan di sini.”
“Bukan, Na…. kamu tenang saja. Aku sudah konsultasikan masalah ini dengan dosen-dosen Kakak dulu.”
Kulihat wajah Naura tidak setegang tadi. Kupeluk adikku dengan erat. Adikku satu-satunya yang cantik. Ya, Naura memang cantik. Dia lebih cantik dariku, tapi aku tidak pernah cemburu padanya. Naura berkata, bahwa dia cemburu karena kemampuan otakku. Aku hanya tersenyum jika teringat hal itu.
Pernah suatu hari, aku membaca buku harian Naura. Di sana dia menulis, berandai-andai menjadi sepintar aku, tapi tetap memiliki kecantikan rupa yang dimilikinya sekarang.
Dasar! Protesku dalam hati.
***
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga