Share

03 | Alin

"APA tidak apa-apa kita keluar seperti ini?" tanyaku pada gadis Jepang yang sangat manis.

Dia ini tipe waifu ideal bagi anak-anak otaku. Tubuhnya ramping, kulit wajahnya mulus, dengan rambut lurus panjang sepunggung berwarna hitam, matanya yang sipit berwarna senada, dan jangan lupakan senyumannya.

Aku bahkan sampai ragu, jika sampai sekarang dia masih menjomlo.

"Hm, benar juga." Yuki berhenti melangkah, matanya menatapku. "Tempat tinggal Onee-chan ada di mana?"

Aku tersenyum. "Di sebelah unit apartemen polisi rendahan satu itu."

Aku mendengkus, benar-benar tidak yakin dia seorang polisi rendahan. Apa jangan-jangan dia membohongiku? Demi menyembunyikan pekerjaannya, dia merahasiakannya dari orang asing sepertiku?

Tentu saja, aku bisa percaya jika ia polisi. Apalagi tadi ada Shinji Akira, kakak kandung Yuki yang memang bukan orang biasa. Sangat tidak mungkin Daniel mengenal Shinji, apalagi mereka bisa berbicara seakrab itu, jika dia hanya polisi rendahan, kan?

Yuki tersedak, mimik wajahnya menunjukkan bahwa aku adalah orang paling aneh yang pernah ada di dunia ini.

"Kenapa?" tanyaku tak nyaman.

"Dari mana Onee-chan tahu, kalau dia seorang polisi?"

Aku terdiam, mengingat-ingat masa lalu. "Sepertinya, dia yang mengatakannya langsung padaku."

Yuki terdiam, bibirnya terkatup, tatapannya lurus dan serius. Dia seperti sedang berpikir keras dan aku tidak suka melihatnya begitu yang berarti sedang mengabaikanku.

"Jadi, bagaimana? Apa kita akan kembali?"

Yuki menggeleng, pandangannya menelisir sekitar. Tempat sekitar tidak ramai, karena pemerintah memang meminta masyarakat untuk saling jaga jarak dan tidak diperbolehkan keluar, jika memang tak ada kepentingan berarti.

"Kurasa tidak perlu, kita bisa jalan-jalan sebentar." Yuki kembali memamerkan senyumannya. "Onee-chan bukan orang asli sini, kan?"

Aku mengangguk, lalu menghela napas kasar. "Sebenarnya, aku kemari untuk liburan, tapi ...."

"Onee-chan terjebak di rumah karena aturan mendadak dari pemerintah?" tebaknya, tepat sasaran. Tidak salah jika ia berhasil menjadi salah satu detektif termuda sepanjang sejarah.

Aku mendengkus. "Kalau bisa, aku ingin kembali ke negara asalku."

"Di mana?"

"Indonesia."

"Hm."

Aku memejamkan mata, kepala mendongak, seraya berkata, "Andaikan bandara tidak tutup-"

"Tempat itu harus ditutup," tegasnya. "Kalau tidak, pelaku bisa kabur dengan mudah dan pihak kepolisian akan semakin sulit mencari keberadaannya. Belum lagi, kasus ini tidak terjadi di satu tempat yang sama setiap malam, jadi sangat sulit untuk melacak dan memperkirakan di mana lokasi berikutnya."

"Kau tahu banyak, ya?" tanyaku langsung.

Yuki mengangguk. "Aku mengumpulkan semuanya dan menganalisisnya. Apa Onee-chan mau mendengar hipotesis sementara soal kasus ini?"

Aku menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Aku memang penasaran, tapi aku bukan orang yang suka memikirkan masalah rumit sejenis itu.

Tidak. Aku tidak mau repot-repot.

Hanya saja, aku merasa janggal dengan kasus yang mereka bicarakan. Setiap malam, selalu ada kasus baru, minimal di dua tempat lokasi kejadian. Sejauh ini, kasusnya belum sampai Akita, tapi entah kenapa Shinji bisa sampai turun tangan untuk ikut andil memecahkan masalah.

"Sebenarnya, apa yang terjadi di luar sana?" Aku melirik sekitar, jelas takkan ada yang berani mencuri dengar pembicaraan ini. Aku hanya tahu ada pembunuh berantai, tidak lebih dari itu.

"Menurut informasi yang kudapat, ada klompotan pembunuh berantai yang sedang berkeliling Jepang. Mereka sangat berbahaya dan selalu beroperasi di tengah malam. Untuk meminimalisir korban, pemerintah menutup segala akses jalan keluar dan masuk. Sekaligus, agar pelaku bisa segera ditemukan."

"Tapi-" Aku melirik sekitar. Sepi, tapi bukan berarti tak ada orang. Jika memang rencana pemerintah begitu, harusnya, tempat ini benar-benar kosong. "Mereka ...?"

"Mereka bisa menjadi salah satu tersangka." Yuki memandangi mereka satu per satu. "Tentu saja, tak terkecuali Onee-chan."

Aku terdiam. Jika aku berani keluar begini, bisa saja aku dicurigai, tapi mana mungkin! Aku bahkan tidak berani membunuh semut dan nyamuk, mana mungkin aku membunuh manusia-ralat, banyak manusia.

"Aku bercanda," gumam Yuki kemudian, dia tersenyum tipis. "Louis Daniel Fernandesh, dia berasal dari Inggris. Salah satu bangsawan yang dihormati di sana, tapi dia jarang keluar dari tempat persembunyiannya." Yuki mengangkat bahu. "Aku tidak ragu, jika Onee-chan tidak mengenalnya, karena Onee-chan cukup naif untuk ukuran orang dewasa."

Aku terdiam. Daniel seorang bangsawan? Serius?

Aku tertawa hambar. "Kau pasti bercanda, Yuki. Mana mungkin Daniel seorang bangsawan? Dia hanya polisi rendahan yang suka masuk ke apartemenku seenaknya. Dia hanya pria mesum menyebalkan, tidak mungkin dia seorang bangsawan," bantahku. "Tidak mungkin."

"Itu kenyataannya." Yuki tersenyum tipis. "Untuk itulah Onii-chan mencarinya, karena diamnya Daniel menyimpan banyak informasi yang bahkan tidak diketahui oleh negaranya sendiri."

Tiba-tiba saja ekspresi Yuki berubah. Tatapannya berpindah, yang sebelumnya menatapku, kini melihat sekitar. Gerakannya yang terasa waspada membuatku ikutan awas.

"Ada apa?"

Yuki menggeleng, bibirnya kembali tersenyum. "Sebaiknya kita ke tempat Onee-chan saja, kurasa tempat ini tidak aman."

Aku tersenyum tidak nyaman. Memang, sebelum ada kejadian teror itu, tempat sudah terkenal tidak aman. Apartemen kumuh yang berada di gang sempit ujung jalan, siapa saja yang memiliki keperluan kemari hanyalah mereka yang terbiasa hidup di kalangan kelas menengah ke bawah.

Itulah mengapa, aku tidak kaget sewaktu Daniel bertindak tidak sopan dengan memasuki unit apartemenku seenaknya. Dan ketika Yuki bilang kalau Daniel seorang bangsawan.

Pasti ... semua itu hanya lelucon, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status