"Beneran enggak mau? Ferrari loh, Ga."
Aku menggeleng sambil membolak-balik majalah yang isinya enggak jauh-jauh dari permainan warna di permukaan wajah. Sebenarnya menunggu pelanggan nyalon sangat membosankan, tapi dia betah minta kutemenin, gimana?
Dibayar cuma buat jadi teman bicara.
Enggak tahu udah berapa kali dia mesen jalan denganku melalui Nyonya. Pakai nawarin kasih mobil asalkan mau jadi piaraannya dia, tapi rasanya ... enggak ah.
Ogah!
Mikir kudu satu ranjang sama wanita yang rajin banget ganti warna rambut itu membuatku bergidik ngeri. Tampilan luar bisa mengelabui, tapi buat melakukan hal yang melibatkan rasa ... aku harus berkali-kali mikir.
Kuperhatikan lagi wanita yang masih berkutat di depan cermin setelah penata rambut yang bertugas keluar dari ruangan. Modelnya sama aja kayak yang sebelumnya.
Kadang mikir gini, "Buat apa sih cewek mesti mahal ke salon kalau hasilnya enggak jauh beda?" Aku ke tukang cukur depan kos bayar ceban udah ganti model.
"Beneran enggak mau? Padahal ikhlas, loh."
Aku menahan gelak karena tawarannya masih belum juga berhenti. Sumpah? Ikhlas?
Kebanyakan wanita berduit ini punya tubuh seksi, wajah cantik, dan kartu kredit unlimited. Kadang aku kebagian satu. Cuma kalau tujuannya ranjang, yah balikin lagi.
Aku enggak terlalu minat urusan mandi kucing. Biar banyak yang bilang enak atau aman, belum kepengin nyobain hal begituan. Bisa dibilang aku masih ... kayaknya enggak perlu bicarain itu.
"Lingga abis ini mau ke mana?" Si tante sudah selesai ketika menyingkirkan majalah dari tanganku. Padahal isi dari jauh lebih enak dilihat daripada penampilan nyentriknya.
"Ngikut aja, Sayang." Aku segera berdiri ketika dia memilih melingkarkan lengan pada pinggangku dan bersandar di bahu sepanjang perjalanan melintasi deret pertokoan.
Malu? Enggak. Buat apa? Yang penting dibayar.
Katanya, sih, "Lingga selalu wangi. Pakai parfum apa?"
Aku sendiri masih geli dengan kalimat manjanya. Sama seperti pelanggan yang lain, merasa asing. Cuma sudah enggak ragu lagi ketika harus memberanikan tangan merangkul bahunya. Sudah jadi bagian dari pekerjaan yang wajib dilakukan.
"Memang mau beliin kalau dikasih tau?"
Si tante mengangguk. Sesekali jemariku menyisir helai rambutnya yang kali ini berwarna, "Dark magenta?"
"Orchid, Lingga!"
"Oh? Mirip, sih."
Manja. Kayak sepasang kekasih, tapi bukan. Terkadang penasaran, apa sebab mereka yang katanya kaya sebagai patokan bahagia buat sebagian besar kalanganku justru perlu membayar untuk tawa palsu?
Entahlah.
Peduli amat sama tatapan aneh tiap orang yang sesekali terlihat melirikku. Sudah kebal. Anggap aja orang lain cuma makhluk halus numpang lewat.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi, Tan."
Pengen bilang setan sambil ketawa. Suaranya yang manja di dekat daun telinga bikin aku merinding geli. Bukan karena terangsang napasnya menyentuh kulit, tapi jijik.
Langkah kami sempat berhenti saat si tante menerima panggilan dari ponselnya. Basa-basi yang terdengar cenderung basi buatku. Ucapan manja yang sama berputar pada lokasi keberadaan dan makanan.
Enggak ada bahasan lain?
"Bawa pulang aja, mau?" tawarnya setelah memasukkan ponsel dalam tas tangan mahal dari kulit yang harganya mungkin dua atau tiga kali lipat dari tarifku sekali jalan.
"Boleh?"
"Lingga sukanya makanan apa?"
Pernah diajakin makan sushi, tapi amis. Pernah juga makan kimchi, asem kayak basi. Makan steak malah dapetnya enggak mateng.
Udahlah, lidah lokal aja macem lalapan. Seger. Kalau enggak nemu yah ayam goreng tepung lagi.
Ini namanya cari bahan pembicaraan aja sepanjang melintasi pertokoan dalam mal yang kami sambangi. Ujung-ujungnya milih fast food. Apalagi kalau enggak ayam goreng. Lagi enggak pengin makanan aneh-aneh yang kadang bikin nahan muntah.
Setelah puas berkeliling dan memamerkanku pada teman-teman arisan si tante, kami berpisah di area parkir dengan banyak tas belanja di tangan, termasuk bayaran lunas. Kebayang aja gimana arisan di ruang indoor dan tertutup.
Ternyata bayaranku ditambah pada sesi menggoda para wanita dewasa yang histeris saat kaus dibuka. Disuruh berlagak kayak peragaan busana tanpa atasan, menunjukkan setiap padatan yang mereka sebut otot. Lalu di-grepe-grepe sepanjang dada, bahkan pada bagian yang masih tertutup celana.
Gimana kalau buka semuanya?
Aku sering ditawarin Nyonya buat melayani gairah dengan bayaran tujuh digit nol, tapi ogah. Ketemu peluk cium aja ngerasa aneh, apalagi kalau sampai main kuda-kudaan.
Pelanggan ini emang royal banget. Tas belanja juga udah banyak, dari baju sampai makanan ada. Enggak bawa kendaraan aja lagi. Akhirnya pesan ojek online.
"Aksa!"
Langkahku berhenti seketika. Suara yang memanggil terdengar familier, tapi ada yang kenal, ya?
Syukur manggilnya pas sudah jauh dari si tante genit. Kalau pelanggan yang itu tahu nama asliku, mungkin bakal nambah lagi daftar cewek rese dalam catatan.
Nama asli pekerja sepertiku harus dirahasiakan. Siapa tahu dapet pelanggan gila yang ngejar sampai perkarain ke ranah hukum atau mungkin main santet.
Pas berbalik mencari asal suara, si cowok sipit yang menghampiri. Dia enggak canggung menepuk pundakku.
"Bas?"
Seingatku namanya Nabastala. Lebih tinggi dariku. Kalau enggak salah, ya. Kelasnya di sekolah itu dari ujung ke ujung kalau menuju kelasku.
Nabastala bertanya lebih dulu, "Lagi ngapain?"
"Abis beli makan. Lo?" Kunaikkan salah satu tas belanja sampai ke depan wajahnya. Wangi ayam goreng dari franchise emang beda sama pinggir jalan, tapi harganya enggak ngenyangin.
"Nyariin Kea. Ngajak ketemuan, doi."
Aku mengangguk, mengerti. Ah, ternyata sudah punya pacar. Dia menepuk pundak lagi sebelum berpamitan dan lebih dulu pergi menuju pintu pembatas parkiran dan mal.
Cowok itu pernah ngelaporin senior kelas yang mukulin aku di area sekolah. Intinya, jadi saksi. Yah gimana? Aku dikeroyok, jelas aja babak belur.
Masalahnya sederhana. Cowok cool banyak yang naksir. Itu sih kata Sara. Padahal aku udah diem-diem aja di sekolah. Enggak cari masalah. Enggak cari keributan. Enggak cari teman, apalagi musuh.
Nyonya bilang, "Gue sekolahin lo di situ biar dapet ijazah. Bukan ngerusakin aset."
Aset?
Rasanya mengingat tubuhku adalah aset menguntungkan, bukanlah hal menyenangkan. Yah, biarpun enggak diajak tidur. Aku cukup mahal, kok. Malah takut kalau dipakai naik ranjang malah bikin turun pasaran. Enggak punya pengalaman.
***
"Aksa! Gue bawain cucian lo!"
Lagi sit up, malah direcokin. Desah kasar lolos dari bibir karena terpaksa harus bangun. Padahal tinggal empat hitungan lagi nyampe lima puluh. Nanggung.
"Masuk!" Pintu kubuka, ngebiarin cewek rese itu menyelisik ruangan.
Bisa kulihat Sara berusaha ngangkat keranjang berisi pakaian dalam lipatan yang rapi sampai ngebungkuk.
Berat kali, ya.
"Nih! Bersih, rapi, dan wangi. Lain kali kalau bisa yah bayar. Kontan."
Aku mendekat hingga wajahnya tepat berada di bawah daguku. Kali dia ngabur abis cium bau keringat. "Bayar pakai apaan?"
"Itu ... lo kan ...."
Aku enggak ngebalas perkataannya ketika memindahkan keranjang ke dekat lemari. Cuma ngecek sambil mindahin isinya satu per satu.
Sampai selesai pun, Sara masih terdiam berdiri di samping pintu keluar.
"Nunggu apa lagi?"
Netra lebarnya seolah membulat sempurna ketika aku mendekat. Dia mundur. Punggungnya menabrak dinding di samping pintu keluar yang terbuka.
"Lain kali pa-pakai baju se-sebelum bukain pintu."
"Enggak boleh? Ini kan kamar gue." Aku menumpu kedua tangan pada dinding di sisi Sara.
Bisa kulihat dia mengerjap beberapa kali, bahkan menutup mata saat aku mendekatkan wajah ke sisinya.
"Keluar dari kamar gue. Sekarang. Atau ...."
"A-atau a-pa?" Sara merendahkan suara. Kedua tangannya terlihat mengepal di sisi tubuh saat ujung hidungku menyentuh ujung hidungnya.
"Menurut lo? Gue bisa apa dalam satu ruangan sama lo? Per-gi." Kutekankan kata terakhir hingga Sara membuka mata.
"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja. Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat. Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana. Pede? Enggak. Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan. Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan." Hangover membuatku enggak
"Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya." Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik. Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku. "Sakit, Sayang?" Ih, geli dengernya. Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri. Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang