Share

Perjanjian Bayaran

"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan."

Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri.

"Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?"

Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?"

Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun."

Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga."

Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundung

lagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang lebih mengerikan sadisnya.

Mereka bahkan menungguku melintas di dekat jembatan. Mainnya keroyokan. Dua orang itu yang kuingat menjaga di depan toilet beberapa hari lalu. Sedangkan si pemukul, masih asing.

"Enggak semua yang lo liat itu bener."

"Ini bener?"

Cowok yang baru datang itu, aku kenal. Dia menunjukkan video pertemuanku dengan Sara di belakang gedung. Ciuman hari itu membuatku melotot seketika. Terekam.

Enggak sengaja berdecak, merasa salah langkah. Sayangnya mereka salah mengambil tempat. Kalau di luar sekolah, jelas bebas aturan.

Ketika mereka menjatuhkanku di permukaan tanah dan berusaha menginjak, aku justru berhasil menjatuhkan dua orang sekaligus untuk memberi jarak saat menyingkir. Turun ke sisi sungai yang lebih curam.

Mereka enggak berhenti mengejar hingga terjebak di sisi jembatan.

"Lo enggak bakal bisa lari."

"Gue enggak bakal lari. Tenang aja."

Aku melemaskan pergelangan tangan dan leher sejenak, menunggu mereka maju dan menyelesaikan pertarungan.

***

"Aksa!"

Panggilan gadis itu membuatku harus mendongak dari sisi sungai di bawah jembatan. Seolah bertanya "Apa?" tanpa suara. Hanya gerak bibir tanpa melepas injakan pada beberapa preman berseragam di bawah kaki.

Bisa dibilang, aku bosan berlagak kalah. Seragam mereka sama denganku, tapi perilaku mereka lebih mirip orang enggak berpendidikan yang menggunakan kekerasan.

Gadis itu–Sara–menuruni tepian sungai yang agak curam tanpa meninggalkan payung dalam pegangan.

Dia terengah di tengah lebatnya hujan yang turun, membuatku bertanya, "Ngapain lo ke sini?"

"Lo enggak apa-apa?" Tatapannya menyipit, berkaca. Sara berusaha mendekat, memayungiku setelah mampu turun ke sisi sungai.

Dia selalu mengeluarkan tisu dari tasnya setiap menemuiku dalam keadaan yang sama. Berdarah.

"Diapain lagi?"

"Siapa nyuruh lo dateng?"

Sara tercengang saat kutepis tisu dari tangannya yang mencapai sudut bibir. Berlagak enggak butuh dan menghindar pergi.

Sempat berbalik hanya untuk mengeluh, "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa harus gue?"

Sara menunduk, memainkan ujung sepatunya di genangan.

"Jawab gue!"

Kebisuannya membuatku butuh pelampiasan. Rasanya memukuli anak-anak manja yang berlagak sok jago belum juga cukup. Aku mengabaikan Sara dengan melangkah cepat menuju jalan setapak.

"Aksa!"

"Apa lagi?"

Aku berbalik, menatap dirinya yang berhenti mengejar setelah susah payah mengikuti.

"Berapa bayaran lo buat satu malam?"

Sial! Ngapain dia ngebahas di ruang terbuka?

Langkahku terhenti seketika. "Kenapa? Segitu pengennya lo ngerasain permainan gue?"

Aku kembali, menatap dirinya dari ujung sepatu hingga puncak kepalanya seolah menyelidik. "Buat apa? Nunjukkin ke orang-orang kalau lo hebat gitu? Ke mana otak lo? Harga diri lo?"

Sara maju selangkah, menghadapi aku yang berusaha terlihat kuat dengan bersedekap. Nyatanya aku hanya melindungi diri.

"Ngebayar gue buat semalam?" Aku menertawakan idenya.

"Aksa! Kalau memang cuma itu caranya buat bisa dekat sama elo. Kasih tau gue!"

Sara terus mengajak berdebat di tengah hujan. Payungnya entah terbang ke mana, sedangkan siswa yang sempat mengeroyokku sudah enggak sadar di pinggiran sungai.

"Enggak tau gue." Aku mengangkat kedua tangan tanda menyerah sebelum melangkah pergi. "Gue enggak tahu lagi gimana biar lo enggak ngerusak diri lo sendiri, Ra!" Bahkan genangan air pun kutendang kuat-kuat.

Langkah sepatu Sara terdengar mengejar, menyingkirkan tiap genangan yang terbentuk.

Seketika aku bergeming, terdiam karena jemari yang bertemu di perut. Sara menyandarkan diri lagi di punggungku.

"Apa nyaman aja enggak cukup? Berapa yang harus gue bayar biar elo peduli? Gue cuma mau sama elo, Sa."

Pertanyaan Sara benar-benar membuatku berhenti. Bukan hanya untuk menjauh, tapi mempertimbangkan permintaan Nyonya.

Kusentuh tiap jemarinya. Bukan lagi dilepaskan, tetapi mencari sela untuk diisi.

Perlahan kuberi jarak untuk berbalik, meraih wajahnya ketika bertanya, "Lo punya berapa banyak?" Mungkin untuk melampiaskan pada hal lain selain memukul.

Kali aku bisa mencoba kali ini.

Sara mengikuti ketika kutarik genggamannya menuju si belalang yang tergeletak di pinggir jalan akibat para siswa berperilaku preman sebelumnya.

Aku enggak ngerti gimana dia menemukanku. Enggak juga ngerti kenapa harus menanggapi tawarannya.

Yang kutahu, dengannya, aku bisa mendapatkan jumlah yang cukup untuk bisa bertemu Abah tanpa harus merasa terpaksa melakukan hal mengerikan.

***

"Lo perlu sebanyak ini buat apa, Sa?" tanya Sara setelah keluar dari kotak kaca dan memperlihatkan isi tasnya padaku.

"Bukan urusan lo." Aku yang menunggunya di bawah sisa gerimis penghujan, kembali menyalakan mesin motor, menunggu dirinya naik ke jok belakang sambil menurunkan kaca helm.

"Sa! Enggak mungkin kalau bukan hal penting terus lo nyerah segampang itu buat nolak gue!" Teriakan Sara terdengar meski angin yang kami lalui karena kecepatan kendaraanku sangat kencang.

"It just a business, Ra. Lo cuma minta pelayanan gue, bukan urusan gue." Kuhentikan si roda dua di pinggir jalan. Dadakan, tanpa peduli risiko yang menerpa ketika terdengar klakson berulang di belakang. "Sebut aja. Lo mau di mana?"

Dari kaca spion, bisa kulihat sosok di belakangku memegangi pertengahan dadanya yang bergerak naik turun. Hujan ternyata memperjelas warna dan bentuk lapisan di balik seragam putihnya.

Ya, aku melihatnya, terpaku dengan sorot mata Sara yang juga memperhatikanku dari kedalaman pantulan kaca.

"Rumah gue," katanya.

Spontan aku berseru, "Gila! Lo enggak mikir bakal dilaporin sama anak kos?"

"Gue udah bayar. Lo ngikutin doang, kan?"

Pernyataan Sara di akhir langsung ngebungkam segala alibi yang terpikir buat ngehindar. Aku bahkan urung berpikir bakal ngasih dia jaket kalau aku bawa.

Aku pun sama. Basah setelah hujan. Menggigil karena angin.

"Ah, oke." Hanya itu yang akhirnya lolos dari bibir sampai si belalang berhenti di area parkir kos.

Sara memberi isyarat telunjuk, memintaku menunggu sampai dia memanggil.

Kulepaskan helm yang menutupi keseluruhan wajah dan meletakkannya di spion sambil mengusap air muka yang sudah dingin. Entah karena angin atau ketegangan yang mulai merayap di permukaan kulit.

Waktu seolah berjalan sangat lambat sampai panggilan itu kuterima. Sara melambaikan tangan dari balik pintu kacanya.

Seperti maling yang takut kepergok, hilang gaya sok cuek saat bergegas melewati pintu yang terbuka.

Bibirku mendesis, sempat embuskan napas kuat-kuat setelah menutup pintu rumah dari dalam.

Di mana Sara?

Kulirik sekeliling, melihat ruang yang didominasi perabotan kayu hitam mengilap. Pertama ke sini dulu saat mengambil kunci kamar kos yang kusewa dan bertemu gadis yang ternyata membuatku sempat berada dalam masalah karena menolongnya menghindari kejaran wartawan.

Skandal produser? Begitu sih yang sempat kudengar. Gak heran sama tampilannya yang cenderung terbuka setiap bertemu. Siapa yang bakal mikir dia naik pamor tanpa gosip negatif?

Sara muncul dari koridor dapur, melewatiku sebelum naik tangga.

Sesaat, keraguan kembali datang. Antara lambaian uang yang sudah siap sedia dan moral menggantung di kepala.

Semacam, lo mau rusak ya rusak aja, tapi jangan bawa-bawa gue.

"Aksa?" Sara memanggil sambil menggerakkan kepalanya ke atas. Kulihat tangannya penuh dengan botol dan camilan.

"I'm coming." Kusamarkan getar dalam intonasi suara yang menebal dan itu sukses bikin Sara tergelak.

Lucu juga caranya tertawa, tersendat-sendat sampai tersedak.

"Tulah, ngetawain orang tua." Kutepuk punggung Sara sebentar, lalu mengambil alih barang-barang dari tangannya.

"Bener, lo tua," sela Sara. Dia tampak mengusap ujung hidungnya yang terlihat kemerahan.

"Rese."

"Apa lo bilang?" Pelototan dari mata lebarnya justru mengundang kekehan di bibirku. Kedua tangannya berkacak pinggang disertai dengkusan.

"Kagak." Kulanjutkan langkah melewatinya hingga mencapai anak tangga teratas lebih dulu. "Di mana kamar lo?"

Sara membuka salah satu pintu di ujung koridor, dekat dengan balkon menghadap jalan raya. Dia membiarkan aku masuk lebih dulu dan meletakkan barang di tangan ke atas meja belajarnya.

Buku-buku tersusun rapi dalam satu tingkatan tanpa rak, bersandar di dinding yang berhias grid dengan lampu-lampu mini bersusun membentuk namanya.

Foto-foto yang menempel di sana sekilas membuatku iri. Pertemanan dan keluarga yang lengkap. Dia terlihat punya segalanya. Belum termasuk ... foto-fotoku? Kapan dia ....

"Liat apa, Sa?" Sara turut menopang diri, berpegang pada pinggiran meja sepertiku. Dia tampak mengikuti arah pandangku sebelumnya. "Percayalah. Apa yang lo liat enggak kayak kenyataan."

"Oh, ya?" Kupegangi pinggang Sara, membalik tubuhnya menghadapiku.

Jemari ini bergerak kaku saat harus menarik dagunya naik. Seperti bukan aku biasanya yang bisa menaklukkan pelanggan wanita.

Kedalaman binarnya memantulkan citra wajahku. Seakan terbangun harap di sana, dan aku tenggelam.

"Lo ... enggak ganti dulu?" Aku tergagap, refleks mundur melepaskannya.

Aku juga sadar kalau kami membawa tetesan air masuk dalam rumah yang sepi. Di mana orang tua Sara?

Sara justru melekat padaku, mengalungkan lengannya. "Mau bukain?"

Ya Tuhan!

Apa ini yang disebut terhipnotis?

Aku susah payah menelan saliva di kerongkongan. Rasanya tersekat. Gak ada pilihan untuk berpaling ketika Sara mendekat. Bukan untuk menyapu bibirku, melainkan menyapa pinggiran daun telingaku menggunakan indra pengecapnya yang basah.

Rambut halus di sepanjang lenganku spontan menegak, termasuk yang di dalam.

Tanpa diperintah, tanpa komando. Kutarik kedua kaki Sara melingkari pinggangku, menaikkan dirinya ke atas meja sambil membelai indra pengecapnya yang telah lancang tadi dengan isapan kuat.

Sara balas lakukan hal yang sama. Jemarinya terasa menekan turun kepalaku.

Aroma di sepanjang permukaan lehernya seperti minuman anggur berpadu hujan. Manis dicecap.

Semakin turun bertemu dengan kancing seragamnya, aku menyadari sesuatu.

"Lo yakin enggak pa-pa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status