Share

Fitnah untuk Tumanggala

KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna.

Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala.

Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah.

“Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat.

“Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim.

Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah.

“Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib.

“Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan segera mengering dalam beberapa hari,” sahut tabib.

Arya Lembana tampak manggut-manggut. Sepasang matanya menatap luka yang tengah diborehi ramuan obat. Besar sekali luka itu. Melintang panjang dari bawah ketiak kiri hingga ke atas perut bagian kanan.

Untung saja sayatan tersebut tidak terlalu dalam. Sehingga luka yang tercipta tak sampai menampakkan tulang dada. Apalagi membuat usus mengintip keluar dari luka di bagian atas perut.

“Jika kau sudah selesai, aku ingin berbicara empat mata dengan prajurit ini,” ujar Arya Lembana pada tabib kemudian.

Yang diajak bicara anggukkan kepala dalam-dalam.

“Baik, Gusti,” sahutnya.

Setelah memberi borehan sekali lagi, tabib tersebut langsung menyingkir. Keluar dari dalam ruang pengobatan setelah sebelumnya memberi penghormatan pada Arya Lembana.

“Kau sudah tidak merasa kesakitan, bukan?” tanya sang senopati setelah tinggal berdua dengan Triguna.

“Tidak, Gusti. Hanya terasa nyeri sedikit, tapi saya baik-baik saja,” sahut Triguna.

“Bagus!” sergah Arya Lembana. “Sekarang coba kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi siang kemarin.”

Triguna tampak menelan ludah sesaat. Rasa ngeri seketika kembali merayapi dirinya. Teringat betapa tegang dirinya ketika mengetahui tengah berhadapan dengan gerombolan begal paling ditakuti di wilayah barat Kerajaan Panjalu.

Setelah mengatur napas beberapa kejap, prajurit tersebut menceritakan peristiwa kemarin. Dimulai dari saat mereka tiba di hutan kaki Gunung Pawinihan, lalu berhenti karena ada pohon tumbang di tengah jalan.

Kemudian disusul kemunculan gerombolan Begal Alas Wengker yang menginginkan barang bawaan mereka. Dan diakhiri dengan pertempuran yang memakan korban seluruh anggota rombongan. Kecuali dirinya, Tumanggala, dan sais gerobak.

“Apakah kau menangkap ada hal-hal yang menurutmu mencurigakan sebelum kejadian tersebut?” tanya Arya Lembana setelah Triguna menyelesaikan ceritanya.

Yang ditanya tampak berpikir sejenak. Sebenarnya di dalam hati Triguna ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia sampaikan saja apa yang membuatnya kesal pada Tumanggala kemarin?

“Sebelumnya saya mohon ampun, Gusti. Mana tahu dugaan saya ini salah,” ujar Triguna setelah memantapkan hati.

“Tidak apa-apa. Katakan saja,” sahut Arya Lembana seraya congkakkan kepala.

“Saat kami hendak meninggalkan Wurawan, Ki Bekel Jayapati sudah menyiapkan pasukan pengawal berkekuatan dua lusin prajurit. Namun, Tumanggala kemudian mengusulkan agar jumlah tersebut dikurangi menjadi separuhnya saja ....”

“Hmm, kenapa begitu?” tukas Arya Lembana dengan raut muka keheranan.

“Tumanggala beralasan jumlah pasukan yang terlalu banyak akan membuat rombongan terlihat mencolok. Karena jelas-jelas menunjukkan rombongan tengah mengawal barang-barang berharga. Ia khawatir hal tersebut menarik perhatian para penjahat,” jelas Triguna.

“Dan yang membuat saya heran, Ki Bekel Jayapati menyetujui usulan tersebut. Sehingga akhirnya kami berangkat hanya dengan sebelas prajurit dan seorang sais. Jumlah anggota rombongan keseluruhannya tiga belas orang bersama Ki Bekel,” tambahnya.

Arya Lembana menarik napas panjang. Pelipisnya tampak bergerak-gerak.

“Hmm, tiga belas,” ulang sang senopati mendesis. “Jumlah itu saja sudah merupakan satu pertanda buruk.”

Tanpa sadar Triguna anggukkan kepala menyetujui. Angka tiga belas memang dikenal sebagai angka pembawa sial. Menandakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Juga merupakan angka kematian.

“Itulah, Gusti. Saya juga heran mengapa Ki Bekel setuju saja dengan usulan Tumanggala tersebut,” timpal Triguna.

“Aku dapat memaklumi alasan Tumanggala tersebut,” ujar Arya Lembana.

Ucapan tersebut bukan bermaksud membela Tumanggala. Sang senopati hanya tak mau terpancing untuk buru-buru menaruh syak pada pasukannya sendiri.

“Apakah ada hal lain lagi yang menurutmu layak dicurigai?” tanya Arya Lembana lagi.

“Ada, Gusti,” sahut Triguna cepat. “Saya juga masih bertanya-tanya, apa kiranya yang menjadi alasan Tumanggala mengusulkan agar kami lewat jalan pintas yang kemudian muncul para begal itu ....”

“Dan lagi-lagi Jayapati menyetujui usulannya itu?” tukas Arya Lembana bertanya.

Triguna mengangguk.

“Benar sekali, Gusti. Ki Bekel menyetujuinya,” jawab si prajurit. “Dengan alasan kami dapat menyingkat waktu perjalanan dibanding lewat Hasin.”

Arya Lembana mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Otaknya segera berputar, mencerna keterangan yang diberikan prajurit di hadapannya tersebut.

Namun sang senopati belum dapat mengambil kesimpulan. Seperti dikatakan Triguna sendiri, dugaan itu bisa saja salah. Meski layak dilakukan penyelidikan lebih lanjut, tapi mungkin saja rangkaian peristiwa tersebut tidak saling terkait.

Masih butuh petunjuk serta gelagat lain yang lebih meyakinkan, untuk sampai pada kesimpulan bahwa memang terdapat persekongkolan jahat. Persekongkolan yang mencelakakan rombongan Ki Bekel Jayapati, dan menyebabkan upeti bagi Sri Maharaja Jayabhaya dibegal di tengah jalan.

“Baiklah, terima kasih atas keteranganmu, Prajurit. Kau boleh kembali beristirahat,” ujar Arya Lembana kemudian.

Usai berkata begitu senopati Panjalu tersebut keluar dari ruang pengobatan. Triguna buru-buru memberi menghaturkan sembah, walau dalam keadaan terbaring di atas pembaringan.

Begitu tubuh Arya Lembana menghilang di balik pintu, wajah Triguna kembangkan seringai lebar. Kepalanya kemudian mendongak. Pandangan matanya menerawang ke arah langit-langit ruangan.

"Sekarang rasakan olehmu, Tumanggala," desisnya. "Sudah empat warsa aku pendam rasa sakit ini. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!"

Sementara itu, dengan dikawal dua prajurit Arya Lembana menuju ke ruangan di mana Tumanggala berada. Keterangan Triguna tadi harus dicocokkan dengan pengakuan Tumanggala sendiri.

“Saya mengusulkan demikian untuk kebaikan perjalanan kami sendiri, Gusti. Sama sekali tidak ada maksud lain,” kata Tumanggala setelah Arya Lembana menanyainya mengenai usulan-usulan yang diberikan prajurit tersebut pada Ki Bekel Jayapati.

“Apakah kau pernah melewati jalur itu sebelumnya?” tanya Arya Lembana.

Tumanggala mengangguk.

“Beberapa kali saya melewati jalur tersebut ketika mendapat penugasan ke Wurawan maupun Wengker,” jawabnya.

Arya Lembana angkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Satu dugaan seketika menyeruak di dalam benak sang senopati.

“Artinya, aku sudah sangat mengenali jalur tersebut, Tumanggala?” tanyanya.

Ditanya begitu Tumanggala terkesiap. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak enak dari cara senopati tersebut mengajukan pertanyaan.

“Ma-maaf, Gusti, saya tidak paham apa maksud pertanyaan Gusti,” ujar si prajurit kebingungan.

Terdengar helaan napas panjang dari Arya Lembana. Senopati Panjalu tersebut arahkan pandangannya pada Tumanggala dengan mata tajam berkilat-kilat. Berusaha menangkap adakah sinar kepalsuan yang terpancar dari manik mata prajurit tersebut.

“Kau sudah beberapa kali melewati jalur tersebut. Artinya, kau tentu juga tahu jika ada gerombolan begal yang berkeliaran di tempat tersebut,” ujar Arya Lembana menjelaskan maksudnya.

Tumanggala sontak menggeleng.

“Mohon maaf, Gusti. Kalau mengenai hal itu saya sama sekali tidak menyangka. Selama melewati jalur tersebut saya tidak pernah bertemu ataupun diadang begal,” sahutnya.

“Hmm, begitu?” tanya Arya Lembana. Nada bicaranya terdengar meragu.

Tak ada jawaban. Tumanggala bingung harus berkata apa.

“Lalu, dapatkah kau jelaskan mengapa dari seluruh anggota rombongan hanya dirimu yang tidak mengalami luka?” tanya Arya Lembana lagi.

Tumanggala terhenyak. Kali ini pertanyaan senopati tersebut jelas-jelas berusaha menyudutkan dirinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status