HUTAN yang semula sunyi senyap itu mendadak berubah riuh. Diawali oleh suara bentakan-bentakan marah, lalu disusul kerasnya dentrangan senjata nan nyaring. Gemeletak kayu atap pondok yang mulai terbakar api turut terdengar samar-samar.
Pertempuran bersenjata antara dua begal melawan tiga prajurit Panjalu pecah. Kedua kubu saling bertukar serangan, saling mengancam. Senjata di tangan masing-masing bergantian berkelebat mencari mangsa.
"Hiaaattt!"
Sring! Sring!
Trang! Trang!
Dalam suasana yang berubah panik dan mencekam seperti itu, kembali keluar beberapa orang begal dari dalam pondok. Wajah mereka langsung berubah tegang begitu menyadari pondok terbakar hebat. Juga melihat pertarungan yang tengah berlangsung di halaman depan.
Salah seorang dari begal yang baru keluar itu sangat dikenali oleh Tumanggala. Membuat wajah prajurit tersebut kelam membesi begitu melihatnya. Tak lain tak bukan, itulah dia Ranasura sang gembong Begal Alas Wengk
BEGITU sampai di muka pondok, Wipaksa tampak tercenung sejenak. Lurah prajurit tersebut seketika menjadi bingung sendiri. Haruskah pengejaran diteruskan hingga masuk ke dalam bangunan kayu yang tengah dilamun api itu?Tadi Wipaksa jelas-jelas melihat Ranasura masuk ke dalam pondok. Namun, dirinya merasa tak yakin untuk menyusul masuk. Bunuh diri namanya jika ia nekat masuk ke dalam pondok yang terbakar hebat begitu rupa.Api sudah melalap habis lebih dari separuh dinding pondok. Hawa panas bahkan dapat dirasakan Wipaksa dalam jarak beberapa depa. Membuat kulitnya perih dan panas di saat yang sama. Karena itu tanpa sadar ia menyurutkan kakinya beberapa langkah ke belakang."Di mana dia? Lelaki keparat itu tidak mungkin terus-terusan berada di dalam pondok yang segera hangus terbakar ini. Kecuali dia mau jadi mayat gosong!" desis Wipaksa.Meski hanya berupa gumamam, ucapan itu agaknya ditujukan pada Tumanggala dan seorang prajurit lain yang sedari tadi meng
TUMANGGALA langsung mengempos kemampuan lari cepatnya. Tubuhnya melesat laksana kilat ,mendahului rekan-rekannya yang lain. Tahu-tahu saja prajurit muda itu sudah berada sangat dekat di belakang Ranasura dan anak buahnya. Mengetahui hal itu Ranasura jadi menggerendeng panjang pendek. Sekali lagi tangannya bergerak mengambil sesuatu dari balik angkin di pinggang. Kemudian tangan itu dikibaskan ke belakang, berniat melepas beberapa bilah pisau kecil beracun. Tapi belum lagi senjata rahasia mengandung racun ganas itu terlepas dari tangan Ranasura .... "Hiaaaatt!" Diiringi satu teriakan keras Tumanggala mendahului bergerak. Sekali kaki prajurit Panjalu itu mengentak tanah, tubuhnya seketika mencelat tinggi di udara. Laksana sebatang anak panah terlepas dari busur. Sembari berjumpalitan beberapa kali, tangan sang prajurit berkelebat cepat. Menyabetkan pedang di tangan ke arah Ranasura yang berada di bawahnya. Sring! Sring! Suara ber
DISERANG dari jarak dekat begitu rupa, Tumanggala tak punya pilihan lain kecuali melakukan tangkisan. Maka pedangnya pun disabetkan ke depan, menyongsong datangnya sambaran golok besar milik Ranasura. Tranggg! Suara berdentrang keras membelah udara. Kening Tumanggala yang diperciki keringat tampak mengernyit. Prajurit tersebut merasakan sekujur tangannya, mulai dari ujung jari hingga ujung siku, bergetar hebat dan mati rasa untuk sesaat. "Sial! Begal keparat ini memiliki kemampuan di atas diriku," maki Tumanggala dalam hati. Segera saja Tumanggala teringat pada pertempuran mereka sebelumnya. Ketika itu sang prajurit Panjalu harus mengakui keunggulan Ranasura. Hanya dalam beberapa jurus pedangnya dibuat mental, dan dadanya kena tendang bertubi-tubi. Namun sang prajurit tak mau mengalami nasib serupa kali ini. Ia tak boleh kalah lagi. Ia harus memberi pembuktian pada Senopati Arya Lembana bahwa dirinya tidak bersalah. Bahwa dirinya tidak berkomp
MELIHAT Ranasura terengah-engah mengatur napas, Tumanggala sunggingkan seringai. Sembari melangkah mendekati lawan, pedang di tangannya dibolang-balingkan sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan suara berkesiuran menggidikkan bulu roma.Ranasura menggeram marah. Setelah meludah ke tanah untuk melampiaskan kekesalan, pemimpin Begal Alas Wengker itu bergerak hendak bangkit berdiri. Namun saat itu pula wajahnya mengernyit kesakitan. Gerakannya sontak berhenti."Keparat! Kenapa dadaku terasa sangat sakit sekali?" tanyanya di dalam hati. Napasnya terdengar semakin engap-engap.Rasa sesak yang dialami Ranasura bukan semata-mata akibat tendangan Tumanggala. Yang membuat keadaan gembong begal itu lebih parah adalah jantungnya berdegup lebih kencang akibat menahan kantuk.Alih-alih tidur seperti kebiasaannya, pada pagi hari itu Ranasura justru harus mengerahkan banyak tenaga untuk bertarung. Gabungan kedua hal tersebut memaksa jantungnya bekerja lebih keras da
TEPAT saat matahari sepenggalah, Wipaksa membawa pasukan kecilnya meninggalkan sarang begal Begal Alas Wengker. Dua pondok kayu milik para begal sudah habis, tinggal abu dan onggokan-onggokan arang menghitam yang berserakan di tanah. Sedangkan seluruh begal yang berada di tempat tersebut dihabisi oleh para prajurit Kerajaan Panjalu. Mereka sebelumnya diberi kesempatan menyerah, namun tak seorang pun yang mau ditangkap dan dibawa ke Kotaraja. Alih-alih menyerah, para begal justru terus berusaha melawan. Merek terus mencari-cari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh para prajurit Panjalu yang mengepung mereka. Akhirnya, dengan seizin Wipaksa para begal itu pun dihabisi tanpa ampun. Beruntung sebelum dihabisi, salah seorang begal mau buka suara terkait tempat gerobak upeti disembunyikan. Wipaksa memerintahkan lima prajurit untuk mencari ke tempat yang disebutkan. Gerobak upeti tersebut benar ada di sana. "Bawa kepala Ranasura. Kau harus menunjukkannya
TEPAT pada saat matahari senja bersiap tenggelam di balik ufuk barat, Kridapala dan pasukannya tiba di Kotaraja. Pasukan berkekuatan tiga lusin prajurit itu bergerak ke sisi utara Dahanapura. Kridapala ingin langsung menghadap Senopati Arya Lembana di kediamannya. Begitu melintasi gerbang Kotaraja, Kridapala dan Wipaksa saling pandang. Dan seolah sudah sepakat, keduanya lantas sama-sama melirik ke arah Tumanggala. Bungkusan berisi kepala Ranasura tergantung di leher kuda yang ditunggangi prajurit tersebut. "Prajurit malang. Dia tidak tahu nasib buruk apa yang tengah menyambutnya dalam beberapa saat lagi," batin Kridpala sembari menatap wajah Tumanggala diam-diam. Seulas seringai tipis terkembang di wajahnya. Usai membatin demikian, dalam benak Kridapala tahu-tahu saja kembali terbayang sesosok wajah ayu. Sontak sang bekel menghela napas panjang, sembari memejamkan kedua matanya. Mengenangkan kembali masa-masa indah yang pernah ia lalui bersama pemilik wajah a
GEROBAK berisi upeti yang dirampas Begal Alas Wengker merupakan milik Baginda Raja. Upeti itu dikirim oleh penguasa Wurawan sebagai tanda setia pada Panjalu. Kembali ditemukannya upeti tersebut merupakan satu hal yang bakal sangat menyenangkan hati Sang Prabu. Di pelupuk mata Arya Lembana seketika terbayang, penghargaan seperti apa yang bakal diberikan oleh Sang Prabu padanya atas keberhasilan menemukan upeti tersebut. Belum lagi berbagai macam harta benda yang akan diterimanya sebagai hadiah. Sembari terus mengulum senyum, di dalam hatinya Arya Lembana mulai menyusun cerita yang hendak ia jadikan sebagai laporan pada Sang Prabu. Pada saat itulah sang senopati tiba-tiba saja teringat pada Tumanggala. "Lalu, apa yang dilakukan oleh prajurit bernama Tumanggala itu terhadap Ranasura?" tanya Arya Lembana kemudian. Kridapala melirik ke arah Wipaksa, memberi isyarat agar lurah prajurit tersebut yang memberi jawaban. Yang diberi isyarat segera menangkap maks
SEMENTARA itu, Senopati Arya Lembana yang masih berdiri di tempatnya berteriak memberi perintah. Suara lelaki tersebut terdengar menggelegar bak petir di siang bolong."Panggil prajurit bernama Tumanggala itu kemari!"Dua prajurit jaga langsung membungkuk hormat dan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Berselang beberapa saat, keduanya kembali dengan mengapit Tumanggala yang menenteng bungkusan kain berisi kepala Ranasura.Tumanggala diantar kedua prajurit jaga hingga berdiri beberapa langkah di hadapan Arya Lembana. Begitu berhadap-hadapan dengan sang senopati, prajurit tersebut menghaturkan sikap menghormat."Saya datang memenuhi panggilan, Gusti Senopati," ujarnya sembari membungkukkan badan dan menundukkan kepala.Arya Lembana tak menanggapi. Tatapan mata sang senopati tertuju pada bungkusan kain berbau anyir darah yang ditenteng Tumanggala."Apa yang kau bawa itu, Prajurit?" tanya sang senopati kemudian.Tumanggala telan ludahny