Hari menjelang sore, aku mondar mandir di depan teras. Suami yang ku tunggu tak kunjung datang. Jangan bilang di pulang ke rumah perempuan jalang itu. Tanganku mengepal menahan amarah.
Aku tak akan memaafkannya, jika malam ini dia kembali bersama perempuan itu. Seharusnya dia juga memikirkan ku. Aku juga hamil, istrinya yang sudah menemaninya selama tujuh tahun. Sedangkan perempuan itu baru menjadi istrinya. Aku yang menemani suamiku berusaha dari nol, dari yang tak punya apa-apa sampai punya jabatan yang sebagus sekarang ini.
Rasanya ini tidak adil, hanya beralasan keturunan dia tega menduakan ku. Lalu sekarang mencoba tak berlaku adil. Padahal aku sudah bersusah payah mencoba untuk ikhlas.
Jika malam ini, dia tak pulang ke rumahku, awas saja. Aku akan kembali menghajar perempuan jalang itu.
Emosiku sudah membuncah, hari sudah menjelang magrib. Tapi mas Yoga belum pulang juga. Aku tak tau harus berbuat apa. Aku belum tau dimana rumah perempuan jalang itu.
Kemana harus kucari mereka. Bathinku sungguh tersiksa. Azan magrib berkumandang, terpaksa aku masuk ke rumah. Menuju kamar mandi, berwudhu lalu sholat. Pikiran ku sedikit lebih tenang seusai menjalankan sembahyang. Ku raih handphone di atas nakas, mencari nomor suamiku. Mencoba menghubunginya. Untung masuk.
"Hallo, maaf ya Riana, mas sekarang di rumah Rindu. Tadi habis belanja kebutuhan dapur Rindu, mas sholat magrib disini. Nanti sehabis makan malam mas balek ke sana, ya?"
"Coba share lokasi rumahnya, aku mau kesana sekarang!"
"Jangan Riana, kamu tunggu di rumah saja sayang?"
"Tidak, pokoknya mas kirim lokasinya. Aku kesana sekarang juga!"
"Kami mau apa kesini?"
"Aku ingin tau rumahnya dimana, itu saja. Keberatan?"
"Ya sudah, mas kirim lokasinya"
Setelah mendapatkan alamatnya, aku segera menyambar kunci mobil. Mengemudikan mobil dengan tergesa, aku sangat marah. Aku yakin perempuan itu sengaja meminta macam-macam pada suamiku agar dia pulang ke rumah nya. Awas saja. Aku akan beri dia pelajaran.
Ketika sampai di lokasi, aku lihat rumah itu. Rumah yang tidak jauh berbeda dengan rumahku. Besar dan juga mewah. Aku segera membunyikan klakson mobil agar dia keluar membukakan pagar.
Kulihat suamiku keluar rumah, membukakan pintu pagar, aku langsung memasukkan mobil ke garasi. Keluar mobil dengan wajah memendam amarah.
"Ayo masuk, ma. Rindu sedang di dapur"
Aku mengikuti langkah suamiku memasuki rumah itu, aku yakin pasti harga rumah ini mahal. Perabotan yang ada di dalamnya juga terlihat mahal. Suamiku sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk perempuan jalang itu. Aku membencinya.
"Eh, mbak Riana, silahkan masuk mbak" Perempuan itu tersenyum penuh kemenangan padaku. Aku yakin sekali pasti dia perempuan licik. Pandai bermain api, sehingga suamiku begitu penurut padanya.
"Untuk belanja urusan dapur, aku tidak pernah meminta bantuan suamiku, lalu kenapa sekarang kamu berani-berani memerintah suamiku seperti ini?"
"Ma, maklum saja lah ma. Kan dia masih baru disini. Dia belum tau kemana harus pergi berbelanja" Suamiku masih mencoba membelanya. Benci sekali mendengarnya.
"Iya, mbak. Kali ini saja. Untuk seterusnya, aku akan belanja sendiri!"
"Kalau kamu merasa bisa pergi sendiri, kenapa tidak di mulai hari ini? Kenapa harus meminta tolong suamiku? Kamu kan tau dia harusnya pulang ke rumahku? Tapi gara-gara kamu, dia akhirnya kesini!"
"Ma, cukup ma. Jangan mulai lagi"
"Diam mas, aku tau tipikal perempuan seperti ini. Menggoda suami orang dia jago, masa belanja sendiri dia tidak bisa?"
"Mbak, jangan sembarangan menuduh ya? Aku bukan penggoda suami orang. Mas Yoga sendiri yang jatuh hati padaku, karena dia tidak puas padamu!"
"Apa kamu bilang? Berani sekali berucap seperti itu. Kamu yang murahan! Menjajakan tubuhmu pada suami orang, dasar perempuan jalang!"
Mas Yoga sangat marah saat aku memarahi istri mudanya. Dia menggenggam erat tanganku lalu menarikku keluar.
"Cukup, ma!Kamu sudah keterlaluan berkata seperti itu pada Rindu!"
"Jadi benar ucapanku? Dia perempuan jalang yang kamu tiduri sebelum kamu nikahi? Apa benar?" Mas yoga terlihat gusar mendengar kata-kataku.
"Kalaupun itu benar, bukan masalah lagi sekarang. Kami sudah menikah secara sah!" Perempuan itu membuka aibnya sendiri.
"Ooo...jadi kamu sengaja mendekati suamiku? Apa yang kamu incar? Harta suamiku? Tidak semudah itu kamu mendapatkannya!"
"Riana, sekarang kamu pulang! Jangan bikin keributan disini!" Mas Yoga mengusirku, rasanya sakit sekali. Dia lebih membela perempuan jalang itu.
"Tidak mas, aku butuh penjelasan dari mu! Apa benar yang dikatakan perempuan itu?" Suamiku hanya diam, aku tau pasti semua yang dikatakan perempuan itu benar. Bukan Mertuaku yang memaksa untuk menikahi perempuan itu, pasti mas Yoga yang tergoda akan rayuan perempuan jalang itu.
Hatiku rasanya sakit, suamiku tega memperlakukan ku seperti ini. Padahal aku selalu siap kapanpun dia minta dilayani. Tapi kenapa? Dia tega bermain api di dalam rumah tangga kami.
"Ya, tentu saja mas Yoga tergoda padaku. Secara aku jauh lebih seksi daripada mbak!" Darahku mendidih mendengar ucapannya. Ku langkahkan kaki dengan cepat, menghampiri perempuan itu. Menarik lengannya dengan sangat kuat. Hingga dia terjatuh tepat di depan suamiku.
Suamiku dengan cepat memeluk tubuh perempuan itu, hatiku tambah sakit melihatnya. Kutarik rambutnya sekuat tenaga. Memukuli wajahnya berulang kali. Mas Yoga yang berusaha menyelamatkan perempuan itu dari amukan ku, tak lepas dari pukulan ku.
Aku menghajar perempuan itu, sekaligus suamiku yang berupaya untuk melindungi tubuh perempuan itu. Berkali-kali ku cakar bagian tubuh perempuan itu yang bisa ku pegang. Mas Yoga benar-benar ku buat kewalahan.
"Cukup, Riani! Kamu jangan bertindak seperti ini, ingat, kamu hamil Rindu juga hamil! Tolong berhentilah Riani!"
Aku tersadar, sekarang aku sedang hamil. Aku takut terjadi apa-apa nantinya dengan kandunganku. Aku terdiam. Ditangan ku ada rambut perempuan itu yang rontok karena ku jambak. Nafas ku naik turun.
Aku sangat benci pada pengkhianatan suamiku, dan juga perempuan itu. Aku tau pasti dia berniat untuk menguasai harta suamiku sehingga mau dijadikan istri kedua.
Perempuan itu menangis terisak. Bajunya robek, ada bekas cakaran ku di tubuhnya. Pasti itu terasa sakit. Tapi semua itu tak sebanding dengan kesakitan yang aku rasakan.
Suamiku memapah perempuan itu memasuki rumah. Aku terdiam terpaku menatap kepergian mereka. Aku belum bisa mengatur emosiku, nafasku masih naik turun. Rasanya aku ingin berlari jauh. Meninggalkan deritaku disini. Tapi aku tak punya kekuatan untuk melakukan itu.
"Riana, masuk!" Mas Yoga memaksaku memasuki rumah perempuan itu lagi. Aku enggan memasukinya. Aku ingin pulang. Tapi suamiku menghampiriku, lalu menarik paksa tanganku.
"Duduk, Riana!" Mas Yoga memaksaku duduk berhadapan dengan perempuan itu.
Dia masih menangis, merapikan rambutnya yang berantakan.
"Ini untuk terakhir kalinya mas biarin kamu menghajar Rindu! Kalau nanti kamu ulangi lagi, mas akan bersikap tegas padamu!"
"Apa mas mengancam ku? Demi perempuan jalang ini?"
"Jangan panggil dia seperti itu! Dia punya nama Riana! Mas sudah muak menghadapi sikap arogan kamu! Ini peringatan terakhir untukmu!"
"Dia yang arogan mas, dia yang licik merayu mu! Dan kamu juga sama saja dengannya, tak punya iman, tergoda karena tubuh perempuan itu!"
"Sudah, cukup. Sekarang kamu pulang! Mas akan pulang nanti, setelah Rindu di obati!"
"Kamu perempuan jalang, jangan berpikir bisa seenaknya padaku, kalau nanti kamu masih banyak berulah. Aku akan kembali menghajar mu!" Ku peringati perempuan itu sebelum aku beranjak pergi.
Terlihat mukanya pucat, aku tau dia takut ancaman ku. Matanya takut-takut memandang ku.
"Dan kamu, mas! Aku tunggu kamu di rumah! Awas saja jika kamu tidak pulang! Aku akan kembali kesini menghajar perempuan tak tau malu ini!"
"Sudah, ma. Pergilah. Pulang!"
Aku melangkahkan kaki keluar rumah, memasuki mobil. Lalu mengendarainya dengan santai. Aku sedikit puas telah menghajar perempuan itu. Walaupun aku sakit hati karena ternyata bukan hanya karena paksaan mertuaku saja dia menikahi perempuan itu. Tapi karena tergoda akan rayuannya.
Aku mulai berpikir, sepertinya perempuan itu punya niat jahat memasuki rumah tangga kami. Aku yakin harta lah incarannya. Suamiku yang punya pekerjaan bagus, dengan gaji pokok melebihi dua puluh juta perbulan di tambah lembur dan bonusnya, pasti banyak yang mengincarnya. Aku harus berhati-hati. Aku tak boleh membiarkan perempuan itu mendapatkan maunya.
Aku harus menyadarkan suamiku, bahwa dia bukanlah perempuan baik-baik. Tapi aku harus mencari tahu tentang perempuan itu. Aku tidak boleh gegabah.
Ku larikan kendaraan menuju rumah mu, sebelum sampai rumah. Aku berhenti membeli martabak manis, perutku rasanya lapar. Aku tak bernafsu makan nasi.
Sesampainya di rumah, ku letakkan kunci mobil dan handphone di atas nakas, duduk di ruang tamu. Menyalakan televisi dan memakan martabak manis yang ku beli tadi.
Aku ingin sedikit melupakan kejadian tadi, sekaligus menunggu kepulangan suamiku. Awas saja kalau dia bohong. Aku akan bertindak lebih jauh lagi.
Suara mobil mas Yoga memasuki bagasi rumah, aku segera membukakan pintu. Akhirnya dia pulang juga.Mas Yoga memasuki rumah, tapi wajahnya seperti memendam kemarahan. Aku tau, mungkin dia marah setelah kejadian tadi."Mas marah padaku?""Iya, mas sangat marah Riana!""Seharusnya aku yang marah, kamu bilang ibu yang memaksa menikahi perempuan itu, nyatanya apa? Semua itu karena kamu tergoda akan rayuannya?""Ya, aku memang tergoda akan rayuannya. Tapi ibu juga merestui pernikahan kami! Karena dia ingin secepatnya punya cucu""Sekarang aku telah hamil, aku bisa memberikan cucu untuk ibu dan anak untukmu, aku mau kamu tinggalkan dia!""Tidak semudah itu Riana, dia juga hamil, di perutnya ada calon anak ku juga!""Lalu mas mau beristri dua selamanya?""Iya, mau bagaimana lagi? Semua ini sudah terlanjur!""Tapi aku tidak sudi hidup seperti ini!"&n
Saat mobil mas Yoga berhenti di klinik kandungan, aku turun dengan enggan. Rasanya malu sekali. Diperlakukan seperti ini.Karena mas Yoga sudah membuat janji, jadi kami tidak terlalu lama menunggu. Suster memanggil nama suamiku, kami sontak berdiri. Masuk ke ruang pemeriksaan. Bertiga, jalan beriringan. Aku tidak tau apa yang dipikirkan oleh suster, yang menatap aneh pada kami."Baik, pak Yoga. Kita periksa dulu. Yang mana yang akan saya periksa?""Keduanya dokter, mereka istriku. Dan sama-sama hamil keduanya""Beruntung sekali pak Yoga, punya istri dua hamil pula keduanya" Dokter tersenyum menatap aku dan perempuan itu. Rasanya malu sekali. Suster yang tadi memanggil nama suamiku, terlihat mengulum senyum.Mereka pasti mentertawakan kami. Ah, ingin rasanya keluar berlari untuk menyembunyikan mukaku. Tapi perempuan itu masih bisa tersenyum bahagia, dasar tidak punya malu.
Ku lajukan kendaraan dengan hati yang penuh dengan kemarahan. Aku tak bisa terima perlakuan mas Yoga. Dia sudah berani mengambil tabunganku sendiri demi memenuhi keinginan perempuan itu.Padahal aku sudah lama mengumpulkan uang itu, setiap bulan aku selalu menyisihkan nafkah yang mas Yoga berikan padaku. Berharap suatu saat uang itu bisa aku gunakan untuk hal-hal yang mendesak. Tapi sekarang apa? Dengan mudahnya dia membeli mobil untuk perempuan jalang itu.Aku mengusap kedua pipiku yang basah oleh airmata. Aku tidak ingin perempuan itu tau aku menangis. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu.Saat aku sampai di rumah perempuan itu, pagarnya terkunci. Ku bunyikan klakson berulang kali agar dia keluar. Ku intip ke dalam, benar saja. Ada mobil baru yang terparkir di garasinya. Darahku seketika mendidih melihatnya. Kamu kejam mas Yoga!Kulihat perempuan itu dengan sombongnya keluar
Aku berkemas hendak ke swalayan, kulkas sudah kosong. Aku mau belanja. Terpaksa pergi sendiri. Karena suamiku sekarang pasti di rumah perempuan itu. Sudahlah, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka.Aku keluar menuju bagasi. Hendak menaiki mobil ku, tapi melihat mobil baru itu seketika aku berbalik. Dan mengambil kunci mobil itu. Hari ini aku akan memakai mobil baru itu. Aku belum kepikiran tentang apa yang harus aku lakukan dengan mobil ini. Haruskah aku jual? Ataukah aku pake? Atau mobil yang lama saja aku jual.Aku suka saat mengendarai mobil baru ini, lagipula perempuan itu belum pernah mengendarainya. Aku merasa nyaman menggunakannya.Aku sedang memilih barang-barang yang aku inginkan, saat seseorang menepuk pundak ku."Rania?" Aku berbalik dan melihat sumber suara. Ternyata Amira, teman semasa kuliah ku dulu."Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu ya?" Aku memeluknya dengan hang
Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka. Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku. Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedi
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku sedang di dapur, saat mas Yoga datang. Aku tak mengacuhkan kehadirannya. Dia membalikkan badan ku agar menghadap padanya."Kenapa tadi kamu keluar tanpa memberi kabar pada mas?""Apa peduli, mas? Sedangkan mas saja sehari ini tidak sekalipun mengabari ku!""Kemaren mas sudah bilang kan? Lalu siapa laki-laki tadi? Dia bukan suami Amira. Untuk apa kalian bertemu?" Dia penasaran siapa mas Candra."Bukan urusan mu!" Aku berlalu darinya. Menuju ruang tamu."Jawab mas, Riana! Siapa dia dan untuk apa kalian bertemu?""Sudah ku jawab mas! Bukan urusanmu! Urus saja gundik mu itu! Belikan apa saja yang dia mau, kamu tidak perlu mencampuri urusanku!""Ma, kamu ini kenapa semakin lama semakin membangkang?""Kalau kamu tidak suka lagi padaku, ceraikan aku sekarang juga!" Bibirku bergetar mengucapkan kata itu."Kenap selalu mengatakan perceraian Riana? Apa kamu sudah terg
Aku yakin, aku bisa hidup tanpanya. Dari pada seperti ini. Makan hati setiap hari. Sungguh aku tak sanggup.Terdengar deru kendaraan mas Yoga keluar dari bagasi. Aku segera berdiri. Membuka pintu, lalu keluar untuk mengunci pagar. Pergilah kamu kepada perempuan itu mas, bathin ku berucap pilu.Aku terduduk sendiri di ruang tamu, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Sepertinya sulit mendapatkan apa yang aku inginkan. Bercerai dari mas Yoga dan mendapatkan harta bagianku rasanya akan sulit sekali. Bercerai mungkin bisa aku dapatkan, tapi harta benda ini bagaimana? Kemana aku harus pergi? Tanpa ada uang yang bisa aku bawa.Mengadu pada paman, aku tak sanggup. Aku tak ingin membuatnya marah dan melakukan hal bodoh pada mas Yoga. Apa yang harus aku lakukan?Aku hanya ingin bercerai, dan mendapatkan bagianku yang seharusnya. Setelah itu aku tak peduli. Apapun yang dia lakukan dengan perempuan itu tak akan aku campuri lagi.*****