"Ma, aku mohon. Cobalah untuk menerima Rindu. Sekarang dia juga istriku, dia sama berhaknya denganmu atas diriku, ma?"
"Tidak mas, dia berbeda denganku. Aku wanita terhormat sedangkan dia wanita perebut suami orang!"
"Sudahlah ma, sudahi ini semua. Mas pusing mendengar kamu sejak tadi selalu marah!"
"Aku marah padamu, mas! Menikah diam-diam tanpa sepengetahuan diriku"
"Mas kan sudah jelaskan alasannya, sekarang cobalah mengerti Riana!"
"Kalian menikah secara siri kan?"
"Iya, ma! Karena status mas dan tidak mendapatkan izin darimu kami menikah siri"
"Baguslah, aku tidak akan pernah memberikan izin. Selamanya perempuan ini akan menjadi istri siri mu!"
"Apa maksud mbak bicara seperti itu?" Perempuan itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Dasar bodoh. Mau saja dijadikan istri siri.
"Kamu akan selalu menjadi istri siri dari suamiku, selamanya pernikahan kalian tidak akan sah di mata hukum. Posisi mu sebagai istri dari suamiku tidak akan pernah di akui secara hukum!" Aku menyeringai licik menatapnya. Sekarang hari-hari mu sebagi madu ku akan sangat menderita.
"Mas, bagaimana ini? Aku akan selamanya jadi istri siri mu? Aku tidak mau mas?" Perempuan itu merengek manja pada suamiku. Dasar perempuan jalang.
"Sudah, jangan pikirkan itu sekarang. Kalian sama-sama lagi hamil. Jangan saling menjatuhkan!" Mas Yoga terlihat membela perempuan itu. Aku membencinya.
Perempuan itu, kembali memasuki kamar tamu. Aku berdiri terpaku menatap meja makan yang berantakan. Rasanya sangat malas sekali membersihkan sisa makanan perempuan menyebalkan itu.
Mas Yoga memelukku dari belakang, dia tahu kalau aku masih kesal dan belum bisa menerima kenyataan itu.
"Mas bantuin kamu beresin semua ini ya?"
"Nggak usah, mas! Lebih baik kamu kembali ke kamar gundikmu itu!" Dengan ketus ku elakkan tubuh dari pelukannya. Aku belum bisa memaafkannya.
"Maafkan mas Rania! Tolong mengertilah, semua ini bukan kehendak mas!"
"Tapi mas menikmati semua ini kan? Punya dua istri, apalagi keduanya hamil!"
"Mas benar-benar bahagia dengan kehamilan kamu, Rania! Tapi mas juga tidak bisa lepas tangan pada Rindu. Dia tanggung jawab mas sekarang!"
"Terserah apa yang mas katakan!" Aku beranjak ke wastafel dan mulai mencuci piring yang kotor. Jujur, aku tak sanggup. Ingin rasanya menyerah.
Setelah selesai mencuci piring, hari sudah menjelang sore. Tak kulihat lagi keberadaan suamiku. Aku yakin dia berada di kamar perempuan itu. Rasanya sakit sekali saat melihat suamiku memeluk perempuan itu dikamar. Ku intip mereka dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Hatiku hancur. Sepertinya suamiku benar-benar mencintai perempuan itu.
Bahkan setelah seminggu tidak bertemu denganku, dia tak merindukanku. Dia malah asik di kamar dengan perempuan itu. Hatiku benar-benar hancur. Kulangkahkan kaki memasuki kamar tidur kami, lama aku terduduk di tepi ranjang. Berharap suamiku datang dan kembali membujukku.
Tapi dia tak kunjung datang, aku terlelap dalam kerinduan yang tak berujung. Aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku. Ternyata mas Yoga.
"Bangun, ma. Sholat magrib dulu"
Aku beranjak bangun lalu berlalu ke kamar mandi, berwudhu kemudian sholat. Setelah itu keluar kamar, di ruang tamu ku lihat perempuan itu sedang memakan cemilan yang aku beli kemaren.
Perempuan tak tahu malu. Dia bertindak seperti ini adalah rumahnya sendiri. Aku muak melihatnya.
"Ma, kita makan malam di luar saja ya malam ini?" Mas Yoga keluar dari kamar menghampiri ku yang berdiri terpaku melihat perempuan itu.
"Terserah mas saja!"
"Ayo Rindu, kamu siap-siap. Kita keluar saja untuk makan malam!" Perempuan itu tersenyum manja pada suamiku.
"Kita makan di restoran masakan padang ya, mas? Aku lagi kepengen makan disana" Dia mencoba memanasi ku. Aku hanya diam tak mood melawan perempuan itu.
"Ya, nanti mas cari tempat yang bagus"
Aku berganti pakaian, dandan sedikit. Rasanya malas sekali ikut, tapi perutku juga sedang lapar.
Saat keluar kamar, kulihat perempuan itu sudah siap berganti pakaian. Pantas saja suami ku tergoda kepadanya. Dia memakai baju yang tidak cukup kain. Rok mini dipadukan dengan baju terbuka leher memperlihatkan sedikit belahan dadanya.
Dasar wanita murahan, tidak tahu diri. Aku sungguh tak tahan lama-lama berdekatan dengannya.
Saat hendak menaiki mobil, dia malah mencoba untuk duduk di depan. Sontak itu membuatku marah seketika.
"Tempatmu di belakang! Kamu hanyalah orang yang tidak penting disini, jadi jaga perilaku mu!"
"Tapi aku juga berhak duduk di samping suamiku, bukan hanya kamu!" Dia malah nyolot padaku.
"Coba berkaca? Perempuan seperti apa dirimu? Persis seperti wanita malam penggoda suami orang!"
"Sudah cukup kamu menghinaku, Riana!" Dia berani menyebut namaku langsung. Aku ingin menamparnya. Tapi di cegah oleh suamiku.
"Sudah, jangan kembali bertengkar! Lama-lama aku muak melihat sikap kalian!"
"Tapi, mas? Aku pengen duduk di depan?" Dia masih berusaha meraih posisiku.
"Sudah, Rindu! Kamu duduk di belakang! Jangan membantah!" Suamiku berkata tegas, membuat dia cemberut dan naik di kursi belakang. Aku tersenyum puas. Enak saja ingin mengambil posisi ku. Untuk kedepannya, aku akan selalu mengingatkan dimana letak dirinya sebenarnya.
Aku duduk dengan nyaman di depan, di samping suamiku yang mengemudikan mobil.
Mas Yoga berhenti di sebuah restoran masakan padang, kebetulan aku juga pengen makan disana. Aku turun tanpa membantah.
Kami memesan meja, sambil menunggu makanan tiba, aku bermain handphone. Tapi perempuan itu dasar tidak tahu malu malah dekat-dekat dengan suamiku.
"Eh, kamu jangan bersikap seperti seorang pelacur! Disini bukan tempat untuk bermesraan! Dasar perempuan tak punya malu!"
"Mbak kenapa sih selalu marah sama saya? Mbak cemburu? Mas Yoga kan juga suamiku? Aku berhak atas dirinya!"
"Kamu sebenarnya nggak punya otak atau bagaimana? Lihat sekeliling, apa kamu lihat ada orang yang berperilaku seperti kamu?"
"Sudah....sudah... jangan bertengkar lagi. Mas mohon! Ini bukan di rumah! Dan kamu Rindu, tolong jaga sikap, ini di tempat umum!"
"Ya, mas!" Dia sedikit menjauh dari mas Yoga. Aku sebenarnya tak tahan melihat dia selalu berusaha mendekati suamiku. Aku membencinya. Aku cemburu. Aku tak sanggup melihatnya.
Setelah makanan datang, kami segera makan. Aku hanya diam, tak bicara sedikitpun. Aku ingin mengisi perutku yang sudah keroncongan sejak tadi.
Kulihat perempuan itu juga makan dalam diam. Sepertinya dia takut akan kemarahan suamiku jika bertindak bodoh lagi.
Setelah makan, kami segera kembali pulang. Aku tak banyak bicara, rasanya semua ini seperti mimpi. Dimadu bukanlah perkara yang mudah. Aku tak cukup mental menghadapi semua itu.
Setelah sampai di rumah, mas Yoga langsung masuk ke kamar ku. Ada rasa sedikit bahagia, karena dia tidak masuk ke kamar perempuan itu.
Aku segera menyusul suamiku memasuki kamar. Tak kuhiraukan sedikitpun keberadaan perempuan itu.
"Mas, dimana rencananya kamu mau membawa perempuan itu?"
"Mas sudah pesan rumah yang tidak terlalu jauh dari sini!"
"Dimana? Bukan di komplek perumahan ini kan?" Aku kembali gusar. Aku tidak ingin menjadi tetangga perempuan itu.
"Bukan, komplek sebelah. Tapi tidak terlalu jauh dari sini. Jadi mas mudah mau kemanapun kalau rumah kalian berdekatan"
"Aku belum bisa menerima dia, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Besok pagi-pagi kamu harus segera membawanya keluar dari rumah ini!"
"Maafkan, mas. Kalau saja kamu hamil lebih awal, mungkin mas tidak perlu nikah lagi. Semua ini hanyalah masalah keturunan. Mas pengen punya penerus dari darah daging mas sendiri, mas harap kamu mengerti ya?"
Aku hanya diam saat mas Yoga menarikku kedalam pelukannya. Inikah takdirku? Rasa marah pada mas Yoga belum bisa ku obati.
Saat dia mulai mencium leherku, reflek aku mendorongnya. Dia terkejut lalu menatap mataku dengan sorot tanda tanya besar.
"Kenapa Riana? Tidakkah kamu rindu pada mas?"
"Maaf, mas. Aku tidak bisa! Aku tidak ingin kamu menyentuhku sekarang!"
"Tapi kenapa?"
"Karena aku belum memaafkan mu!" Kata-kata itu cukup membuat mas Yoga terdiam. Dia lalu berbalik memunggungi ku. Tanpa sadar pipiku basah oleh airmata. Aku tak bisa melakukannya, walaupun aku merindukannya.
Aku jijik saat membayangkan dia melakukan itu dengan perempuan murahan itu. Aku membenci mereka berdua.
Andai saja, suamiku menolak perjodohan dengan perempuan itu. Apa yang bisa ibu mertua lakukan? Dia tidak mungkin terlalu memaksa suamiku.
Pasti pernikahan itu terjadi karena mas Yoga juga menginginkannya.
*****
Pagi harinya, aku sudah selesai sholat subuh. Ku bangunkan mas Yoga untuk sholat subuh. Setelah dia benar-benar bangun, aku beranjak keluar. Mengintip ke kamar tamu, benar saja perempuan menyebalkan itu masih tidur.
Aku tak ingin membangunkannya, aku berlalu ke dapur. Menyiapkan sarapan untuk aku dan suamiku. Aku tak ingin menyiapkan apapun untuk perempuan itu.
Kalau dia lapar akan aku suruh dia membuatnya sendiri. Aku bukan pelayannya. Ini rumahku, dan tidak ada seorangpun yang bisa memerintah ku. Apalagi pelakor itu.
Selesai mandi dan sholat, suamiku keluar kamar. Dia duduk di ruang tamu sambil menonton televisi.
Perempuan itu bangun, entah sejak kapan aku tidak memperhatikannya. Yang aku lihat dia sudah duduk di dekat suamiku. Menyandarkan kepalanya di bahu suamiku yang tengah asik menonton berita.
Darahku langsung mendidih melihatnya, ingin sekali rasanya kembali menghajarnya. Dia menoleh padaku lalu tersenyum penuh kemenangan, sepertinya dia memang berniat untuk memanasi ku.
"Mas, ayo sarapan!" Aku memanggil suamiku untuk sarapan.
Perempuan itu lalu mengikuti langkah suamiku ke meja makan. Di meja makan, aku hanya menghidangkan dua piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi kesukaan suamiku.
Aku lalu duduk, dan mengambil sepiring nasi goreng. Perempuan itu menatapku dengan mata penuh kemarahan.
"Sarapan untukku tidak ada, mbak?"
"Aku bukan pembantu mu! Kalau kamu lapar, masak sendiri! Aku hanya membuatkan sarapan untukku dan suamiku saja!"
"Mas, lihat kelakuan mbak Riana, masa aku nggak di buatkan sarapan?" Dia merengek manja pada suamiku.
"Riana, apa susahnya melebihkan sedikit untuk Rindu? Kenapa sih kamu bersikap kelewatan seperti ini?"
"Mas, aku bukan pembantu dia! Jadi kalau dia lapar silahkan buat sendiri untuknya!"
"Sudahlah, Rindu! Kamu bikin sendiri saja sarapan untukmu! Mas lapar, malas bertengkar pagi-pagi seperti ini!"
Mas Yoga lalu duduk, dan menikmati nasi goreng buatan ku. Perempuan itu menghentakkan kakinya ke lantai, lalu beranjak ke dapur. Dia membuka kulkas. Mengambil mie instan lalu memasaknya sendiri.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku membencinya. Sampai kapanpun aku tidak akan bersikap baik padanya.
"Mas, sekarang sudah siang. Lekas bawa dia keluar dari rumah ini!"
"Iya, ma. Ini juga mas mau berangkat sama Rindu ke rumah itu!"
Perempuan itu keluar kamar, membawa koper miliknya. Baguslah mereka akan pergi sekarang. Aku sudah muak melihat perempuan itu.
*****
Sudah malam, tapi suamiku tak kunjung pulang. Sepertinya dia menginap di rumah perempuan itu. Netra ku memanas menahan tangis. Sekarang penderitaan ku di mulai. Kasih sayang suamiku sudah terbagi. Waktunya tidak seutuhnya menjadi milikku lagi. Aku kecewa, entah kemana luka dihati ku akan aku adukan. Aku tak punya tempat untuk berbagi.
Bahkan tak ada tempat untukku sejenak menghibur diri. Aku hanya bisa menangis. Meratapi nasibku yang buruk. Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Ternyata mas Yoga yang menelpon.
"Ma, malam ini mas nginap di rumah Rindu ya? Dia masih baru disini. Dia takut ditinggal sendiri. Kamu tidak apa-apakan sendiri malam ini?"
"Tapi mas, kamu sudah lama dinas diluar kota dan selalu bertemu dengannya. Kenapa sekarang masih tetap dengannya?"
"Untuk malam ini saja, Riana. Dia masih baru di sini. Dia masih takut. Besok sepulang dari kantor, mas langsung kesana ya?"
"Baiklah, terserah mas saja!"
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."