Suara mobil mas Yoga memasuki bagasi rumah, aku segera membukakan pintu. Akhirnya dia pulang juga.
Mas Yoga memasuki rumah, tapi wajahnya seperti memendam kemarahan. Aku tau, mungkin dia marah setelah kejadian tadi.
"Mas marah padaku?"
"Iya, mas sangat marah Riana!"
"Seharusnya aku yang marah, kamu bilang ibu yang memaksa menikahi perempuan itu, nyatanya apa? Semua itu karena kamu tergoda akan rayuannya?"
"Ya, aku memang tergoda akan rayuannya. Tapi ibu juga merestui pernikahan kami! Karena dia ingin secepatnya punya cucu"
"Sekarang aku telah hamil, aku bisa memberikan cucu untuk ibu dan anak untukmu, aku mau kamu tinggalkan dia!"
"Tidak semudah itu Riana, dia juga hamil, di perutnya ada calon anak ku juga!"
"Lalu mas mau beristri dua selamanya?"
"Iya, mau bagaimana lagi? Semua ini sudah terlanjur!"
"Tapi aku tidak sudi hidup seperti ini!"
"Mas tolong mengerti lah Riana, mas akan mencoba berlaku adil pada kalian berdua!" Mendengar kata-kata adil aku menyeringai geli.
"Adil apanya mas? Apa dengan begini kamu pikir adil? Seharusnya kamu pulang kerja langsung kesini, nyatanya apa?"
"Hanya untuk kali ini saja, semua ini mas lakukan karena dia masih baru disini"
"Baik, sekarang tentukan hari untuk kami berdua. Kapan kamu denganku? dan kapan kamu dengannya!"
"Mas akan di rumah Rindu, senin sampai rabu. Sedangkan denganmu kamis sampai minggu. Apa kamu puas?"
Mendengar pembagian harinya aku tersenyum puas, berarti lebih banyak waktu denganku daripada perempuan itu.
"Baiklah, aku setuju. Tapi ketika kamu denganku, jangan sekali-kali bertemu dengan perempuan itu. Aku tidak suka!"
"Tapi mas mohon, jaga sikapmu kedepannya Riana, jangan suka menganiaya Rindu. Mas tidak mau sesuatu terjadi pada kandungannya!"
"Iya, mas. Aku minta maaf"
"Mas mau Riana yang dulu, yang lembut dan penyayang. Mas benar-benar tak menyangka kamu bisa berubah seperti ini!"
"Semua itu karena aku tidak sudi di duakan mas"
"Maafkan mas ya sayang?"
"Ya"
Dia memelukku erat, mencium keningku. Menatap mataku yang jelas sekali ada kilatan kecemburuan padanya. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan itu.
"Mas akan selalu menomor satukan kamu sayang"
Aku tak menolak saat mas Yoga menggendongku ke kamar. Meminta haknya sebagai suamiku. Hasrat yang juga bergelora di dadaku tumpah ruah mengikuti irama kepuasan yang dia suguhkan. Aku mencintainya. Walau apapun yang telah dia lakukan padaku.
Tapi rasa itu tak bisa ku tepis, aku mengaguminya semenjak dulu. Saat pertama sekali dia membawaku ke rumahnya. Saat dia menjadikan aku ratu di rumahnya. Walau sekarang bukan hanya aku di hatinya.
Paginya, aku terbangun. Lalu mandi dan sholat subuh. Membangunkan dia yang masih terlelap.
"Mas, bangun. Sholat dulu, keburu siang nanti!"
Dia menggeliat bangun. Mengucek kedua matanya. Setelah itu aku keluar, menuju dapur. Membuatkan sarapan untuknya. Setelah sarapan ku hidangkan di meja makan, aku menuju kamar.
Dia sedang bersiap untuk ke kantor. Baju-bajunya sudah aku setrika sejak kemaren, jadi dia tinggal memilih apa yang mau dia pakai.
"Mas, sarapan sudah siap. Ayo sarapan dulu"
"Tunggu bentar sayang, mas pake kaus kaki dulu"
"Ya mas"
Aku beranjak kembali ke ruang makan duduk disana menunggu suamiku.
"Ma, bikin sarapan apa?"
"Nasi goreng mas, ayo duduk!"
Mas Yoga duduk, dan menikmati sarapannya.
"Nanti siang, mas jemput kamu di rumah ya. Mas mau ngajakin kamu ke dokter. Periksa kandungan"
"Siang ini mas? Bukannya mas kerja"
"Mas izin sebentar nanti. Mas sudah bikin janji sama dokter. Jadi tidak akan lama nanti. Kamu siap-siap ya, setelah mas datang kita langsung berangkat!"
"Baiklah mas"
"Kalau begitu, mas pergi kerja dulu ya. Hati-hati di rumah. Kamu segera sarapan. Jangan di tunda-tunda"
Dia mencium kening dan kedua pipiku, aku menyalaminya dan mencium tangannya. Setelah itu dia pergi bekerja.
Setelah sarapan, aku kembali ke kamar. Pergi ke dokter nanti siang, masih banyak waktu. Aku kepikiran tentang perempuan itu. Sepertinya, aku harus siap di madu untuk selamanya. Kepalaku pusing. Membayangkan hidup seperti ini. Apakah aku sanggup atau tidak.
Aku beranjak ke lemari, sepertinya mulai sekarang aku harus menyelamatkan harta benda milikku. Apa yang aku punya sekarang tidak boleh jatuh ke tangan perempuan itu. Untuk seterusnya aku akan meminta mas Yoga berlaku adil padaku. Bukan hanya masalah waktu tapi juga materi. Dia harus adil.
Aku mencari sertifikat rumah, BPKB mobilku dan mobil suamiku, deposito, tabunganku serta perhiasan yang aku miliki. Semua atas namaku. Baik sertifikat, mobil ataupun deposito dan tabungan. Jadi mas Yoga tidak akan bisa berbuat macam-macam.
Yang tidak aku pegang cuma kartu tabungan suamiku. Ya, dia punya tabungan sendiri. Tabungan itu berasal dari uang lembur dan bonus yang selama ini dia dapatkan. Aku tak masalah sedikitpun, selama ini dengan uang itu mungkin dia membiayai hidup perempuan itu.
Tapi, mulai sekarang aku akan meminta itu dibagi denganku. Aku rasa, rumah yang dia belikan untuk perempuan itu uangnya dia ambil dari sana.
Kali ini akan aku biarkan, tapi untuk seterusnya. Aku akan memantau apapun yang dia berikan pada perempuan itu. Semuanya harus adil.
Tapi aku tidak mau, harta benda yang aku miliki sebelum kehadiran perempuan itu di ganggu gugat. Semua itu adalah hak milikku. Aku tak akan sudi berbagi.
*****
Aku sudah siap berkemas, memakai dress berwarna maron. Berlengan pendek dan menjuntai setinggi lututku. Rambut ku terurai sepanjang bahu. Hiasan make up tipis menghiasi wajahku.Sebentar lagi seharusnya suamiku sampai. Aku melihat jam di dinding. Jam dua belas siang.
Bunyi klakson di luar pagar, berarti suamiku sudah datang. Aku segera menyambar tas kecil dan handphone ku, mengunci pintu. Dan keluar pagar untuk menaiki mobil suamiku.
Saat aku membuka pintu depan, dan naik. Aku tiba-tiba mendengar suara sapaan dari arah belakang.
"Siang, mbak!"
Sontak aku menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya aku saat melihat perempuan itu duduk dengan manis di bangku belakang.
"Apa-apaan ini mas? Kenapa mengajak dia?" Emosiku seakan naik ke ubun-ubun melihat perempuan itu.
"Sekalian aja, ma. Kalian kan sama-sama hamil. Jadi periksa sekalian saja. Mas tidak perlu repot-repot dua kali ke dokter untuk menemani kalian"
"Tapi mas, mau di taruh dimana mukaku nanti? Jalan beriringan dengan perempuan ini!"
"Sudahlah mbak, nggak baik membantah perkataan suami. Lagian apa salahnya sih kita barengan periksa kandungan? Kan kita sama-sama istrinya mas Yoga?"
"Ya, jelas saja berbeda. Aku istri sahnya mas Yoga secara hukum dan agama. Sedangkan kamu cuma istri siri, yang tidak terlalu penting!"
"Sudah Rania, mas nggak mau dengar kalian bertengkar lagi! Ingat peringatan mas Rania!"
"Aku benci kamu mas!" Aku menutup pintu mobil dengan sangat keras. Duduk menghadap ke depan. Rasanya netra ku memanas. Aku tak mampu menahan tangis. Aku benci perlakuan suamiku.
Seharusnya dia hanya menemaniku saja sekarang. Untuk pertama kali dia akan menemaniku periksa kandungan. Tapi malah mengajak perempuan menyebalkan itu. Rasanya aku tak kuat menahan emosi.
Tapi aku sedikit takut akan ancaman mas Yoga, aku takut dia bertindak nekat karena aku selalu bertengkar dengan perempuan itu. Akhirnya aku hanya diam sepanjang jalan.
Sesekali kulihat kebelakang melalui kaca spion, perempuan itu duduk dengan manis tanpa merasa bersalah sedikitpun. Aku benci melihatnya.
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."