Share

Part 9. Viral

Beberapa anak yang agak besar nampak tengah sibuk menyisihkan barang-barang bekas. Mereka mengelompokkan sesuai jenis masing-masing. Ada botol bekas, tutup botol, kaleng minuman, sendok plastik dan beberapa barang lainnya. Semua barang-barang itu sudah dicuci bersih dan dihamparkan di atas sehelai terpal berwarna biru tua.

"Sudah kering semua ?"

"Sudah Bang !" Jawab Aditya mewakili yang lain.

"Oke, yang ini dipotong seperti ini. Potongan yang atas kumpulin sebelah sini dan yang potongan bawah masukkan kedalam kardus ini." Mohzan memberi komando.

"Mau kita jadikan apa botol-botol ini Bang ?" Rangga nampak belum memahami tujuan Mohzan.

"Sebagian kita jadikan tempat menyimpan pernak-pernik seperti koin, jarum, benang dan banyak - barang kecil lainnya." Mohzan memaparkan dengan sabar. 

"Terus nanti disambung dengan apa Bang ?" Rangga masih penasaran dan bertanya kembali.

"Sambungnya pakai ini !" Ujar Rangga memperlihatkan satu ikat resleting berukuran pendek.

"Oooh, aku paham sekarang." Ucap Rangga bersemangat. Ia segera mengambil sebuah cutter yang tajam dan mulai memotong botol-botol tersebut dibawah arahan Mohzan.

Mohzan memang sedang mengajarkan adik-adik angkatnya membuat barang yang berguna dari barang-barang bekas. Hasil kerajinan mereka biasanya dipasarkan Mohzan di media sosial. Uang hasil penjualan barang-barang tersebut dibelikan Mohzan pakaian dan kebutuhan mereka.

 

"Kalau yang ini bisa dijadiin apa Bang..?" Dika datang menjinjing sekantong barang.

"Apa ini Dik..?

"Sendok plastik Bang." Jawab Dika.

Mohzan berfikir sejenak. Jari tangannya menggaruk keningnya pertanda ia sedang berfikir cukup keras. Matanya meneliti semua barang-barang yang teronggok diatas terpal. Lalu ia melihat sebuah bola plastik bekas mainan anak-anak. Ia meraihnya dan tersenyum.

"Haa!, ini bisa kita jadikan lampu hias !" Seru Mohzan sumringah. Ia lalu menyuruh Dika memotong tangkai sendok-sendok plastik berwarna putih itu.  Kemudian ia asyik memberi perintah pada anak-anak yang lain.

Tiba-tiba...

"Baaang...!! Baang Mohzan.." Jery datang berlari dengan nafas tersengal.

"Aa..aada banyak orang menyerbu kesini Bang !" Teriaknya dengan muka pucat pasi. Sebuah karung yang ia sandang kemudian ia lemparkan begitu saja lalu ia lari bersembunyi dibelakang tubuh Mohzan. Ia nampak sangat ketakutan.

Teriakan Jery membuat semua anak-anak ikut ketakutan. Mereka semua berlarian dan berkumpul dibelakang Mohzan. Yuda yang paling kecil nampak mulai menangis.

"Jangan-jangan ada razia Bang..!" Seru Arya nampak cemas. Arya dengan sigap mengambil tempat disebelah Mohzan dengan posisi siap menjaga adik-adiknya.

Mohzan yang juga terkejut berusaha bersikap tenang. 

"Mohzan..! Kamu tidak sendiri..!

"Mohzan ...! Kamu tidak sendiri..!

Suara teriakan riuh semakin mendekati gedung tua itu. Anak-anak semakin ketakutan. Mohzan dengan gagah melangkah menuju arah keluar gedung tua itu. Arya dengan sigap mendampingi. Semua anak-anak berbaris mengikuti dari belakang.

Suara itu semakin mendekat dan semakin keras. Dari kejauhan terlihat banyak orang yang menuju kearah mereka. Beberapa diantaranya membawa spanduk yang dibentangkan.

Mohzan dengan sikap siap menghadapi segala kemungkinan.

Rombongan itu semakin dekat. Yel yel mereka terdengar semakin jelas.

"Mohzan..! Kamu tidak sendiri..!

Kalimat itu juga tertulis di spanduk yang mereka bentangkan.

Mohzan menyambut kedatangan rombongan tamu yang tidak diundang itu. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, Mohzan maju beberapa langkah mendekati mereka. Arya selalu membarengi langkah Mohzan dengan sikap siap membantu Mohzan bila terjadi sesuatu yang buruk. Mereka berjalan berjejeran.

Rombongan itu ternyata dipimpin oleh seorang gadis. Wajahnya yang manis semakin menarik dengan gaya rambut dikepang dua dan memakai sebuah topi berwarna merah muda.

"Bukankah gadis itu adalah putri Bapak yang membayar separo tagihan bakso kemarin..?" Mohzan bertanya dalam hati. Dibelakang gadis itu berdiri ratusan remaja putra dan putri. Jumlahnya semakin banyak dan mengular sampai kejalan raya bagaikan semut beriringan menuju satu titik.

"Ada apa ini..?" Mohzan bertanya tegas setelah mereka bertatap muka jarak dekat.

Gadis itu maju dan berkata 

"Bang, izinkan kami bergabung dengan Abang untuk mengasihi mereka !" Sahut gadis itu sambil menoleh kepada anak-anak yang berkerumun ketakutan dibelakang Mohzan.

"Maaf, bukankah Adik adalah putri dari Bapak yang ikut membayar bakso kemarin..?" 

"Betul Bang. Nama saya Soraya, dan maafkan saya Bang, kejadian kemarin saya rekam dan sekarang sudah viral di media sosial. Banyak kawan-kawan yang ingin bergabung dengan misi sosial yang telah Abang lakukan selama ini." Jawab gadis manis yang ternyata bernama Soraya.

"Viral..??" Mohzan nampak tersentak kaget. Spontan ia merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya lalu memeriksa berita yang paling viral hari ini. Dan ternyata benar, berita tentang dirinya telah menyebar kemana-mana. Video kejadian di ruko bakso kemarin sudah ditonton puluhan juta warga internet. Mohzan membelalakkan matanya. Ia tidak menyangka begitu besar perhatian masyarakat terhadap kejadian kemarin.

Arus rombongan semakin deras. Tanah lapang yang ditumbuhi semak disekelilingnya itu,  kini rata dengan tanah karena terinjak ratusan pasang kaki.

Arya yang setia berdiri disamping Mohzan juga tidak kalah terkejut. Ia ikut mempelototi layar ponsel Mohzan. Sedangkan anak-anak yang berdiri dibelakang mereka belum begitu paham dengan apa yang sedang terjadi. Mereka tetap bersembunyi dibelakang Mohzan dan Arya.

"Mohzan..! Kamu tidak sendiri...!!

"Mohzan..! Kami bersamamu..!!

Yel yel kembali berkumandang semakin keras. Tak terasa air mata Mohzan berlinang. Masa depan yang cemerlang buat adik-adik angkatnya sudah terbayang didepan matanya.

"Soraya..! Terima kasih atas perhatianmu yang begitu besar kepada kami.  Marilah kita bersama mengasihi anak-anak yang tidak mempunyai orang tua dan keluarga ini." Ucap Mohzan dengan suara serak dan terharu. Soraya mengangguk tanpa kuasa menahan air matanya.

Beberapa orang pemuda maju memikul banyak sekali kardus berukuran besar. Nampaknya mereka adalah sebagian dari mahasiswa dan juga pelajar.

Kardus-kardus itu menggunung dihadapan Mohzan dan Arya.

"Bang, ini sumbangan makanan dan pakaian dari para dermawan untuk adik-adik kita. Dan ini dana yang terkumpul dari donatur yang ikhlas membantu Abang dalam membiayai kehidupan adik-adik kita ini." Papar Soraya dengan air mata mulai menetes di pipinya. Ia memandangi wajah-wajah polos yang masih saja bersembunyi dibelakang punggung Mohzan dan Raza. Nampak sekali kalau Mohzan dan Arya adalah tempat berlindung bagi mereka.

Gadis itu kemudian menyodorkan selembar cek kontan kepada Mohzan. Mohzan lalu menerimanya dan kemudian matanya terbelalak ketika membaca angka yang tertera didalam cek tersebut.

" Ya Allah..." Seru Mohzan terpana dan kini mulai menangis haru. Uang ini cukup membeli sebidang tanah dan membuat asrama tempat tinggal mereka."  Ujar Mohzan dengan suara serak dan tenggelam diantara isak tangisnya. Niatnya untuk membuatkan tempat tinggal pada adik-adik angkatnya bisa segera dia wujudkan 

Melihat Mohzan menangis tersedu-sedu dengan bahu terguncang, membuat anak-anak dibelakangnya semakin bingung. Mereka serentak mengerumuni Mohzan dan bertanya.

"Ada apa Bang..? Mengapa Abang menangis..? Kenapa Bang..? Mereka bertanya bersahutan. Beberapa diantaranya juga mulai menangis.

Mohzan duduk dan merangkul adik-adik angkatnya. Anak-anak itupun bersama-sama merangkul Mohzan. Ada yang mencium kepala Mohzan. Mereka bertangisan.

Semua hadirin yang hadir larut dalam keharuan. Suara isak tangis bergema ditempat itu. Beberapa orang wartawan nampak merekam adegan dramatis itu. Para reporter televisi yang tengah menyiarkan siaran langsung juga tidak luput dengan kaharuan. Dengan air mata berderai mereka melaporkan kejadian itu secara langsung dari tempat kejadian.

Sementara dirumah Mohzan, Desma dan nenek Aisyah juga tengah menonton siaran langsung yang disiarkan hampir di seluruh stasiun televisi. Mereka menangis sesugukkan. 

"Mohzan cucuku..!" Seru nenek Aisyah yang berulang kali menyeka air matanya. Desma dan nenek Aisyah menangis sambil berangkulan.

Disaat yang bersamaan Tuan Junara juga tengah menyaksikan berita itu. Ia nampak ikut larut dalam keharuan melihat seorang lelaki yang masih sangat muda dirangkul puluhan anak jalanan. Dua bola matanya tergenang air mata.

"Luar biasa anak muda itu !" Serunya bergumam sendiri. Sebagai seorang pemilik stasiun televisi, berita ini tentu menarik perhatiannya. Ia langsung menghubungi reporter yang sedang bertugas meliput kejadian itu.

"Undang pemuda itu ke stasiun televisi kita !" Ujarnya memberi perintah.

**********

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rusli Yanto Dunggio
bagus indah dlm hati
goodnovel comment avatar
Hastoto Toto
lanjutkan thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status