“Aku di sini, Sayang. Selalu bersamamu.” Sebuah bisikan lirih terdengar di telinga kanan Dinda.
Wanita ini tak ingin mencari lagi karena sudah tahu sosok beraroma kasturi itu ada di dekatnya. Dinda justru merasa nyaman dengan keberadaan sosok yang belum ia ketahui wujud nyatanya itu.
Dinda tersenyum mengingat sensasi yang ia rasakan di toilet warung yang membuat orgasme dan sakitnya seketika hilang. Sosok tinggi tak kasat mata kembali memberi kecupan di pipi kiri Dinda dan sang wanita jaditersipu malu. Siapa pun kamu, terima kasih, bisiknya lirik.
Setelah Dinda ucapkan itu, seketika aroma kasturi menguarsemakin kuat dan Gito menciumnya.
“Bau apa ini? Kasturi?” tanya pria berbadan tegap inisembari melihat sang istri dari kaca spion.
“Iya, aroma kasturi Mas. Dari mana, ya?”
“Baca bismillah, Sayang. Semoga tak ada apa-apa,” ucap Gito sembari merapatkan pelukan sang istri dengan sebelah tangan.
Motor terus melaju ke arah sebuah klinik BKIA. Beberapamenit berkendara, mereka telah sampai di klinik tersebut dan kebetulan harimasih pagi, jadi suasana masih lengang. Setelah Gito memarkir motor, mereka punberjalan menuju tempat pendaftaran pasien.
Dinda mendaftarkan diri, sedangkan Gito menunggu di bangkuantrean. Setelah mendaftarkan diri, Dinda pun menyusul sang suami duduk.
“Moga dokternya segera datang, Mas.”
“Aamiin. Emang belum ada dokternya? Udah jam praktek ini.”
“Kata petugas daftar tadi, dokter dalam perjalanan ke sini.Harusnya udah datang.”
Mereka menunggu sudah hampir 2 jam dan pasien semakin menumpuk, tapi dokter belum juga tiba. Sampai akhirnya, seorang petugas memberitahu jika hanya melayani cek laboratorium saja. Untuk konsultasi, pasien dipersilakan datang besok untuk bertemu dengan dokter.
“Mau periksa ke tempat lain?”
“Mau. Periksa ke dokter kandungan di apotek aja, Mas.”
“Yaudah. Ayo.”
Mereka bangkit lalu berjalan beriringan ke tempat parkir. Saatmereka sampai motor dan hendak berboncengan, tampak mobil Pak Dokter memasuki areal parkir.
Begitu mobil terparkir, Pak Dokter keluar dengan wajah linglung. Beberapa perawat segera menyambut kedatangan pria berjas putih tersebut.
“Selamat siang, Dokter!”
“Selamat siang juga, maaf. Hari ini saya belum bisa praktek.”
“Saya sudah memberitahu para pasien. Kami maklum, Dokter.”
Para tenaga medis itu pun masuk mengikuti Pak Dokter yang tampak tak sehat. Kebetulan ada satpam yang baru saja keluar dari lobby melewati tempat parkir.
“Pak, maaf. Barusan Pak Dokter datang. Gak praktek?”
“Betul, Bu. Gak praktek dulu karena Pak Dokter sedang takbisa fokus.”
“Pak Dokter sakit?”
“Enggak! Barusan tersesat di hutan. Di penglihatan beliau tampak jalan ke klinik ini.”
“Oh gitu. Makasih, Pak!”
“Sama-sama, Bu. Permisi Pak, Bu.”
Satpam ini pun melangkah ke pos depan. Dinda segera naik keboncengan motor lalu memeluk erat pinggang Gito
“Udah gak kepo lagi? Jadi ke apotek?”
“Jadi Mas. Aku gak mau sakit.”
“Ayo, Sayang.”
Mereka pun berlalu dari tempat parkir menuju jalan raya.Apotek tempat praktek dokter spesialis kandungan terletak tak jauh dari klinik. Hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk sampai ke sana. Namun, perjalanan kedua insan telah menempuh tiga puluh menit dan baru tersadar setelah motor. berada jauh dari lokasi yang dituju.
“Sayang, perasaan dari tadi Mas gak liat apotek, ya.”
“Iya, Mas. Ini udah terlewat.”
Gito lalu putar arah kembali ke jalan menuju apotek. Sampai akhirnya, mereka sampai di depan BKIA.
“Benar, kan? Apoteknya gak ada.”
“Aneh, Mas. Kita gimana ini?”
Dinda mulai panik dan ia tahu ada kekuatan lain yang berada di balik kejadian ini. Ia merasakan sensasi aroma kasturi mulai membelai indera penciumannya.
Ini pasti ulah kamu, kan? tanya Dinda dari dalam hati.
“Jangan lakukan itu, Sayang! Kamu bisa dapat kesulitan,” bisikan lembut menerpa telinga Dinda dan aroma kasturi menempel lekat di sekitar tubuh wanita ini.
“Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim!” Terdengar suara Gito yang lantang saat mencium aroma kasturi kembali.
“Sayang, aku pergi dulu.” Bisikan lirih terdengar di telinga Dinda dan kali ini rasa dingin menyentuh bibirnya lembut. Dinda menikmatinya, walau sesaat kemudian menghilang bersama aroma kasturi.
Ah, kecupannya pun membuatku bergairah, batin Dinda sambil tersenyum manis.
“Sayang, masih mau mencari apotek lagi?” tanya Gito sambil menatap sang istri dari kaca spion.
“Kita pulang aja, Mas. Aku kangen,” ucap Dinda sembari mendesah di telinga Gito.
Tentu saja, Gito tak akan membuang waktu lagi karena memang gairahnya telah terpacu dari rumah.
“Ayo kalo gitu,”ucap Gito sembari menoleh lalu mengecup bibir istrinya mesra.
Rasa kecupan yang hangat tak membuat gairah Dinda ikut memuncak. Lain dibanding kecupan dingin beraroma kasturi. Yang dingin membuat gairah. Pikiran nakal Dinda kembali ke pergumulan semalam dan geliat membuat basah saat di toilet warung.
“Ah, aku memang menginginkannya,” ucap Dinda lirih dan itu didengar oleh Gito maupun si aroma kasturi.
“Kita pulang, Sayang, “ucap Gito mengecup bibir Dinda kembali lalu segera memacu motor arah pulang.
“Aku pun menginginkanmu, Sayang.” Angin berembus beraroma kasturi menerpa telinga Dinda menyampaikan pesan.
Bisikannya pun membuatku bergairah, batin Dinda.
Motor telah melaju dengan kencang ke arah pulang, tak terasa sudah sampai di depan rumah dan Dinda masih melayang dengan halusinasi.
“Sayang, ayo turun!”
Gito menoleh ke istrinya lalu meniup perlahan kedua pelupuk mata Dinda.
“Sayang?”
Dinda seketika gelagapan lalu membuka mata dan kaget,suaminya telah di hadapannya.
“Eh ... Mas. Apa, ya?”
“Kita turun, Sayang. Udah sampe rumah,” ucap Gito lembut.
Pria ini merasa hari ini kelakuan sang istri semakin aneh-aneh saja. Ia sering tak fokus saat diajak berbicara dan juga sering kali ekspresi wajahnya berubah dengan cepat. Apa ada kaitannya dengan aroma kasturi yang ia tanyakan dan itu mengikuti kamu terus, pikir Gito kemudian.
Gito memasang standar motor lalu menunggu Dinda turun dari motor dan diikuti olehnya. Mereka berjalan beriringan menuju teras. Tangan Gito melingkar di bahu Dinda. Sangat mesra. Tentu saja pemandangan intim ini tak luput dari kedua mata besar bernaung di bawah sepasang alis tebal.
“Kurang ajar kamu, Gito! Dinda menyukai permainanku. Dia akan jadi milikku."
Amarah si tinggi empat meter ini seketika berubah jadi empasan angin kencang menerpa tubuh Gito. Pria ini seketika jatuh terjengkang di lantai.
“Mas, ada apa?”
“Entah, Sayang. Tiba-tiba ada angin kenceng. Kamuterasa?”
Dinda menggeleng sambil mengulurkan tangan membantusuaminya berdiri. Setelah berhasil berdiri, Gito memindai sekeliling dan tak adaapa pun yang terdampak oleh angin barusan selain dirinya. Tampak Dinda berdiri tak tersentuh angin. Dinda merogoh anak kunci dari tas lalu mulai membuka pintu. Saat didalam, wanita semlohai ini mengunci kembali.
“Kurang ajar kamu, Gito! Dinda akan jadi milikku. Dia hanya menyukai permainanku.”Amarah si tinggi empat meter ini seketika berubah jadi empasan angin kencang menerpa tubuh Gito. Pria ini seketika jatuh terjengkang di lantai.“Mas, ada apa?”“Entah, Sayang. Tiba-tiba ada angin kenceng. Kamu terasa?”Dinda menggeleng sambil mengulurkan tangan membantu suaminya berdiri. Setelah berhasil berdiri, Gito memindai sekeliling dan tak ada apa pun yang berdampak angin barusan selain dirinya. Tampak Dinda berdiri tak tersentuh oleh angin. Dinda merogoh anak kunci dari tas lalu mulai membuka pintu. Saat di dalam, wanita semlohai ini mengunci kembali.Gito yang sudah tak tahan menahan hasrat seketika membopong tubuh istrinya masuk kamar. Dinda dengan erat memegang tubuh Gito. Sang suami semakin memuncak hasratnya.Bibir mereka bersentuhan saat wajah mereka merapat. Gito terbawa rasa, mengecup bibir ranum Dinda, sang i
Dalam toilet pria Timur Tengah mengakui telah menggauli Dinda sebelumnya. Bukannya marah, wanita ini justru bahagia. Jerat mantra sihir sosok jin telah berhasil membius Dinda.Kini pria yang sama telah kembali ke bentuk semula, bertinggi menjulang setinggi rumah kosong. Ia mengamati pasutri yang sedang berboncengan melintas di depannya. Tanpa menampakkan diri pada Dinda. Ia tak mau terlihat aneh di mata kekasih hatinya. Ia harus terlihat sempurna sebagai manusia di mata Dinda.“Tetap bersamaku, Sayang,” ucapnya terkirim lewat angin berembus sepoi-sepoi menghampiri pendengaran Dinda.Iya, Sayang, balas Dinda dalam hati tersampaikan lembut menggoda di telinga sosok empat meter. Senyum pun menghias di kedua pipi sosok berjambang lebat.“Sayang, kayaknya benar ucapan kamu. Mas harus segera ajukan penempatan baru. Kasian kamu dan juga tubuhku jadi loyo.”“Apa aku bilang, Mas,” sahut Dinda sembari memeluk sang suami.Gito sangat menikmati pelukan sang istri, tapi Dinda sudah tak bisa sepenu
“Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB.”Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.“Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid.”“Lah, kenapa minum kapsul nifas?”“Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu,” ucap Gito sambil memeluk sang istri segera menghampiri motor.Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?▪▪¤•°¤▪▪Dalam pasarDinda sengaja sendirian masuk pasar. Padahal tadi Gito ingin menemani istrinya berbelanja. Namun, tak diperbolehkan oleh sang istri karena Dinda tahu betul, Gito tak sabaran di dalam pasar. Bisa dipastikan, ia akan menyuruh sang istri membeli tanpa proses tawar menawar dan buru-buru mengajak keluar dari pasar.Bisa dipastikan akan berakhir dengan penyesalan karena tak teliti pad
"Iya, Bu. Kami pamit pulang dulu. Terima kasih atas bantuannya semua,”ucap Gito sambil membantu Dinda berdiri. Mereka menyalami ibu pedagang ayam dan yang lain lalu beranjak keluar pasar.“Dinda Sayang, kamu tak boleh lepas dariku.”Terdengar suara bisikan di telinga Dinda. Aroma kasturi menguar di sekeliling pasutri tersebut.Hmm, bau yang sama, batin Gito sambil membaca doa.Pria ini menggandeng sang istri dengan langkah terburu-buru ke tempat parkir. Saat mereka telah di atas motor dan akan keluar dari tempat parkir, mendadak didatangin anak kecil.Ia berpakaian kumal dengan badan kurus kering membawa dua buah polybag berisi tanaman berdaun bulat. Anak berusia sekitar dua belas tahun ini tersenyum ke arah mereka.“Assalammu'alaikum!”“Wa'alaikumussalam, Dek.”“Tolong dibeli seikhlasnya. Insyaallah untuk pengusir jin. Sari daunnya dibuat mandi dan diminum setelah dibacakan surat rukiah.”“Pohon kelor, ya?” tanya Dinda sambil memetik salah satu daunnya.“Bukan, Mbak. Ini pohon Bidar
“Kamu pakai baju yang ada di dalam peti.”"Baju dalam peti mas?"“Ya, Sayang. Semua yang terindah hanya untuk wanita tercantikku.”Dinda segera membuka peti itu dan matanya akan melompat keluar, begitu tahu isi di dalamnya.“Ini punyaku semua? Benarkah?”“Iya, Sayangku. Pakailah!”Sosok tampan ini tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih. Akhirnya, sang pujaan hati bisa dibawa ke dunianya. Tak sia-sia, perjuangannya selama beberapa hari membius rasa sang pujaan.Mata Dinda berbinar-binar melihat dalam peti terdapat aneka gaun indah berhias untaian permata, berbagai model perhiasan emas bertakhta intan berlian, sandal flip-flop, The Aribian shore dan juga tiara bertakhta berlian. Dinda mendongak ke arah jin Timur Tengah yang sedang berdiri tak jauh dari pembaringan.“Aku panggil kamu apa?”“Namaku Mustafa Kemal. Panggil saja Mustafa,” ucap jin itu sembari menghampiri dan duduk menghadap Dinda yang masih berselimut.“Mustafa?” “Ya, Jamila!”“Namaku Dinda, bukan Jamila.”“Jamila itu
"Aku akan menemuimu setiap saat. Kau pun bisa memanggil namaku setiap kau ingin. Tak perlu berkata apa pun tentang kepergianmu. Biar dayang yang menjelaskan semua.”Setelah berkata Mustafa pun menghilang. Dayang mengambil peti lalu melipatnya jadi kecil dan disimpan dalam genggaman Dinda.“Silakan dibuka saat Tuan Putri sampai rumah. Tanpa manusia lain tahu.”Dinda tersenyum lalu mengangguk. Dayang ini kemudian memeluk tubuh Dinda dan seketika menghilang.▪▪¤•°•¤▪▪Gito bangun tidur mencari sang istri. Ia mencari ke seluruh ruangan tak ada, bahkan telah mencari ke sekeliling rumah. Pria berambut cepak ini pun telah bertanya ke tetangga sekitar, tak ada yang tahu tentang keberadaan Dinda.Dinda belum juga pulang sampai larut malam, akhirnya Gito menelepon teman-teman akrab sang istri. Mereka tak ada yang mengetahui keberadaan Dinda. Semalaman, Gito terjaga, menunggu kedatangan sang istri. Sempat tertidur sebentar dan terbangun saat azan Subuh berkumandang.“Ya Allah! Aku mohon lindungi
“Kau tak bisa membuatku terus menerus cemburu seperti ini. Akan kupastikan kau hidup di duniaku selamanya,” bisik lirih Mustafa di telinga Dinda.“Jangaaan!” teriak Dinda tanpa sadar.“Ada apa, Sayang?” tanya Gito yang kaget mendengar teriakan sang istri barusan. “Eng-gak ... maksudku. Tami, jangan bosan ke sini, ya,”ucap Dinda berusaha berkelit yang membuahkan hasil satu kecupan pipi oleh Mustafa.Dasar usil, kata Dinda dalam hati yang sukses meledakkan tawa Mustafa, tapi tak mampu didengar oleh Gito.“Bulu kuduk Mas jadi makin berdiri gini, ya,” celetuk Gito sambil meraba tengkuk dan kedua lengan.Dinda pura-pura tak mendengar omongan suaminya. Ia memperhatikan Tami yang menghidupkan motor.“Assalammu'alaikum,” ucap Tami berpamitan sambil menghadap ke arah tuan rumah.“Walaikummusalam,” balas kedua tuan rumah bebarengan. Tami melambaikan tangan lalu memutar motor ke arah jalan dan menghilang, berbaur dengan pengendara lain. Tak berapa lama Mustafa ikut lenyap, tapi aroma kasturi m
“Segini banyaknya dan gede-gede, masih seger lagi. Baunya laut banget. Serius ini dari Tami?” tanya Dinda sambil tegak lalu menghadap pria berbaju basah dan bersorot mata tajam.Wanita bertubuh indah ini menatap ke sorot mata yang beberapa hari telah familiar baginya. Ia tersenyum, seakan-akan minta jawab secara tak langsung, apakah benar yang dirasakan.“Terima kasih banyak, ya, Pak. Banyak banget ini. Tolong bilang ke Tami, makin sayang aku ke dia. Soulmate banget, deh.”Gito yang mendengar perkataan sang istri langsung menoleh.“Sayang, gak boleh berlebihan gitu. Doain segala kebaikan untuknya.”“Ya, Mas, Maaf. Maklum, masih suka terbawa jaman masih single.”Gito tersenyum mendengar omongan istri imutnya ini. Ia menyadari sang istri kadang masih terbawa sifat kanak-kanaknya. Dari awal mereka menjalin hubungan kasih selama setahun sebelum akhirnya menikah, Dinda memang terkesan manja. Apalagi perbedaan umur yang lumayan jauh di antara mereka, yaitu sepuluh tahun. Berasa layaknya pa