Share

DINDA SUDAH MENGETAHUI KEBERADAANNYA

“Jangan tinggalin aku kerja lama-lama, Mas.”

“Wei, tumben nih. Ada apa, Sayang?”

“Gak papa, kan. Kalo aku pengen lebih dimanja?”

“Ya deh. Coba Mas ajuin penempatan kerja yang tak ada 3 shif.  Jadi maksimal jam 5 sore udah ada di rumah.”

“Setuju banget, Mas. Ah, bahagia kalo malam ditemani Mas sampe pagi.”

Mereka tak menyadari ada sepasang mata merah tak kasat mata sedang menahan amarah melihat kemesraan barusan.

“Aku yang kau butuhkan, Sayang. Bukan dia!” bisiknya ke telinga Dinda.

Sensasi dingin dan bulu kuduk meremang dirasakan oleh Dinda seketika.

“Mas, yang ngomong barusan?”

“Ngomong apa, Sayang? Mas lagi makan. Enak banget sotonya. Cobain!”

Gito menyuapkan sesendok nasi soto ke mulut Dinda. Wanita ini segera menguyahnya. Warung soto ini memang paling terkenal nikmat di kota mereka. Biasanya Dinda paling antusias menikmati soto ini. Namun, kali ini ada kenikmatan lain yang dirasakan wanita bertubuh semlohai.

Yang kurasakan di toilet barusan, apa, ya? Begitu nyata nikmatnya, batin Dinda.

“Sayang, mau teh lagi? Makan belum habis, minuman udah habis duluan.”

“Iya, nih, Mas. Tenggorokanku terasa kering sekali.”

Gito pun segera memanggil salah satu pelayan yang habis melayani pembeli. Gito memesan lagi segelas teh untuk istrinya. Dinda tersenyum begitu mengetahuinya.

“Mas, kaga jadi ke dokter deh.”

“Emang udah enakan?”

“Udah gak demam, setelah dikompres barusan.”

“Tetap harus ke dokter. Siapa tau ada infeksi, biar cepat tertangani.”

“Mas, ih. Udah sembuh. Pegang nih,” ucap Dinda sembari mengambil tangan suaminya lalu ditempelkan ke kening.

Gito merasakan kening Dinda sudah normal tak sepanas tadi. Pria berpotongan rambut cepak ini lalu memegang kulit leher sang istri, terasa normal suhunya.

“Dibuat jalan gimana?”

“Udah gak sakit lagi, kok. Mas liatin, ya,” ujar Dinda sambil berdiri lalu berjala hilir mudik di dekat meja mereka.

Gito mengamati cara jalan sang istri, memang tak seperti sebelumnya. Gerak kakinya luwes tak kelihatan kesakitan seperti tadi. Cepat sekali sembuhnya? tanya Gito dalam hati.

“Sayang, Mas tetap khawatir. Takut ganggu rahim kamu. Katanya pengen buru-buru punya anak?”

“Iya, sih. Bahaya juga kalo ada infeksi.”

“Nah, itu tau. Mumpung pagi, belum banyak antrean.”

Akhirnya, Dinda menuruti kata Gito untuk pergi ke dokter.  Sang suami ingin tahu sesungguhnya Dinda sakit apa. Sempat terbesit pikiran yang ganjil mengingat dirinya pernah mendapat cerita dari teman kerjanya bahwa rumah kosong tersebut berpenghuni jin.

Namun, sejak mereka mengontrak selama dua bulan ini, tak ada keanehan yang terjadi di lingkungan mereka. Gito pun menepis perasaan ganjil yang sempat singgah.

“Ayo, Mas. Kita ke dokter sekarang,” ucap Dinda sambil menggandeng tangan Gito.

“Oiya, ayo, Sayang.”

Makhluk tak kasat mata yang berada di antara mereka semakin meradang. Ia menyeringai, kedua mata membulat merah.

“Dinda itu milikku di atas ranjang. Aku pasti jadi yang utama.”

Secara mengejutkan angin berembus kencang ke arah luar. Orang-orang dalam warung terkejut dibuatnya.

“Angin apa barusan? Ikut merasakan gak?” tanya pemilik warung kepada Gito dan Dinda yang sedang membayar tagihan mereka.

“Iya, Bu. Angin tersesat jalan mungkin,” jawab Gito yang memancing tawa Dinda dan pemilik warung.

“Angin salah alamat, Mas” balas Dinda.

“Oh, iya. Bener itu, Mbak,” sahut pemilik warung. Akhirnya, bertiga tertawa terbahak- bahak.

Gito menerima uang kembalian lalu bersama istrinya meninggalkan warung. Dinda merasa kehilangan sesuatu. Bau kasturi yang terus melekat di dekatnya telah hilang. Wanita ini menoleh ke arah tempat mereka duduk barusan.

Tetap dengan pengunjung yang sama. Padahal saat mereka beranjak akan membayar tagihan, bau tersebut masih ada. Apakah angin tadi yang membawa pergi bau kasturi? tanya Dinda dalam hati sambil merapat ke tubuh suaminya.

Aroma citrus khas parfum Gito menguar masuk ke hidungnya. Kemarin, aroma ini membuatnya bergairah dan kenapa kini, aroma kasturi semalam yang membuatnya terbayang pergulatan semalam?

“Mas, suka aroma kasturi gak?”

“Ada apa, Sayang? Kamu pengen parfum itu?”

“Enggak. Mas suka aroma itu?”

“Gak suka karena mahal. Dari Arab yang paling bagus.”

“Jauh juga.”

“Emang kenapa. Kok aneh gitu pertanyaannya?”

“Eng-enggak. Penasaran aja, ada di tivi.”

Gito segera memeluk istrinya lalu tersenyum penuh arti sampai ke tempat parkir. Sesampai di sebelah motor, pria gagah ini memegang kedua bahu Dinda dan memandang kedua matanya penuh mesra.

“Demi kamu, Mas akan beli parfum kasturi. Biar lain sensasinya di atas ranjang.”

“Jangan, Mas! Pake aroma yang ini aja, biar tau bedanya.”

Oops, aku keceplosan. Aku sendiri pun tak tau. Aroma kasturi itu milik siapa. Namun, bikin aku bergairah, batin Dinda sibuk berspekulasi. Otaknya tak mampu menjangkaunya.

“Tau beda apaan, Sayang?” tanya Gito. Pria ini merasa istrinya semakin aneh saja hari ini. Sering tak fokus kalau diajak ngomong. Sering kali tersenyum sendiri tanpa alasan.

“Oh, gak, gak. Maksudnya biar beda baunya sama orang Arab. Masak orang Indonesia bau Arab,” sahut Dinda yang sibuk mencari alasan yang tepat untuk berkelit.

“Ada-ada kamu, Sayang. Bisa naik sendiri atau mau digendong lagi?”

“Udah sembuh. Bisa naik sendiri. Gendongnya entar malam aja.”

“Asik! Mas besok libur, bisa lembur di rumah,” ucap Gito sembari mencium istrinya mesra.

Tentu saja, adegan barusan tak luput dari kedua mata besar beralis tebal. Sosok berperawakan khas Timur Tengah dengan tinggi empat meter berdiri tak jauh dari mereka.

Aroma kasturi datang lagi, batin Dinda sambil menghirup pelan-pelan. Ia sedang dibonceng Gito akan keluar dari area tempat parkir menuju jalan raya. Wanita ini celingukan mencari sosok pembawa aroma kasturi, tapi tak dijumpainya juga.

Sosok tinggi ini mengetahui sang wanita mencarinya seketika melayang dan menghadiahi sebuah ciuman di pipi Dinda.

Apa barusan? Pipiku terasa dingin, seperti habis dicium balok es. Tapi aroma kasturinya sangat kuat, batin Dinda bergejolak.

Berarti aroma kasturi ini ada pemiliknya? Kami kemarin telah bersama di atas ranjang. Ah, siapa ia? Dinda semakin bingung dengan pikirannya sendiri. Akhirnya, untuk menghilangkan kegalauannya, Dinda memeluk pinggang Gito erat-erat.

“Aku di sini, Sayang. Selalu bersamamu.” Sebuah bisikan lirih terdengar di telinga kanan Dinda.

Wanita ini tak ingin mencarinya lagi karena sudah tahu sosok beraroma kasturi itu ada di dekatnya. Dinda justru merasa nyaman dengan keberadaan sosok yang belum ia ketahui wujud nyatanya itu.

Dinda tersenyum mengingat sensasi yang ia rasakan di toilet warung yang membuatnya orgasme dan sakitnya seketika hilang. Sosok tinggi ini kembali memberi kecupan di pipi kiri Dinda dan sang wanita jadi tersipu malu. Siapa pun kamu, terima kasih, bisiknya lirik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransiscaroom
mungkin, dinda sendiri juga bukan cewek sembarangan..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status