Share

2. Cemburu

"Itu buat ... Maksudku itu titipan orang, Ra."

"Titipan siapa, Mas?!"

"Sudahlah, Ra. Lupakan. Nggak penting buat kita."

"Titipan Kartika kan, Mas? Iya, kan?!"

"Kok kamu tahu, Ra?"

"Siapa lagi perempuan yang selalu ngrepotin Mas Fikri kalau bukan Kartika!"

"Ibu, Ra, yang nitip susu itu buat Kartika."

"Ibu lagi! Ibu lagi! Ibumu itu maunya apa sih, Mas! Jelas-jelas Kartika itu sudah punya suami, masih saja melibatkan kamu di kehidupan Kartika!"

"Kan tadi sudah kuceritakan, suami Kartika nggak ada di rumah, Ra."

"Alah, itu bukan alasan, Mas! Kalau cuma beli susu mereka juga bisa pergi sendiri, kok. Nyatanya aku kemarin ketemu mereka belanja kebutuhan sehari-hari. Kenapa nggak beli susu sekalian!"

"Istri Fikri kalau lagi marah-marah gini tambah cantik dan ngegemesin." Sambil mengemudikan kemudi mobil keluar dari POM bensin, tangan kiri Mas Fikri nyolek-nyolek daguku sambil senyum-senyum menyebalkan.

Kukibaskan saja tangannya dari daguku. Tapi Mas Fikri nggak menyerah.

"Coba lihat, mana cantiknya," Dia mulai menggodaku.

Tangannya mengangkat daguku diarahkan padanya dengan tatapannya yang selalu membuatku meleleh. Tapi nggak, kali ini aku nggak boleh meleleh sampai urusan Kartika ini beres.

"Bisa nggak, Mas, mulai hari ini Mas Fikri nggak berurusan lagi dengan Kartika dan anak anaknya?! Sampai kapan Mas Fikri harus punya kewajiban menanggung hidup mereka?! Ingat, Mas! Mas Fikri sudah punya istri dan Kartika pun sudah punya suami! Sudah ada orang yang bertanggung jawab atas Kartika dan anak anaknya! Jadi sudah saatnya Mas Fikri melepas tanggung jawab seorang kakak ke adik!"

"Kamu kan tahu, Ra. Aku dan Kartika hidup bersama dari kecil. Susah senang kami lewati bersama. Kami sudah terbiasa saling membantu. Kebiasaanku melindungi Kartika dari waktu kita kecil masih terbawa sampai sekarang. Mas minta maaf, ya, kalau itu menyakitimu."

"Aku nggak butuh kata maaf, Mas! Yang kubutuhkan ketegasanmu! Bersikaplah layaknya suami yang gentle. Tahu diri mana yang harus diprioritaskan! Di akhirat nanti Mas Fikri nggak ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada saudara. Tapi yang ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada Istri!"

"Aku kan nggak menelantarkan kamu, Ra. Semua kebutuhanmu tercukupi. Kamu juga nggak kekurangan kasih sayangku, kan?"

"Pokoknya aku nggak ridho, Mas, kalau Mas Fikri masih ngurusin Kartika dan anak anaknya, titik! Anak Kartika manggil kamu ayah itu pun sebenarnya aku juga nggak ridho! Itu sangat menyakitiku, Mas! Sakit di sini." Kupukul dadaku dan akhirnya tangisku tumpah tak tertahan.

"Hanya anak kita nanti yang boleh manggil Mas Fikri ayah!" isakku sambil terus mengusap airmata yang nggak berhenti meluncur di pipi.

"Tiara, lha kok malah nangis. Sudah berhenti nangisnya, cup, cup." Tangannya mengusap air mataku tapi buru-buru kusingkirkan dari pipi ini.

Setelah itu aku memilih membisu, memberi kesempatan pada Mas Fikri untuk merenungkan semua kata kataku sampai mobil masuk ke halaman rumah kami. Aku bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju kamar. Pengin segera tidur untuk meredam rasa amarah dan sesak di dada.

Tiba-tiba sebuah lengan memelukku erat dari belakang, menahan langkahku, "Lepaskan aku, Mas!" Kucoba melepaskan lengan kekar Mas Fikri dari tubuh kecilku walaupun aku tahu kekuatanku tak ada apa apanya.

Dan akhirnya aku pun tak berkutik dalam pelukan Mas Fikri.

"Katanya tadi malam kangen. Mau nggak?" rayunya sambil bibirnya bermain di leherku, membuatku meronta kegelian.

"Sudah nggak nafsu! Nafsuku hilang gara-gara Kartika!"

"Masak, sih. Kalau begini masak iya nggak nafsu." Dengan sigap Mas Fikri membopongku masuk ke kamar.

"Ih, lepasin, Mas, aku nggak mau!" kupukul pukul dadanya.

"Nggak mau apa nggak mau."

"Nggak mau!" Teriakku.

Tubuh kecilku tiba-tiba dihempaskannya di ranjang dan aku pun tak berdaya mengikuti permainan Mas Fikri, melayang layang lupa segalanya. Sampai Mas Fikri senyum-senyum menatapku di akhir permainan kami.

"Beuh, katanya nggak nafsu tapi beringas begitu, kecil-kecil galak juga," ledeknya, kupukul pukul saja tubuhnya.

.

.

.

"Ra, aku berangkat kerja dulu, ya. Nanti aku pulang rada malem. Ada meeting. Nggak usah kamu tunggu. Kalau mau makan, makan duluan. Hati-hati kalau mau berangkat ngajar ya. Jangan lupa bawa mantel nanti kehujanan lagi," pamitnya pagi ini.

Dan begitulah keseharian kami. Mas Fikri yang berangkat lebih pagi dari aku dan seringnya pulang malam. Posisinya sebagai Project Manager menuntutnya harus bersikap loyalitas pada perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak dalam bidang konstruksi itu.

Bahkan hampir sebagian besar waktunya dihabiskan Mas Fikri untuk bekerja. Ibarat kata aku hanya dapat sisa waktunya. Mungkin ini juga penyebab aku susah hamil. Tapi Ibu mertua mana mau mengerti. Dia lebih suka menyalahkanku.

Untuk mengusir kesepian itulah aku merengek pada Mas Fikri untuk diijinkan mengajar di salah satu SMP Swasta. Sangat membosankan di rumah sendirian. Apalagi juga sering ditinggal ke luar kota.

Seperti seminggu kemudian Mas Fikri harus tugas luar kota lagi.

"Baru juga seminggu di rumah, Mas, sudah pergi lagi. Begini kok pengin punya momongan," gerutuku.

"Lha gimana lagi, Ra. Ini sudah tugasku. Aku harus mantau proyek yang di luar kota. Nggak lama kok, sayang, paling 5 hari doang. Sudah nggak usah manyun begitu, tambah kayak anak SMP."

Dengan sedih aku pun melepas kepergian Mas Fikri. Tapi sepertinya nggak ada raut sedih di wajah Mas Fikri. Dasar memang laki-laki, pasti kegirangan karena akan menikmati kebebasan. Bebas nggak ada yang ngomel ngomel, nggak ada yang ngatur-ngatur.

Besoknya, aku libur mengajar. Entahlah tiba-tiba terbersit pengin main ke rumah Ibu mertua sekalian balikin wadah kemarin. Ingat sikap baiknya ibu mertua kemarin jadi kangen pengin ngobrol banyak.

Sebenarnya dari dulu aku merindukan kasih sayang mertua karena aku sudah kehilangan Ibu saat kelas 1 SMP. Buru-buru aku masak bubur kacang hijau kesukaan Ibu biar wadah nggak kembali dalam keadaan kosong. Sekali kali nyenengin hati mertua biar disayang mertua.

Setelah bubur matang, dengan mengendarai motor, aku menuju rumah Ibu. Tidak sampai satu jam sudah sampai lewat jalan karena lewat jalan tikus.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku pada Ibu yang kebetulan sedang duduk di teras menemani anak-anak Kartika bermain.

"W*'alaikumsalam, Tiara?! Tumben?" Ibu tampak terkejut melihat kedatanganku.

"Iya, Bu. Ini mau balikin wadah. Sama tadi Tiara bikin bubur kacang hijau kesukaan Ibu. Ini mumpung masih anget dimakan dulu buburnya."

"Makasih ya, Tiara," jawab Ibu sambil menenteng wadah bubur ke dalam rumah.

Aku memilih duduk-duduk di teras sambil memperhatikan Randi dan adiknya yang sedang asyik bermain mobil mobilan. Mereka yang seperti kembar tampak rukun bermain.

Sepertinya selisih umur mereka hanya sekitar 1 tahunan. Benar-benar subur sekali Kartika itu. Kayaknya setiap tahun Kartika hamil dan melahirkan. Habis menikah pun juga langsung hamil. Bahagianya jadi Kartika yang gampang punya anak tidak seperti aku. Lamunanku dikagetkan dengan kehadiran Ibu.

"Tiara, buburmu enak. Pinter juga kamu bikin bubur." ucap Ibu sambil membawa semangkuk bubur yang membuatku terharu karena baru kali ini dipuji mertua.

"Nenek, Randi mau bubur."

"Dimas juga, Nek."

"Kalian mau? Sebentar, biar diambilin Mbak, ya."

"Mbak!" teriak Ibu lalu seorang perempuan keluar dari rumah sambil menggendong anak Kartika yang bayi.

"Iya, Bu?"

"Sini, biar Vania kugendong. Kamu ambilin anak-anak bubur kacang hijau di meja makan, ya."

"Baik, Bu," jawab perempuan itu sambil menyerahkan Vania pada Ibu.

"Mbak itu siapa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Yang ngasuh anak-anak."

"O, sekarang ada yang ngasuh?"

"Iya, suaminya Kartika nggak pengin Kartika capek-capek karena sedang hamil."

"Terus Kartika kemana, Bu? Kok nggak kelihatan."

"Kartika ..." Belum juga Ibu melanjutkan ucapannya, Randi nyaut menjawab.

"Bunda pergi sama Ayah bawa tas gede, dari kemarin belum pulang-pulang," jawab Randi polos sambil makan bubur kacang hijau yang disuapi si Mbak.

"O, Ayah Randi pulang?"

"Ayah Randi nggak kemana mana," jawab Randi yang sedikit membuatku bingung.

"Randi! Sudah itu dimakan buburnya. Kalau makan tidak boleh sambil ngomong nanti kesedak." teriak Ibu.

"Suaminya Kartika pulang, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Iya, makanya mumpung pulang, ngajak Kartika refreshing katanya. Liburan berdua."

Beruntung sekali Kartika. Begitu kali ya kalau sedang hamil. Dimanja suami. Ah, tapi Mas Fikri juga memanjakanku walaupun aku nggak pernah di ajak liburan.

Kalau Mas Fikri tugas luar kota sebenarnya sekali kali pengin ikut, sekalian liburan tapi nggak boleh. Mungkin karena setiap harinya kita juga cuma berdua jadi nggak butuh liburan berdua.

"Kenapa, Ra? Kok, malah ngelamun?" tanya Ibu membuyarkan pergulatan di pikiranku.

"Nggak pa pa, Bu. Suami Kartika sangat memanjakan Kartika ya, Bu?"

"Kamu pengin dimanja suami juga kayak Kartika? Makanya kamu hamil biar dimanja suami," ucap Ibu yang membuat dadaku nyeri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status