"Itu buat ... Maksudku itu titipan orang, Ra."
"Titipan siapa, Mas?!""Sudahlah, Ra. Lupakan. Nggak penting buat kita.""Titipan Kartika kan, Mas? Iya, kan?!""Kok kamu tahu, Ra?""Siapa lagi perempuan yang selalu ngrepotin Mas Fikri kalau bukan Kartika!""Ibu, Ra, yang nitip susu itu buat Kartika.""Ibu lagi! Ibu lagi! Ibumu itu maunya apa sih, Mas! Jelas-jelas Kartika itu sudah punya suami, masih saja melibatkan kamu di kehidupan Kartika!""Kan tadi sudah kuceritakan, suami Kartika nggak ada di rumah, Ra.""Alah, itu bukan alasan, Mas! Kalau cuma beli susu mereka juga bisa pergi sendiri, kok. Nyatanya aku kemarin ketemu mereka belanja kebutuhan sehari-hari. Kenapa nggak beli susu sekalian!""Istri Fikri kalau lagi marah-marah gini tambah cantik dan ngegemesin." Sambil mengemudikan kemudi mobil keluar dari POM bensin, tangan kiri Mas Fikri nyolek-nyolek daguku sambil senyum-senyum menyebalkan.Kukibaskan saja tangannya dari daguku. Tapi Mas Fikri nggak menyerah."Coba lihat, mana cantiknya," Dia mulai menggodaku.Tangannya mengangkat daguku diarahkan padanya dengan tatapannya yang selalu membuatku meleleh. Tapi nggak, kali ini aku nggak boleh meleleh sampai urusan Kartika ini beres."Bisa nggak, Mas, mulai hari ini Mas Fikri nggak berurusan lagi dengan Kartika dan anak anaknya?! Sampai kapan Mas Fikri harus punya kewajiban menanggung hidup mereka?! Ingat, Mas! Mas Fikri sudah punya istri dan Kartika pun sudah punya suami! Sudah ada orang yang bertanggung jawab atas Kartika dan anak anaknya! Jadi sudah saatnya Mas Fikri melepas tanggung jawab seorang kakak ke adik!""Kamu kan tahu, Ra. Aku dan Kartika hidup bersama dari kecil. Susah senang kami lewati bersama. Kami sudah terbiasa saling membantu. Kebiasaanku melindungi Kartika dari waktu kita kecil masih terbawa sampai sekarang. Mas minta maaf, ya, kalau itu menyakitimu.""Aku nggak butuh kata maaf, Mas! Yang kubutuhkan ketegasanmu! Bersikaplah layaknya suami yang gentle. Tahu diri mana yang harus diprioritaskan! Di akhirat nanti Mas Fikri nggak ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada saudara. Tapi yang ditanya tanggung jawab Mas Fikri pada Istri!""Aku kan nggak menelantarkan kamu, Ra. Semua kebutuhanmu tercukupi. Kamu juga nggak kekurangan kasih sayangku, kan?""Pokoknya aku nggak ridho, Mas, kalau Mas Fikri masih ngurusin Kartika dan anak anaknya, titik! Anak Kartika manggil kamu ayah itu pun sebenarnya aku juga nggak ridho! Itu sangat menyakitiku, Mas! Sakit di sini." Kupukul dadaku dan akhirnya tangisku tumpah tak tertahan."Hanya anak kita nanti yang boleh manggil Mas Fikri ayah!" isakku sambil terus mengusap airmata yang nggak berhenti meluncur di pipi."Tiara, lha kok malah nangis. Sudah berhenti nangisnya, cup, cup." Tangannya mengusap air mataku tapi buru-buru kusingkirkan dari pipi ini.Setelah itu aku memilih membisu, memberi kesempatan pada Mas Fikri untuk merenungkan semua kata kataku sampai mobil masuk ke halaman rumah kami. Aku bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju kamar. Pengin segera tidur untuk meredam rasa amarah dan sesak di dada.Tiba-tiba sebuah lengan memelukku erat dari belakang, menahan langkahku, "Lepaskan aku, Mas!" Kucoba melepaskan lengan kekar Mas Fikri dari tubuh kecilku walaupun aku tahu kekuatanku tak ada apa apanya.Dan akhirnya aku pun tak berkutik dalam pelukan Mas Fikri."Katanya tadi malam kangen. Mau nggak?" rayunya sambil bibirnya bermain di leherku, membuatku meronta kegelian."Sudah nggak nafsu! Nafsuku hilang gara-gara Kartika!""Masak, sih. Kalau begini masak iya nggak nafsu." Dengan sigap Mas Fikri membopongku masuk ke kamar."Ih, lepasin, Mas, aku nggak mau!" kupukul pukul dadanya."Nggak mau apa nggak mau.""Nggak mau!" Teriakku.Tubuh kecilku tiba-tiba dihempaskannya di ranjang dan aku pun tak berdaya mengikuti permainan Mas Fikri, melayang layang lupa segalanya. Sampai Mas Fikri senyum-senyum menatapku di akhir permainan kami."Beuh, katanya nggak nafsu tapi beringas begitu, kecil-kecil galak juga," ledeknya, kupukul pukul saja tubuhnya...."Ra, aku berangkat kerja dulu, ya. Nanti aku pulang rada malem. Ada meeting. Nggak usah kamu tunggu. Kalau mau makan, makan duluan. Hati-hati kalau mau berangkat ngajar ya. Jangan lupa bawa mantel nanti kehujanan lagi," pamitnya pagi ini.Dan begitulah keseharian kami. Mas Fikri yang berangkat lebih pagi dari aku dan seringnya pulang malam. Posisinya sebagai Project Manager menuntutnya harus bersikap loyalitas pada perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak dalam bidang konstruksi itu.Bahkan hampir sebagian besar waktunya dihabiskan Mas Fikri untuk bekerja. Ibarat kata aku hanya dapat sisa waktunya. Mungkin ini juga penyebab aku susah hamil. Tapi Ibu mertua mana mau mengerti. Dia lebih suka menyalahkanku.Untuk mengusir kesepian itulah aku merengek pada Mas Fikri untuk diijinkan mengajar di salah satu SMP Swasta. Sangat membosankan di rumah sendirian. Apalagi juga sering ditinggal ke luar kota.Seperti seminggu kemudian Mas Fikri harus tugas luar kota lagi."Baru juga seminggu di rumah, Mas, sudah pergi lagi. Begini kok pengin punya momongan," gerutuku."Lha gimana lagi, Ra. Ini sudah tugasku. Aku harus mantau proyek yang di luar kota. Nggak lama kok, sayang, paling 5 hari doang. Sudah nggak usah manyun begitu, tambah kayak anak SMP."Dengan sedih aku pun melepas kepergian Mas Fikri. Tapi sepertinya nggak ada raut sedih di wajah Mas Fikri. Dasar memang laki-laki, pasti kegirangan karena akan menikmati kebebasan. Bebas nggak ada yang ngomel ngomel, nggak ada yang ngatur-ngatur.Besoknya, aku libur mengajar. Entahlah tiba-tiba terbersit pengin main ke rumah Ibu mertua sekalian balikin wadah kemarin. Ingat sikap baiknya ibu mertua kemarin jadi kangen pengin ngobrol banyak.Sebenarnya dari dulu aku merindukan kasih sayang mertua karena aku sudah kehilangan Ibu saat kelas 1 SMP. Buru-buru aku masak bubur kacang hijau kesukaan Ibu biar wadah nggak kembali dalam keadaan kosong. Sekali kali nyenengin hati mertua biar disayang mertua.Setelah bubur matang, dengan mengendarai motor, aku menuju rumah Ibu. Tidak sampai satu jam sudah sampai lewat jalan karena lewat jalan tikus."Assalamu'alaikum, Bu," sapaku pada Ibu yang kebetulan sedang duduk di teras menemani anak-anak Kartika bermain."W*'alaikumsalam, Tiara?! Tumben?" Ibu tampak terkejut melihat kedatanganku."Iya, Bu. Ini mau balikin wadah. Sama tadi Tiara bikin bubur kacang hijau kesukaan Ibu. Ini mumpung masih anget dimakan dulu buburnya.""Makasih ya, Tiara," jawab Ibu sambil menenteng wadah bubur ke dalam rumah.Aku memilih duduk-duduk di teras sambil memperhatikan Randi dan adiknya yang sedang asyik bermain mobil mobilan. Mereka yang seperti kembar tampak rukun bermain.Sepertinya selisih umur mereka hanya sekitar 1 tahunan. Benar-benar subur sekali Kartika itu. Kayaknya setiap tahun Kartika hamil dan melahirkan. Habis menikah pun juga langsung hamil. Bahagianya jadi Kartika yang gampang punya anak tidak seperti aku. Lamunanku dikagetkan dengan kehadiran Ibu."Tiara, buburmu enak. Pinter juga kamu bikin bubur." ucap Ibu sambil membawa semangkuk bubur yang membuatku terharu karena baru kali ini dipuji mertua."Nenek, Randi mau bubur.""Dimas juga, Nek.""Kalian mau? Sebentar, biar diambilin Mbak, ya.""Mbak!" teriak Ibu lalu seorang perempuan keluar dari rumah sambil menggendong anak Kartika yang bayi."Iya, Bu?""Sini, biar Vania kugendong. Kamu ambilin anak-anak bubur kacang hijau di meja makan, ya.""Baik, Bu," jawab perempuan itu sambil menyerahkan Vania pada Ibu."Mbak itu siapa, Bu?" tanyaku penasaran."Yang ngasuh anak-anak.""O, sekarang ada yang ngasuh?""Iya, suaminya Kartika nggak pengin Kartika capek-capek karena sedang hamil.""Terus Kartika kemana, Bu? Kok nggak kelihatan.""Kartika ..." Belum juga Ibu melanjutkan ucapannya, Randi nyaut menjawab."Bunda pergi sama Ayah bawa tas gede, dari kemarin belum pulang-pulang," jawab Randi polos sambil makan bubur kacang hijau yang disuapi si Mbak."O, Ayah Randi pulang?""Ayah Randi nggak kemana mana," jawab Randi yang sedikit membuatku bingung."Randi! Sudah itu dimakan buburnya. Kalau makan tidak boleh sambil ngomong nanti kesedak." teriak Ibu."Suaminya Kartika pulang, Bu?" tanyaku pada Ibu."Iya, makanya mumpung pulang, ngajak Kartika refreshing katanya. Liburan berdua."Beruntung sekali Kartika. Begitu kali ya kalau sedang hamil. Dimanja suami. Ah, tapi Mas Fikri juga memanjakanku walaupun aku nggak pernah di ajak liburan.Kalau Mas Fikri tugas luar kota sebenarnya sekali kali pengin ikut, sekalian liburan tapi nggak boleh. Mungkin karena setiap harinya kita juga cuma berdua jadi nggak butuh liburan berdua."Kenapa, Ra? Kok, malah ngelamun?" tanya Ibu membuyarkan pergulatan di pikiranku."Nggak pa pa, Bu. Suami Kartika sangat memanjakan Kartika ya, Bu?""Kamu pengin dimanja suami juga kayak Kartika? Makanya kamu hamil biar dimanja suami," ucap Ibu yang membuat dadaku nyeri."Memangnya saya, Bu, yang berkehendak tidak mau hamil? Perlu Ibu tahu, saya belum hamil ini bukan hanya karena faktor dari saya tapi juga faktor dari Mas Fikri." Kuberanikan untuk membela diri."Terus maksudmu yang mandul Fikri begitu? Perlu kamu tahu ya, Ra. Fikri sudah terbukti tidak mandul.""Darimana ibu membuktikan?""Aku ini ibunya. Aku bisa jamin Fikri sehat.""Saya nggak bilang Mas Fikri mandul, Bu. Cuma Mas Fikri saja nggak pernah di rumah. Sering keluar kota bagaimana saya bisa hamil.""Kamu lihat itu Kartika. Suaminya juga nggak pernah di rumah tapi nyatanya sekali tancap langsung jadi. Sebulan setelah pernikahannya, dia langsung isi, Ra."Rasanya sakit dibanding bandingin tapi tak ada guna membela diri. Aku akan selalu di posisi yang salah. Lebih baik pulang saja daripada semakin sakit hati."Bu, Tiara pulang dulu ya. Sudah sore," pamitku sambil mencium tangan Ibu. Tetapi baru saja mau beranjak, tiba-tiba huj
Mobil Mas Fikri cepat sekali. Dan aku akhirnya kehilangan jejak. Tapi aku yakin tujuannya adalah rumah Ibu karena ini arah jalan rumah Ibu. Akhirnya sampai juga motorku di dekat rumah Ibu. Sengaja aku tidak parkir tepat di depan rumah. Aku tidak ingin mereka tahu keberadaanku. Dan benar saja dugaanku, mobil Mas Fikri sudah terparkir di halaman. Tanpa ada raut capek, tampak Mas Fikri terlihat begitu bahagia menemani Randi dan Dimas bermain mainan baru di teras. Pasti mainan itu juga Mas Fikri yang membelikan. Begitu pun dengan anak-anak. Dimas yang dipangku Mas Fikri juga terlihat begitu bahagia. Pemandangan yang sangat menyakitkan bagai disayat sembilu.Sebegitu pentingnya anak-anak Kartika buatmu, Mas, sampai istri kau nomor duakan. Aku putuskan meninggalkan tempat ini sebelum hatiku semakin hancur tercabik cabik. Sampai rumah, aku putuskan tidak akan menghubunginya. Aku pengin tahu sampai kapan dia di rumah ibunya. Dengan perasaan gundah aku
Ditipu mertua dan suami.Part 5Dengan kaki gemetar dan berderai airmata kukuatkan hati menyaksikan mereka dari kejauhan. Mas Fikri yang berdiri di samping Kartika dengan tangan kanan membelai mesra pucuk kepala Kartika yang tertutup jilbab. Lalu tangan kirinya ... Mas Fikri menggenggam erat tangan Kartika seolah begitu takut kehilangan Kartika.Kupalingkan wajah. Ya Alloh, aku tak sanggup. Pemandangan itu sangat menyakitiku. Dadaku seperti diremas remas. Tangisku semakin tak terkendali. Tapi rasa ingin tahuku membuat aku berusaha kuat menyaksikan adegan mereka lagi.Mataku terbelalak. Serasa tidak percaya, aku melihat dengan mata sendiri Mas Fikri berkali kali mencium kening Kartika yang sedang mengejan sambil terus membelainya. Bahkan kali ini Mas Fikri menempelkan kepalanya pada kepala Kartika seolah ingin ikut merasakan kesakitan Kartika. Dan mata Mas Fikri ... kenapa matanya terlihat sembab seperti menangis.Darahku mendidih dengan jantung yang berpacu cepat. Kupegang dada yang
#Ditipu_mertua_dan_suami.#Part_6Baru saja jari ini akan menekan icon galery di layar handphone, tiba-tiba Dokter dan suster datang. Akhirnya kumasukkan handphone ke tas lagi."Ibu Tiara, bagaimana keadaannya? Sudah lebih baik?""Sudah, Dok. Cuma ini mualnya kadang masih muncul.""O iya, kalau soal mualnya, Ibu Tiara kemungkinan akan tetap merasakan sampai 3 bulan ke depan.""Apa, Dok? 3 bulan? Memang nggak ada obatnya, Dok?" "Untuk mual jenis yang satu itu nggak ada obatnya, Bu. Itu bawaan janin yang ada di perut Ibu.""Janin, Dok? Maksudnya?" Aku tercengang sedikit bingung."Iya, Bu. Selamat ya, Ibu positif hamil. Janin Ibu baru berumur sekitar 5 Minggu jadi dijaga ya, Bu. Nanti saya kasih vitamin." Aku ternganga mendengar penuturan Dokter antara tidak percaya, bahagia tapi juga sedih."Saya hamil, Dok? Di perut saya ada calon bayi?!" tanyaku masih sulit untuk mempercayai keajaiban ini setelah 10 tahun entah berapa testpack yang aku habiskan.Setiap telat datang bulan walaupun ba
Tertipu mertua dan suamiPart 7"Aku ingin melihat wujud suamimu sekarang, Kartika! Tidak mungkin kan kamu tidak punya fotonya kalau memang dia itu ada?!" kutantang Kartika."Iya, Mbak, ada. Sebentar. Ini Mbak Tiara lihat sendiri foto-foto waktu acara ijab qobul," Kartika menyerahkan handphonenya padaku.Dan memang benar. Terlihat foto-foto Kartika bersama suaminya yang wajahnya tak kalah ganteng dengan Mas Fikri bahkan terlihat lebih muda. Ada juga foto saat suami Kartika menjabat tangan laki-laki yang sepertinya sedang mengikrarkan ijab qobul.Lega rasanya. Apa yang kutakutkan ternyata salah. Tapi aku masih penasaran. Aku lalu membuka galeri di HP Kartika yang masih kupegang dan ternyata isinya hanyalah foto-foto anak Kartika. Kukembalikan handphone Kartika dengan rasa malu karena sudah menuduh Kartika yang tidak-tidak.Tapi kenapa hati kecilku seolah tidak mau menerima kebenaran yang sudah dipaparkan Kartika."Sudah puas, Ra?! Ayo sekarang kita pulang!" Mas Fikri menggandeng tangan
Aku yang menangis terpaku di depan tubuh Mas Fikri sambil menutup wajahku dengan telapak tangan tidak menyadari kalau Mas Fikri sudah terbangun.Sebuah pelukan erat membuatku tak berkutik, "Ra, maafkan aku, ya, kalau aku sudah menyakitimu. Tolong, Ra, jangan menolakku begini. Aku membutuhkuanmu." Dia mengiba, bibirnya menyapu lembut pipi dan keningku.Sedangkan batinku terus berperang antara mempercayainya dan meragukannya. Dengan menahan perut yang mual dan rasa jijik ini, aku membiarkan Mas Fikri semakin beringas menciumiku lalu menggiring paksa tubuhku ke sofa. Aku pun hanyut dengan permainan Mas Fikri yang begitu memabukkan.Dan pertahananku jebol. Di sofa panjang, akhirnya hasrat Mas Fikri terlampiaskan. Kupukul pukul dadanya, "Aku benci kamu, Mas!" Teriakku berontak tapi Mas Fikri justru memelukku semakin erat."Benci tapi suka, kan? Makasih ya, sayang. Perlu kamu tahu, aku sangat mencintaimu, Ra. Jangan pernah kamu meragukan itu." ucap Mas Fikri sambil berkali kali menciumiku
Tertipu mertua dan suami"Anu, Mbak, kegerahan." "Bukannya pakai AC kok kegerahan.""Maksud saya kegerahan nahan sesuatu karena istri lagi nifas nggak bisa dicolek.""Oalah, ada-ada saja kamu. Lihat Mas Fikri?""Nggak lihat, Mbak, kan saya tidur baru bangun.""Rafli, mumpung cuma ada kita berdua, ada yang pengin aku omongin," ucapku pelan takut membangunkan yang lainnya."Tentang apa, ya, Mbak?""Sst ... Jangan keras-keras, nanti yang lain bangun." Kami pun ngobrol dengan suara pelan sekali."Tentang suamiku dan istrimu." bisikku."Maksudnya?""Kamu nggak cemburu istrimu dekat-dekat dengan suamiku?""Kan mereka kakak adik, Mbak. Wajarlah kalau deket," jawab Rafli polos."Tapi perlakuan Mas Fikri pada Kartika itu melebihi batas dari seorang kakak pada adiknya. Nggak wajar!""Masak, sih, Mbak. Saya ngelihatnya biasa saja.""Iya, karena kamu tidak pernah di rumah!" Aku terdiam mendengar sebuah suara dari suatu tempat. Kuhampiri arah suara itu yang ternyata dari dalam kamar Kartika yang
Di depan kamar Kartika, kuketuk pintu kamar dan kupanggil pelan Rafli yang ternyata masih tiduran di sofa ruang tengah."Mbak Tiara, ada apa lagi?" tanya Kartika setelah pintu terbuka."Mas Fikri, Rafli, Ayo kita masuk!" ajakku."Tiara, jangan lancang kamu! Ini kamar Kartika!" teriak Mas Fikri sambil berusaha mencekalku, tak kupedulikan, kuhempaskan saja tangannya, kakiku tetap melangkah masuk ke kamar Kartika."Ada apa, Mbak? Kenapa masuk ke kamar Kartika?" tanya Kartika dengan muka sok polos."Rafli, tutup pintunya!" Perintahku pada Rafli setelah semua masuk ke kamar."Kartika, sekarang tunjukkan surat nikah kamu dan Rafli!" "Maaf, Mbak. Kami belum punya surat nikah. Kami baru nikah siri. Tapi secepatnya kami akan menikah secara hukum.""O, jadi baru nikah siri?! Atau malah nikah pura-pura?!""Tiara! Jaga mulutmu! Jangan mempermalukanku!" teriak Mas Fikri tapi tak kugubris."Kami nggak nikah pura-pura, Mbak. Kami memang baru nikah siri. Dan kami punya alasan sendiri kenapa kami nik