Ditipu mertua dan suami.
Part 5Dengan kaki gemetar dan berderai airmata kukuatkan hati menyaksikan mereka dari kejauhan. Mas Fikri yang berdiri di samping Kartika dengan tangan kanan membelai mesra pucuk kepala Kartika yang tertutup jilbab. Lalu tangan kirinya ... Mas Fikri menggenggam erat tangan Kartika seolah begitu takut kehilangan Kartika.Kupalingkan wajah. Ya Alloh, aku tak sanggup. Pemandangan itu sangat menyakitiku. Dadaku seperti diremas remas. Tangisku semakin tak terkendali. Tapi rasa ingin tahuku membuat aku berusaha kuat menyaksikan adegan mereka lagi.Mataku terbelalak. Serasa tidak percaya, aku melihat dengan mata sendiri Mas Fikri berkali kali mencium kening Kartika yang sedang mengejan sambil terus membelainya.Bahkan kali ini Mas Fikri menempelkan kepalanya pada kepala Kartika seolah ingin ikut merasakan kesakitan Kartika. Dan mata Mas Fikri ... kenapa matanya terlihat sembab seperti menangis.Darahku mendidih dengan jantung yang berpacu cepat. Kupegang dada yang terasa sakit seperti dihujam belati berkali kali. Tubuhku pun terhuyung.Mas Fikri ... Itukah kamu, Mas? Ya Alloh ya Rabb. Apa begitu seorang kakak memperlakukan adiknya yang sedang melahirkan. Tidak! Ini tidak seperti perlakuan seorang kakak pada adiknya.Sambil berpegang pada engsel pintu yang terbuka sedikit, aku membungkam mulutku sendiri menahan diri untuk tidak berteriak, menahan kakiku untuk tidak melangkah masuk menyerang mereka.Lalu tak berapa lama terdengar suara tangis bayi yang menggema di ruangan bersalin. Seorang bayi mungil yang masih merah tampak digendong suster dan diletakkan di dada Kartika yang tergolek lemas.Lalu ... Astaghfirullah ... kupejamkan mata. Kuatkan ya Alloh. Kusandarkan tubuh yang melemas ini pada pintu menyaksikan Mas Fikri yang bertubi-tubi memberikan kecupan pada kening, pipi dan seluruh wajah Kartika, memeluknya dengan suara isakan.Aku mengusap airmata yang terus mengalir deras di pipi merasakan dada terasa sangat berat seperti dihimpit berton ton beban membuatku susah bernafas menahan isakan.Dengan tangis haru tampak raut kebahagiaan di wajah Mas Fikri dan Kartika. Belum pernah aku melihat Mas Fikri sebahagia itu. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang sedang berbahagia menyambut kehadiran anak mereka.Ya Allah ya Rabb ... Duh Gustiii ... Apa yang sebenarnya terjadi di depan mataku ini? Kucubit pipiku berharap mimpi. Tapi ini nyata terlihat di mataku.Tiba-tiba badanku lunglai tak bertenaga, kepalaku terasa pusing dan mataku kenapa jadi berkunang kunang begini. Aku tidak kuat.Pelan-pelan aku merambat pada dinding menuju ruang tunggu dan meluruh lemas di kursi panjang dengan perasaan hancur tercabik cabik. Tangisku tumpah tanpa bisa ditahan, tak peduli semua mata melihatku.Sampai terdengar dering handphone di tas Kartika. Dengan terisak isak kuambil handphone Kartika. Mataku membulat, terbelalak menatap wallpaper di handphone Kartika.Seperti dihantam beribu batu, disengat listrik beraliran tinggi. Aku tersentak meremas dadaku yang terasa sangat nyeri dan rasa panas yang seperti membakar aliran darahku. Menatap foto Mas Fikri yang terpampang di layar handphone, merangkul mesra Kartika sambil memamerkan menu gudeg di salah satu restoran bernuansa Jawa kental.Astaghfirullah ... Kuatkan hamba ya Alloh ... Kuatkan. Siapa sebenarnya suami hamba ini? Tanpa bisa kutahan akhirnya tubuhku lunglai ambruk tak sadarkan diri.Saat membuka mata, kulihat seorang dokter perempuan di sampingku, "Saya dimana?""Mbak di ruang UGD. Mbak tadi pingsan di ruang tunggu," mengingat yang sudah terjadi akhirnya aku menangis histeris."Mbak, tenang, Mbak. Kalau Mbak menangis begini tubuh akan semakin lemas. Kalau boleh tahu namanya siapa?""Tiara, Dok. Apa salahku, Dok! Kenapa aku diperlakukan seperti ini?!" teriakku sambil kupukul pukul ranjang.Ditengah tangisku tiba-tiba aku merasakan mual yang teramat sangat. Aku mencoba menahan dengan menutup mulutku tapi rasa mual itu justru semakin hebat."Mbak Tiara, kenapa?""Mual, Dok. Saya pengin muntah.""Suster! Ambil plastik!" teriak Dokter dan tak berapa lama seorang suster datang memberiku plastik.Aku berusaha mengeluarkan isi perut yang sudah sangat menyiksa tapi kenapa tidak ada yang keluar."Mbak tiduran dulu ya. Saya periksa. Perut yang yang sebelah sini sakit?" Dokter menekan perut sebelah kiri bawah lalu sebelah kanan bawah.Aku menggeleng karena memang tidak merasakan sakit. Lalu Dokter meletakkan stetoskop di area perutku."Mbak Tiara sudah bersuami?" tanya Dokter yang membuatku ingat lagi dengan perlakuan Mas Fikri.Aku pun mengangguk sambil menangis histeris lagi."Sudah, sudah, Mbak. Tenang. Karena sudah bersuami Mbak saya panggil Ibu berarti ya. Saya pikir tadi Mbak masih seorang mahasiswa. Ibu Tiara kuat bangun dan jalan? Biar dibantu suster ya ke toilet. Kita akan melakukan cek urine secara keseluruhan ya, Bu, supaya semua jelas."Dengan dibantu suster aku pun mencoba bangun dan beranjak ke toilet. Menaruh urine di wadah yang diberikan suster. Sekali lagi rasa mual menyerangku. Hoek Hoek di dalam toilet tapi tak ada yang keluar dari mulut. Rasa cemas mulai mengganggu. Sakit apa aku? Apa stres yang membuatku begini.Setelah membaringkanku kembali lalu dia memasang infus di tanganku. Aku berusaha menenangkan diri walau di dadaku ini sudah tak karuan rasanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tanggaku. Bukankah semua tampak baik-baik saja di mataku. Apa iya kamu sanggup membohongi dan menyakitiku, Mas.Semakin aku memikirkan itu, rasa mual ini semakin menyiksaku. Aku harus tenang. Kuat, Tiara. Kamu harus kuat! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Fikri dan perempuan itu. Handphone Kartika. Iya, aku jadi ingat handphone Kartika di tas.Dengan tangan gemetar dan jantung yang berdetak sangat cepat kuambil handphone Kartika. Melihat wallpaper ini lagi ... kututup mata, menarik nafas panjang, meredam gejolak di dada yang panas membara dan tangisku pecah lagi.Mas Fikri ... begitu susah aku mempercayai semua ini. Siapa sebenarnya kamu, Mas? 10 tahun menikah, ternyata aku tidak mengenalmu dengan baik. Betapa bodohnya kamu, Tiara! Kupukul pukul kepalaku sendiri meratapi kebodohanku.Lalu aku buka handphone Kartika dengan dada berdebar hebat. Begitu banyak panggilan tak terjawab dari Ibu, bukti bahwa Kartika memang sangat istimewa di hati Ibu. Apa itu berarti Ibu juga punya andil atas kebohongan Mas Fikri? Ya Allah Ya Rabb jadi aku ini siapa bagi mereka?!Kuat! Kuat Tiara! Untunglah handphone ini tidak terkunci. Aku akan menguatkan diri berselancar ke galeri mencari tahu semuanya.#Ditipu_mertua_dan_suami.#Part_6Baru saja jari ini akan menekan icon galery di layar handphone, tiba-tiba Dokter dan suster datang. Akhirnya kumasukkan handphone ke tas lagi."Ibu Tiara, bagaimana keadaannya? Sudah lebih baik?""Sudah, Dok. Cuma ini mualnya kadang masih muncul.""O iya, kalau soal mualnya, Ibu Tiara kemungkinan akan tetap merasakan sampai 3 bulan ke depan.""Apa, Dok? 3 bulan? Memang nggak ada obatnya, Dok?" "Untuk mual jenis yang satu itu nggak ada obatnya, Bu. Itu bawaan janin yang ada di perut Ibu.""Janin, Dok? Maksudnya?" Aku tercengang sedikit bingung."Iya, Bu. Selamat ya, Ibu positif hamil. Janin Ibu baru berumur sekitar 5 Minggu jadi dijaga ya, Bu. Nanti saya kasih vitamin." Aku ternganga mendengar penuturan Dokter antara tidak percaya, bahagia tapi juga sedih."Saya hamil, Dok? Di perut saya ada calon bayi?!" tanyaku masih sulit untuk mempercayai keajaiban ini setelah 10 tahun entah berapa testpack yang aku habiskan.Setiap telat datang bulan walaupun ba
Tertipu mertua dan suamiPart 7"Aku ingin melihat wujud suamimu sekarang, Kartika! Tidak mungkin kan kamu tidak punya fotonya kalau memang dia itu ada?!" kutantang Kartika."Iya, Mbak, ada. Sebentar. Ini Mbak Tiara lihat sendiri foto-foto waktu acara ijab qobul," Kartika menyerahkan handphonenya padaku.Dan memang benar. Terlihat foto-foto Kartika bersama suaminya yang wajahnya tak kalah ganteng dengan Mas Fikri bahkan terlihat lebih muda. Ada juga foto saat suami Kartika menjabat tangan laki-laki yang sepertinya sedang mengikrarkan ijab qobul.Lega rasanya. Apa yang kutakutkan ternyata salah. Tapi aku masih penasaran. Aku lalu membuka galeri di HP Kartika yang masih kupegang dan ternyata isinya hanyalah foto-foto anak Kartika. Kukembalikan handphone Kartika dengan rasa malu karena sudah menuduh Kartika yang tidak-tidak.Tapi kenapa hati kecilku seolah tidak mau menerima kebenaran yang sudah dipaparkan Kartika."Sudah puas, Ra?! Ayo sekarang kita pulang!" Mas Fikri menggandeng tangan
Aku yang menangis terpaku di depan tubuh Mas Fikri sambil menutup wajahku dengan telapak tangan tidak menyadari kalau Mas Fikri sudah terbangun.Sebuah pelukan erat membuatku tak berkutik, "Ra, maafkan aku, ya, kalau aku sudah menyakitimu. Tolong, Ra, jangan menolakku begini. Aku membutuhkuanmu." Dia mengiba, bibirnya menyapu lembut pipi dan keningku.Sedangkan batinku terus berperang antara mempercayainya dan meragukannya. Dengan menahan perut yang mual dan rasa jijik ini, aku membiarkan Mas Fikri semakin beringas menciumiku lalu menggiring paksa tubuhku ke sofa. Aku pun hanyut dengan permainan Mas Fikri yang begitu memabukkan.Dan pertahananku jebol. Di sofa panjang, akhirnya hasrat Mas Fikri terlampiaskan. Kupukul pukul dadanya, "Aku benci kamu, Mas!" Teriakku berontak tapi Mas Fikri justru memelukku semakin erat."Benci tapi suka, kan? Makasih ya, sayang. Perlu kamu tahu, aku sangat mencintaimu, Ra. Jangan pernah kamu meragukan itu." ucap Mas Fikri sambil berkali kali menciumiku
Tertipu mertua dan suami"Anu, Mbak, kegerahan." "Bukannya pakai AC kok kegerahan.""Maksud saya kegerahan nahan sesuatu karena istri lagi nifas nggak bisa dicolek.""Oalah, ada-ada saja kamu. Lihat Mas Fikri?""Nggak lihat, Mbak, kan saya tidur baru bangun.""Rafli, mumpung cuma ada kita berdua, ada yang pengin aku omongin," ucapku pelan takut membangunkan yang lainnya."Tentang apa, ya, Mbak?""Sst ... Jangan keras-keras, nanti yang lain bangun." Kami pun ngobrol dengan suara pelan sekali."Tentang suamiku dan istrimu." bisikku."Maksudnya?""Kamu nggak cemburu istrimu dekat-dekat dengan suamiku?""Kan mereka kakak adik, Mbak. Wajarlah kalau deket," jawab Rafli polos."Tapi perlakuan Mas Fikri pada Kartika itu melebihi batas dari seorang kakak pada adiknya. Nggak wajar!""Masak, sih, Mbak. Saya ngelihatnya biasa saja.""Iya, karena kamu tidak pernah di rumah!" Aku terdiam mendengar sebuah suara dari suatu tempat. Kuhampiri arah suara itu yang ternyata dari dalam kamar Kartika yang
Di depan kamar Kartika, kuketuk pintu kamar dan kupanggil pelan Rafli yang ternyata masih tiduran di sofa ruang tengah."Mbak Tiara, ada apa lagi?" tanya Kartika setelah pintu terbuka."Mas Fikri, Rafli, Ayo kita masuk!" ajakku."Tiara, jangan lancang kamu! Ini kamar Kartika!" teriak Mas Fikri sambil berusaha mencekalku, tak kupedulikan, kuhempaskan saja tangannya, kakiku tetap melangkah masuk ke kamar Kartika."Ada apa, Mbak? Kenapa masuk ke kamar Kartika?" tanya Kartika dengan muka sok polos."Rafli, tutup pintunya!" Perintahku pada Rafli setelah semua masuk ke kamar."Kartika, sekarang tunjukkan surat nikah kamu dan Rafli!" "Maaf, Mbak. Kami belum punya surat nikah. Kami baru nikah siri. Tapi secepatnya kami akan menikah secara hukum.""O, jadi baru nikah siri?! Atau malah nikah pura-pura?!""Tiara! Jaga mulutmu! Jangan mempermalukanku!" teriak Mas Fikri tapi tak kugubris."Kami nggak nikah pura-pura, Mbak. Kami memang baru nikah siri. Dan kami punya alasan sendiri kenapa kami nik
"Ayo, Rafli, jangan ragu!" Langkah Rafli yang tampak ragu-ragu tapi akhirnya sudah berdiri tepat di hadapan Kartika.Tangan Rafli mulai memegang pinggang Kartika. Mata Kartika terpejam dengan deraian mata. Lalu ...Rafli melakukan yang kuperintahkan. Pertama terlihat kaku tapi tak lama ia terlihat begitu menikmati permainan itu. Kartika menangis terisak isak seolah dia tersakiti oleh laki-laki tak halal.Di tengah permainan mereka, tiba-tiba Mas Fikri menghampiri Rafli lalu memukul wajahnya bertubi tubi. Rafli terhuyung, bibirnya berdarah. Darahku mendidih, dadaku sesak, "Kenapa kamu marah, Mas?! Kenapa, Mas?! Jawab!" Kutatap tajam matanya yang tampak merah dipenuhi amarah, dadanya terlihat naik turun seperti memendam kekesalan, tak ada yang keluar dari mulutnya.Ia berdiri terpaku tanpa sepatah kata seolah sedang berusaha mengendalikan emosinya. "Rafli, kenapa kamu tidak balas pukulan dia?! Kenapa kamu diam saja?! Kartika itu istrimu bukan?!""Is ... iiistriku, Mbak," jawabnya terb
"Begitu? Apa mungkin Ibu salah minum obat?'"Saya nggak minum obat apa-apa, Dok. Semalam saya hanya minum jahe tapi memang setelah minum jahe itu saya seperti dibius. Ngantuk tak tertahan dan akhirnya tertidur pulas." "Iya, mungkin di jahe itu ada obat tidurnya, Bu." Aku tersentak tidak percaya. Jadi aku tidur pulas semalam karena ulah Mas Fikri. Hanya demi Kartika, kamu tega melakukan itu, Mas. Lihat saja, aku pasti akan bisa membuka kedok kalian.Percakapan kami terhenti ketika melihat Mas Fikri masuk ke ruangan. "Dok, bagaimana kondisi istri saya, Dok? " tanya Mas Fikri yang baru saja datang, kupalingkan wajah tak sudi melihat penipu itu."Dari hasil lab, istri Bapak Hb nya rendah sekali, Pak. Itu yang membuat dia sesak nafas. Dan sepertinya selama ini nggak dirasa sama ibu. Baru terasa setelah tubuh ngedrop. Akan dilakukan transfusi darah. Baru disiapkan. Selain itu, kehamilannya yang masih begitu muda juga mengalami kontraksi." "Apa, Dok?! Istri saya hamil?!" "Lho, bapak b
Dengan mengendap endap aku mengikuti langkah Mas Fikri. Kami yang memang menempati kamar untuk tamu jadi terletak di depan, di sisi kiri ruang tamu. Sedangkan kamar Kartika dan Ibu terletak di dalam, di sisi kanan ruang keluarga. Mas Fikri tampak masuk ke ruang keluarga yang remang-remang dengan cahaya temaram dari bias lampu duduk ruang tamu. Aku yakin dia menuju kamar Kartika. Jantungku berdebar kencang. Tapi dugaanku salah, Mas Fikri melewati kamar Kartika dan terus berjalan menuju kaca pembatas ruang keluarga dan taman belakang. Aku menghentikan langkah, sembunyi di balik dinding pantry yang ada di sisi kiri teras belakang. Tampak Mas Fikri menggeser pintu kaca.Buru-buru kusingkap tirai jendela pantry yang mengarah ke taman belakang mengintip Mas Fikri yang berjalan ke gazebo yang ada di taman. Dadaku bergemuruh melihat Kartika yang ternyata sudah menunggu di gazebo dengan tubuh yang terlihat sintal memakai baju tidur tipis dan yang membuatku sangat terkejut, rambutnya terger