Share

AMORAGA - 2

To me you are like the ocean, too broad and deep, so I am afraid to enter further. Dark and cold.

.

.

Happy reading

Hari-hari sekolah selalu membosankan seperti biasa. Belajar, bertengkar dengan Raga, mengobrol dengan Gita, kemudian belajar lagi, lalu pulang. Sebegitu membosankannya sampai Amora ingin cepat lulus dari sana. Masih ada satu tahun lagi sebelum ia berada di titik akhir masa SMA. Ya, Amora masih kelas sebelas dan beberapa minggu lagi, ia akan melaksanakan ujian kenaikan kelas. Amora merebahkan tubuhnya di tempat tidur king size berhiaskan kelambu berwarna gold. Asal kalian tahu, rebahan adalah hal terbaik dilakukan saat pulang sekolah. Cewek itu mengambil ponselnya lalu menekan angka satu. Sebuah nomor langsung tersambung otomatis. Beberapa detik kemudian, sebuah suara terdengar. "Ada yang bisa dibantu, Non Mora?"

Amora menggaruk alisnya sebentar, lalu setelah itu tersenyum. "Mora mau makan es krim. Tapi, yang rasanya strawberi yang sering dibeli Pak Sam di supermaket depan. Merk-nya harus sama. Jangan beda, ya, Bi Daru. Nanti kalo udah ada, telepon, ya. Biar Mora yang turun ke bawah."

"Siap, laksanakan, Non."

Saking besar rumahnya, Amora harus menelepon Bi Daru jika ingin meminta sesuatu. Ia tidak bisa berteriak memanggil pekerja rumahnya karena kamarnya kedap suara dan kamarnya berada di lantai tiga. Bisa bayangkan apa jadinya jika Amora berteriak memanggil pelayan rumah dari atas? Itu hanya akan membuat tenggorokannya sakit. Di rumah sebesar ini, hanya ada Amora, Bi Daru dan suaminya Pak Sam, serta beberapa satpam dan pelayan yang membantu mengurus rumah. Bi Daru dan Pak Sam sudah Amora anggap seperti orang tua sendiri. Amora menghormati keduanya. Jika tidak ada Bi Daru dan Pak Sam, mungkin hidupnya sudah tidak menarik lagi. Tugas Bi Daru adalah mengurus Amora. Pekerjaan rumah dilakukan oleh pelayan lain. Sedangkan Pak Sam bertugas sebagai supirnya. Soal menjaga keamanan rumah adalah tugas beberapa satpam yang selalu setia menjaga di pos depan rumahnya. Karena rumah yang terlalu besar, keamanan serta kebersihan rumahnya tidak bisa hanya dikerjakan satu atau dua orang. Semua kemewahan yang Amora dapatkan saat ini adalah pemberian orang tuanya. Kadang pula, setiap bulan Amora selalu mendapat paket. Biasanya, paket itu akan di taruh di meja belajar Amora oleh Bi Daru.

Amora meilirik ke arah meja belajarnya. Dan benar saja, ada sebuah paket di sana. Amora mengambil paketnya. Paket dengan kertas cokelat susu yang selalu membuat Amora tersenyum. Di sana tertulis alamat rumah seseorang di Italia. Ya, paket ini adalah paket yang dikirimkan orang tuanya. Amora membuka paket itu dengan antusias. Amora tidak terkejut melihatnya. Seperti biasa, isinya adalah pakaian, kaos, dress, sepatu merk terbaru dan beberapa tas cantik. Alih-alih semua benda itu, Amora justru mencari hal lain. Surat. Ia ingin sekali menemukan surat yang ditulis kedua orang tuanya. Sebuah amplop cokelat terselip di dekat tas. Senyum Amora merekah. Ia membuka surat itu.

Kami sayang kamu, Amora Natasha V.

Hanya itu saja, namun begitu berarti bagi Amora. Ia menaruh surat itu bersama surat-surat lain yang bertuliskan hal yang sama. Meskipun saat ulang tahunnya, ia juga mendapatkan surat yang sama tanpa ucapan 'selamat ulang tahun'. Mungkin saja orang tuanya tidak ingat ulang tahunnya.

Amora tidak pernah membalas surat itu. Pernah sekali ia membalas, namun surat itu dikembalikan. Setelah kejadian itu, Amora tidak pernah membalas surat itu lagi. Amora mengambil ponselnya yang berdering.

"Iya, Bi Daru. Mora on the way ke bawah."

Amora mematikan panggilannya lalu berlari menuju lift. Saat sampai di lantai utama, Amora langsung berlari ke dapur menghampiri Bi Daru yang tengah memasukkan beberapa es krim ke dalam kulkas. Amora meraih satu cup besar es krim dan sendok.

"Makannya pelan-pelan. Nanti keselek kaya waktu itu. Bibi panik, dikiranya Non Mora sekarat."

Amora tertawa pelan. "Bibi kebanyakan nonton sinema tobat, yang batuk dikit langsung innalillahi, yang kesandung dikit langsung amnesia, yang ketabrak padahal gak kena, tapi koma."

"Tapi seru tahu, Non. Bibi suka sedih lihatnya. Kasihan, kok, bisa gitu ya?"

"Bisa aja, Bi. Itu namanya menyelipkan drama dalam sebuah drama."

Bi Daru meggaruk alisnya. "Gimana tuh, maksudnya?"

"Gak ada maksud, sih. Ya udah, Mora mau nonton tv. Sebentar lagi Mora ujian kenaikan kelas. Pasti gak bisa nonton tv karena sibuk belajar.

"Siap. Non Mora, mah, emang terbaik kalo soal bagi waktu. Semangat, Non!"

"Semangat apa, Bi?"

"Semangat nonton tv nya."

Amora tertawa lalu mengangguk dan pergi menuju ruang tv.

        ***

Raga melempar tasnya asal. Ia menerbahkan tubuhnya, lalu mengusap dadanya yang agak sakit. Ia melirik ke arah nakas. Di sana sudah tersedia sebuah gelas berisi air putih dan beberapa tablet obat. Raga menghela napas. Suara ketukan terdengar. Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu sambil membawa nampan berisi sepiring nasi. Indah menghapiri anaknya yang masih berbaring di kasur. "Minum obatnya. Habis itu makan, nih. Mama buatin ayam sambel kesukaan kamu."

Raga memalingkan wajahnya lalu bergumam, "Buat apa aku minum obat padahal gak akan sembuh."

Indah menghela napas pelan. Ia menaruh nampan itu di meja belajar Raga, kemudian menghampiri Raga. "Siapa bilang kamu gak akan sembuh? Kamu anak yang kuat. Kamu pasti sembuh."

"Mama ngomong kaya gitu cuma buat nyenengin aku aja, kan? Karena Mama tahu, sebentar lagi aku mati." Raga bangkit lalu pergi keluar kamar meninggalkan Indah yang terlihat sedih menatap punggung putranya.

***

        

Raga memegangi dadanya yang sesak. Ia sesekali terbatuk. Napasnya menjadi panas. Kepalanya terasa berdenyut, namun ia tetap berjalan menuju sebuah kamar yang lama tidak ditempati. Kamar itu masih sama persis seperti dua tahun lalu. Kamar benuansa sama seperti kamarnya. Namun, beberapa barang sudah tersimpan rapi di kardus. Raga berjalan dan masuk ke kamar itu. Ia duduk di sofa yang ada di dekat jendela. Matanya menatap langit sore yang begitu indah. Jika diingat-ingat, hari ini ia memang sudah keterlaluan dengan Amora. Tangannya merogoh benda pipih yang ada di saku celana, lalu mengetikkan nama Amora di kontak. Setelah menemukan kontak Amora, Raga mengirimkan pesan.

Baru saja ia ingin mengirimkan pesan permintaan maaf, namun ia urungkan. Raga menghela napas. Dilemparnya benda pipih itu ke atas meja. Ia memejamkan matanya, lalu bergumam, "Lo apa kabar di sana?"

Indah yang melihat dari ambang pintu meneteskan air matanya pilu. Dadanya sesak melihat Raga seperti itu. Raga memang didiagnosa penyakit kanker paru-paru sejak usianya 11 tahun. Dan kanker itu semakin menggerogotinya. Sudah banyak pengobatan yang Indah lakukan untuk putranya itu. Tapi ... Semua itu sia-sia. Raga sudah tidak mau lagi menjalankan kemoterapi. Baginya, itu hanya memperlambat kematian tapi bukan menyembuhkan. Raga tahu hidupnya tidak akan lama lagi. Itu sebabnya Raga ingin bebas. Bersekolah, memiliki kehidupan seperti anak-anak lainnya. Ia memang terkenal kejam dan cuek di sekolah. Itu semua Raga lakukan semata-mata karena tidak ingin mereka terlalu dekat dengannya. Raga tidak ingin, saat waktunya ia meninggalkan dunia, mereka yang berada di sekitar Raga akan terluka. Raga cuma ingin diingat, meskipun hanya diingat karena jahat dan cuek.

"Devil? Mungkin itu lebih cocok sama gue dibandingkan disebut cowok lemah yang sedang menunggu ajalnya," gumam Raga diiringi senyum lirih.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status